Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

“PERIWAYATAN HADITS”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Studi Hadits

 Dosen Pembimbing: Parlindungan S.

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK
SALMAWATI SAFITRI
RIKA ULPAYANI

KELAS: F 19

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


STIT AL-KIFAYAH RIAU
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
hidayah dan taufiknya kepada kita semua, terutama kepada kami yang telah
selesai menyelesaikan penulisan makalah Studi Hadits ini. Karena berkat rahmat
beserta karunia-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini, walaupun masih
banyak kekurangan di dalam makalah kami ini.
Kemudian shalawat beserta salam kita panjatkan kepada Allah SWT,
semoga selalu tercurah kepada pemimpin umat sedunia, yakni Nabi Muhammad
SAW, yang telah membawa petunjuk yang benar dan mengajarkannya kepada
sahabat-sahabatnya, dan pada akhirnya sampailah kepada kita umat akhir zaman
ini, semoga Allah tetapkan hati kita agar selalu berpegang kepada Al-Qur’an dan
Sunnah yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW tersebut sampai hari kiamat,
amiin.
Makalah ini kami buat atas tugas yang di berikan oleh dosen mata kuliah
Studi Hadits, yaitu Bapak Parlindungan S. Alhamdulillah makalah yang berjudul
“Periwayatan Hadis” telah selesai kami kerjakan, walaupun sebenarnya masih
banyak kekurangan dan kecacatannya, mungkin itu karena kelalaian kami maupun
karena ketidaktahuan kami dalam suatu masalah. Dalam pembuatan makalah ini
banyak sekali tantangan yang kami hadapi, diantaranya adalah sulitnya
memahami pembahasan mengenai periwayatan hadis tersebut, namun berkat izin
dari Allah SWT kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Kritik, saran,
masukan, dan sanggahan sangat kami harapkan bagi siapapun yang membaca
makalah ini, agar makalah ini lebih baik dan lebih sempurna lagi untuk
kedepannya.

Pekanbaru, November 2019

i
Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1  Latar belakang...............................................................................................1
1.2  Rumusan Masalah.........................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan..........................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
PEMBAHASAN......................................................................................................3
2.1 Pengertian Periwayatan Hadist.......................................................................3
2.2 Unsur-Unsur Periwayatan Hadis....................................................................4
2.3 Cara-Cara Periwayatan Hadis........................................................................9
2.4 Macam-Macam Periwayatan Hadis..............................................................14
2.5 Bentuk-Bentuk Hadist..................................................................................16
BAB III..................................................................................................................19
PENUTUP..............................................................................................................19
3.1 Kesimpulan...................................................................................................19
3.2 Saran.............................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................20

ii
BAB I

PENDAHULUAN
                                                           
1.1  Latar belakang

Hadits adalah pedoman hidup umat Islam setelah Al-Qur’an. Segala


sesuatu yang tidak disebutkan atau dijelaskan dalam Al-Qur’an baik dari segi
ketentuan hukumnya, cara mengamalkannya, dan petunjuk dalilnya, maka semua
itu dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW. Intinya, hadits adalah penjelas dari
Al-Qur’an. Al-Qur’an dan hadits adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan.
Oleh karena itu, dapat dipahami betapa pentingnya hadits sebagai petunjuk untuk
kehidupan umat Islam.
Dapat diketahui pula bahwa sejarah pencatatan dan penghimpunan hadist
Nabi tidaklah sama dengan sejarah pencatatan dalam penghimpunan Al-Qur’an,
pada zaman Nabi, tidaklah seluruh hadist Nabi dicatat oleh para sahabat nabi, hal
ini dikarenakan karena Nabi sendiri pernah secara umum melarang para sahabat
menulis hadist beliau, hanya orang-orang tertentu saja dari kalangan sahabat yang
diizikan oleh nabi melakukan pencatatan hadist.
Setelah itu tahap selanjutnya yaitu periwayatan hadist, sejarah menyatakan
bahwa pada zaman Abu Bakar dan Khalifah Umar Bin Khattab periwayatan hadist
Nabi berjalan dengan sangat hati-hati, dikarenakan pada saat itu bagi kalangan
sahabat yang ingin menyampaikan riwayat hadist diminta untuk menghadirkan
saksi dan bahkan sampai melakukan sanksi, dengan demikian kegiatan
periwayatan hadist menjadi sangat terbatas pada waktu itu, namun seiring
berjalannya waktu di tengah-tengah roda pemerintahan diresmikanlah
penghimpunan hadist secara resmi, dan karena setelah kejadian ini
bermunculanlah banyak periwayat dikalangan sahabat nabi maupun para sahabat
khalifah sendiri.
Seiring berkembangnya zaman, banyak sekali pihak-pihak yang ingin
memalsukan hadits. Dengan cara membuat hadits-hadits palsu, peristiwa  awal
mula banyaknya terjadi pemalsuan hadist yaitu pada masa kepemimpinan
Khalifah Ali Bin Abi Thalib. Menimbang betapa pentingnya hadits untuk

1
kehidupan umat islam dan banyaknya hadits palsu yang sudah beredar, maka
sebagai umat Islam harus mengetahui keaslian hadits. Untuk mendeteksi keaslian
hadits dengan cara mengetahui transformasi hadits. Transformasi hadits yang
dimaksud yakni Periwayatan Hadits atau jalannya hadits dari perawi sampai
pada Rasulullah. Ini adalah cara untuk mengetahui keaslian hadits dan kedudukan
hadits.

1.2  Rumusan Masalah         

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya, antara lain:


1.      Apa pengertian dari periwayatan hadist?
2.      Apa-apa saja ketentuan-ketentuan dalam periwayatan hadist secara makna?
3.      Bagaimakah proses atau cara-cara serta macam periwayatan hadist tersebut?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini ini adalah
1.   Mengetahui pengertian dari periwayatan hadist.
2.   Mengetahui ketentuan-ketentuan dalam periwayatan hadist secara makna
3.   Mengetahui proses atau cara-cara serta macam periwayatan hadist.

