Kata Pengantar
Petama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Dengan
limpahan rahmatnya sehingga saya bisa menyelesaikan makalah tentang “Kaidah
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar......................................................................................... 1
Daftar Isi.................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………… 3
B. Rumusan Masalah…………………………………………………. 4
C. Tujuan penulisan…………………………………………………... 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian dan kaidah penulisan Ta Ta’nist………………………. 5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Pada masa sahabat Usman bin Affan, untuk yang ketiga kalinya Al-Quran
ditulis kembali. Penyebabnya adalah adanya cara perbedaan cara membaca Al-
Quran diantara para prajurit Islam yang sedang berperang dikawasan Armenia
dan Azerbaijan (Uni Soviet). Nabi memang mengajarkannya berbeda dengan
tujuan untuk memberi kemudahan, karena suku Arab berbedabeda. Namun pada
generasi penerus (Tabi'in) perbedaan ini justru menjadi pemicu pertikaian yang
mengkhawatirkan. Khabar pertikaian ini sampai kepada Khalifah Usman bin
Affan di Madinah, akhirnya Usman memprakarsai penulisan kembali Al-Quran
dengan tujuan agar kaum muslimin mempubyai rurjukan tulisan Al-Quran yang
benar-benar bisa dipertanggungjawabkan.
Sejak awal hingga akhir turunnya, seluruh ayat al-Quran telah ditulis dan
di dokumentasikan oleh para penulis wahyu yang langsung ditunjuk oleh
Rasulullah Saw. di samping itu seluruh ayat al-Quran dinukilkan atau
diriwayatkan secara mutawatir baik secara hapalan maupun tulisan, ditulis dan
dibukukan dalam satu mushaf. Al-Quran yang dimiliki umat Islam sekarang
mengalami proses sejarah yang unik hingga menjadi satu mushaf. Ilmu ang
membahas penulisan al-Quran ini dikenal dengan ilmu Rasm Ustmani. Sebagian
besar menisbatkan Rasmul Quran ini kepada khalifat Ustman bin Affan yang
telah memberikan tugas, sehingga disebut juga Rasm Ustmani.
Para ahli tata bahasa Arab atau dikenal dengan Nuhat, telah menciptakan
berbagai aturan dasar dan kaidah (al-Qawa’id al-Imla) tetapi ada perbedaan pada
bentuk tertentu dalam mushaf yang dikodifikasi para sahabat pada zaman
khalifah Ustman ini. Dalam perkembangan pula, beberapa ulama berbeda
pendapat tentang status Rasm Ustmani ini, apakah bersifat tauqify atau ijtihadi,
4
mengingat Rasm Ustmani ini disusun oleh manusia, serta kaidah-kaidah yang
dipakai dalam Rasm Ustmani.
Dalam penulisan Al-Quran, lafadz-lafadz yang menurut kaidah umum
penulisan bahasa Arab harus ditulis dengan Ta' Ta'nis (Ta' Marbutah), tidak selalu
demikian halnya menurut kaidah penulisan rasm usmani. Adakalanya ia di tulis
dengan Ta' Ta'nis dan adakalanya ia ditulis dengan Ta' Maftuhah (Ta' panjang).
Cara-cara penulisan yang berkaitan dengan hal tersebut akan dijelaskan pula
dengan rinci dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Bagaimana kaidah penulisan Ta (Ta rist) dan Ta (Marbuthah)?
2. Bagaimana kaidah penulisan Ta (Ta rist) dan Ta (Marbuthah)?
C. Tujuan Penulisan
1. Pengertian Ta (Ta rist) dan Ta (Marbuthah)
2. Untuk mengetahui kaidah penulisan Ta (Ta rist) dan Ta (Marbuthah).
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan kaidah penulisan Ta Ta’nist
1. Pengertian Ta Ta’nist
Yang dimaksud dengan Ha Ta’nis dalam pembahasan ini adalah ta yang
biasanya ditulis dengan rumah ha (( هatau lebih dikenal dengan “Ta Marbutah” ()ة.
Dengan demikian dalam pembahasan ini tidak termasuk ke dalamnya penulisan “Ta
Ta’nis” pada fi’il madhi ( )فعل ماضىseperti : قالت, “Ta Ta’nis” pada “jama’ mu’annas
salim” seperti : حسنات, dan pada kata-kata yang di idzafahkan kepada dzamir seperti :
نعمتي.1
Fungsi tā’ ta’nīts adalah untuk me-mu’annats-kan musnad ilaih, baik adanya
musnad ilaih itu berupa fā‘il seperti (ت ههنندد
)مقامم نatau berupa nā’ib fā‘il seperti contoh: (
ت ههنندد
ضهربم ن
) ض. Jika dikatakan bahwa tā’ ta’nīts itu fungsinya untuk memu’annatskan fā‘il,
maka kalimah fi‘il tidak boleh diberi tā’ ta’nīts. Tidak boleh dikatakan demikian,
karena tā’ ta’nīts ini adalah tandanya kalimah fi‘il dan karena fi‘il dan fā‘il itu sama.
