Dis us un Oleh:
Dos en Pembimbing:
N u r a i n i .S . A g . , M . A g .
P R O D I I L M U HA D I T S
2023\2024
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya
karena kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Adapun dalam penulisan
makalah ini, materi yang akan dibahas adalah “Kritik Matan Hadits”.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat
menambah wawasan kita dalam mempelajari mata pelajaran “Musthalahul Hadits”,
serta dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Table of Contents
KATA PENGANTAR 2
BAB 1 4
PENDAHULUAN 4
1. Latar Belakang 4
2. Rumusan Masalah 4
3. Tujuan Penulisan 4
BAB 2 5
PEMBAHASAN 5
1. Pengertian Kritik Matan Hadits 5
2. Sejarah Kritik Matan Hadits 5
3. Penentuan Hadits Yang Diteliti 8
A. Takhrij al-Hadīṡ 8
B. I'tibar 9
C. Meneliti pribadi periwayat 9
D. Penelitian matn hadis 10
4. Kriteria Keshahihan Matan Hadits 10
A. Terhindar dari Syaż 11
B. Terhindar dari ‘Illat 12
5. Urgensi Penelitian Matan Hadist 13
BAB 3 15
PENUTUP 15
Kesimpulan 15
DAFTAR PUSTAKA 16
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber Hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Oleh karena itu
hadis menduduki peringkat kedua setelah Al-Qur’an, maka suatu keharusan bagi
kaum muslimin untuk mepelajarinya. Tanpa mengenal hadis, rasanya sulit untuk
memahami ilmu-ilmu keislaman. Selama ini, keshahihan hadis pada umumnya
masih baru teruji dari segi sanadnya saja. Padahal asumsi yang berkembang di
kalangan ulama hadis sendiri mengatakan bahwa yang disebut hadis shohih
tentulah hadis shahih dari segi sanad maupun matannya. Akibatnya, kritik matan
terhadap hadis-hadis shahih (dari segi sanad) tersebut, dianggap tidak perlu.
Dengan demikian tidak ada jaminan bahwa jika sanad sebuah hadis sehat atau
shahih maka demikian juga dengan redaksi matannya. Banyak lagi yang harus dikaji
lebih mendalam terkait dengan redaksi matan hadis.
Sebuah hadis dapat dijadikan dalil dan argumen yang kuat (hujjah) apabila
memenuhi syarat-syarat keshahihan, baik dari aspek sanad maupun matan. Syarat-
syarat terpenuhinya keshahihan ini sangat diperlukan, karena penggunaan atau
pengamalan hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat yang dimaksud, berakibat
pada realitas ajaran Islam yang kurang relevan atau bahkan sama sekali
menyimpang dari apa yang seharusnya, dari yang diajarkan Rasulullah.
2. Rumusan Masalah
Untuk lebih terarahnya pembahasan, maka penulis rumuskan masalah dalam
penelitian sebagai berikut:
3. Tujuan Penulisan
Diantara tujuannya ialah sebagai berikut :
a.Untuk mengetahui apa yamg dimaksud dengan kritik matan hadits.
BAB 2
PEMBAHASAN
Kata kritik merupakan alih bahasa dari kata naqd ( ) ﻧﻖــدyang dalam bahasa Arab
populer berarti penelitian, analisis, pengecekan, dan pembedaan.1 Sedangkan
menurut istilah, kritik berarti berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam
rangka menemukan kebenaran.2
Menurut bahasa, kata matan berasal dari bahasa Arab matn ( )ﻣﺘﻦyang artinya
punggung jalan (muka jalan), tanah yang tinggi dan keras. Sedangkan menurut ilmu
hadis, matan berarti penghujung sanad, yakni sabda Nabi Muhammad Saw., yang
disebutkan setelah sanad. Singkatnya, matan hadis adalah isi hadis.3
Jika kritik sanad lazim dikenal dengan istilah kritik ekstern (al-naqd al-khariji),
maka kritik matan lazimdikenal kritik intern (al-naqd aldakhili). Istilah ini dikaitkan
dengan orientasi kritik matan itu sendiri, yakni difokuskan pada teks hadis yang
merupakan intisari dari apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah, yang
ditransmisikan kepada generasigenerasi berikutnya hingga ke tangan para mukharrij
hadiṡ, baik secara lafzi maupun ma’nawi.
