“PERIWAYATAN HADITS”
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK
SALMAWATI SAFITRI
RIKA ULPAYANI
KELAS: F 19
Puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
hidayah dan taufiknya kepada kita semua, terutama kepada kami yang telah
selesai menyelesaikan penulisan makalah Studi Hadits ini. Karena berkat rahmat
beserta karunia-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini, walaupun masih
banyak kekurangan di dalam makalah kami ini.
Kemudian shalawat beserta salam kita panjatkan kepada Allah SWT,
semoga selalu tercurah kepada pemimpin umat sedunia, yakni Nabi Muhammad
SAW, yang telah membawa petunjuk yang benar dan mengajarkannya kepada
sahabat-sahabatnya, dan pada akhirnya sampailah kepada kita umat akhir zaman
ini, semoga Allah tetapkan hati kita agar selalu berpegang kepada Al-Qur’an dan
Sunnah yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW tersebut sampai hari kiamat,
amiin.
Makalah ini kami buat atas tugas yang di berikan oleh dosen mata kuliah
Studi Hadits, yaitu Bapak Parlindungan S. Alhamdulillah makalah yang berjudul
“Periwayatan Hadis” telah selesai kami kerjakan, walaupun sebenarnya masih
banyak kekurangan dan kecacatannya, mungkin itu karena kelalaian kami maupun
karena ketidaktahuan kami dalam suatu masalah. Dalam pembuatan makalah ini
banyak sekali tantangan yang kami hadapi, diantaranya adalah sulitnya
memahami pembahasan mengenai periwayatan hadis tersebut, namun berkat izin
dari Allah SWT kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Kritik, saran,
masukan, dan sanggahan sangat kami harapkan bagi siapapun yang membaca
makalah ini, agar makalah ini lebih baik dan lebih sempurna lagi untuk
kedepannya.
i
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan..........................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
PEMBAHASAN......................................................................................................3
2.1 Pengertian Periwayatan Hadist.......................................................................3
2.2 Unsur-Unsur Periwayatan Hadis....................................................................4
2.3 Cara-Cara Periwayatan Hadis........................................................................9
2.4 Macam-Macam Periwayatan Hadis..............................................................14
2.5 Bentuk-Bentuk Hadist..................................................................................16
BAB III..................................................................................................................19
PENUTUP..............................................................................................................19
3.1 Kesimpulan...................................................................................................19
3.2 Saran.............................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................20
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
1
kehidupan umat islam dan banyaknya hadits palsu yang sudah beredar, maka
sebagai umat Islam harus mengetahui keaslian hadits. Untuk mendeteksi keaslian
hadits dengan cara mengetahui transformasi hadits. Transformasi hadits yang
dimaksud yakni Periwayatan Hadits atau jalannya hadits dari perawi sampai
pada Rasulullah. Ini adalah cara untuk mengetahui keaslian hadits dan kedudukan
hadits.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini ini adalah
1. Mengetahui pengertian dari periwayatan hadist.
2. Mengetahui ketentuan-ketentuan dalam periwayatan hadist secara makna
3. Mengetahui proses atau cara-cara serta macam periwayatan hadist.
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui pengertian dari periwayatan hadist.
2. Untuk mengetahui bagaimana ketentuan-ketentuan dalam periwayatan hadist
secara makna.
3. Untuk mengetahui bagaimana proses atau cara-cara serta macam periwayatan
hadist.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
2.2 Unsur-Unsur Periwayatan Hadis
حدثنا احلميدي عبد اهلل بن الزبري قال حدثنا سفيان قال حدثنا حيىي بن سعيد
األنصارى قال أخربين حممد بن إبراهيم التيمي أنه مسع علقمة بن وقاص الليثي يقول
…مسعت عمر بن اخلطاب رضي اهلل عنه على املنرب
Sebenarnya antara rawi dan sanad merupakan dua istilah yang tidak dapat
dipisahkan karena sanad hadis pada setiap generasi terdiri dari beberapa perawi.
Singkatnya, sanad itu lebih menekankan pada mata rantai/silsilah, sedangkan
rawi adalah orang yang terdapat dalam silsilah tersebut.
