SANAD HADIS
Oleh:
FAKULTAS USHULUDDIN
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan hidayat-Nya, makalah yang berjudul Sanad Hadis dapat terselesaikan
dengan baik.
Penulis
i
DAFTAR ISI
a. Kesimpulan ................................................................................................12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hadis sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an,
menempati posisi yang sangat penting dan strategis dalam kajian keislaman.
Keberadaan dan kedudukannya tidak lagi diragukan. Namun karena
pembukuan hadits baru dilakukan ratusan tahun setelah Nabi Muhammad
Saw wafat, Kenyataan sejarah bahwa banyak hadis yang dipalsukan, maka
keabsahan hadis-hadis yang beredar dikalangan kaum muslimin
diperdebatkan oleh para ahli. perbedaan yang paling mendasar antara al
Qur’an dengan Hadis adalah al Qur’an diterima secar Qath’i sementara
Hadis Zhanni al Wurud. Itulah salah satu sebab sehingga tingkat kehujjahan
Hadis berada setingkat di bawah al-Qur’an. Namun demikian, hadis
mempunyai keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh informasi lain,
termasuk al Qur’an, yaitu adanya sistim tranmisi yang menghubungkan
antara Nabi Muhammad sebagai sumber informasi dengan generasi
berikutnya sampai akhir informasi tersebut dihimpun dan di bukukan oleh
para Mukharrij alHadis. Sistim tranmisi yang dikenal dengan sebutan sanad
atau isnad, memungkinkan dilakukan kritik terhadap kebenaran informasi
tersebut, apakah betul bersumber dari Nabi atau hanya dibuat-buat saja. Dari
sinilah letak urgensi sanad hadis, sebab tanpa adanya sanad, setiap orang
bisa saja mengaku dirinya pernah bertemu dengan Nabi Saw. Yang menjadi
pokok kajian adalah bagaimana asal-usul dan kedudukan Sanad dalam
periwayatan hadis.
2. Rumusan Masalah
A. Apa pengertian dari sanad dan apa saja unsur-unsur dari sanad?
B. Bagaimana urgensi sanad dalam hadis?
C. Bagaimana awal mula pemakaian sanad?
D. Apa pengaruh sanad pada kualitas matan?
1
3. Tujuan Masalah
A. Untuk mengetahui pengertian Sanad dan unsur-unsur dari sanad
B. Untuk mengetahui urgensi sanad dalam hadis
C. Untuk mengetahui awal mula pemakaian sanad
D. Untuk mengetahui pengaruh dari sanad pada kualitas matan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
harus diperhatikan, apakah semuanya layak dipercaya sebagai periwayat
hadis (tsiqah) atau tidak. Kelayakan seorang perawi dalam periwayatan
hadis ini didasarkan pada dua standar, yaitu segi kualitas pribadi dan
moralnya serta kapasitas intelektual. Dari sisi kepribadian dan kualitas
moralnya, seorang periwayat hadis yang dipercaya harus dimiliki
kualitas yang adil yang menurut jumhur ulama hadis adalah seorang
yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Islam, 2. Baligh, 3.
Berakal, 4. Memelihara muru’ah, 5. Tidak berbuat dosa besar, misalnya
syirk, 6. Tidak berbuat dosa kecil, 7. Menjahui hal-hal yang dapat
merusak muru’ah. Sedangkan parameter atas kapasitas intelektualnya
(dhabith), tidak ada batasan dari para ulama hadis kecuali dari batasan
umum yang bersifat kualitatif seperti kuat hafalannya, dapat
menyampaikan hadis tersebut sesuai apa yang diterimanya serta
memahami maksud hadis yang sedang diriwayatkan dengan baik.
Unsur kedua dalam sanad hadis adalah silsilah sanad (ittishal al-
ruwat), dalam analisa rijal al-sanad pada kajian al Jarh wa al ta’dil
pembahasan ini ditempatkan dalam suatu pembahasan yang sangat
penting. Yang dimaksudkan dengan bersambungnya sanad adalah tidak
terputusnya mata rantai periwayat dari Rasulullah saw., sampai kepada
mukharrij (yang mengeluarkan/penghimpun riwayat hadis dalam
sebuah kitab) hadis. Setiap perawi telah mengambil hadis secara
langsung dari gurunya mulai dari permulaan sampai akhir sanad. hanya
yang menjadi perbedaan diantara para ulama hadis adalah jenis
persambungan itu, apakah persambungan dalam setiap perawi pernah
bertemu dengan perawi terdekat, atau bersambung karena sezaman.