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah
1.   Untuk mengetahui pengertian dari periwayatan hadist.
2.   Untuk mengetahui bagaimana ketentuan-ketentuan dalam periwayatan hadist
secara makna.
3.   Untuk mengetahui bagaimana proses atau cara-cara serta macam periwayatan
hadist.

                                                                                              

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Periwayatan Hadist

Hadist Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadist, misalnya shahih al-


Bukhori dan shahih Muslim, terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang
dinamai dengan riwayat al-hadist atau al-riwayat, yang dalam bahasa indonesia
dapat diterjemahkan dengan periwayatan hadist atau periwayatan. Sesuatu yang
diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.
Menurut istilah ilmu hadis, yang dimaksud dengan al-riwayat atau
periwayatan hadis ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta
penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk
tertentu. Seseorang tidak berhak meriwayatkan hadis tersebut apabila
menghilangkan kata-kata atau menambahkan kata-katanya sendiri, sehingga
tereproduksilah hadist-hadist yang hanya sesuai dengan pemahamannya sendiri
mengenai hadis-hadis tersebut.
Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak
menyampaikan hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai
orang yang telah melakukan periwayatan hadis. “Sekiranya orang tersebut
menyampaikan hadis yang telah diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika
menyampaikan hadis itu dia tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya, maka
orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah  melakukan
periwayatan hadis”.
Dan adapula pendapat lain tentang pengertian periwayatan hadist namun
mempunyai makna yang sama, yaitu adapun yang dimaksud periwayatan hadits
adalah proses penerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh seorang rawi dari
gurunya dan setelah dipahami, dihafalkan, dihayati, diamalkan (dhabth), ditulis
di-tadwin (tahrir), dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid (ada’)
dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.

3
2.2 Unsur-Unsur Periwayatan Hadis

Beberapa istilah yang digunakan oleh ulama dalam periwayatan hadis:


1)        Rawi
Rawi, yaitu orang yang meriwayatkan hadis. Antara rawi dan sanad orang –
orangnya sama, yaitu – itu saja. Misalnya pada contoh sanad, yaitu sanad terakhir
Abu Hurairah adalah perawi hadis yang pertama, begitu seterusnya hingga kepada
Imam Bukhari. Sedangkan Imam Bukhari sendiri adalah perawi hadis yang
terakhir. Untuk menyeleksi hadis yang sekian banyaknya dan pada waktu Nabi
Muhammad saw masih hidup tidak banyak sahabat yang menulis hadis, dan
penyampaian hadis Nabi SAW masih terbatas dari mulut ke mulut berdasarkan
hafalan dan ingatan saja sampai pada masa khalifah Umar bin Abdul Azis tahun
99 – 101 H.
Kata perawi atau al-rawi dalam bahasa Arab berasal dari kata riwayat yang
berarti memindahkan atau menukilkan, yakni memindahkan suatu berita dari
seseorang kepada orang lain. Dalam istilah hadis, al-rawi adalah orang yang
meriwayatkan hadis dari seorang guru kepada orang lain yang tercantum dalam
buku hadis. Jadi, nama-nama yang terdapat dalam sanad disebut rawi, seperti:

‫حدثنا احلميدي عبد اهلل بن الزبري قال حدثنا سفيان قال حدثنا حيىي بن سعيد‬
‫األنصارى قال أخربين حممد بن إبراهيم التيمي أنه مسع علقمة بن وقاص الليثي يقول‬
‫…مسعت عمر بن اخلطاب رضي اهلل عنه على املنرب‬
Sebenarnya antara rawi dan sanad merupakan dua istilah yang tidak dapat
dipisahkan karena sanad hadis pada setiap generasi terdiri dari beberapa perawi.
Singkatnya, sanad  itu lebih menekankan pada mata rantai/silsilah, sedangkan
rawi adalah orang yang terdapat dalam silsilah tersebut.
Maka untuk menjaga keaslihan hadis diperlukan Perawi – Perawi hadis yang
memenuhi syarat sebagai berikut:
1.    Beragama Islam, laki-laki atau perempuan, orang merdeka atau hamba (pelayan).
2.    Aqil baligh, artinya: berakal sehat dan cukup umur, maka setiap orang yang
mukallaf atau sudah dewasa, dianggap cakap berbuat atau melakukan perbuatan
hukum, atau bertanggung jawab.

4
3.    Bersifat adil, artinya: memiliki sifat-sifat yang baik, jujur, mengutamakan
kebenaran dan tidak terlibat pada sifat-sifat tercela.
4.      Perawi itu harus seorang yang dhabith, Dhabith ini mempunyai dua pengertian
yakni:
a.    Dhabith dalam arti bahwa perawi hadis harus kuat hafalan serta daya ingatnya dan
bukan orang yang pelupa.
b.    Dabit dalam arti bahwa perawi hadis itu dapat menjaga atau memelihara kitab
hadis yang diterima dari gurunya sebaik-baiknya, sehingga tidak mungkin ada
orang mengadakan perubahan didalamnya.

Adapun para sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis yaitu :


-          Abu Hurairah, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 5374 buah hadis.
-          Abdullah bin Umar, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 2630 buah hadis.
-          Anas bin Malik, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 2286 buah hadis.
-          Aisyah Ummul Mukminin, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 2210 buah
hadis.
-          Abdullah bin Abbas, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 1660 buah hadis.
-          Jabir bin Abdullah, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 1540 buah hadis.
-          Abu Sa’id Al Khudri, beliau meriwayatkan hadis sebanyak 1170 buah hadis.

Selain tujuh sahabat tersebut masih banyak yang meriwayatkan hadis tetapi
tidak ada yang meriwayatkan hadis lebih dari seribu hadis. Para sahabat Nabi saw
ini menjadi perawi hadis pertama dan sanad terakhir dan mereka inilah yang pada
umumnya disebut sanad dalam hadis. Kemudian yang disebut perawi hadis
terakhir adalah mereka yang membukukan hadis dalam kitab-kitabnya seperti,
Muwatha’nya Imam Malik, Al Kutub Al Sittah, setelah itu sangat sulit untuk
menemukan orang yang dapat dikatagorikan sebagai perawi hadis, atau mungkin
tidak ada perawi yang muktabar.