Maka untuk menjaga keaslihan hadis diperlukan Perawi – Perawi hadis yang
memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Beragama Islam, laki-laki atau perempuan, orang merdeka atau hamba (pelayan).
2. Aqil baligh, artinya: berakal sehat dan cukup umur, maka setiap orang yang
mukallaf atau sudah dewasa, dianggap cakap berbuat atau melakukan perbuatan
hukum, atau bertanggung jawab.
4
3. Bersifat adil, artinya: memiliki sifat-sifat yang baik, jujur, mengutamakan
kebenaran dan tidak terlibat pada sifat-sifat tercela.
4. Perawi itu harus seorang yang dhabith, Dhabith ini mempunyai dua pengertian
yakni:
a. Dhabith dalam arti bahwa perawi hadis harus kuat hafalan serta daya ingatnya dan
bukan orang yang pelupa.
b. Dabit dalam arti bahwa perawi hadis itu dapat menjaga atau memelihara kitab
hadis yang diterima dari gurunya sebaik-baiknya, sehingga tidak mungkin ada
orang mengadakan perubahan didalamnya.
Selain tujuh sahabat tersebut masih banyak yang meriwayatkan hadis tetapi
tidak ada yang meriwayatkan hadis lebih dari seribu hadis. Para sahabat Nabi saw
ini menjadi perawi hadis pertama dan sanad terakhir dan mereka inilah yang pada
umumnya disebut sanad dalam hadis. Kemudian yang disebut perawi hadis
terakhir adalah mereka yang membukukan hadis dalam kitab-kitabnya seperti,
Muwatha’nya Imam Malik, Al Kutub Al Sittah, setelah itu sangat sulit untuk
menemukan orang yang dapat dikatagorikan sebagai perawi hadis, atau mungkin
tidak ada perawi yang muktabar.
5
hadis yang dia bukukan. Seperti Imam Malik dalam kitab al-Muwattho, Imam
Bukhariy, Imam Muslim dalam kedua kitab Shohihnya dan lain-lainya. Sehingga
sering kita baca dalam kitab-kitab hadis; Akhrajahul Bukhariy Fis Shahih,
Akhrajahu Muslim Fis Shahih, Akhrojahu Malik Fil Muwattha, Akhrajahu
Ahmad Fi Musnadihi, dan sebagainya. Atau boleh juga kita sebut: Rowahul
Bukhariy, Rowahu Muslim, Rowahu Malik, Rowahu Ahmad. Lantaran setiap
Mukharrij (pentakhrij hadis) adalah orang yang meriwayatkan. Tetapi tidak semua
Rowi (periwayat hadis) disebut Mukharrij.
Disebutkan dalam satu kaidah bahwa “Setiap mukharrij itu dipastikan sebagai
periwayat hadis, tetapi tidak semua periwayat hadis itu seorang mukharrij”.
Kesimpulannya, mukharrij adalah periwayat hadis yang menginventarisir riwayat-
riwayatnya dalam satu kitab, sedangkan perawi hadis sekedar meriwayatkan saja
tanpa membukukan riwayatnya."
2) Sanad
Sanad yaitu sandaran atau jalan yang menyampaikan kepada matan hadith.
Sanad inilah orang yang mengkabarkan hadis dari Rasulullah saw kepada orang
yang berikutnya sampai kepada orang yang menulis atau mengeluarkan hadis .
Secara bahasa, sanad berasal dari kata ندKKKKس yang berarti يئ الىKKKKمام الشKKKKانض
الشيئ (penggabungan sesuatu ke sesuatu yang lain), karena di dalamnya tersusun
banyak nama yang tergabung dalam satu rentetan jalan. Bisa juga
berarti المعتمد (pegangan). Dinamakan demikian karena hadis merupakan sesuatu
yang menjadi sandaran dan pegangan.
Sementara termenologi, sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan
matan hadis sampai kepada Nabi Muhammad saw sebagaimana juga telah
dijelaskan diatas . Dengan kata lain, sanad adalah rentetan perawi-perawi
(beberapa orang) yang sampai kepada matan hadis.
