Disusun oleh :
Kartika Nurrahmawati : 16040007
Ari Amanda Hasibuan : 16040020
Andi Prayoga : 16040025
Eza Yulistian H : 16040076
Sandy Kurnianto : 16040077
Ferdyan Ido Permana : 16040082
Ulfi Khaerun nisa : 16040083
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai mana mestinya.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
i
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Pengertian penelitian matan hadist 3
2.2 Objek penilitian matan 3
2.3 Kaidah mayordan minor dan penelitian matan 4
2.4 Langkah penelitian validitas matan hadist 4
2.4.1 Langka penilitian validitas matan hadist 5
2.4.2 Melihat tingkat kesahihan matan melalui pendekatan hadist 5
2.4.3 Pengertian matan hadist dengan pendekatan Al-Qur’an 6
2.4.4 Membandingkan matan hadist dengan matan-matan hadist 7
2.4.5 Penelitian matan dengan pendekatan bahasa 7
2.6 Interpretasi Matan ( Syarh al-Matan ) 8
2.7 Manfaat Matan 10
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber ajaran yang fundamental bagi agama Islam.
Oleh sebab itu keduanya senantiasa dijadikan basis credo, ritus, norma, etika, ekonomi, politik,
peradaban dan semua aspek kehidupan umat Islam, baik yang bersifat sakral maupun yang
profan, baik dalam tataran habl minallâh (vertikal) maupun habl min al-nâs (horizontal). Akan
tetapi tingkat kebenaran kedua sumber ajaran itu tidak sama, yakni seluruh ayat al-Qurân
berstatus qath’i alwurûd, sedang hadis-hadis Nabi SAW ada yang qath’i al-wurûd namun
umumnya zhanni al-wurûd karena itu pula ajaran-ajaran yang bersumber dari hadis mesti
ditelaah secara kritis. Penelitian dan telaah kritis terhadap hadis mutlak diperlukan, sebab
sepanjang transmisi verbal hadis yang melibatkan banyak rawi dan beberapa thabaqat itu sendiri
tidak menutup kemungkinan adanya unsur eksternal yang masuk ke dalamnya baik unsur social
maupun budaya masyarakat di mana rawi suatu hadis hidup.
Berbagai upaya untuk mengembangkan seperangkat kaidah dan metodologi kritik matan
hadis telah dilakukan. Akhir akhir ini misalnya, muncul dan berkembang sejumlah pendekatan
sebagai pisau analisis yang mungkin dipergunakan dalam kritik matan hadis. Dari sejumlah
pendekatan yang ada, maka pendekatan historis-antropologis termasuk di antara pendekatan
yang signifikan dan relevan yang memungkinkan mendapat perhatian di kalangan ulama dan
intelektual.
Dengan demikian tidak diragukan lagi upaya konkrit para ulama yang menempuh cara
yang komprehensif-holistik dalam kritik hadis. Otentisitas dan validitas suatu hadis tidak lagi
hanya diuji melalui kritik sanad (naqd al-sanad, naqd al-khâriji, external critical), melainkan
juga telah diuji melalui kritik matan (naqd al-matan, naqd al-dâkhili, internal critical). Adanya
kritik yang meliputi dua aspek ini dengan sendirinya mencerminkan demikian akuratnya
metodologi kritik yang dilakukan ulama hadis. Pada saat yang sama sekaligus menjadi counter
terhadap tesis yang menganggap bahwa kritik hadis yang selama ini dijalankan hanya berlaku
pada aspek sanad. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa kritik hadis tidak hanya diarahkan
1
pada aspek sanad melainkan juga ditujukan pada aspek matan. Kedua aspek ini sama-sama
menempati posisi penting dalam menentukan otentisitas dan validitas hadis. Dengan sendirinya,
suatu hadis dapat dikatakan sahîh apabila sanad dan matan-nya sahîh.4 Seiring perkembangan
ilmu pengetahuan dewasa ini, baiksocial science (ilmu-ilmu sosial) maupun natural science
(ilmu-ilmu kealaman), teori yang berlaku dalam disiplin ilmu tersebut juga dimungkinkan untuk
dipergunakan dalam memperkaya khazanah pemikiran di bidang kritik matan hadis, apalagi
sejauh ini belum ditemukan literatur yang secara komprehensif dan sistematis menjelaskan
langkah-langkah metodologis-holistik dan komprehensif bagi kritik matan hadis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam istilah para ulama ahli hadis penelitian matan hadis juga dikenal sebagainaqd al-
matan. Dalam literatur Arab kata an-naqd dipakai untuk arti “kritik”, atau “memisahkan yang
baik dari yang buruk.
Dapat dikatakan bahwa penelitian matan hadis merupakan salah satu bentuk upaya
meneliti kandungan atau matan suatu hadis secara kritis untuk mengetahui validitas (keabsahan)
serta melakukan interpretasi (sharah) dari hadis tersebut, yang mencakup kaidah-kaidah tertentu
seperti yang akan disebutkan di bawah.