Dalam tā’ ta’nīts ada catatan harus berupa tā’ ta’nīts yang mati, dan matinya
harus berupa mati yang asli. Namun ketika tā’ ta’nīts ini diberi harakat karena untuk
menghindari bertemunya dua ḥurūf yang mati, maka boleh, baik harakatnya berupa
harakat kasrah seperti contoh: (ب آممنننا ت اَ ن هلنعمراَ ض
)مقالم هatau berupa harakat fatḥah seperti
)مقالممتا أمتمنيمنا مatau berupa harakat dhammah seperti contoh: (ت اَنخننضرنج
contoh (طائههعنيمن )مو مقالم ض.
Dikecualikan dari tā’ ta’nīts yang mati adalah tā’ yang berharakat asli yang berada
pada isim seperti contoh: ( )مقائهممدةdan ()مفاهطممدة, tā’ yang berada pada fi‘il seperti ( )تمقضنوضمdan
ت مو ثضنم ن
tā’ yang berada pada ḥurūf seperti (ت )ضربن ن. Di samping tandanya kalimah fi‘il bisa
قضنم م
menerima tā’ ta’nīts juga bisa menerima dhamīr dan nūn taukīd seperti contoh: (َ،ت
َ اَضنكتضبمنن،َ اَضنكتضبمنن،َ لهيمنكتضبمنن،َ لهيمنكتضبمنن،ت
)قضنن ه.
1
Drs. H. Mazmur Sya’roni, Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan Mushaf Al-Qur’an
dengan Rasm Usmani (Jakarta: Departemen Agama, 1998/1999), h. 178.
6
Terdapat beberapa keadaan yang mengharuskan penggunaan ta’ ta’nits dalam fiil.
Keadaan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Fa’il berupa isim zhahir muannats haqiqi. Apabila fa’il berupa isim muannats
haqiqi baik mufrad, mutsanna, maupun jamak dan tidak terpisah dari fiil maka wajib
ditambahkan ta’ ta’nits. Isim muannats haqiqi adalah isim yang menunjukkan
manusia atau hewan yang melahirkan dan bertelur.
Contoh:
Pada kedua contoh di atas, huruf ta’ yang terletak di awal dan akhir fiil dinamakan
ta’ ta’nits. Sedangkan fa’ilnya merupakan isim zhahir muannats.
Fa’il berupa dhamir mustatir. Apabila terdapat fa’il berupa dhamir mustatir yang
kembali kepada isim muannats haqiqi atau majazi maka wajib ditambahkan ta’
ta’nits. Isim muannats majazi adalah isim muannats selain isim muannats haqiqi,
namun orang arab memperlakukannya sebagai muannats. Misalnya شمس.
Contoh:
Fa’ilnya berupa dhamir mustatir yang kembali kepada muannats haqiqi ()زينب.
7
Fa’ilnya berupa dhamir mustatir yang kembali kepada muannats haqiqi ()اَلشمس.
Pada contoh di atas dapat diketahui bahwa fa’il tidak selamanya terletak setelah fiil.
Akan tetapi terdapat beberapa keadaan yang memungkinkan terdapat pemisah antara
fa’il dan fi’il.
Apabila fa’il berupa isim muannats majazi.
Contoh:
تطلع اَلشمسartinya matahari telah terbit.