Maka pada unsur ini seseorang yang ingin mengetahui kevalidan sanad
harus menganlisa biografi periwayat hadis yang ditelitinya berdasarkan
kesejarahannya, termasuk hubungannya antara dua perawi yang
berdekatan itu.
Unsur ketiga dalam sanad hadis adalah metode periwayatan dan
lambang-lambang periwayatan (al-Tahammul wa al-Adaa) jumhur
4
ulama menyepakati delapan metode yang dianggap akurat dalam proses
periwayatan. Selain dari delapan metode periwayatan tersebut, ada juga
perlu dipahami oleh seorang pengkaji hadis pada unsur sanad yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari sanad yaitu lambang-lambang
periwayatan dan Singkatan-singkatannya. Ibnu al-Salah mengemukakan
defenisi mengenai hadis shahih sebagai berikut:
”Hadis shahih adalah hadis yang bersambung sanadnya dengan
penukilan hadis dari (periwayat yang) 'adil (dan) dhābit} dari (periwayat
yang) adil dan dhābit} bersumber dari periwayat yang berkualitas yang
sama (sampai jalur) terakhirnya, dan tidak (mengandung) syāż dan
’illat.” Berdasarkan defenisi tersebut di atas maka hadis dikatakan
berkualitas shahih apabila memenuhi kriteria yaitu sanadnya
bersambung, periwayatnya bersifat adil, dan dhabit serta terhindar dari
syaz dan illat.
5
pengamatan seorang tabi'in yang bernama Muhammad bin Sirin (w. 110 H)
yang mengatakan bahwa: "Sesungguhnya pengetahuan hadis adalah agama,
maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu itu". Selain itu,
Abdullah bin al-Mubarak (w. 181 H) salah seorang ahli hadis terkemuka
juga berkata bahwa: "Sanad hadis merupakan bagian dari agama, sekiranya
sanad hadis tidak ada, niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa
yang dikehendaki".
Kajian terhadap sanad dianggap lebih menantang sebab sanad
merupakan bukti kebenaran matan hadis. Urgensi sanad menjadi poin
penting dari kebenaran hadis secara historis, sebab silsilah orang-orang
yang menghubungkan periwayatan kepada sumber aslinya atau marfü'
kepada Rasulullah saw dan sebagai perantara jalan menuju
redaksi matan hadis.
1
Ahmad Amin. Fajrul Islam (cet. II; Syirkah al Thaba’ah al Fanani al Maktabah, 1975) h.
31 dan 57.
6
Sistem periwayatan yang terjadi dalam masyarakat Arab sebelum Islam
memiliki perbedaan yang cukup berprinsip2, begitu juga sistem periwayatan
yang sudah terjadi pada masyarakat yahudi dan Nasrani. Terutama pada hal
periwayatan kitab suci mereka. Tradisi periwayatan dalam masyarakat
dalam masyarakat arab sebelum islam atau pada masa jahiliah tidak
mementingkan kebenaran berita dari apa yang mereka terima. Sehingga
mereka tidak kritis terhadap siapa yang membawa berita itu. Tidak
mementingkan kejujuran dan kebenaran yang diterimanya, karena
kebanyakan apa yang merka riwayatkan itu hanya hal-hal yang bersifat
kebanggaan dan juga untuk membakar semangat dalam berperang3.
Namun urgensi metode sanad baru tampak dan lebih penting dalam islam
khusunya periwayatan hadis, sehingga begitu berkembang sistem sanad ini,
Ibnu Mubarak mengatakan bahwa metode sanad itu merupakan bagian dari
agama islam4.
Ajaran islam sendiri yang memotivasi umatnya untuk mencari
kebenaran, pahala dan menghias diri dengan kejujuran dan mencari
kepastian terhadap apa yang di dengar dan diriwayatkan oleh seseorang
misalnya firman Allah
Swt:
ع ٰلى َما فَعَ ْلت ُ ْم ِ ُ ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا ا ِْن َج ۤا َء ُك ْم فَاس ٌِۢق بِنَبَ ٍا فَتَبَيَّنُ ْٰٓوا ا َ ْن ت
ْ ُ ص ْيب ُْوا قَ ْو ًم ٌۢا بِ َج َهالَ ٍة فَت
َ صبِ ُح ْوا
َٰندِمِ يْن
2
Metode yang digunakan mirip dengan pemakaian sanad dalam menyusun buku, namun
tidak jelas sejauh mana metode itu diperlukan.termasuka dalam penukilan syair-syair
jahiliah. Misalnya dalam kitab Yahudi Mishnah, M.M. Azami, Hadis Nabawi Dan
Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: PT.Pustaka Firdaus,1994), h. 530.