Contohnya pada kitab Shohih Bukhari sebagai berikut :
حدثناابن سالم قال اخربناحممدبن فضيل قال حدثنا حيي بن سعيد عن اىب سلمة
من صام رمضان اميانا واحتساباغفر له ما: قال رسول اهلل ص م: عن اىب هريرة قال
تقدم من ذنبه
6
Dari hadis diatas sanadnya adalah orang – orang yang menyampaikan matan
hadis sampai pada Imam Bukhori, sehingga orang yang menyampaikan kepada
imam bukhari adalah sanad pertama dan sanad terakhir adalah Abu Hurairah.
Sedangkan Imam Bukhari adalah orang yang mengeluarkan hadis atau yang
menulis hadis dalam kitabnya.
Para ahli hadis memberi penilaian terhadap shohih atau tidaknya dapat
berdasarkan pada sanad tersebut. Jika terdapat salah satu sanad yang kurang
memenuhi syarat maka dapat mengurangi atau bahkan dapat meragukan
kesohihan hadis.
حدثنا احلميدي عبد اهلل بن الزبري قال حدثنا سفيان قال حدثنا حيىي بن سعيد األنصاري قال
أخربين حممد بن إبراهيم التيمي أنه مسع علقمة بن وقاص الليثي يقول مسعت عمر بن اخلطاب
رضي اهلل عنه على املنرب قال مسعت رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم يقول
“Al-Humaidi ibn al-Zubair telah menceritakan kepada kami seraya berkata
Sufyan telah mmenceritakan kepada kami seraya berkata Yahya ibn Sa’id al-
Ansari telah menceritakan kepada kami seraya berkata Muhammad ibn Ibrahim
al-Taimi telah memberitakan kepada saya bahwa dia mendengar ‘Alqamah ibn
Waqqas al-Laisi berkata “saya mendengar Umar ibn al-Khattab ra berkata di atas
mimbar “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda…
3) Matan
Yakni sabda Nabi atau isi dari hadith tersebut. Matan ini adalah inti dari apa
yang dimaksud oleh hadis, misalnya:
)املؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا (رواه الشيخان عن اىب موسى
Matan, berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari huruf ن- ت-مMatan memiliki
makna “punggung jalan” atau bagian tanah yang keras dan menonjol ke
atas. Apabila dirangkai menjadi kalimat matn al-hads maka defenisinya adalah:
7
Dapat juga diartikan sebagai ند من الكلKKه السKKا ينتهى إليKKم (Apa yang berhenti dari
sanad berupa perkataan). Adapun matan hadis itu terdiri dari dua elemen yaitu
teks atau lafal dan makna (konsep), sehingga unsur-unsur yang harus dipenuhi
oleh suatu matan hadis yang sahih yaitu terhindar dari sya>z| dan ’illat.
Contohnya:
إمنا األعمال بالنيات وإمنا لكل امرىء ما نوى فمن كانت هجرته إىل دنيا يصيبها أو إىل
…امرأة ينكحها فهجرته إىل ما هاجر
“Amal-amal perbuatan itu hanya tergantung niatnya dan setipa orang akan
mendapatkan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrah karena untuk
mendapatkan dunia atau karena perempuan yang akan dinikahinya maka hijrahnya
(akan mendapatkan) sesuai dengan tujuan hijrahnya…
Dalamnya tersusun banyak nama yang tergabung dalam satu rentetan jalan.
Bisa juga berarti المعتمد (pegangan). Dinamakan demikian karena hadis merupakan
sesuatu yang menjadi sandaran dan pegangan.
Sementara terminologi, sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan matan
hadis sampai kepada Nabi Muhammad saw sebagaimana juga telah dijelaskan
diatas . Dengan kata lain, sanad adalah rentetan perawi-perawi (beberapa orang)
yang sampai kepada matan hadis.
Contohnya pada kitab Shohih Bukhari sebagai berikut:
حدثناابن سالم قال اخربناحممدبن فضيل قال حدثنا حيي بن سعيد عن اىب سلمة عن اىب
من صام رمضان اميانا واحتساباغفر له ما تقدم من ذنبه: قال رسول اهلل ص م: هريرة قال
Dari hadis diatas sanadnya adalah orang – orang yang menyampaikan matan
hadis sampai pada Imam Bukhori, sehingga orang yang menyampaikan kepada
imam bukhari adalah sanad pertama dan sanad terakhir adalah Abu Hurairah.
