Anda di halaman 1dari 10

KAEDAH KESAHIHAN HADIS

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Hadist

Dosen Pengampu:
Dr. H. Munawir, M.Ag

Disusun Oleh
Qurotul Ainayah (J91218108)
Diva Herna Pamukti (11020122065)
Hanna Mayyuca (11040122153)
Muh.Mu’tashimbillah (11040122164)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2022
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI 1
BAB I PENDAHULUAN 3
A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Pembelajaran 4
BAB II PEMBAHASAN 5
A. Kaidah Otensitas Hadis (Kritik Sanad Hadist) 5
B. Kaidah Validitas Hadis (Kritik Matan Hadis) 6
C. Prinsip Dalam Memahami Hadis 7
BAB III PENUTUP 9
Kesimpulan 9

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak
terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah Studi Hadist ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca. Karena keterbatasan pengetahuan
dan pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

Surabaya, 17 Oktober 2022

Penyusun

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua sesudah al-Qur'an, secara
resmi ditulis dan dikumpulkan dalam suatu kitab pada masa pemerintahan khalifah
Umar bin Abd. Azis. Oleh sebab itu umat Islam wajib menjadikan hadist sebagai
pedoman dalam segala aktifitas, baik dalam melaksakan pengabdiannya sebagai
hamba Allah maupun sebagai khalifah di bumi ini. Dengan interval waktu yang cukup
lama, dari tahun wafatnya Rasulullah SAW., sampai tahun ditulisnya hadist, sangat
memungkinkan munculnya pemalsuan-pemalsuan hadist.
Pemalsuan hadist mulai berkembang pada masa pemerintahan Khalifah Ali
bin Abi Thalib sebagai akibat dari adanya pertentangan politik yang terjadi
dikalangan umat Islam karena maksud dan tujuan tertentu. Hal itulah yang mendorong
para ulama hadist untuk mengadakan lawatan ke berbagai daerah untuk mencari dan
mengumpulkan hadist-hadist, Para ulama hadist dalarn lawatannya mencari hadist,
tidak hanya terbatas pada upaya mengumpulkan hadist yang diperolehnya semata,
tetapi juga melakukan pene1itian terhadap hadist-hadist yang mereka peroleh.
Para ulama dalam melakukan penelitian hadist, menitikberatkan perhariannya
pada sanad dan matan hadist, oleh karena itu, para ulama menetapkan kaedah-kaedah
yang berkenaan dengan kedua hal tersebut sebagai syarat untuk diterimanya suatu
hadist. Suaru hadist dikategorikan sahih apabila rnemenuhi ketenuan-ketentuan atau
kaedah-kaedah kesahihan sanad dan matan hadist.
Dan uraian-uraian di atas, maka yang menjadi pokok pembahasan dalam
tulisan ini adalah pendekatan-pendekatan apa saja yang mungkin digunakan dalam
melakukan kajian pengembangan kaedah kesahihan sanad dan matan hadist. Untuk
mengukur dan meneliti keabsahan suatu hadis diperlukan acuan atau standar baku,
yang digunakan sebagai tolak ukur penilaian kualitas hadist. Acuan yang dipakai
adalah kaedah-kaedah kesahihan hadist.

3
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Kaedah Otentitas Hadist?
b. Bagaimana Kaedah Validitas Hadist?
c. Bagaimana Prinsip Dalam Memahami Hadist?

C. Tujuan Pembelajaran
a. Mengetahui Kaedah Otentitas Hadist
b. Mengetahui Kaedah Validitas Hadist
c. Mengetahui Prinsip Dalam Memahami Hadist