Istilah kritik matan hadis dipahami sebagai upaya pengujian atas keabsahan
matan hadis yang dilakukan untuk memisahkan antara matanmatan hadis yang
sahih dan yang tidak sahih. Dengan demikian, kritik matan tidaklah dimaksudkan
untuk mengoreksi atau menggoyahkan dasar ajaran agama Islam dengan mencari
1
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis (Yogyakarta: Teras, 2004), hal. 9.
2
Bustamin, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal.5.
3
Bustamin, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal.9.
kelemahan sabda Rasulullah, akan tetapi diarahkan kepada telaah redaksi dan
makna suatu hadis untuk ditetapkan keabsahannya.
Budaya kritik telah terjadi sejak masa Rasulullah saw masih hidup, akan tetapi
pada masa ini motif kritiknya hanya bersifat konfirmasi, klarifikasi dan upaya
memperoleh testimoni yang target akhirnya menguji validitas kepercayaan dan
infestigasi langsung ke lokasi kejadian serta bertemmu langsung dengan
narasumber berita yaitu Rasulullah saw, hal ini menjadi bukti bahwa kritik hadis telah
berlangsung sejak zaman Nabi dan validitasnya terjamin objektif, lebih dari itu tradisi
ini telah memperoleh dukungan dari Nabi saw.5
Secara praktis, aktivitas kritik matan ini telah dilakukan oleh generasi sahabat.
Sebagai contoh adalah yang pernah dilakukan oleh sahabat senior seperti Abu Bakar
setelah Rasulullah tiada. Ketika didatangi seorang nenek untuk meminta bagian
warisan cucunya, Abu Bakar berkata: “Saya tidak mendapatkan dalil dalam al-Qur’an
dan saya tidak pernah mendengar Rasulullah memberi bagian bagi nenek.”
Kemudian Abu Bakar menanyakan hal ini kepada orang banyak. Al-Mughirah
menjawab: “Saya mendengar Rasulullah memberi bagian nenek seperenam.” Abu
Bakar bertanya: “Siapa orang lain yang mendengar kasus ini?.” Muhammad bin
Maslamah bersaksi atas kebenaran al-Mughirah. Dengan konfirmasi ini, Abu Bakar
4
Ach Baiquni, “Pemahaman Hadis Tentang Perempuan Menurut Khaled Abou El Fadl”, (Skripsi S1,
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013)
5
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, hal. 35
memberikan bagian warisan kepada nenek tersebut seperenam.
Sebagai contoh lain adalah apa yang pernah dilakukan oleh Sayyidah ‘Aisyah
tatkala mendengar sebuah hadis yang disampaikan oleh Ibn ‘Abbas dari ‘Umar,
bahwa menurut versi ‘Umar, Rasulullah bersabda: “Mayat itu akan disiksa karena
ditangisi keluarganya.” ‘Aisyah pun membantahnya dengan berkata, ”Semoga Allah
merahmati ‘Umar. Demi Allah, Rasulullah tidak pernah bersabda bahwa mayat orang
mukmin itu akan disiksa karena ditangisi keluarganya. Yang benar, Rasulullah
bersabda: ”Sesungguhnya Allah menambah siksa orang kafir akibat tangisan
keluarganya.” ‘Aisyah pun menegaskan hal tersebut berkata. “Cukuplah al-Qur’an
sebagai pedoman,6 karena terdapat firman Allah, “Tidaklah seseorang menanggung
dosa orag lain.”