Sedangkan Imam Bukhari adalah orang yang mengeluarkan hadis atau yang
menulis hadis dalam kitabnya.
Para ahli hadis memberi penilaian terhadap shohih atau tidaknya dapat
berdasarkan pada sanad tersebut. Jika terdapat salah satu sanad yang kurang
memenuhi syarat maka dapat mengurangi atau bahkan dapat meragukan
kesohihan hadis.
8
Berikut adalah contoh sanad lainnya :
حدثنا احلميدي عبد اهلل بن الزبري قال حدثنا سفيان قال حدثنا حيىي بن سعيد األنصاري قال
أخربين حممد بن إبراهيم التيمي أنه مسع علقمة بن وقاص الليثي يقول مسعت عمر بن اخلطاب
رضي اهلل عنه على املنرب قال مسعت رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم يقول
“Al-Humaidi ibn al-Zubair telah menceritakan kepada kami seraya berkata
Sufyan telah mmenceritakan kepada kami seraya berkata Yahya ibn Sa’id al-
Ansari telah menceritakan kepada kami seraya berkata Muhammad ibn Ibrahim
al-Taimi telah memberitakan kepada saya bahwa dia mendengar ‘Alqamah ibn
Waqqas al-Laisi berkata “Saya mendengar Umar ibn al-Khattab r.a. berkata di
atas mimbar, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda…”
4) Shigad Isnad
Dalam ilmu hadis, Shigat Isnad diartikan dengan lafal-lafal yang digunakan
oleh para periwayat hadis pada saat menyampaikan atau menerima hadis. Shigat
isnad terdiri atas delapan tingkatan atau martabat yang berimplikasi bahwa
martabat pertama lebih tinggi dari martabat kedua, ketiga, dan seterusnya sampai
pada martabat ke delapan. Sigat isnad tersebut dapat dijadikan ketersambungan
sanad hadis dan dapat memudahkan untuk menentukan kualitas hadis.
Ada delapan macam kaifiyah tahammul wa al-ada’ atau sistem dan cara
penerimaan dan penyampaian hadis, yaitu sebagai berikut:
َّ )ال
1) As-Sama’ (ُس َماع
Maksud periwayatan hadits dengan cara as-sama’ adalah seorang rawi
menerima langsung periwayatan gurunya dengan cara mendengarkan bacaan dari
hafalan atau tulisan sang guru. Dalam periwayatan bentuk as-sama’, biasanya
seorang guru membacakan haditsnya, sedangkan murid mendengarkan dengan
seksama untuk kemudian menulis apa yang telah ia dengar, atau hanya mendengar
saja untuk kemudian menghafalnya.
Di dalam periwayatan yang berbentuk as-sama’, disyaratkan antara guru dan
murid terjadi pertemuan. Namun, pertemuan tersebut tidak harus bertemu muka.
Menurut pandangan jumhur ulama’, periwayatan hadits dengan adanya tabir
9
(penghalang) yang memisahkan antara sang guru dan murid sudah dianggap sah
dan tergolong periwayatn bentuk as-sama’. Syaratnya, yang di dengar sang murid
benar-benar suara gurunya.
Periwayatan hadits dari belakang tabir pernah dicontohkan oleh Aisyah.
Ketika meriwayatkan hadits, Aisyah berada di belakang tabir,kemudian para
sahabat berpedoman pada suara tersebut dalam meriwayatkan hadits-hadits
Aisyah.
Menurut jumhur ulama’, as-sama’ merupakan periwayatan yang paling tinggi
dalam periwayatan hadits. Jika melihat pada masa Nabi, cara as-sama’ adalah cara
yang sering dilakukan. Para sahabat mendengarkan dengan seksama apa yang
dikatakan Nabi SAW, kemudian para sahabat saling mencocokkan hadits yang
telah didapat dari Nabi SAW tersebut.
Kata atau lafal yang digunakan dalam penyampaian hadits dengan cara as-
sama’ diantaranya adalah :
َ ‘aku telah mendengar’ dan َّدثَنِيK َح ‘telah menceritakan kepadaku’.
