Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH UNSUR-UNSUR HADITS (SANAD, MATAN DAN RAWI HADITS)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Ulumul Hadits


Dosen : Dr. H. Mahfud, M.M.

Disusun Oleh: Kelompok 3


Hukum Tata Negara-A Semester II
Silvy Oktavia Kurnia Putri (201120001)
Ainun Sutiara (201120027)
Riva Faustina (201120031)

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
2021 M / 1442 H

i
KATA PENGANTAR

Dengan memuji nama Allah SWT, Penulis mengungkapkan puji terhadap Allah SWT,
menganugerahkan rahmat dan Hidayah, sehingga Penulis mampu menulis makalah berjudul
"UNSUR-UNSUR HADITS (SANAD, MATAN DAN RAWI HADITS) dengan tepat waktu.
Pembuatan makalah ini diperuntukan dalam mencukupi Tugas Mata Kuliah "Ulumul Hadits".

Makalah ini telah Penulis upayakan semaksimal mungkin dengan dukungan semua pihak agar
penyusunannya dapat berjalan dengan lancar. Dan tak lupa bahwa Penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu Penulis menulis makalah ini.

Dalam pembuatan makalah ini Penulis sangat menyadari bahwa baik dalam penyampaian
maupun penulisan dan struktur masih banyak kekurangnnya. Oleh karena itu, dalam penyusunan
Makalah ini Penulis mau bisa menerima saran dan kritik dari siapapun.

Semoga makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi semuanya dan Penulis juga berharap
dapat menginspirasi pembaca untuk mengajukan pertanyaan terkait lainnya di makalah yang
akan mendatang.

Tasikmalaya, 10 Maret 2021

Penyusun,

ii
ABSTRAK
Hal ini membahas metode kritik Sanad dan Matan dan Rawi. Dalam kajian Hadis, ketiga aspek
ini sama pentingnya. Sanad merupakan rangkaian perawi yang menyampaikan hadits, dan matan
adalah isi / informasi hadits itu sendiri san rawi yaitu yang meriwayatkan. Untuk memahami
kualitas Hadis, Kita harus memahami kualitas transmisi dan isinya. Oleh karena itu,
Pembahasam ini menjadi penting karena membahas metode kritis Sanad dan Matan. Sumber
artikel ini berasal dari buku / buku dan jurnal yang berkaitan dengan subjek penulisan.

Kata Kunci: Sanad, Matan, Rawi, Hadist

It discusses the methods of criticism of Sanad and Matan and Rawi. In the Hadith study, these
three aspects are equally important. Sanad is a series of narrators who convey hadith, and matan
is the content / information of the hadith itself, which is narrated. In order to understand the
quality of the Hadith, we must understand the quality of the transmission and its content.
Therefore, this discussion is important because it discusses the critical methods of Sanad and
Matan. The sources of this article come from books / books and journals related to the subject of
writing.

Keywords: Sanad, Matan, Rawi, Hadith

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii
ABSTRAK.....................................................................................................................................iii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................iv
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan....................................................................................................................2
1.4 Manfaat..................................................................................................................................2
1.5 Metode Penulisan...................................................................................................................2
BAB II.............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN..............................................................................................................................3
2.1 Pengertian Sanad, Matan dan Rawi.......................................................................................3
2.2 Syarat-syarat Perawi Hadits...................................................................................................4
2.3 Cara Menerima Hadits...........................................................................................................5
BAB III..........................................................................................................................................11
PENUTUP.....................................................................................................................................11
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................12