Kritik matan di era sahabat, ternyata bukan hanya dilakukan oleh Abu Bakar dan
‘Aisyah, namun juga oleh sahabat-sahabat lainnya seperti ‘Umar ibn Khattab, ‘Ali ibn
Abi Talib, ‘Abdullah ibn Mas’ud, dan ‘Abdullah ibn ‘Abbas.7
Dasar-dasar kritik hadis yang telah dibangun oleh para sahabat di atas, pada
tahap berikutnya dikembangkan oleh generasi tabi’in. Jika di era sahabat dan tabi’in
kritik matan masih dalam bentuk yang sederhana, maka pada era atba’ altabi’in kritik
matan mulai menemukan model baru yang lebih sempurna. Kesempurnaan bentuk
kritik matan di era ini dapat ditunjukkan dengan adanya upaya yang dilakukan para
ulama untuk mulai menspesialisasikan dirinya sebagai kritikus hadis, seperti Malik,
al-Ṡauri dan Syu’bah. Kemudian disusul dengan munculnya kritikus hadis lainnya
seperti ‘Abdullah ibn Mubarak, Yahya ibn Sa’id alQattan, ‘Abd al-Rahman ibn al-Mahdi,
dan al-Imam al-Syafi’i. Jejak mereka juga diikuti oleh Yahya ibn Ma’in, Ali ibn al-
Madini, dan al-Imam Ahmad.8
Selain itu, perhatian ulama terhadap matan hadis lebih menonjol di zaman
modern ini sejalan dengan semakin besarnya perhatian umat terhadap hadis. Ṣalah
al-Din bin Ahmad al-Adlabi menulis kitab berjudul Manhaj Naqd al-Matn ‘ind ‘Ulama’
al-Hadiṡ al-Nabawi. Muhammad Tahir al-Jawabi menulis kitab berjudul Juhud al-
Muhaddithin fi Naqd Matn al-Hadiṡ al-Nabawi alSyarif. Muhammad Mustafa al-
6
Shalah al-Din bin Ahmad Al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘ind ‘Ulama’ al-Hadith al-Nabawi, terj. Ita Qonita
(Yogyakarta: Insan Madani, 2010), hal. 122.
7
Al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘ind ‘Ulama’ al-Hadith al-Nabawi, hal. 149.
8
Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, hal. 99.
A’zami menulis kitab Manhaj al-Naqd ‘Ind alMuhaddiṡin. Yusuf al-Qardawi menulis
kitab dengan judul Kayfa Nata’amal ma’a al-Sunnah alNabawiyah. Muhammad al-
Ghazali menulis kitab yang berjudul al-Sunnah al-Nabawiyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl
al-Hadiṡ. Karya-karya tersebut betul-betul mengkhususkan pembahasannya
terhadap persoalan matan hadis. Tulisan tersebut berusaha menawarkan
metodologi penelitian dan kritik matan hadis serta berupaya menyelesaikan hadis-
hadis yang dianggap berseberangan dengan sumber hukum yang lain.9
Dari uraian historis mengenai kemunculan dan perkembangan kritik matan hadis
di atas, dapat disimpulkan bahwa kritik matan hadis telah menjadi kegiatan penting
yang dilakukan sejak generasi sahabat. Oleh karena itu, sangat tidak tepat
pernyataan yang disampaikan oleh para orientalis seperti Ignaz Goldziher, A.J.
Wensinck, dan Joseph Schacht serta beberapa intektual Muslim yang mengikuti
cara berfikir kaum orientalis seperti Ahmad Amin dari Mesir dan Mahmud Abu
Rayyah yang mengatakan bahwa dalam meneliti hadis, para ulama hanya
memperhatikan kritik sanad dan mengesampingkan kritik matan hadis.
Penelitian hadīṡ bukanlah sesuatu yang terlampau sulit, namun juga tidak mudah,
oleh karena itu ulama hadīṡ telah memberikan langkah-langkah agar penelitian suatu
hadīṡ dapat berjalan dengan baik dan memeberikan hasil yang objektif tentang
kualitas suatu hadīṡ. Adapun langkah-langkah penelitian hadīṡ adalah sebagai
berikut :
A. Takhrij al-Hadīṡ
Takhrij didefinisikan oleh para ulama dengan banyak definisi yang beragam,
namun adapun yang sesuai dengan penelitian hadis adalah menunjukkan atau
mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab
yang di dalamnya dikemukakan hadis-hadis itu secara lengkap dengan
sanadnya masing- masing; kemudian untuk kepentingan penelitian, dijelaskan
kualitas hadis yang bersangkutan.