ُ ِمعK ‘س
ْت
Namun, jika yang meriwayatkan itu banyak, maka lafalnya adalah س ِم ْعنَا
َ ‘kami
telah mendengar’ dan ح َّدثَنَا
َ ‘telah menceritakan kepada kami. Kata-kata tersebut
menunjukkan bahwa rawi mendengarkan hadits dari sang guru secara bersama-
sama.
10
periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah tingkatannya lebih rendah
dibandingkan dengan periwayatan hadits dengan cara as-sama’.
Ketika menyampaikan periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah, perawi
ُ قَ َر ْأ ‘aku telah membaca kepada si fulan’
biasanya menggunakan kalimat: ت فُالَنًا
3) Al-ijazah(ُجا َزة
َ )اإل
ِ
Maksud periwayatan hadits dengan cara al-ijazah adalah izin meriwayatkan
sesuatu tertentu kepada orang tertentu. Biasanya izin ini di berikan oleh seorang
guru kepada muridnya untuk meriwayatkan suatu hadits dalam bentuk ucapan
atau tulisan. Lafal ijazah yang digunakan oleh sang guru kepada muridnya adalah
”aku izinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian.”
Adapun macam-macam ijazah,yaitu:
a. Ijazah fi mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin
untuk meriwayatkan suatu hadits tertentu kepada orang tertentu. Misalnya,
seorang guru berkata, ”Aku ijazah-kan kepadamu Shahih Muslim.” Menurut
pandangan ulama’, derajat ijazah ini memiliki tingkatan paling tinggi
dibandingkan dengan ijazah lainnya.
b. Ijazah fi gairi mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin
seorang guru kepada seseorang dengan tanpa menentukan apa yang di-ijazah-
kannya. Misalnya, guru meng-ijazah-kan dengan lafal “Aku ijazah-kan kepadamu
untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
c. Ijazah gairi mu’ayyanin bi gairi mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian
izin seorang guru kepada siapa saja (tanpa ditentukan orangnya), dan tidak
ditentukan pula apa yang di-ijazah-kannya. Misalnya, meng-ijazah-kan dengan
lafal “Aku ijazah-kan semua riwayatku kepada semua orang pada zamanku.”
d. Syaih meng-ijazah-kan sesuatu yang ia terima dengan jalan ijazah kepada orang
yang tertentu. Misalnya, ”Aku ijazahkan kepadamu apa-apa yang di-ijazahkan
kepadaku”.
11
Kata-kata yang dipakai dalam menyampaikan riwayat lewat jalur ijazah
adalah:
َ َأ ‘ia telah memberikan ijazah kepada si fulan’, ً َح َّدثَنَاإِ َجازَ ة ‘ia telah
جا َزلِفُالَ ٍن
4) Al-Munawalah (َُاولَة
َ )ال ُمن
Munawalah artinya memberikan, menyerahkan. Yakni: ”Guru memberikan
kitabnya kepada murid”, atau “Ia menyuruh murid menyalin kitab itu”, atau “Ia
pinjamkan kitabnya itu”, atau “Seorang rawi menyerahkan satu kitab kepada
gurunya; sesudah guru memperhatikannya benar benar, lalu ia kembalikannya
kepada rawi tadi”.
Al-Munawalah ada dua macam, yaitu:
a. Al-munawalah yang disertai dengan ijazah. Misalnya, seorang guru memberikan
kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadanya, “Riwayatkanlah kitab
ini dari saya,” Kemudian kitab tersebut dibiarkan untuk dimilikinya atau
dipinjamkan agar disalin.
b. Al-munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah. Misalnya, seorang guru
memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan, “Ini adalah
riwayatku,” tanpa diikuti dengan perintah meriwayatkannya.
Menurut Ibnu Salah dan An-Nawawi, periwayatan dengan cara ini dianggap
tidak sah. Para ahli hadits mencela orang-orang yang membolehkan riwayat
dengan al-munawalah tanpa dibarengi ijazah.