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kaidah Otensitas Hadis (Kritik Sanad Hadist)
Untuk meneliti dan mengukur keabsahan suatu hadis diperlukan acuan atau
standar baku, yang digunakan sebagai tolak ukur penilaian kualitas hadis. Acuan yang
dipakai adalah kaedah-kaidah kesahihan hadits. Sebagaimana disebut pada bab
sebelumnya bahwa hadist shahih adalah hadist yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dabit, serta tidak terdapat kejanggalan
dan cacat yang samar. Dengan demikian hadis dapat dinyatakan shahih apabila
memenuhi persyaratannya, yang oleh Muhammad Syuhudi Ismail, disebut sebagai
unsur-unsur kaidah mayor kesahihan hadis, sebagai berikut:
1. Sanad atau Isnad Bersambung
Sanad bersambung adalah hadis yang seluruh perawinya mulai pertama sampai
perawi terakhir tidak terjadi keputusan sanad. Atau dengan kata lain tiap-tiap
periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat
sebelumnya. Keadaan tersebut terus demikian sampai akhir sanad tersebut. hadis yang
sanadnya bersambung oleh para ulama ahli hadis disebut dengan beberapa istilah di
antaranya hadis musnad, muttashil dan mawsul.
2. Perawi adil
Perawi adil ialah perawinya Muslim, baligh, berakal, tidak melakukan
perbuatan fasik, dan tidak rusak moralnya. Sedangkan dhabit ialah periwayatan
perawi tidak bertentangan dengan perawi tsiqah lainnya, hafalannya tidak jelek, jarang
salah, tidak lupa, dan tidak keliru.”
3. Perawi dhabit
Perawi Dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah
didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya kapan saja ia menghendakinya.
Periwayatan hadits shahih bersifat dhabit.
4. Hadist tidak syadz
Secara bahasa, syadz artinya: aneh, janggal, nyeleneh, beda sendiri, tidak sama
dengan umumnya. Secara istilah hadist syadz adalah Hadits yang diriwayatkan perawi
yang maqbul (lumayan tsiqah). Namun bertentangan dengan hadits lain yang
diriwayatkan perawi yang lebih tsiqah.

5
5. Tidak mengandung illat
Syarat hadis agar bisa dikatakan shahih salah satunya adalah tidak
mengandung illat, ilat adalah  suatu cacat yang terdapat dalam sebuah hadits yang
merusak ke-shahih-annya sedangkan tampak selamat dari luar, adapun hadits yang di
dalamnya terdapat 'illat dinamakan hadits mu'allal.

B. Kaidah Validitas Hadis (Kritik Matan Hadis)


Kesahihan hadis tidak serta merta menjamin keabsahan atau validitas matan
atau teksnya. Secara teoritis dimungkinkan adanya hadis yang persyaratan otentisitas
sanadnya sudah terpenuhi keseluruhannya, namun dari sisi analisis matannya dinilai
ada kejanggalan. Dari persyaratan keshahihan hadis diketahui bahwa matan yang
shahih adalah matan yang selamat dari shadz dan ‘illat (kaidah mayor keshahihan
matan). Dari kedua kaidah mayor tersebut terdapat beberapa kaidah minor
diantaranya:
1. Matan Hadis Terhindar dari Shadz
Dari imam al-Shafi’i dan al-Khalili, hadis yang terhindar dari shadz adalah hadis
yang sanadnya mahfuz dan tidak gharib serta matannya tidak bertentangan atau
tidak menyalahi riwayat yang lebih kuat. Langkah metodologis yang perlu
ditempuh untuk mengetahui suatu matan terdapat shadz atau tidak:
a. Melakukan penelitian terhadap kualitas sanad yang diduga bermasalah.
b. Membandingkan redaksi matan yang bersangkutan dengan matan lain yang
memiliki tema sama dan sanad berbeda.
c. Melakukan klarifikasi keselarasan antara redaksi matan-matan yang memiliki
tema sama.
2. Matan Hadis Terhindar dari ‘Illat
Kaidah minor matan hadis yang terhindar dari ‘illat:
1. Tidak terdapat tambahan (ziyadah) dalam lafal.
2. Tidak ada sisipan (idraj) dalam lafal matan.
3. Tidak terjadi pertentangan (idtirab) dalam lafal matan hadis.
4. Jika ketiga hal diatas bertentangan dengan riwayat yang thiqah lainnya, maka
matan itu tidak sekedar mengandung ‘illat tetapi sekaligus mengandung
shadz.
Langkah metodologis yang bisa ditempuh agar mendapat dugaan ‘illat dalam