  Perbedaan Mukharrij Dan Rawi

Al-Mukharrij berasal dari kata Kharraja yang artinya mengeluarkan. Dalam


terminologi ilmu hadis al-Mukharrij didefinisikan sebagai orang yang
meriwayatkan hadis dengan menyebutkan urutan rangkaian sanad dalam kitab

5
hadis yang dia bukukan. Seperti Imam Malik dalam kitab al-Muwattho, Imam
Bukhariy, Imam Muslim dalam kedua kitab Shohihnya dan lain-lainya. Sehingga
sering kita baca dalam kitab-kitab hadis; Akhrajahul Bukhariy Fis Shahih,
Akhrajahu Muslim Fis Shahih, Akhrojahu Malik Fil Muwattha, Akhrajahu
Ahmad Fi Musnadihi, dan sebagainya. Atau boleh juga kita sebut: Rowahul
Bukhariy, Rowahu Muslim, Rowahu Malik, Rowahu Ahmad. Lantaran setiap
Mukharrij (pentakhrij hadis) adalah orang yang meriwayatkan. Tetapi tidak semua
Rowi (periwayat hadis) disebut Mukharrij.
Disebutkan dalam satu kaidah bahwa “Setiap mukharrij itu dipastikan sebagai
periwayat hadis, tetapi tidak semua periwayat hadis itu seorang mukharrij”.
Kesimpulannya, mukharrij adalah periwayat hadis yang menginventarisir riwayat-
riwayatnya dalam satu kitab, sedangkan perawi hadis sekedar meriwayatkan saja
tanpa membukukan riwayatnya."

2)        Sanad
Sanad yaitu sandaran atau jalan yang menyampaikan kepada matan hadith.
Sanad inilah orang yang mengkabarkan hadis dari Rasulullah saw kepada orang
yang berikutnya sampai kepada orang yang menulis atau mengeluarkan hadis .
Secara bahasa, sanad berasal dari kata ‫ند‬KKKK‫س‬ yang berarti ‫يئ الى‬KKKK‫مام الش‬KKKK‫انض‬
‫الشيئ‬ (penggabungan sesuatu ke sesuatu yang lain), karena di dalamnya tersusun
banyak nama yang tergabung dalam satu rentetan jalan. Bisa juga
berarti ‫المعتمد‬ (pegangan). Dinamakan demikian karena hadis merupakan sesuatu
yang menjadi sandaran dan pegangan.
Sementara termenologi, sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan
matan hadis sampai kepada Nabi Muhammad saw sebagaimana juga telah
dijelaskan diatas . Dengan kata lain, sanad adalah rentetan perawi-perawi
(beberapa orang) yang sampai kepada matan hadis.
 Contohnya pada kitab Shohih Bukhari sebagai berikut :

‫حدثناابن سالم قال اخربناحممدبن فضيل قال حدثنا حيي بن سعيد عن اىب سلمة‬
‫ من صام رمضان اميانا واحتساباغفر له ما‬: ‫ قال رسول اهلل ص م‬: ‫عن اىب هريرة قال‬
‫تقدم من ذنبه‬

6
Dari hadis diatas sanadnya adalah orang – orang yang menyampaikan matan
hadis sampai pada Imam Bukhori, sehingga orang yang menyampaikan kepada
imam bukhari adalah sanad pertama dan sanad terakhir adalah Abu Hurairah.
Sedangkan Imam Bukhari adalah orang yang mengeluarkan hadis atau yang
menulis hadis dalam kitabnya.
Para ahli hadis memberi penilaian terhadap shohih atau tidaknya dapat
berdasarkan pada sanad tersebut. Jika terdapat salah satu sanad yang kurang
memenuhi syarat maka dapat mengurangi atau bahkan dapat meragukan
kesohihan hadis.

Berikut adalah contoh sanad lainnya :

‫حدثنا احلميدي عبد اهلل بن الزبري قال حدثنا سفيان قال حدثنا حيىي بن سعيد األنصاري قال‬
‫أخربين حممد بن إبراهيم التيمي أنه مسع علقمة بن وقاص الليثي يقول مسعت عمر بن اخلطاب‬
‫رضي اهلل عنه على املنرب قال مسعت رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم يقول‬
“Al-Humaidi ibn al-Zubair telah menceritakan kepada kami seraya berkata
Sufyan telah mmenceritakan kepada kami seraya berkata Yahya ibn Sa’id al-
Ansari telah menceritakan kepada kami seraya berkata Muhammad ibn Ibrahim
al-Taimi telah memberitakan kepada saya bahwa dia mendengar ‘Alqamah ibn
Waqqas al-Laisi berkata “saya mendengar Umar ibn al-Khattab ra berkata di atas
mimbar “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda…

3)        Matan
Yakni sabda Nabi atau isi dari hadith tersebut. Matan ini adalah inti dari apa
yang dimaksud oleh hadis, misalnya:

)‫املؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا (رواه الشيخان عن اىب موسى‬
Matan, berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari huruf ‫ ن‬-‫ ت‬-‫م‬Matan memiliki
makna “punggung jalan” atau bagian tanah yang keras dan menonjol ke
atas. Apabila dirangkai menjadi kalimat matn al-hads maka defenisinya adalah:

‫ألفاظ احلديث الىت تتقوم هبا املعاىن‬


“Kata-kata hadis yang dengannya terbentuk makna-makna”.