Bagi peneliti hadis proses takhrij al-hadis adalah suatu yang sangat
penting.tanpa takhrij al-hadis, akan sulit mengetahui asal-usul hadis yang
kemudiankan menyulitkan untuk menelusri ada tidaknya sahih atau mutabi’.
Oleh karena itu perlu mengetahui langkah-langkah yang harus diikuti dalam
proses takhrij al-hadis. Minimal ada tiga hal yang menjadi sebab perlunya takhrij
al-hadis:
9
Bustamin, Metodologi Kritik Hadis, hal. 62.
1. Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti.
Suatu hadis akan sangat sulit diteliti status dan kualitasnya bila tidak
terlebih dahulu dilakukan takhrij sehingga tidak dapat dilacak asal-
usulnya.tanpa menegtahui asal-usulnya, sangat sulit menentukan kualitas
sanad dan matan hsuatu hadis. Hal tersebut dikarenakan tidak dapatnya
menyingkap susunan sanad dan matn karena tidak ketahuan asal-usulnya.
Suatu hadis yang akan diteliti bisa saja memiliki lebih dari satu sanad atu
jalur periwayatan. Namun bisa juga hanya memilikisatu sanad saja.
Mengetahui riwayat hadis atau jalur-jalur sanad suatu hadis sangatlah penting.
Bisa saja suatu hadis sebagaian sanadnya sahih namun yang lain daif.
Keadaan seperti ini sangat berpengaruh pada kualitas sanad itu sendiri bahkan
kualitas hadis tersebut.
3. Untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid atau mutabi’ pada hadis yang
diteliti.
Sanad sebuah hadis bisa saja didukung oleh sanad yang lain yang
diriwayatkan oleh periwayat yang lain. Dukungan itu bila terletak pada tingkat
periwayat tertingggi yaitu sahabat, maka disebut syahid. Sedangkan bila
terdapat pada bagian bukan tingkat sahabat maka disebut mutabi’. Syahid atau
mutabi’ yang memiliki sanad yang kuat, mungkin dapat mendukung dan
menaikkan derajat atau kualitas sanad hadis yang diteliti.
Dengan ketiga hal tersebut, jelaslah bahwa dalam sebuah penelitian hadis, proses
takhrij merupakan suatu hal yang sangat penting dan harus dilakukan bila ingin
mendapatkan hasil penelitian yang maksimal.
B. I'tibar
Kata I’tibar merupakan masdar dari kata I’tabara () اﻋﺘﺒﺮ. Menururt bahasa
arti kata I’tibar adalah peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk
dapat diketahui sesuatunya yang sejenis.8 Menurut istilah ilmu hadis, al-I’tibar
berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, yang
hadis itu pada sanadnya tampak hanya seorang periwayat saja; dan dengan
menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada
periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis
dimaksud.
Dengan melakukan I’tibar maka akan terlihat dengan jelas seluruh jalur
sanad yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya dan metode
periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan.
Dengan kata lain, I’tibar berfungsi untuk mengetahui keadaan sanad
sesungguhnya dilihat dari ada atau tidaknya sanad-sanad pendukung.
Kualitas periwayat bagi suatu hadis yang sahih adalah bahwa periwayat
haruslah adil. Dalam kamus umum bahasa Indonesia dinyatakan bahwa
kata adil berarti “ tidak berat sebelah " Dalam bahasa arab adl berarti :
pertengahan, lurus, atau condong kepada kebenaran.Namun dalam istilah
ulama hadis, adl adalah beragama islam, mukallaf, melaksanakan
ketentuan agama dan menjaga muru’ah.Semua kriteria yang disebutkan
dalam definisi tersebut, merupakan sesuatu yang bersifat kumulatif.