iv
v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bagi kaum Muslim, hadist dianggap sebagai sumber hukum utama setelah Al-
Quran. Hadits merupakan sumber tasyri penting didalam Islam. Umat Islam meyakini
bahwa Al-Quran dan hadits adalah sumber hukum Islam yang tidak bias dipisahkan
didalam kepentingan istidlal dan dipandang sebagai sumber utama yaitu, nash. Keduanya
saling keterkaitan dalam menjelaskan syari’ah-syari’ah.
Hadits merupakan pedoman hidup bagi umat islam setelah Al-Quran. Dimana
segala sesuatu yang tidak dijelaskan didalam Al-Quran seperti apa hukumnya, bagaimana
cara mengamalkannya, serta apa dalilnya.
Didalam hadits terdapat tiga unsur hadits, diantaranya adalah sanad, matan, dan
rawi. Dimana diantara ketiganya memiliki keterkaitan yang sangat erat dan tidak dapat
dipisahkan. Sebuah berita dari Rasulullah SAW, matan tanpa ditemukan rangkaian atau
susunan sanadnya, dimana yang demikian itu tidak dapat disebut sebagai hadits. Begitu
pula dengan suatu susunan sanad, meskipun bersambung sampai Rasulullah SAW jika
tidak terdapat berita di bawahnya, tidak bias dikatakan sebagai hadits juga.
Ketiga unsur-unsur hadits yang merupakan unsur pokok tersebut, matan dan
sanad digunakan setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
Seiring berkembangnya zaman dari masa ke masa, terdapat banyak sekali pihak-
pihak yang ingin memalsukan hadits. Yaitu bisa dengan jalan membuatkan hadits Yang
palsu. Sebagai umat Islam harus mengetahui keaslian hadits dengan mempelajari struktur
hadits itu sendiri. Seperti melihat sanad, matan, dan perawi hadits disertai dengan
transformasi hadits tersebut. Tranformasi hadits adalah periwayatan hadits atau jalannya
hadits dari perawi sampai kepada Rasulullah SAW.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan pembuatan makalah ini untuk mencari tahu dan berpikir kritis dalam mencari
jawaban dan kebenaran yang seharusnya adapun rumusan masalah yang akan di cari adalah :

1. Apa yang disebut dengan sanad, matan dan rawi hadits?

1
2. Adakah syarat-syarat untuk menjadi perawi hadits?
3. Bagaimana cara menerima hadits?

1.3 Tujuan Penulisan

Tentu bukan tanpa alasan penulis membuat makalah, yaitu salah satunya adalah mencari tujuan
dari rumusan masalah tersebut dan tujuannya adalah:

1. Untuk mengetahui pengertian dari sanad, matan dan rawi hadits.


2. Untuk mengetahui syarat-syarat untuk menjadi perawi hadits.
3. Untuk mengetahui cara menerima hadits.

1.4 Manfaat

Melakukan sesuatu yang baik dan positif tentu akan memberikan manfaat yang sesuai dengan
tujuan yang sudah dijalankan. Antara lain manfaatnya:

1. Dapat mengetahui pengertian dari sanad, matan dan rawi hadits.


2. Dapat mengetahui syarat-syarat untuk menjadi perawi hadits.
3. Dapat mengetahui cara menerima hadits.

1.5 Metode Penulisan

Adapaun Metode penyusunan dari makalah ini yaitu dengan menggunakan cara kajian pustaka,
yakni dengan mengkaji beberapa sumber dari internet dan buku-buku yang sesuai dengan topik
yaitu Sanad, Matan dan Rawi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sanad, Matan dan Rawi

a. Sanad adalah secara bahasa berarti al-mu'tamad artinya yang kuat yang bisa dijadikan
pegangan atau bisa juga sesuatu yang terangkat tinggi dari tanah, sedangkan secara
terminologi, Sanad yaitu jalannya Matan yaitu, silsilah para perawi yang meriwayatkan
matan dari sumber yang pertama dan menurut bahasa sanad (‫ )السند‬adalah sandaran.
Sedangman menurut istilah yaitu:
‫ال ْالموصلة لِ ْل َمتن‬
ِ ‫ِس ْل ِسلَةُ الر َج‬
Atau
‫َر َواةُ ْال َح ِديْث الِّ ِذ ْينَ نَقَلُوْ هُ إِلَ ْينَا‬
Para periwayat hadits yang menyampaikan hadits kepada kita. Dengan kata lain, Sanad
adalah orang yang menyebarkan Hadis dari tingkat sahabat sehingg Hadis yang sampai
pada kita.
b. Matan secara bahasa yaitu sesuatu yang keras dan tinggi terangkat dari bumi. Sedangkan
secara terminologi matan berarti sesuatu yang berakhir padanya terletak sesudah sanad
yaitu berupa perkataan atau menurut bahasa, matan (‫ )المتن‬yaitu tanah yang keras juga
tinggi. Sedangkan menurut istilah yaitu:
‫َما يَ ْنتَ ِهي إِلَ ْي ِه ال َّسنَ ُد ِمنَ ْالكَاَل ِم‬
Kalimat setelah berakhirnya sanad suatu hadits. Dalam pengertian ini, jika rantai sanad
disebutkan, maka itu adalah matannya. Dengan kata lain, Matan adalah editor Hadis itu
sendiri.
c. Rawi
Rawi (‫ )الراوي‬baik dia meriwayatkan secara lisan maupun langsung dari gurunya secara
tertulis. Contoh orang yang menafsirkan atau juru hadis dari berbagai tingkatan:
1. Periwayat hadits dari tingkatan sahabat : Abu Hurairah, Aisyah, Anas bin Malik dll.
2. Periwayat hadits dari tingkatan tabiin : Umayyah bin Abdullah bin Khalid, Sa’id bin
Al-Musayyab, dll.