7
Dapat juga diartikan sebagai ‫ند من الكل‬KK‫ه الس‬KK‫ا ينتهى إلي‬KK‫م‬ (Apa yang berhenti dari
sanad berupa perkataan). Adapun matan hadis itu terdiri dari dua elemen yaitu
teks atau lafal dan makna (konsep), sehingga unsur-unsur yang harus dipenuhi
oleh suatu matan hadis yang sahih yaitu terhindar dari sya>z| dan ’illat.
Contohnya:
‫إمنا األعمال بالنيات وإمنا لكل امرىء ما نوى فمن كانت هجرته إىل دنيا يصيبها أو إىل‬
‫…امرأة ينكحها فهجرته إىل ما هاجر‬
“Amal-amal perbuatan itu hanya tergantung niatnya dan setipa orang akan
mendapatkan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrah karena untuk
mendapatkan dunia atau karena perempuan yang akan dinikahinya maka hijrahnya
(akan mendapatkan) sesuai dengan tujuan hijrahnya…
Dalamnya tersusun banyak nama yang tergabung dalam satu rentetan jalan.
Bisa juga berarti ‫المعتمد‬ (pegangan). Dinamakan demikian karena hadis merupakan
sesuatu yang menjadi sandaran dan pegangan.
Sementara terminologi, sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan matan
hadis sampai kepada Nabi Muhammad saw sebagaimana juga telah dijelaskan
diatas . Dengan kata lain, sanad adalah rentetan perawi-perawi (beberapa orang)
yang sampai kepada matan hadis.
      
       Contohnya pada kitab Shohih Bukhari sebagai berikut:

‫حدثناابن سالم قال اخربناحممدبن فضيل قال حدثنا حيي بن سعيد عن اىب سلمة عن اىب‬
‫ من صام رمضان اميانا واحتساباغفر له ما تقدم من ذنبه‬: ‫ قال رسول اهلل ص م‬: ‫هريرة قال‬
Dari hadis diatas sanadnya adalah orang – orang yang menyampaikan matan
hadis sampai pada Imam Bukhori, sehingga orang yang menyampaikan kepada
imam bukhari adalah sanad pertama dan sanad terakhir adalah Abu Hurairah.
Sedangkan Imam Bukhari adalah orang yang mengeluarkan hadis atau yang
menulis hadis dalam kitabnya.
Para ahli hadis memberi penilaian terhadap shohih atau tidaknya dapat
berdasarkan pada sanad tersebut. Jika terdapat salah satu sanad yang kurang
memenuhi syarat maka dapat mengurangi atau bahkan dapat meragukan
kesohihan hadis.

8
Berikut adalah contoh sanad lainnya :
‫حدثنا احلميدي عبد اهلل بن الزبري قال حدثنا سفيان قال حدثنا حيىي بن سعيد األنصاري قال‬
‫أخربين حممد بن إبراهيم التيمي أنه مسع علقمة بن وقاص الليثي يقول مسعت عمر بن اخلطاب‬
‫رضي اهلل عنه على املنرب قال مسعت رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم يقول‬
“Al-Humaidi ibn al-Zubair telah menceritakan kepada kami seraya berkata
Sufyan telah mmenceritakan kepada kami seraya berkata Yahya ibn Sa’id al-
Ansari telah menceritakan kepada kami seraya berkata Muhammad ibn Ibrahim
al-Taimi telah memberitakan kepada saya bahwa dia mendengar ‘Alqamah ibn
Waqqas al-Laisi berkata “Saya mendengar Umar ibn al-Khattab r.a. berkata di
atas mimbar, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda…”

4)        Shigad Isnad
Dalam ilmu hadis, Shigat Isnad diartikan dengan lafal-lafal yang digunakan
oleh para periwayat hadis pada saat menyampaikan atau menerima hadis. Shigat
isnad terdiri atas delapan tingkatan atau martabat yang berimplikasi bahwa
martabat pertama lebih tinggi dari martabat kedua, ketiga, dan seterusnya sampai
pada martabat ke delapan. Sigat isnad tersebut dapat dijadikan ketersambungan
sanad hadis dan dapat memudahkan untuk menentukan kualitas hadis.

2.3 Cara-Cara Periwayatan Hadis

Ada delapan macam kaifiyah tahammul wa al-ada’ atau sistem dan cara
penerimaan dan penyampaian hadis, yaitu sebagai berikut:
َّ ‫)ال‬
1)        As-Sama’ (ُ‫س َماع‬
Maksud periwayatan hadits dengan cara as-sama’ adalah seorang rawi
menerima langsung periwayatan gurunya dengan cara mendengarkan bacaan dari
hafalan atau tulisan sang guru. Dalam periwayatan bentuk as-sama’, biasanya
seorang guru membacakan haditsnya, sedangkan murid mendengarkan dengan
seksama untuk kemudian menulis apa yang telah ia dengar, atau hanya mendengar
saja untuk kemudian menghafalnya.
Di dalam periwayatan yang berbentuk as-sama’, disyaratkan antara guru dan
murid terjadi pertemuan. Namun, pertemuan tersebut tidak harus bertemu muka.
Menurut pandangan jumhur ulama’, periwayatan hadits dengan adanya tabir

9
(penghalang) yang memisahkan antara sang guru dan murid sudah dianggap sah
dan tergolong periwayatn bentuk as-sama’. Syaratnya, yang di dengar sang murid
benar-benar suara gurunya.
Periwayatan hadits dari belakang tabir pernah dicontohkan oleh Aisyah.
Ketika meriwayatkan hadits, Aisyah berada di belakang tabir,kemudian para
sahabat berpedoman pada suara tersebut dalam meriwayatkan hadits-hadits
Aisyah.
Menurut jumhur ulama’, as-sama’ merupakan periwayatan yang paling tinggi
dalam periwayatan hadits. Jika melihat pada masa Nabi, cara as-sama’ adalah cara
yang sering dilakukan. Para sahabat mendengarkan dengan seksama apa yang
dikatakan Nabi SAW, kemudian para sahabat saling mencocokkan hadits yang
telah didapat dari Nabi SAW tersebut.
Kata atau lafal yang digunakan dalam penyampaian hadits dengan cara as-
sama’ diantaranya adalah :
َ  ‘aku telah mendengar’ dan ‫ َّدثَنِي‬K‫ َح‬ ‘telah menceritakan kepadaku’.
ُ ‫ ِمع‬K ‫‘س‬
 ‫ْت‬

Namun, jika yang meriwayatkan itu banyak, maka lafalnya adalah ‫س ِم ْعنَا‬
َ  ‘kami
telah mendengar’ dan ‫ح َّدثَنَا‬
َ  ‘telah menceritakan kepada kami. Kata-kata tersebut
menunjukkan bahwa rawi mendengarkan hadits dari sang guru secara bersama-
sama.    