Seorang periwayat yang memenuhi kriteria hadis sahih haruslah memenuhi
semua kriteria tersebut.
Penelitian terhadap aspek syadz dan‘illat baik pada sanad maupun matan hadis
10
Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, hal. 101.
sama-sama memiliki kesulitan. Namun demikian, para ulama sepakat bahwa
penelitian adanya syadz dan‘illat pada matan lebih sulit dibandingkan dengan
penelitian terhadap syadz dan‘illat pada sanad hadis. Dinyatakan demikian karena
karena memang belum ada kitab yang membahas dan menampilkan matan-matan
hadis yang mengandung syaż dan ‘illat secara khusus.11
Adapun penelitian terhadap aspek matan hadis ini mengacu kepada kriteria atau
kaedah kesahihan matan hadis sebagai tolok ukur, yaitu terhindar dari syaż dan‘illat.
Selain terbebas dari syaż, dalam konteks ini beberapa ulama menetapkan
beberapa tolok ukur kesahihan suatu matan hadis. Di antaranya adalah al-Adlabi
yang merumuskan empat kriteria matan yang sahih, yaitu: 1) tidak bertentangan
dengan al-Qur’an; 2) tidak bertentangan dengan hadis Rasulullah yang memiliki
bobot akurasi yang lebih tinggi; 3) tidak bertentangan dengan akal, indera dan
sejarah; 4) susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda Rasulullah.13
11
Sumbulah, Kritik Hadis, hal. 102.
12
Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadis: Analisis tentang al-Riwayah bi alMa’na dan Implikasinya bagi
Kualitas Hadis (Yogyakarta: Teras, 2009), hal. 82.
13
Al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘ind ‘Ulama’ al-Hadith al-Nabawi, hal. 284.
dalil yang dihukumi pasti (qath’i); 6) tidak bertentangan dengan hadis ahad yang
14
kualitas kesahihannya lebih kuat.
14
Al-Adlabi,hal. 281–282.
15
Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadis: Analisis tentang al-Riwayah bi alMa’na dan Implikasinya bagi
Kualitas Hadis, hal. 78
16
Abbas, Kritik Matan Hadis, h. 95.
redaksi dan kandungan makna matannya yang berbeda dengan kualitas
sanad yang seimbang. Sehingga dalam hal ini, tidak ada yang dapat
diunggulkan dan tidak dapat dikompromikan.
Sebagai contoh adalah riwayat al-Tirmidzi dari hadis Fatimah bin Qais,
Rasullullah bersabda: “Sesungguhnya di dalam harta itu ada hak selain zakat.”
Sedangkan riwayat Ibn Majah berbunyi: “Dalam harta itu tidak ada hak selain
zakat.”
Tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara tashif dan tahrif. jika
tashif kesalahannya terletak pada hurufnya (perubahan bentuk kata),
sedangkan tahrif terletak pada syakalnya (pergeseran cara baca).17
Di samping kritik sanad hadist, kritik terhadap matan hadist juga penting untuk
dilakukan karena hadist Rasululah merupakan salah satu sumber ajaran Islam.
Dalam konteks posisi dan fungsi hadist terhadap al-Qur'an,penelitian hadist penting
untuk dilakukan karena posisi hadist sebagai sumber ajaran islam mengharuskan
umat islam untuk berargumentasi dengan dalil yang valid atau sahih. Pemahaman
atau praktik keberagaman harus didasarkan kepada dalil-dalil yang berkualitas sahih,
dan tidak bisa didasarkan pada dalil yang kesahihannya diragukan atau
dipertanyakan.
Untuk mengetahui apakah suatu hadist berkualitas sahih atau tidak sahih, tidak
cukup jika penelitian atau kritik hanya dilakukan terhadap aspek sanadnya saja,
karena kesahihan sanad tidak berkorelasi dengan kesahihan matan hadis. Bahkan
yang sering terjadi adalah adanya Hadis yang semula dinyatakan sebagai Hadis
17
Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis,hal. 107.
sahih, namun setelah dilakukan penelitian secara mendalam terhadap matannya,
hasilnya Hadis tersebut mengalami penurunan derajat menjadi hadis Hasan atau
bahkan dha’if karena suatu Hadis dikatakan Sahih jika baik aspek Sanad dan matan
hadis tersebut betul betul memenuhi persyaratan Hadis sahih (Sahih al-isnad wa
sahih al-matan).