Dalam redaksi hadits yang diterima dengan jalan al-munawalah terdapat kata-
kata َ ي َوأKْ ِا َولَنKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKَن ‘ ia
seperti: Kازَ نِيKKKKKKKKKKKKKKKKKKKKج telah
َ ةً َوإKKKKKKKKََاول
memberikan munawalah dan ijazah kepadaku’, ًجازَ ة َ َح َّدثَنَا ُمن ‘ia telah
12
5) Al-Mukatabah (ُ)أل ُم َكاتَبَة
Periwayatan hadits dengan cara al-mukatabah adalah model periwayatan
hadits dengan cara seorang guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain
menuliskan riwayatnya untuk diberikan kepada orang yang ada dihadapannya
ataupun yang tidak hadir.
Al-mukatabah ada dua macam:
a. Mukatabah al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang disertai
dengan ijazah. Misalnya, perkataan guru dengan lafal “Aku ijazahkan kepadamu
apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya.
Riwayat dengan cara ini adalah sahih, karena kedudukannya sama kuat dengan
munawalah yang disertai ijazah.
b. Mukatabah ghairu al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang tidak
disertai dengan ijazah. Misalnya, seorang guru menulis sebagian hadits untuk
muridnya dan tulisan itu dikirimkan kepadanya, tetapi sang murid tidak
diperbolehkan untuk meriwayatkannya.
َ َكت
Kata-kata yang sering digunakan dalam riwayat dengan mukatabah misalnya, َب
ي فُالَ ٌن
َّ َإل ‘seseorang telah menulis untukku’.
6) Al-I’lam (عالَ ُم
ْ )اإل
ِ
Periwayatan hadits dengan cara al-i’lam adalah pemberitahuan sang guru
kepada seorang muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu adalah
riwayatnya sendiri dari si fulan (guru seseorang), namun tidak disertakan izin
untuk meriwayatkannya.
Para ulama’ berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan hadits dengan
cara ini. Sebagian ulama’ membolehkan dan sebagian yang lain melarangnya.
Sebagian ulama’ yang melarang beralasan bahwa kemungkinan sang guru
mengetahui dalam hadits tersebut ada kecacatan, karenanya sang guru tidak
member izin untuk meriwayatkannya.
Kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan riwayat dengan cara ini
13
7) Al-Washiyyah (ُصيَّة
ِ )الو
َ
Washiyyah artinya memesan atau mewashiyati. Periwayatan hadits dengan
cara al-washiyyah adalah model periwayatan hadits dengan cara seorang guru
memberikan wasiat pada saat mendekati ajalnya atau pada saat mau mengadakan
perjalanan kepada seorang rawi untuk meriwayatkan haditsnya, atau dengan
memberikan sebuah kitab yang ia miliki.
Biasanya kata-kata yang digunakan dalam meriwayatkan hadits dengan cara
ٍ ي فُالَ ٌن بِ ِكتَا
wasiat adalah ب َّ َصى إل
َ ْأو ‘si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah
kitab’, atau ًيَّةKح َّدثَنِي فُالَ ٌن َوص
َ ‘si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah
wasiat’.
14
segenerasi tersebut saling meriwayatkan hadits, periwayatannya disebut riwayat
mudabbaj. Riwayat al-aqran dan mudabbaj biasa terjadi untuk setiap thabaqhah
rawi, sahabat, tabi’in,dan lain-lain.
15
f) Riwayat Mutafiq Dan Muttariq
Apabila ada penyesuaian riwayat antara rawi yang satu dengan yang lain
mengenai nama asli, nama samaran, keturunan dan sebagainya dalam ucapan
maupun tulisan, tetapi berlainan orangnya yang dimaksud dengan nama tersebut
disebut muttafiq, dan sebagai lawannya disebut muftariq. Misalnya rawi yang
bernama Hammad ada dua, Hammad ibn Zaid dan Hammad ibn Salamah.
g) Riwayat Mu’talif Dan Mukhtalif
Apabila terjadi kesamaan nama rawi, kuniyah dan laqab itu pada bentuk
tulisan sedangkan pada lafazh atau ucapannya tidak disebut mu’talif dan sebagai
lawannya disebut mukhtalif. Misalnya, rawi Sallam (dengan satu huruf yang
dirangkap) tulisannya sama dengan Salam (tidak ada huruf yang dirangkap).