2)        Al-Qira’ah (ُ‫)القِ َرا َءة‬


Al-Qira’ah adalah periwayatan hadits dengan cara seorang murid
membacakan hadits kepada sang guru. Periwayatan tersebut biasanya disebut
dengan istilah Al-Aradl. Disebut Al-‘Aradl, karena seorang rawi menyuguhkan
bacaan haditsnya kepada sang guru, dan guru mendengarkan bacaan tersebut. Bisa
jadi bacaan tersebut berasal dari hafalan atau buku perawi, dan sang guru
mengikuti bacaan tersebut dengan hafalannya, memegang kitabnya sendiri, atau
memegang kitab orang lain yang tsiqqah. Para ulama’ berbeda pendapat mengenai
periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah. Ada sebagian ulama’ yang menilai
periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah setingkat dengan periwayatan hadits
dengan cara as-sama’. Tetapi, pendapat yang lebih kuat mengatakan bahwa

10
periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah tingkatannya lebih rendah
dibandingkan dengan periwayatan hadits dengan cara as-sama’.
Ketika menyampaikan periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah, perawi
ُ ‫قَ َر ْأ‬ ‘aku telah membaca kepada si fulan’
biasanya menggunakan kalimat: ‫ت فُالَنًا‬

atau ‫ ِه‬KKْ‫علَي‬ ُ ‫ر ْأ‬KK


َ ‫ت‬ َ َ‫ق‬ ‘aku telah membaca dihadapannya’ atau ‫ا‬KKَ‫ئ َعلَى فُالَ ٍن َواَن‬ ِ ُ‫ق‬
Kَ ‫ر‬KK
‫ َم ُع‬KK‫أَ ْس‬ ‘dibacakan oleh seseorang dihadapannya dan aku mendengarkannya’.
Namun, yang umum dipakai menurut ahl hadits adalah lafal ‫أَ ْخبَ َرنَا‬ ‘telah
mengabarkan kepada kami’.

3)        Al-ijazah(ُ‫جا َزة‬
َ ‫)اإل‬
ِ
Maksud periwayatan hadits dengan cara al-ijazah adalah izin meriwayatkan
sesuatu tertentu kepada orang tertentu. Biasanya izin ini di berikan oleh seorang
guru kepada muridnya untuk meriwayatkan suatu hadits dalam bentuk ucapan
atau tulisan. Lafal ijazah yang digunakan oleh sang guru kepada muridnya adalah
”aku izinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian.”
Adapun macam-macam ijazah,yaitu:
a.    Ijazah fi mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin
untuk meriwayatkan suatu hadits tertentu kepada orang tertentu. Misalnya,
seorang guru berkata, ”Aku ijazah-kan kepadamu Shahih Muslim.” Menurut
pandangan ulama’, derajat ijazah ini memiliki tingkatan paling tinggi
dibandingkan dengan ijazah lainnya.
b.    Ijazah fi gairi mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin
seorang guru kepada seseorang dengan tanpa menentukan apa yang di-ijazah-
kannya. Misalnya, guru meng-ijazah-kan dengan lafal “Aku ijazah-kan kepadamu
untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
c.    Ijazah gairi mu’ayyanin bi gairi mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian
izin seorang guru kepada siapa saja (tanpa ditentukan orangnya), dan tidak
ditentukan pula apa yang di-ijazah-kannya. Misalnya, meng-ijazah-kan dengan
lafal “Aku ijazah-kan semua riwayatku kepada semua orang pada zamanku.”
d.   Syaih meng-ijazah-kan sesuatu yang ia terima dengan jalan ijazah kepada orang
yang tertentu. Misalnya, ”Aku ijazahkan kepadamu apa-apa yang di-ijazahkan
kepadaku”.

11
Kata-kata yang dipakai dalam menyampaikan riwayat lewat jalur ijazah
adalah:
َ َ‫أ‬ ‘ia telah memberikan ijazah kepada si fulan’, ً‫ َح َّدثَنَاإِ َجازَ ة‬ ‘ia telah
 ‫جا َزلِفُالَ ٍن‬

memberikan hadits dengan ijazah kepada kami’, ً‫جا َزة‬ ْ  ‘telah mengabarkan


َ ‫أخبَ َرنَاإ‬
َ ‫أ ْنبَأنَاإ‬ ‘ia telah memberikan kepada
kepada kami dengan cara ijazah’, atau ً‫جا َزة‬
kami dengan ijazah’

4)        Al-Munawalah (ُ‫َاولَة‬
َ ‫)ال ُمن‬
Munawalah artinya memberikan, menyerahkan. Yakni: ”Guru memberikan
kitabnya kepada murid”, atau “Ia menyuruh murid menyalin kitab itu”, atau “Ia
pinjamkan kitabnya itu”, atau “Seorang rawi menyerahkan satu kitab kepada
gurunya; sesudah guru memperhatikannya benar benar, lalu ia kembalikannya
kepada rawi tadi”.
Al-Munawalah ada dua macam, yaitu:
a.    Al-munawalah yang disertai dengan ijazah. Misalnya, seorang guru memberikan
kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadanya, “Riwayatkanlah kitab
ini dari saya,” Kemudian kitab tersebut dibiarkan untuk dimilikinya atau
dipinjamkan agar disalin.
b.   Al-munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah. Misalnya, seorang guru
memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan, “Ini adalah
riwayatku,” tanpa diikuti dengan perintah meriwayatkannya.