3
3. Periwayat hadits dari tingkatan mudawwin : Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam
An-Nasa’iy, Imam Ahmad, dll

2.2 Syarat-syarat Perawi Hadits

Menurut bahasanya, rawi berasal dari kata riwaayah yang merupakan bentuk kata kerja
rawaa-yarwii mashup yang berarti “memindahkan atau menyampaikan”. Bentuk jamak dari
kata raawii adalah ruwaat. Karena itu, raawii adalah orang yang meriwayatkan atau menulis
buku, dia mendengar atau menerima dari orang lain.

Perawi memegang peranan yang sangat penting dan tentunya harus memikul tanggung
jawab yang cukup besar, karena efektifitas suatu hadits tergantung pada hadits tersebut.
Mengenai hal tersebut, juri ahli hadits, ushul dan fiqh menetapkan beberapa syarat bagi
periwayatan hadits, yaitu sebagai berikut:

1. Islam

Pada waktu periwayatan hadits, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut Ijma,
periwayat seseorang yang kafir tidak dapat diterima. Seandainya seorang fasik pun kita
disuruh tawaquf, maka lebih-lebih orang kafir. Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita,
Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.” (Q.S. AL-Hujarat (49) :6)

“Hilang kewajiban menjalankan syari’at islam dari tiga golongan, yaitu orang gila sampai
dia sembuh, orang tidur sampai bangun dan anak-anak sampai ia mimpi”.(HR. Abu Daud
dan Nasa’i)

2. Adil

Yang disebut "keadilan" mengacu pada karakteristik eksistensi jiwa seseorang, yang
memungkinkan orang-orang dengan karakteristik tersebut untuk memelihara kesalehan,
mempertahankan karakternya dan percaya pada diri sendiri.

4
3. Dhabit

Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang iya dengar
dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya.

Jalannya mengetahuin kedhabitan perawi dengan jalan I’tibar terhadap berita-beritanya


dengan berita-berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan. Ada juga yang mengatakan,
bahwa disamping syarat-syarat yang disebutkan di atas, antara satu perawi dengan perawi
lain harus bersambung, hadits yang disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil dan tidak
bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat ayat-ayat Al-Quran

4. Baligh
5. Berakal
6. Tidak pernah melakukan perbuatan dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil.

2.3 Cara Menerima Hadits

Para ulama ahli hadits menggolongkan metode menerima suatu periwayatan hadis menjadi
delapan macam.

a) Al-Sima’

Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan
gurunya dengan cara didekatkan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Sehingga
yang menghadirinya mendengar apa yang disampaikannya tersebut. Menurut jumhur ahli
hadis bahwa cara ini merupakan cara penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya.
Sehingga mereka ada yang mengatakan bahwa al-sama’ yang dibarengi dengan al-kitabah
mempunyai nilai lebih tinggi dan paling kuat. Karena terjamin kebenarannya dan
terhindar dari kesalahan dibanding dengan cara-cara lainnya, disamping para sahabat juga
menerima hadis dari Nabi SAW dengan cara seperti ini.

Termasuk dalam kategori sama’ juga seseorang yang mendengarkan hadis dari syeikh
dari balik sattar (semacam kain pembatas/penghalang). Jumhur ulama membolehkannya
dengan berdasar pada para sahabat yang juga pernah melakuhkan hal demikian ketika
meriwayatkan hadis hadis Rasulullah melalui ummahat al mu’minin (para istri nabi).