3
Penggunaan sanad Masyarakat Jahiliyah bukan hal-hal yang bersifat sakral dan suci
serta tidak memiliki ketentuan-ketentuan yang ketat, . Muhammad Abu Syuhbat, Fi Rihat
al Sunnat al Kutub al Shihal al sittah, Majma al-Buhut al-Islamiyah, Azhar Kairo,1989, h.
32.
4
M.M. Azami, Hadis Nabawi, h. 530.
7
keadaannya yang meyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Q.S
Al-Hujarat : 6).
8
sanad dan matan, maka penelitian sanad terlebih dahulu dilaksanakan. Oleh
karena itu dapat dipahami juga mengapa Imam an-Nawawi (w. 676 H/1277
M) menyatakan bahwa hubungan sanad dengan matan ibarat hewan dengan
kakinya.5
Langkah ini tidak berarti bahwa penelitian terhadap sanad lebih
penting daripada penelitian matan. Bagi ulama hadis, bagian riwayat hadis
itu sama-sama pentingnya, hanya saja penelitian matan barulah mempunyai
arti apabila sanad bagi matan hadis tersebut telah jelas-jelas memenuhi
syarat. Selain matan hadis harus mempunyai sanad yang sahih atau minimal
tidak termasuk berat keda‘ifannya. Tanpa adanya sanad, maka suatu matan
tidak dapat dinyatakan sebagai berasal dari Rasulullah atau matan yang
sanadnya sangat da‘if tidak perlu untuk diteliti, sebab hasilnya tidak akan
memberi manfaat bagi kehujjahan hadis yang bersangkutan.6
Apabila ada suatu ungkapan yang oleh pihak-pihak tertentu
dinyatakan sebagai hadis, padahal ungkapan itu sama sekali tidak memiliki
sanad, maka menurut ulama hadis, ungkapan tersebut dinyatakan sebagai
hadis palsu. Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa ulama hadis
barulah menganggap penting penelitian matan untuk dilakukan setelah
sanad bagi matan itu telah diketahui kualitasnya.
Menurut ulama hadis, suatu hadis barulah dinyatakan berkualitas
sahih (dalam hal ini sahih lizatih) apabila sanad dan matannya sama-sama
sahih.7 Dengan demikian, hadis yang sanadnya sahih dan matannya tidak
sahih atau sebaliknya, sanadnya tidak sahih matannya sahih tidak bisa
dinyatakan sebagai hadis sahih. Suatu hadis yang sanadnya dengan tingkat
akurasi yang tinggi mestinya matannya sahih. Kesahihan sanad hadis
menunjukkan kesahihan suatu hadis Nabi. Adanya pemahaman secara
kontekstual, maka suatu hadis yang sanadnya sahih ataupun hasan tidak
dapat serta merta matannya dinyatakan sebagai berkualitas da‘if (lemah)
5
An-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘Ala Sahih Muslim (Mesir: al-Matba ‘ah al-Misriyah, 1924), Juz 1,
h. 88
6
Ibid., h. 170.
7
Al-Idlibi, Manhaj, h. 254
9
ataupun palsu, karena teks matan hadis yang bersangkutan tampak tidak
sesuai dengan kaedah kesahihan matan yang digunakan.8 Terhadap hadis
yang sanadnya sahih ataupun hasan, diperlukan upaya pemahaman yang
sungguh-sungguh, sehingga terhindar dari penilaian terhadap suatu hadis
yang sebenarnya berkualitas sahih ataupun hasan dinyatakan berkualitas
da‘if.
Dalam hal ini, kesahihan sanad hadis menunjukkan kesahihan matan
hadis. Jika ternyata suatu matan hadis sahih tampak berlawanan dengan
matan hadis sahih lainnya, maka dimungkinkan adanya kesalahan
pendekatan dalam penggunaan kaedah kesahihan matan. Sebab, penerapan
kaedah kesahihan matan yang tidak tepat terkadang melemahkan suatu
hadis yang sebenarnya sahih. Hadis yang sanadnya benar-benar sahih,
sedangkan matannya tampak berlawanan dengan kaedah kesahihan matan,
maka hadis yang bersangkutan dapat dipahami secara kontekstual.