Menurut Ibnu Salah dan An-Nawawi, periwayatan dengan cara ini dianggap
tidak sah. Para ahli hadits mencela orang-orang yang membolehkan riwayat
dengan al-munawalah tanpa dibarengi ijazah.

Dalam redaksi hadits yang diterima dengan jalan al-munawalah terdapat kata-
kata َ ‫ي َوأ‬Kْ ِ‫ا َولَن‬KKKKKKKKKKKKKKKKKKKKَ‫ن‬ ‘ ia
seperti: K‫ازَ نِي‬KKKKKKKKKKKKKKKKKKKK‫ج‬ telah

َ ‫ةً َوإ‬KKKKKKKKَ‫َاول‬
memberikan munawalah dan ijazah kepadaku’, ً‫جازَ ة‬ َ ‫ َح َّدثَنَا ُمن‬ ‘ia telah

menceritakan kepada kami dengan munawalah dan ijazah’, atau ً‫ة‬Kَ‫أخبَ َرنَا ُمنَا َول‬


ْ  ‘ia
telah mengabarkan kepada kami dengan munawalah’.

12
5)        Al-Mukatabah (ُ‫)أل ُم َكاتَبَة‬
Periwayatan hadits dengan cara al-mukatabah adalah model periwayatan
hadits dengan cara seorang guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain
menuliskan riwayatnya untuk diberikan kepada orang yang ada dihadapannya
ataupun yang tidak hadir.
Al-mukatabah ada dua macam:
a. Mukatabah al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang disertai
dengan ijazah. Misalnya, perkataan guru dengan lafal “Aku ijazahkan kepadamu
apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya.
Riwayat dengan cara ini adalah sahih, karena kedudukannya sama kuat dengan
munawalah yang disertai ijazah.
b. Mukatabah ghairu al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang tidak
disertai dengan ijazah. Misalnya, seorang guru menulis sebagian hadits untuk
muridnya dan tulisan itu dikirimkan kepadanya, tetapi sang murid tidak
diperbolehkan untuk meriwayatkannya.

َ ‫َكت‬
Kata-kata yang sering digunakan dalam riwayat dengan mukatabah misalnya, ‫َب‬

‫ي فُالَ ٌن‬
َّ َ‫إل‬ ‘seseorang telah menulis untukku’.

6)        Al-I’lam (‫عالَ ُم‬
ْ ‫)اإل‬
ِ
Periwayatan hadits dengan cara al-i’lam adalah pemberitahuan sang guru
kepada seorang muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu adalah
riwayatnya sendiri dari si fulan (guru seseorang), namun tidak disertakan izin
untuk meriwayatkannya.
Para ulama’ berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan hadits dengan
cara ini. Sebagian ulama’ membolehkan dan sebagian yang lain melarangnya.
Sebagian ulama’ yang melarang beralasan bahwa kemungkinan sang guru
mengetahui dalam hadits tersebut ada kecacatan, karenanya sang guru tidak
member izin untuk meriwayatkannya.
Kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan riwayat dengan cara ini

ِ ‫أ ْعلَ َمنِي َش ْي‬ ‘guruku telah member tahu kepadaku’.


misalnya ‫خي‬

13
7)        Al-Washiyyah (ُ‫صيَّة‬
ِ ‫)الو‬
َ
Washiyyah artinya memesan atau mewashiyati. Periwayatan hadits dengan
cara al-washiyyah adalah model periwayatan hadits dengan cara seorang guru
memberikan wasiat pada saat mendekati ajalnya atau pada saat mau mengadakan
perjalanan kepada seorang rawi untuk meriwayatkan haditsnya, atau dengan
memberikan sebuah kitab yang ia miliki.
Biasanya kata-kata yang digunakan dalam meriwayatkan hadits dengan cara

ٍ ‫ي فُالَ ٌن بِ ِكتَا‬
wasiat adalah ‫ب‬ َّ َ‫صى إل‬
َ ْ‫أو‬ ‘si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah
kitab’, atau ً‫يَّة‬K‫ح َّدثَنِي فُالَ ٌن َوص‬
َ  ‘si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah
wasiat’.

8)        Al-Wijadah (ُ‫)الو َجا َدة‬


ِ
Wijadah artinya mendapat. Periwayatan hadits dengan cara al-wijadah yaitu:
seorang rawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan orang yang
meriwayatkannya, sedang hadits-hadits ini tidak pernah si rawi mendengar atau
menerima dari yang menulisnya.
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hadits yang diriwayatkan lewat
jalur wijadah. Kalangan ulama’ Malikiyyah tidak memperbolehkan hadits
diriwayatkan dengan cara wijadah, sedangkan Imam Syafi’i memperbolehkannya.
Dalam menyampaikan hadits dengan cara wijadah, biasanya rawi
menggunakan kalimat ‘Aku mendapatkan buku ini dari tulisan si fulan’, atau ‘Aku
telah membaca tulisan si fulan’.
Ada yang berpandangan bahwa hadits yang diriwayatkan dengan cara
wijadah tergolong hadits munqati’, karena rawi tidak menerima sendiri dari orang
yang menulisnya.

2.4 Macam-Macam Periwayatan Hadis

Macam-Macam Periwayatan hadits adalah sebagai berikut :


a)      Riwayat Al-Aqran dan Mudabbaj
Apabila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits dari kawan-kawannya
yang sebaya umurnya atau yang sama-sama belajar dari seorang guru, maka
periwayatannya disebut riwayat al-aqran.sedangkan jika masing-masing rawi yang

14
segenerasi tersebut saling meriwayatkan hadits, periwayatannya disebut riwayat
mudabbaj. Riwayat al-aqran dan mudabbaj biasa terjadi untuk setiap thabaqhah
rawi, sahabat, tabi’in,dan lain-lain.