Objek penelitian matan hadis adalah matan dari suatu hadis yang telah diketahui bahwa
sanadnya sahih. Imam Nawawi menegaskan dari apa yang telah dikemukakan oleh Abdullah bin
Al-Mubarak, apabila sanad suatu hadis berkualitas shahih, maka hadis tersebut bisa diterima,
tapi apabila tidak, maka hadis tersebut harus ditinggalkan.[3] Jadi, hadis tersebut tidak perlu
diteliti karena dalam segi sanadnya saja sudah tertolak dan tidak bisa diterima.
3
2.3 Kaidah Mayor dan Minor dalam Penelitian Matan
Segala syarat atau kriteria kesahihan sanad hadis ada yang bersifat umum dan ada yang
bersifat khusus. Berbagai syarat atau kriteria yang bersifat umum diberi istilah sebagai kaidah
mayor, sedang yang bersifat khusus atau rincian dari kaidah mayor diberi istilah sebagai kaidah
minor.[4]
Ulama ahli hadis sepakat bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu anmat hadis
yang berkualitas shalih ada dua macam, yaitu terhindar dari syuzuz(kejanggalan) dan terhindar
dari illat (cacat). Apabila mengacu pada pengertian hadis sahih yang dikemukakan oleh ulama,
sebagaimana telah disebutkan terdahulu, maka dapat dinyatakan bahwa kaidah mayor bagi
kesahihan matan hadis adalah:
1. Terhindar dari syuzuz
2. terhindar dari ‘illat.
Syuzuz dan ‘illat selain terjadi pada sanad juga terjadi pada matan hadis.[5]
Berdasarkan kriteria yang ada, M. Syuhudi Ismail merumuskan kaidah minor terhadap
matan hadis yang terhindar dari syadz dan ‘illat. Adapun kaidah minor dari matan yang terhindar
dari syadz adalah:[6]
1. Matan bersangkutan tidak menyendiri.
2. Matan hadis tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat.
3. Matan hadis itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
4. Matan hadis itu bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah.
Adapun kaedah minor bagi matan yang tidak mengandung ‘illat adalah:[7]
1. Matan hadis tidak mengandung idrāj (sisipan).
2. Matan hadis tidak mengandung ziyādah (tambahan).
3. Matan hadis tidak mengandung maqlūb (pergantian lafaz atau kalimat).
4. Matan tidak terjadi iḍtirāb (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan).
5. Tidak terjadi kerancuan lafaz dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadis itu.
4
memberikan lima langkah yang harus ditempuh dalam rangka mengkritik sebuah matan hadis
yaitu :
2.4.1 Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
Yang dimaksud dengan hadis yang terjalin dalam tema yang sama adalah
Pertama, hadis-hadis yang mempunyai sumber sanad dan matan yang sama, baik
riwayat bi al-lafẓimaupun melalui riwayat riwayat bi al-ma’na. Kedua, hadis-hadis
mengandung makna yang sama, baik sejalan maupun bertolak belakang. Ketiga, hadis-
hadis yang memiliki tema yang sama, seperti tema aqidah, ibadah, dan lainnya.
Hadis yang pantas dibandingkan adalah hadis yang sederajat kualitas sanad dan
matannya. Perbedaan lafal pada matan hadis yang semakna ialah karena dalam
periwayatan secara makna (al-riwayah bi al-ma’na). Menurut Muhaddithin, perbedaan
lafal yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, dapat ditoleransi asalkan sanad dan
matannya sama-sama sahih.[8]
Kaidah ini dilakukan sebagai upaya untuk menjawab jika suatu matan
bertentangan dengan matan lainnya, dengan asumsi bahwa tidak mungkin Nabi Saw
melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan sabdanya yang lain (galau).
Hakikatnya, setiap kandungan matan tidak ada yang bertentangan dengan hadis dan
Alquran. Tetapi hanya terlihat seolah-olah bertentangan dengan hadis dan al-Qur’an.
1. Mencari dan menentukan kandungan makna matan mana saja yang bersifat
universal dan terperinci.
2. Mencari dan menentukan kandungan matan mana saja yang bersifat umum dan
khusus.
5
3. Menentukan matan mana saja yang dinilai mengandung makna dihapus
(nasakh) dan yang menghapus (mansukh).
4. Mengupayakan sebisa mungkin kedua matan yang bertentangan dapat
diamalkan.
Sementara Sihab al-Din Abu al-Abbas Ahmad ibn Idris Al-Qarafi (w.684 H)
menempuh metode tarjih, yaitu dengan cara mencari petunjuk yang mempunyai alasan
yang kuat. Langkah ini lebih mudah daripada Mukhtalif al-Hadis.
2.4.4. Membandingkan matan hadits dengan matan-matan hadits lain yang semakna.[11]
6
2.4.5. Penelitian matan hadis dengan pendekatan bahasa
Pendekatan bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis tertuju pada beberapa obyek:
1. Struktur bahasa, artinya apakah susunan kata dalam matan hadis yang menjadi
obyek penelitian sesuai dengan kaedah bahasa Arab.
2. Kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, apakah menggunakan kata-kata
yang lumrah dipergunakan bangsa Arab pada masa Nabi Muhammad atau
menggunakan kata-kata baru, yang muncul dan dipergunakan dalam literatur
Arab Modern?.
3. Matan hadis tersebut apakah menggambarkan bahasa kenabian.
4. Menelusuri makna kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, dan apakah
makna kata tersebut ketika diucapkan oleh nabi Muhammad sama makna
dengan yang dipahami oleh pembaca atau peneliti.[12]
Salah satu langkah yang ditempuh para muhaddithin untuk penelitian matan hadis
adalah mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis (asbab al-
wurud hadith). Langkah ini bertujuan untuk mempermudah memahami kandungan hadis.
Fungsi asbab al-wurud hadith ada tiga. Pertama, menjelaskan makna hadis. Kedua,
mengetahui kedudukan Rasulullah pada saat kemunculan hadis apakah sebagai rasul,
sebagai pemimpin masyarakat, atau sebagai manusia biasa. Ketiga, mengetahui situasi
dan kondisi masyarakat saat hadis itu disampaikan.[13]
Salah satu contoh matan hadis yang dianggap oleh sebagian ulama bertentangan
dengan fakta adalah, hadis yang terdapat dalam sahih Bukhari yang berbunyi :
“......Orang Islam tidak dibunuh karena membunuh orang kafir.”
Dikalangan ulama ada yang tidak mengamalkan hadis ini. Diantaranya adalah
Abu Hanifah. Ia menolak hadis ini bukan karena sanadnya lemah, tetapi ia menolaknya
karena hadis ini dianggap bertentangan dengan sejarah. Di dalam sejarah disebutkan
bahwa apabila kaum kafir memerangi kaum muslimin, maka kaum muslimin
diperintahkan memeranginya. Jika ia terbunuh, tidak ada hukum apapun atas
pembunuhan itu. Berbeda dengan ahlu al-zimmi (orang kafir yang terikat perjanjian
7
dengan kaum muslimin). Apabila seseorang membunuhnya, maka ia dijatuhi
hukum qiṣaṣ
Hadis yang diteliti tidak memenuhi kriteria kesahihan hadis, baik dari segi
sanad maupun dari segi matan. Dari segi sanad hadis diatas bersifat mauquf tidak
mencapai derajat marfu’ ( tidak disandarkan kepada Nabi, hanya sampai sahabat ) dan
dari segi matan dengan pendekatan sejarah, hadis tersebut tidak menggambarkan praktik
hukum dari Rasulullah SAW.[14]
Penelitian seputar teks yang dimaksud adalah penelitian terhadap hal-hal yang
berada di luar teks, tetapi memiliki pengaruh yang cukup besar dalam memahami
teks. Penelitian seputar teks mencakup :
Di antara cara-cara yang baik untuk memahami hadis Nabi saw ialah dengan
memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya suatu
hadis, atau kaitannya dengan suatu ‘illah (alasan, sebab) tertentu, yang dinyatakan
dalam hadis tersebut atau disimpulkan darinya, ataupun dapat dipahami dari kejadian
yang menyertainya.
Ini berarti bahwa suatu hukum yang dibawa suatu hadis, adakalanya tampak
bersifat umum dan waktu tak terbatas, namun jika diperhatikan lebih lanjut, akan
diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan dengan suatu ‘illah tertentu, sehingga ia
akan hilang dengan sendirinya jika hilang ‘illah-nya, dan tetap berlaku jika masih
berlaku ‘illah-nya.
Sebagai contoh, al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah
SAW bersabda :
ألنُیمتليءُجوفُأحدكمُقيحاُخيرُلهُمنُأنُیمتليءُشعرا
Lebih baik perut kalian diisi dengan nanah daripada diisi dengan sya’ir.
8
Apabila hadits di atas dipahami secara tekstual, maka berarti membaca
sya’ir itu haram. Padahal dalam riwayat lain, beliau bersabda :”Sesungguhnya
sebagian dari sya’ir itu adalah hikmah”( H.R. Bukhari dari Ubay bin Ka’ab )
Ternyata hadits ini ada asbab al-wurudnya. Pada suatu sa’at Rasulullah SAW
mengadakan perjalanan dan berada di kota al-‘Arj, Tiba-tiba di hadapan Rasulullah
SAW, ada seseorang yang bersya’ir, lalu Rasulullah mengucapkan sebagaimana
dikutip di atas.
Al-Nawawi menyatakan bahwa yang dicela oleh Rasulullah SAW adalah
orang yang kesenangannya terhadap sya’ir melebihi kesenangannya kepada al-
Qur’an, al-Sunnah, dan ilmu-ilmu syari’at, sehingga mulutnya dipenuhi dengan
sya’ir. Jadi, jika kecintaan kepada al-Qur’an, al-sunnah dan ilmu syari’at lebih
dominan, maka tidak apa-apa karena Rasulullah SAW sendiri pernah mendengar
sya’ir dan pernah memerintahkan Hasan untuk bersya’ir untuk mencela orang-orang
musyrik.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Tidak terjadi kerancuan lafaz dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadis
itu.
11
DAFTAR PUSTAKA
12