Kesimpulan dari tanda-tandanya fi‘il adalah ada tanda yang khusus untuk
fi‘il mādhī yaitu tā’ ta’nīts, ada tanda yang khusus untuk fi‘il mudhāri‘ yaitu ḥurūf sīn
dan saufa dan ada tanda untuk fi‘il mādhī dan fi‘il mudhāri‘ yaitu qad. Pengarang
kitab nahwu tidak menjelaskan tandanya fi‘il amar karena hal ini akan kesulitan bagi
para mubtadi’ (pelajar tingkat dasar). Tanda untuk fi‘il amar adalah adanya makna
8
اا جكحفررا
ت ا ) (surah ibrahim ayat 28أتلتحم تتتر إاتلى الااذيتن بتادجلوُا ناحعتم ت
اا جهحم يتحكفججروُتنت ا ) (surah an nahl ayat 72توُباناحعتم ا
ت ا
اا شجكجروُا ناحعتم ت
) (surah an nahl ayat 114توُا ح
سن ا ت
ت( c. Penulisan kata ) ج
ت احلتاوُاليِتن ) (surah fatir ayat 43فتتهحل يتحنظججروُتن إاال ج
سنا ت
ت ا
اا تتححاوُيرل ) (surah fatir ayat 43توُلتحن تتاجتد لا ج
سن ا ا
ت ا
اا ) (surah fatir ayat 43لتحن تتاجتد لا ج
سن ا ا
)احبنت ت
ت( d. Penulisan Kata
9
Ta marbuta (( )ةBahasa Arab: تاء مربوطة, huruf ta yang bulat) adalah varian
dari huruf ta ( )تyang melambangkan fonem /t/ atau /h/. Pada aturan Bahasa Arab
Standar Modern, ta marbuta dipakai pada akhir dari sebuah kata yang mengacu
kepada kata-kata feminin atau bersifat kewanitaan, sebagai contoh pada kata al-
Baqarah ( )اَلبقرةyang berarti sapi betina.
2
Mazmur Sya’roni, pedoman umum Penulisan dan Pentashilan Mushaf Al-Quran dengan
Rasm Usmani, 1999, Jakarta: Departemen Agama RI, hal: 178
10
ta marbuta ditulis layaknya huruf ha, namun pada kata barakatuh ()بركاته, ta marbuta
tertulis layaknya huruf ta normal.
Ta’ marbutah atau ta’ mashiroh adalah ta’ yang di lafalkan ha’ ketika wakaf.
Pada akhir sighoh mubalaghoh, contoh (َ اَلقهامة)كثير اَلقهم، (اَلعلمة )كثير اَلعلم
Pada dasarnya, sesuatu yang dianggap al-mudzakkar bagi orang asing, kadang-
kadang berbeda al-mudzakkar yang dimaksud oleh orang Arab. Bahkan isim yang
ma’rifah dari nama ‘alam, walaupun lafalnya muannats, tetapi kadang-kadang
hakikatnya adalah mudzakkar. Untuk itu di bawah ini dikemukakan penggunaannya
pada :
1. Nama Kumpulan
Menyangkut nama kumpulan, maka yang dapat dikemukakan adalah seperti
berikut:
a. Yang berakal
Al-ta’ al-marbuthah dari nama kumpulan adalah hanya dari segi lafalnya,
sedangkan pribadi yang ada di dalam kumpulan itu adalah mudzakkar. Nama
11
kumpulan seperti ini didapati pada lafal al-malaikah. Lafal al-malaikah ini adalah
jamak seperti al-malak. Di dalam QS al-Fajr/89: 22 Allah berfirman:
وجاء ربك واَلملك صفا صفا
2. Nama Pribadi
Menyangkut pemakaian al-ta’ al-marbuthah, dapat dijumpai sebagai berikut:
a. Yang berakal
Diketahui bahwa nama-nama yang digunakan oleh orang-orang non-Arab
dikenal pula oleh orang-orang Arab, karena sebagian dikisahkan oleh Alquran
3
Sayyid Awmad al-Hasyimiy, al-Qawaid al-Asasiyyah li al-Lugah al-‘Arabiyyah, Mishr: Mathba’ah
al-Sa’adah, 1936.
12
dan sebagian lagi dkenal dalam sejarah bangsa Arab terdahulu secara turun-
temurun dalam syair-syair Arab jahiliah. Nama-nama Arab kuno yang mereka
kenal adalah melalui Alquran. untuk itu, menyangkut nama pribadi orang-orang
Arab, terikat pada alamnya sendiri. Untuk itu, kadang-kadang ada nama-nama
yang menggunakan al-ta’ al-marbuthah. Nama-nama pribadi yang menggunakan
al-ta’ al-marbuthah pada umumnya berada pada al-mudzakkar, sedangkan pada
al-muannats sedikit sekali. Maksudnya bahwa nama-nama pribadi yang memakai
al-ta’ al-marbuthah adalah muannats lafalnya, tetapi mudzakkar hakikatnya,
seperti Mu’awiyah, Salmah, dan ‘Urwah. Sedangkan yang sedikit menggunakan
al-ta’ al-marbuthah yang lafal dan hakikatnya adalah muannats, seperti Fathimah
dan ‘Aisyah. Kesimpulannya bahwa nama pribadi berakal yang memakai al-ta’
al-marbutah pada umumnya digunakan oleh mudzakkar hakiki. 4
b. Yang tidak berakal
Menunjuk nama pribadi yang tidak berakal ini, kebanyakan berada pada
muannats haqiqiyyah. Bahkan, salah satu tanda yang dapat dikenal pada al-
muannats adalah adanya al-ta’ al-marbuthah.