b)      Riwayat Al-Akabir an’ Al-Ashaghir


Maksudnya adalah periwayatan hadis oleh seorang yang lebih tua atau
yang lebih banyak ilmunya kepada orang yang lebih muda atau lebih sedikit
ilmunya. Seperti contoh, riwayat shahabat dari tabi’in (Ibn ‘Abbas dari Ka’ab al-
Akhbar), tabi’in dari tabi’at tabi’in (Az-Zuhri dari Malik), ayah dari anak (Ibn
Abbas dari Fadhal, dll.
c)      RiwayatAn’ At-Tabi’in ‘An Ash-Shahabat
Maksudnya periwayatan seorang sahabat yang menerima hadist dari
seorang tabi’in yang telah menerima hadis dari sahabat lain. Seperti contoh
,riwayat Sahal ibn Sa’ad (sahabat) yang menerima hadist dari Marwan ibn Hakam
(tabi’in) yang menerima hadist dari Zaid ibn Tsabit (Sahabat).
d)     Riwayat As-Sabiq Dan Riwayatal-Lahiq
Apabila dua orang rawi pernah bersama-sama menerima hadits dari
seorang guru, kemudian salah seorang darinya meninggal dunia, namun sebelum
meninggal dunia ia pernah meriwayatkan hadits tersebut. Maka riwayat rawi yang
meninggal tersebut disebut riwayat as-sabiq, sedangkan riwayat yang disampaikan
oleh rawi yang meninggal lebih akhir tersebut disebut riwayat al-lahiq.
e)      Riwayat Musalsal
Dalam bahasa arab kata musalsal artinya tali-temali. Maksudnya terdapat
satu sifat, keadaan atau perkataan yang selalu sesuai, bias terjadi pada rawi dan
pada periwayatannya. Musalsal fi al-riwayah dapat mengenai:
1)      Shighat meriwayatkan hadits, yakni bila masing-masing rawi yang meriwayatkan
hadits tersebut selalu menyesuaikan dengan shighat sami’tu, haddatsaniy, dan
lain-lain, rawi yang kemudian pun melakukan hal yang demikian.
2)      Masa meriwayatkan, misalnya meriwayatkan suatu hadits selalu pada masa
tertentu. 
3)      Tempat meriwayatkan, yakni hadits selalu diriwayatkan atau dibacakan di
tempat-tempat tertentu.

15
f)       Riwayat Mutafiq Dan Muttariq
Apabila ada penyesuaian riwayat antara rawi yang satu dengan yang lain
mengenai nama asli, nama samaran, keturunan dan sebagainya dalam ucapan
maupun tulisan, tetapi berlainan orangnya yang dimaksud dengan nama tersebut
disebut muttafiq, dan sebagai lawannya disebut muftariq. Misalnya rawi yang
bernama Hammad ada dua, Hammad ibn Zaid dan Hammad ibn Salamah.
g)      Riwayat Mu’talif Dan Mukhtalif
Apabila terjadi kesamaan nama rawi, kuniyah dan laqab itu pada bentuk
tulisan sedangkan pada lafazh atau ucapannya tidak disebut mu’talif dan sebagai
lawannya disebut mukhtalif. Misalnya, rawi Sallam (dengan satu huruf yang
dirangkap) tulisannya sama dengan Salam (tidak ada huruf yang dirangkap).

2.5 Bentuk-Bentuk Hadist

Bentuk-bentuk hadits terbagi


atas qauli (perkataan), fi’li (perbuatan), taqrir (ketetapan), hammi (keinginan), ah
wali (hal ihwal) dan lainnya.
1.    Hadits qauli
Hadits qauli adalah segala bentuk perkataan, atau ucapan yang disandarkan
kepada Nabi SAW, yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk, peristiwa, syara’,
dan kisah, baik yang berkaitan dengan aspek aqidah, syari’at maupun akhlak.
Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah ibn al-Shamith bahwasanya
Rasulullah saw bersabda:
ِ َ‫اَل صاَل َة لِمن مَل ي ْقرأْ بَِفاحِت َ ِة الْ ِكت‬
‫اب‬ ََْ َْ َ
Artinya: ”Tidak (sah/sempurna) shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-
Fatihah”. (Shahih al-Bukhari, III: 204, hadits 714).

2.    Hadits Fi’li
Hadits fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dalam
hadits tersebut terdapat berita tentang perbuatan Nabi SAW, yang menjadi anutan
perilaku para sahabat pada saat itu dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam
untuk mengikutinya. Contohnya:

16
َ ‫ت فَِإذَا أ ََر َاد الْ َف ِر‬
‫يض ةَ َن َز َل‬ ُ ‫احلَتِ ِه َحْي‬
ْ ‫ث َت َو َّج َه‬
ِ ‫ول اللَّ ِه ص لَّى اللَّه علَي ِه وس لَّم يص لِّي علَى ر‬
َ َ َُ َ َ َ َْ ُ َ ُ ‫َك ا َن َر ُس‬
‫اسَت ْقبَ َل الْ ِقْبلَة‬
ْ َ‫ف‬
Artinya: ”Rasulullah saw pernah shalat di atas tunggangannya, ke mana pun
tunggangannya menghadap. Apabila ia mau melaksanakan shalat fardhu, ia
turun dari tunggangannya, lalu menghadap ke kiblat”.

3.    Hadits Taqriri
Hadits taqriri adalah segala ketetapan Nabi terhadap apa yang datang/ di lalukan
oleh para sahabatnya. Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan
yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah
beliau membenarkan atau mempermasalahkannya.