6
matan:
1. Melakukan takhrijul hadis (melacak keberadaan hadis) untuk mengetahui
seluruh jalur sanadnya.
2. Melanjutkan kegiatan i’tibar untuk mengkategorikan muttaba’ tam atau
muttaba’ qasir dan menghimpun matan yang bertema sama sekalipun ada
pada akhir matan sanadnya berbeda.
3. Mencermati data dan mengukur segi-segi perbedaan atau kedekatan pada
nisbah ungkapan kepada narasumber, pengantar riwayat dan susunan
kalimatnya. Kemudian, menentukan sejauh mana unsur perbedaan
teridentifikasi.
Di samping menggunakan kaidah shadz dan ‘illat para ulama’ juga menentukan
standar matan hadis dikatakan shahih apabila:
1. Tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
2. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat.
3. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, dan fakta sejarah.
4. Susunan behasanya menunjukkan ciri-ciri lafal kenabian yaitu tidak rancu,
sesuai kaidah-kaidah bahasa Arab.
C. Prinsip Dalam Memahami Hadis
Memahami hadis tidak semudah dengan membalikkan telapak tangan,
sehingga ulama melakukan kajian secara serius mengenai bagaimana cara untuk
memahami hadis. Dari itu para ulama memberikan beberapa prinsip umum
sebagaimana tulisan dari Abdul Mustaqim dalam memahami hadis Nabi SAW:
1. Prinsip jangan terburu buru menolak hadis yang dianggap bertentangan dengan
akal, sebelum melakukan penelitian yang mendalam.
2. Prinsip memahami hadis secara tematik (maudhu’i) sehingga memperoleh
gambaran utuh mengenai tema yang dikaji Ali Mustafa Yaqub menyatakan hadis
saling menafsirkan karena sumbernya adalah Raasulullah dan untuk
memahaminya harus dengan melihat riwayat yang lain.
3. Prinsip bertumpu pada analisis kebahasaan, mempertimbangkan struktur teks dan
konteks.
4. Prinsip membedakan Antara ketentuan hadis yang bersifat legal formal dengan
aspek yang bersifat ideal moral (baca: sesatu yang hendak dituju), membedakan
sarana dan tujuan.
5. Prinsip bagaimana membedakan hadis yang bersifat lokal kultural, temporal dan

7
universal.
6. Mempertimbangkan kedudukan Nabi saw. apakah beliau sebagai manusia biasa,
nabi atau rasul, hakim, panglima perang, ayah dan lain sebagainya. Sehingga
pengkaji dan peneliti hadis harus cermat menangkap makna yang terkandung
dibalik teks tersebut.
7. Meneliti dengan seksama tentang kesahihan hadis, baik sanad dan matan, serta
berusaha memahami segala aspek yang terkait dengan metode pemahaman hadis.
8. Memastikan bahwa teks hadis tersebut tidak bertentangan dengan nash yang lebih
kuat.
9. Menginterkoneksikan dengan teori teori sains modern untuk memperoleh
kejelasan makna tentang isyarat isyarat ilmiah yang terkadung dalam hadis hadis
sains.

8
BAB III
KESIMPULAN

Kaidah otentisitas hadis ada 5 yaitu sanad bersambung, seluruh perawi dalam
sanad hadits bersifat adil seluruh perawi dalam sana bersifat dabit, sanad dan matan
hadis terhindar dari kejanggalan, serta sanad dan matan hadits terhindar dari cacat
yang samar. Selain itu kaidah validitas hadits ada dua yaitu matan hadis terhindar dari
kejanggalan dan matan hadits terhindar dari cacat yang samar. Secara umum suatu
matan hadis dapat dikatakan shahih apabila tidak bertentangan dengan petunjuk Al-
Qur'an, tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat, tidak bertentangan dengan
akal sehat, indera dan fakta sejarah. Dan susunan bahasanya menunjukkan ciri-ciri
lafal kenabian yaitu tidak rancu dan sesuai dengan kaidah bahasa Arab.

Anda mungkin juga menyukai