Kalau diusut lebih lanjut tentang pribadi yang tidak berakal ini, maka dapat
diketahui dari bendanya sendiri, yaitu:
4
Hanafi Bik, Kitab Qawaid al-Lugah al-‘Arabiyyah li Madaris al-Tsanwiyyah, Surabaya: Syarikah
Maktabah wa Mathba’ah Nabwan wa Auladuh, t.th. George Merry ‘Abd al-Masiw, Mu’jam Qawaid
al-Lugah al-‘Arabiyyah fiy Jadwalin wa Lauwah, Bairt: Sahat Riya al-Qulwiy, 1981.
13
Sebelum dikemukakan nama pribadi yang berasal dari isim musytaq, maka
terlebih dahulu dikemukakan tentang isim musytaq itu sendiri. Menurut George
Merry bahwa isim musytaq itu ada yang maushaf dan ada pula yang shifat.
Dengan demikian, maka yang akan dikemukakan adalah isim musytaq yang
maushaf, karena yang sifat itu baru dapat disebut muannats lafalnya kalau yang
maushaf itu muannats.5
Kenyataannya bahwa ada saja nama dari sifat tersebut yang langsung
digunakan oleh pribadi dengan alta’ al-marbuthah, tetapi ia sudah menjadi isim
‘alam dan ia digolongkan ma’rifah serta berakal. Namun, selama yang disifati
itu tidak berakal, maka ia tetap mengikuti maushaf-nya.
3) Al-Mashdar
Al-mashdar selaku asal dari seluruh isim musytaq dalam berbagai
bentuknya itu, ternyata ada yang secara nyata terbentuk dengan menggunakan
al-ta’ al-marbuthah. Hal ini dapat dilihat pada mashdar dalam timbangan fi’alah
yang menunjuk kepada pekerjaan atau perusahaan, seperti: zira’ah, tijarah, dan
wiqayah. Di samping itu, didapati mashdar dalam timbangan fu’lah yang
menunjuk warna, seperti: wumrah, zurqah.
Jika tidak menunjukkan sesuatu hal yang disebutkan tadi, maka didapati
fi’il fa’ula yang mashdar-nya dalam timbangan fu’lah, seperti suwulah. Fi’il
fa’ula yang mashdar-nya dalam timbangan fa’alah, seperti nawabah dan
fashawah.
5
Akrom Fahmi, Ilmu Nahwu dan Sharaf (Tata Bahasa Arab) Praktis dan Aplikatif, Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 1995.
14
6
Akrom Fahmi, Ilmu Nahwu dan Sharaf (Tata Bahasa Arab) Praktis dan Aplikatif, Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 1995.
7
Sayyid Awmad al-Hasyimiy, al-Qawaid al-Asasiyyah li al-Lugah al-‘Arabiyyah, Mishr: Mathba’ah
al-Sa’adah, 1936.
15
Arab, isim alat terbagi atas beberapa timbangan,yaitu mif’alun, mif’alun dan
mif’alatun. Dari tiga timbangan isim alat tersebut, terdapat satu yang ada
padanya al-ta’ al-marbuthah.
Dari keempat isim yang musytaq yang dikemukakan di atas dengan
memunculkan al-ta’ al-marbuthah, maka al-ta’ al-marbuthah itulah yang
digolongkan ke dalam salah satu isim muannats yng tidak berakal dan ia adalah
mufrad muannats. Karena ia tidak berakal, sehingga sifatnya adalah mufrad
muannats sampai kepada jamaknya. Bahkan, jamak dari isim mudzakkar yang
tidak berakal, mempunyai sifat yang mufrad muannats.
16
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dalam pembahasan ini Ta’ Ta’nis biasa di tulis dengan rumah ha atau Ta’
Marbhutah. Dengan demikian pembahasan ini tidak termasuk kedalam penulisan Ta’
Ta’nis pada Fi’il Madhi seperti Ta’ Ta’nis pada jama’ Muannas salim dan pada kata-
kata yang di idafahkan kepada dhamir.
Penulisan Ta’ Ta’nis ada yang ditulis dengan Ta’ Marbutah dan ada yang
ditulis dengan Ta’ Mafhutah. Ha’ Ta’nis yang ditulis dengan Ta’ Mafhutah terdapat
padan 13 macam kata, di antaranya ada yang disepakati dan ada yang ikhtilaf.
17
DAFTAR PUSTAKA