‫صلِّي‬
َ ُ‫ض ُه ْم اَل ن‬ ُ ‫صُر يِف الطَِّر ِيق َف َق َال َب ْع‬ َ ‫صَر إِاَّل يِف بَيِن ُقَريْظَةَ فَأ َْد َر َك َب ْع‬
ْ ‫ض ُه ْم الْ َع‬ َ ‫صلِّنَي َّ أ‬
ْ ‫َح ٌد الْ َع‬ َ ُ‫اَل ي‬
ِ ِ ِ
ْ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َفلَ ْم يُ َعن‬
‫ِّف‬ َ ِّ ‫ك فَ ُذكَر للنَّيِب‬ َ ‫صلِّي مَلْ يَُر ْد ِمنَّا ذَل‬ َ ُ‫ض ُه ْم بَ ْل ن‬
ِ
ُ ‫َحىَّت نَأْتَي َها َوقَ َال َب ْع‬
‫اح ًدا ِمْن ُه ْم‬
ِ‫و‬
َ
Artinya: “Janganlah salah seorang (di antara kamu) mengerjakan shalat Ashar,
kecuali (setelah sampai) di perkampungan Bani Quraizhah. Lalu sebagian
mereka mendapati (waktu) ‘Ashar di perjalanan. Sebagian mereka mengatakan,
kita tidak  boleh shalat sehingga sampai di perkampungan, dan sebagian lainnya
mengatakan, tetapi kami shalat (dalam perjalanan), tidak ada di antara kami
yang membantah hal itu. Hal itu lalu dilaporkan kepada Nabi saw, ternyata
beliau tidak menyalahkan seorang pun dari mereka”. (Shahih al-Bukhari, III:
499, hadits 894)

4.    Hadits Hammi
Hadits Hammi  adalah Hadits yang berupa keinginan/hasrat Nabi SAW. yang
belum direalisasikan, seperti: hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura. Contohnya:

‫ول اللَّ ِه إِنَّهُ َي ْو ٌم‬


َ ‫صيَ ِام ِه قَالُوا يَا َر ُس‬
ِ ِ‫اشوراء وأَمر ب‬ َّ ِ َّ َّ َ ‫ول اللَّ ِه‬
َ َ َ َ َ ُ ‫صلى اللهُ َعلَْيه َو َسل َم َي ْو َم َع‬ ُ ‫ص َام َر ُس‬
َ ‫ني‬
َ‫ح‬
ِ
ِ ِ ِ ِ ِ ُ ‫ُتعظِّم ه الْيه ود والنَّص ارى َف َق َال رس‬
َ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم فَ إ َذا َك ا َن الْ َع ُام الْ ُم ْقب ُل إ ْن َش اء‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ َ َ َ ُ َُ ُ ُ َ
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ُ ‫ت الْعام الْم ْقبِل حىَّت ُتويِّف رس‬ ِ ِ
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ ُ َ ُ ُ ُ َ ْ‫ص ْمنَا الَْي ْو َم التَّاس َع قَ َال َفلَ ْم يَأ‬ ُ ُ‫اللَّه‬
Artinya: “Sewaktu Rasulullah saw berpuasa pada hari ‘Asyura dan
memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: “Ya Rasulullah,
sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani”.

17
Rasulullah saw menjawab, ”Tahun yang akan datang, insya Allah kita akan
berpuasa pada hari kesembilan(nya)”. ‘Abd Allah ibn ‘Abbas mengatakan,
“Belum tiba tahun mendatang itu, Rasulullah saw pun wafat”. (Shahih Muslim,
V: 479, hadits 1916).

5.    Hadits Ahwali
Hadits ahwali adalah hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW yang
tidak termasuk ke dalam kategori keempat bentuk hadits di atas. Contohnya:

‫يل الْبَ ائِ ِن َواَل‬


ِ ‫َح َس نَهُ َخ ْل ًق ا لَْيس بِالطَّ ِو‬
َ
ِ ‫َح َس َن الن‬
ْ ‫َّاس َو ْج ًه ا َوأ‬
ِ
ْ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم أ‬
ِ ُ ‫ا َن رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ
‫صي‬ِ ‫بِالْ َق‬
Artinya: “Rasulullah saw adalah manusia memiliki sebaik-baik rupa dan tubuh.
Kondisi fisiknya, tidak tinggi dan tidak pendek ”.

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Periwayatan hadis ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist,


serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-
bentuk tertentu.
Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat , tetapi dia tidak
menyampaikan hadis itu kepada orang lain , maka dia tidak dapat disebut sebagai
orang yang telah melakukan periwayatan hadis. “Sekiranya orang tersebut
menyampaikan hadis yang telah diterimanya kepada orang lain, Tetapi ketika
menyampaikan hadis itu dia tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya, maka
orang tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah  melakukan
periwayatan hadis”.
Periwayatan hadis yang dilakukan secara makna, adalah penyebab
terjadiya perbedaan kandungan atau redaksi matan dari suatu hadis,yang boleh
meriwayatkan hadist adalah mereka yang memiliki kemampuan bhs.arab yang
mendalam,dan periwayatan secara makna boleh dilakukan apabila dalam keadaan
terpaksa dan apabila mengalami keraguan akan susuna matan hadist, serta
periwayatan secara makna harus secara lafadz.

3.2 Saran

Diakhir tulisan ini kami selaku penulis ingin menyampaikan beberapa saran


kepada pembaca:
1)      Dalam memahami Islam hendaknya kita bersifat inklusif terhadap beberapa
hasanah pemikiran tentang segala hal. Sehingga ajaran Islam dapat menjadi
dinamis dan dapat menjawab berbagai tuntunan perubahan zaman.
2)      Hendaknya setiap orang tetap bersifat terbuka terhadap berbagai pendekatan dan
system pendidikan yang ada. Karena hal itu akan menambah kekayaan khasanah
intelektual dan wawasan kependidikan bagi semua.

19
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag, Ilmu Hadis: Pengantar Memahami Hadis Nabi
SAW, Makassar: Dar al-Hikmah wa al-‘Ulum. 2016.
https://anharululum.blogspot.co.id/2011/06/makalah-penerimaan-dan-
penerimaan.html
http://anthyscrub.blogspot.co.id/2013/04/makalah-ulumul-hadis-periwayatan-
hadist.html
http://tafsirhadits2012.blogspot.co.id/2013/04/periwayatan-hadits.html
http://fadilah1995.blogspot.co.id/2015/09/periwayatan-hadis-pada-amsa-sahabat-
dan.html
http://wardahcheche.blogspot.co.id/2013/11/periwayatan-hadis.html

20

Anda mungkin juga menyukai