Selain itu, dalam konteks periwayatan hadis, seringkali para perawi hadis
meriwayatkan suatu hadis dari gurunya kepada muridnya secara makna (al-riwayah
bi al-ma'na) yang mana hal ini berimbas pada keragaman teks matan hadis gejala
pemadatan ungkapan (ikhtisar) penambahan kata penjelas kalimat, pemilihan kata
sinonim, penempatan kata pembanding akibat keraguan perawi, sampai
Pembuangan sabab al-wurud menjadi terbakukan dalam koleksi hadis yang kini
diterbitkan.
PENUTUP
Kesimpulan
Kritik Matan Hadis sudah muncul sejak generasi sahabat namun pada saat itu
kritik Hadis yang dilakukan masih bisa dibilang sederhana kritik Matan Hadis pun
terus berkembang dari generasi sahabat tabi’in ada mbak tabi’in hingga zaman
modern ini dengan perkembangan yang cukup cemerlang dengan munculnya para
ulama yang konser terhadap kajian Matan Hadis serta kritik terhadapnya beserta
beberapa karya kitab yang mereka hasilkan meskipun memang perkembangan kritik
Matan Hadis tidaklah se cemerlang perkembangan kritik Sanat Hadis
Urgensi pelaksanaan kritik Matan Hadis terletak pada fungsi Hadis itu sendiri
yang mana dalam hal ini Hadis merupakan salah satu sumber ajaran agama Islam
sehingga hal ini mengharuskan umat Islam untuk ber pedoman dan berargumentasi
dengan dalil yang falid atau Sahi yang mana untuk mengetahui kesayan suatu Hadis
tidak cukup hanya dengan melakukan kritik terhadap sana tnyaa namun kritik
terhadap Matan Hadis juga perlu dilakukan mengingat tidak adanya korelasi antara
kesayan Sanan dengan kesahihan Matan suatu Hadis selain itu juga karena sebagian
besar Hadis Rasulullah sallallahu alaihi wasallam telah diriwayatkan oleh para
sahabat dan generasi penerusnya secara mana Allah riwayah di al mak na yang
berimplikasi terhadap keberagaman teks Hadis Matan sebuah Hadis dinyatakan Sahi
jika memenuhi dua kriteria yaitu terhindar dari shoes dan there bebas dari Ilat adapun
langkah langkah yang dapat ditempuh untuk melakukan kritik Matan Hadis adalah
menghimpun Hadis Hadis yang Terjalin dalam tema yang sama penelitian Matan
Hadis dengan pendekatan hari Sahi penelitian Matan Hadis dengan pendekatan aku
ran penelitan Matan Hadis dengan pendekatan bahasa Penelitian Matan Hadis
dengan pendekatan sejarah dan penelitian Matan Hadis dengan pendekatan ilmu
pengetahuan
DAFTAR PUSTAKA
Al-Adlabi, Shalah al-Din bin Ahmad. Manhaj Naqd al-Matn ‘ind ‘Ulama’ al-
Hadith al-Nabawi, erj. Ita Qonita. Yogyakarta: Insan Madani, 2010.
Al-Ghazali, Muhammad. Studi Kritik atas Hadis Nabi Saw. antara Pemahaman
Tekstual dan Kontekstual, terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 1998.
Dawud, Abu. Sunan Abi Dawud, Jilid II, No. 1261. Mesir: Maktabah al-Tijariyah
al-Kubra,1950.
Hudaya, Hairul. “Metodologi Kritik Matan Hadis Menurut Al-Adlabi Dari Teori
ke Aplikasi.” Ilmu Ushuluddin 13, no. 1 (2014): 29–40.