2.5 Bentuk-Bentuk Hadist
2. Hadits Fi’li
Hadits fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dalam
hadits tersebut terdapat berita tentang perbuatan Nabi SAW, yang menjadi anutan
perilaku para sahabat pada saat itu dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam
untuk mengikutinya. Contohnya:
16
َ ت فَِإذَا أ ََر َاد الْ َف ِر
يض ةَ َن َز َل ُ احلَتِ ِه َحْي
ْ ث َت َو َّج َه
ِ ول اللَّ ِه ص لَّى اللَّه علَي ِه وس لَّم يص لِّي علَى ر
َ َ َُ َ َ َ َْ ُ َ ُ َك ا َن َر ُس
اسَت ْقبَ َل الْ ِقْبلَة
ْ َف
Artinya: ”Rasulullah saw pernah shalat di atas tunggangannya, ke mana pun
tunggangannya menghadap. Apabila ia mau melaksanakan shalat fardhu, ia
turun dari tunggangannya, lalu menghadap ke kiblat”.
3. Hadits Taqriri
Hadits taqriri adalah segala ketetapan Nabi terhadap apa yang datang/ di lalukan
oleh para sahabatnya. Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan
yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah
beliau membenarkan atau mempermasalahkannya.
صلِّي
َ ُض ُه ْم اَل ن ُ صُر يِف الطَِّر ِيق َف َق َال َب ْع َ صَر إِاَّل يِف بَيِن ُقَريْظَةَ فَأ َْد َر َك َب ْع
ْ ض ُه ْم الْ َع َ صلِّنَي َّ أ
ْ َح ٌد الْ َع َ ُاَل ي
ِ ِ ِ
ْ صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َفلَ ْم يُ َعن
ِّف َ ِّ ك فَ ُذكَر للنَّيِب َ صلِّي مَلْ يَُر ْد ِمنَّا ذَل َ ُض ُه ْم بَ ْل ن
ِ
ُ َحىَّت نَأْتَي َها َوقَ َال َب ْع
اح ًدا ِمْن ُه ْم
ِو
َ
Artinya: “Janganlah salah seorang (di antara kamu) mengerjakan shalat Ashar,
kecuali (setelah sampai) di perkampungan Bani Quraizhah. Lalu sebagian
mereka mendapati (waktu) ‘Ashar di perjalanan. Sebagian mereka mengatakan,
kita tidak boleh shalat sehingga sampai di perkampungan, dan sebagian lainnya
mengatakan, tetapi kami shalat (dalam perjalanan), tidak ada di antara kami
yang membantah hal itu. Hal itu lalu dilaporkan kepada Nabi saw, ternyata
beliau tidak menyalahkan seorang pun dari mereka”. (Shahih al-Bukhari, III:
499, hadits 894)
4. Hadits Hammi
Hadits Hammi adalah Hadits yang berupa keinginan/hasrat Nabi SAW. yang
belum direalisasikan, seperti: hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura. Contohnya:
17
Rasulullah saw menjawab, ”Tahun yang akan datang, insya Allah kita akan
berpuasa pada hari kesembilan(nya)”. ‘Abd Allah ibn ‘Abbas mengatakan,
“Belum tiba tahun mendatang itu, Rasulullah saw pun wafat”. (Shahih Muslim,
V: 479, hadits 1916).
5. Hadits Ahwali
Hadits ahwali adalah hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW yang
tidak termasuk ke dalam kategori keempat bentuk hadits di atas. Contohnya:
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag, Ilmu Hadis: Pengantar Memahami Hadis Nabi
SAW, Makassar: Dar al-Hikmah wa al-‘Ulum. 2016.
https://anharululum.blogspot.co.id/2011/06/makalah-penerimaan-dan-
penerimaan.html
http://anthyscrub.blogspot.co.id/2013/04/makalah-ulumul-hadis-periwayatan-
hadist.html
http://tafsirhadits2012.blogspot.co.id/2013/04/periwayatan-hadits.html
http://fadilah1995.blogspot.co.id/2015/09/periwayatan-hadis-pada-amsa-sahabat-
dan.html
http://wardahcheche.blogspot.co.id/2013/11/periwayatan-hadis.html
20