5
Menurut Al-Qadhi ‘Iyad, para ulama tidak memperselisihkan kebolehan rawi dalam
meriwayatkannya menggunakan kata – kata:

‫( َح َّدثَنَا‬seorang telah menceritakan kepada kami)

‫( أَ ْخبَ َرنَا‬seorang telah mengabarkan kepada kami)

‫( أَ ْنبَأَنَا‬seorang telah memberitakan kepada kami)

‫ْت فُالَنًا‬
ُ ‫( َس ِمع‬saya telah mendengar seseorang)

‫( قَا َل لَنَا فُالَ ٌن‬seseorang telah berkata kepada kami)

‫( َذ َك َر لَنَا فُالَ ٌن‬seseorang telah menuturkan kepada kami)

b) Al-Qari’ah ‘Ala Al-Syaikh atau ‘Aradh Al-Qira’ah

Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara seseorang membacakan hadis
dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakannya maupun orang lain, sedang
sang guru mendengarkan atau menyimaknya, baik sang guru hafal maupun tidak tetapi
dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya atau dia tergolong tsiqqah.

Ajjaj Al-Khatib dengan mengutib pendapat Imam Ahmad mensyaratkan orang yang
membaca (qari) itu mengetahui dan memahami apa yang dibaca. Sementara syarat bagi
Syeikh dengan mengutip pendapat Imam Haramain hendaknya yang ahli dan teliti
ketika mendengar atau menyimak dari apa yang dibacakan oleh qari’, sehingga tahrif
maupun tashif dapat terhindrkan. Jika tidak demikian maka proses tahammul tidak sah.

Para ulama sepakat bahwa cara seperti ini dianggap sah, namun mereka berbeda
pendapat mengenai derajat al-qira’ah. Diantara mereka, seperti Al-Lias bin Sa’ad,
Syu’aban, Ibnu Juraih, Sufyan Al-Tsauri, Abu Hanifah, Menganggap bahwa al-qari’ah
lebih baik jika dibanding al-sama’, sebab dalam al-sama’ bila bacaan guru salah, murid
tidak leluasa menolak kesalahan, tetapi dalam al-qari’ah bila bacaan murid salh guru
segera membenarkannya. Imam Malik, Bukhari, sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah
menganggap bahwa antara al-qira’ah dengan al-sama’ mempunyai derajat yang sama.
Ibnu Abbas mengatakan (kepada muridnya) “Bacakanlah kepadaku, sebab bacaan
kalian kepadaku seperti bacaanku kepada kalian”. Sementara Ibnu Al-Shalah, Imam

6
Nawawi dan Jumhur ulama memandang bahwa al-sama’ lebih tinggi derajatnya
dibanding dengan cara al-qira’ah.

c) Al-Ijazah

Yakni seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau
kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun murid tidak membacakan
kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti;

‫ا جز ت لك ا ن تر و ي عنى‬

(saya mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku)

Para ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan ijazah ini sebagai cara untuk
meriwayatkan hadis. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadis dengan
menggunakan ijazah ini dianggap bid’ah dan tidak diperbolehkan dan bahkan ada
sebagian ulama yang menambahkan bahwa ijazah ini benar-benar diingkari.
Sedangkan ulama yang memperbolehkan cara ijazah ini menetapkan syarat hendaknya
sang guru benar-benar mengerti tentang apa yang diijazahkan dan naskah muridnya
menyamai dengan yang lain, sehingga seolah-olah naskah tersebut adalah aslinya serta
hendaknya guru yang memberi ijazah itu benar-benar ahli ilmu.

Al- Qadhi ‘iyad membagi Ijazah menjadi enam macam, sedang Ibnu Al-Sahalah
menambah satu macam lagi, sehingga menjadi tujuh macam. Ketujuh macam al-ijazah
tersebut sebagai berikut:

Pertama, seseorang guru mengijazahkan kepada seseorang tertentu atau kepada


beberapa orang tertentu sebuah kitab, atau beberapa kitab yang dia sebutkan kepada
mereka. Al-ijazah seperti ini diperbolehkan menurut jumhur.

Kedua, bentuk ijazah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak
tertentu, seperti “saya ijazahkan kepadamu sesuatu yang saya riwayatkan untuk kamu
riwayatkan dariku”. Cara seperti ini menurut jumhur juga tergolong yang
diperbolehkan.