Tapi pada kenyataannya tidaklah demikian, ada hadis yang
sanadnya sahih, tetapi matannya da‘if. 9 Hal ini terjadi sesungguhnya
bukanlah disebabkan oleh kaedah kesahihan sanad yang kurang akurat,
melainkan karena ada faktor-faktor lain yang telah terjadi misalnya :
a. Karena telah terjadi kesalahan dalam melaksanakan penelitian matan,
umpamanya karena kesalahan dalam menggunakan pendekatan ketika
meneliti matan yang bersangkutan.
b. Karena telah terjadi kesalahan dalam melaksanakan penelitian sanad.
c. Karena matan hadis yang bersangkutan telah mengalami periwayatan
secara makna yang ternyata mengalami kesalahpahaman.10
Dengan kemungkinan adanya kesalahan yang terjadi, maka
penelitian ulang terhadap sanad dan matan hadis tidak hanya bersifat
konfirmatif semata, tetapi memang perlu dan penting. Hal ini untuk menepis
anggapan sebagian ulama bahwa penelitian ulang terhadap hadis Nabi
8
Syuhudi, Hadis Nabi, h. 90.
9
Syuhudi, Kaedah, h. 228.
10
Syuhudi, Penelitian, h. 124.
10
hanya bersifat konfirmatif semata karena berbagai hadis Nabi yang telah
dibukukan dalam berbagai kitab dengan metode yang beragam, seperti kitab
sahih, musnad, mustadrak, mu‘jam, musannaf, al-atraf, zawaid dan al-
ajja’’. 11 Untuk itulah penulis merasa tertarik untuk mengkaji ulang
pemahaman M. Syuhudi Ismail dalam tulisan ini.
Unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan hadis yang
berkualitas sahih ada dua macam, yaitu terhindar dari kejanggalan (syadz)
dan cacat (‘illah). Oleh karena itu yang dua ini jadi acuan utama dalam
meneliti matan. Untuk itu, kecerdasan, keluasan ilmu pengetahuan dan
kecermatan peneliti sangat diharapkan.12 Apabila penelitian syadz dan ‘illah
hadis pada sanad dinyatakan sulit, maka demikian juga syadz dan‘illah pada
matan lebih sulit. Sebagaimana telah diketahui bahwa sanad mempunyai 3
macam kualitas, yaitu sahih, hasan dan da‘if. Sedangkan pada matan tidak
dikenal dengan hasan. Seperti halnya juga dalam matan yang da‘if
bermacam-macam, tetapi tidak sebanyak pada sanad. Istilah-istilah yang
dipakai untuk matan da‘if ada yang sama dengan pada sanad seperti
mu‘allal, mudraj dan mubham. Dan ada juga yang khusus untuk matan
seperti munqalib.
11
Arifuddin, Paradigma, h. 172.
12
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta: Gema
Insani Press, 1995), h. 80.
11
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. menurut Istilah ilmu hadis sanad berarti silsilah periwayat hadis
yang menghubungkan kepada matan hadis dari periwayat terakhir
sampai kepada Nabi Muhammad Saw.
2. Sanad hadis dipergunakan sejak para Sahabat Nabi merupakan suatu
tradisi ilmiah dan sistem periwayatan yang dapat dipertahankan dan
dipertanggung jawabkan.
3. Unsur-unsur sanad dalam periwayatan hadis adalah bagian yang
sangat penting baik dalam menentukan kualitas hadis maupun dari
segi kuantitasnya.
4. Urgensi sanad menjadi poin penting dari kebenaran hadis secara
historis, sebab silsilah orang-orang yang menghubungkan
periwayatan kepada sumber aslinya atau marfü' kepada Rasulullah
saw dan sebagai perantara jalan menuju redaksi matan hadis.
5. Suatu hadis barulah dinyatakan berkualitas sahih (dalam hal ini
sahih lizatih) apabila sanad dan matannya sama-sama sahih. Dengan
demikian, hadis yang sanadnya sahih dan matannya tidak sahih atau
sebaliknya, sanadnya tidak sahih matannya sahih tidak bisa
dinyatakan sebagai hadis sahih.
12
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. (2016). Sejarah dan Kedudukan Sanad dalam Hadis Nabi. Tahdis:
Jurnal Kajian Ilmu Al-Hadis, 7(1).
Ali, M. (2015). Kajian Sanad. Tahdis: Jurnal Kajian Ilmu Al-Hadis, 6(2).
Imtyas, R. (2021). Metode Hasan bin Ali Assaqaf dalam Kritik Hadis : Studi atas
Kitab Tanāquḍāt al-Albāni al-Wāḍiḥāt. Penerbit A-Empat.
13