Ketiga, bentuk al-ijazah secara umum seperti ungkapan “saya ijazahkan kepada kaum
Muslimin atau kepada orang-orang yang ada (hadir)”.

7
Keempat, bentuk al-ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan
sesuatu yang tidak tertentu. Cara seperti ini dianggap fasid (rusak).

Kelima, bentuk al-ijazah kepada orang yang tidak ada, seperti mengijazahkan kepada
bayi yang masih dalam kandungan. Bentuk ijazah seperti ini tidak sah.

Keenam, bentuk al-ijazah mengenai sesuatu yang belumdiperdengarkan atau


dibacakan kepada penerima ijazah, seperti ungkapan ”saya ijazahkan kepadamu
untuk kamu riwayatkan dari sesuatu yang akan kudengarnya”. Cara seperti ini
dianggap batal.

Ketujuh, bentuk al-ijazah al-mujaz, seperti perkataan guru “saya ijazahkan kepada
kamu ijazahku”. Bentuk ini termasuk yang diperbolehkan.

d) Al-Munawalah

Yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah kitab kepada
muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan, bahwa al-munawalah ialah
seorang guru memberi keda seorang murid, kitab asli yang didengar dari gurunya, atau
sesuatu naskah yang sudah dicocokkan, sambil berkata “inilah hadis-hadis yang sudah
saya dengar dari seseorang, maka riwayatkanlah hadis itu dariku dan saya ijazahkan
kepadamu untuk diriwayatkan”.

Al-Munawalah itu mempunyai dua bentuk, yakni:

Pertama, al-munawalah dibarengi dengan ijazah. Misalnya setelah sang guru


menyerahkan kitabnya yang telah dia riwayatkan atau naskahnya telah dicocokkan,
lalu dia katakan kepada muridnya “ini riwayat saya, maka riwayatkanlah dariku”,
kemudian menyerahkan dan sang murid menerima sambil sang guru berkata “saya
ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku”. Cara seperti ini menurut Al-
Qadhi ‘Iyad termasuk periwayatan yang dianggap sah oleh para ulama ahli hadis.
Hadis berdasar atas munawalah bersama ijazah biasanya menggunakan redaksi :

‫( ا نبا نا ا نبا نى‬seseorang telah memberitahukan kepadaku/kami)

Kedua, al-munawalah tanpa dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan guru kepada
muridnya “ini hadis saya” atau “ini adalah hasil pendengaranku atau periwayatanku”

8
dan tidak mengatakan “riwayatkanlah dariku atau saya ijazahkan kepadamu”. Menurut
kebanyakan ulama al-munawalah dalam bentuk ini tidak diperbolehkan. Hadis yang
diriwayatkan berdasarkan munawalah tanpa dibarengi ijazah ini biasanya
menggunakan redaksi :

‫( ا نبا نا ا نبا نى‬seseorang telah memberitahukan kepadaku/kami)

e) Al-Mukatabah

Yakni seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan
sebagian hadisnya guna diberikan kepada murid yang ada dihadapannya atau yang tidak
hadir dengan jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.

Al-Mukatabah ada dua macam, yakni:

Pertama, al-muktabah yang dibarengi dengan ijazah, yaitu sewaktu sang guru menuliskan
beberapa hadis untuk diberikan kepada muridnya disertai dengan kata-kata “ini adalah
hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah” atau “saya ijazah (izin)-kan kepadamu untuk
kamu riwayatkan kepada orang lain”. Kedudukan al-muktabah dalam bentuk ini sama
halnya dengan al-munawalah yang dibarengi dengan ijazah, yakni dapat diterima.

Kedua, al-muktabah yang tidak dibarengi dengan ijazah yakni guru menuliskan hadis
untuk diberikan kepada muridnya dengan tanpa disertai perintah untuk meriwayatkan atau
mengijazahkan. Al-muktabah dalam bentuk ini diperselisihkan oleh para ulama. Ayub,
Mansur, Al-Lais, tidak sedikit dari ulama Syafi’iyah dan ulama usul menganggap sah
periwayatan dengan cara ini. Sedangkan Al-Mawardi menganggap tidak sah.

f) Al-I’lam

Artinya, guru menginformasikan kepada siswa bahwa kitab atau hadits yang yang
diriwayatkannya dia terima dari seseorang (guru), dengan tanpa memberi izin kepada
muridnya untuk meriwayatkannya atau menyuruhnya. Beberapa ahli adalah ahli ushul, dan
Ibn Al-Salah memilih pandangan ini untuk melarang penyebaran Hadis dengan cara ini.
Karena guru mungkin sudah tahu bahwa ada sedikit banyak kekurangan. Pada saat yang
sama, sebagian besar ulama dari ahli hadits, ahli fiqh dan ahli ushul mengijinkan hal
tersebut.

9
g) Al-Wasiyah

Artinya, ketika seorang guru meninggal atau bepergian, dia akan meninggalkan pesan
kepada orang lain untuk memberitahukan hadits atau buku-bukunya setelah dia meninggal
atau bepergian. Periwayatan hadis dengan cara ini oleh jumhur dianggap dengan cara ini
lemah. Pada saat yang sama, Ibn Sirin mengizinkan praktik hadits yang dijelaskan dalam
surat wasiat ini. Orang yang memperoleh kemauan ini mungkin tidak dengan mudah
menyebarkan hadits dari orang yang memberi wasiat

‫ حد تنى فال ن بكذ ا‬seseorang telah memberitahukan kepadaku begini karena si penerima wasiat
tidak bertemu dengannya.

h) Al-Wijadah

Artinya, seseorang memperoleh hadits orang lain dengan mempelajari kitab-kitab Hadits
sebagai ganti al-sama ', al-ijazah atau al-munawalah. Para Ulama tidak setuju dengan
pendekatan ini. Kebanyakan ahli Hadits dan ahli fiqh dari aliran pemikiran Malikiyah
tidak mengizinkan untuk meriwayatkan Hadits dengan cara ini. Imam Syafi'i dan
sekelompok pengikutnya mengizinkan hadits dan kegiatan amal dilaporkan dengan cara
ini. Ibn Al-Salah mengatakan bahwa sebagian ulama Muhaqqiqin telah mewajibkan
mereka untuk melakukan cara ini.

10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Unsur-unsur pokok hadits ialah Sanad, Matan, dan Rawi. sanad hadis merupakan
rangkaian para periwayat yang menyampaikan kita kepada Matan Hadits. Sedangkan Matan
Hadits ialah perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW yang disebut
sesudah habis disebutkan sanadnya. Antara Sanad dan Rawi itu merupakan dua istilah yang
tidak dapat dipisahkan. Sanad-Sanad Hadits pada tiap-tiap thabaqah nya juga disebut Rawi.
Akan tetapi yang membedakan antara Rawi dan Sanad adalah terletak pada pembukuan atau
pengasinan Hadits. Orang yang menerima hadis dan kemudian menghimpun nya dalam
suatu kitab Hadits disebut dengan Perawi. Dengan demikian maka perawi dapat disebut
Mudawwin (Orang yang membukukan dan menghimpun hadits).

Menurut Ahli Hadits dan Ahli Ushul Fiqh menetapkan beberapa syarat bagi
periwayatan hadits, Berikut syarat-syarat Perawi Hadits: Islam, Adil, Dhabit, Baligh,
Berakal dan Tidak pernah melakukan perbuatan dosa besar dan tidak sering melakukan dosa
kecil. Cara menerima Hadits antara lain: Al-Sima', Al-Ijazah, Al-Qari'ah 'Ala Al-Syaikh atau
'Aradh Al-Qira'ah, Al-Munawalah, Al-Mukatabah, Al-i'lam, Al-Wasiyah, Al-Wijadah.

11
DAFTAR PUSTAKA

https://mantanislamjamaah.com/2020/01/13/pengertian-sanad-matan-dan-rawi-beserta-
contohnya/

http://www.jejakpendidikan.com/2015/08/syarat-syarat-seorang-perawi.html?m=1

https://www.google.com/amp/s/hidayatullahahmad.wordpress.com/2014/07/12/periwayatan-dan-
cara-penerimaan-hadis/amp/

Abdul, Khon, Majid. 2015. Ulumul Hadis. Jakarta : AMZAH Jl. Sawo Raya No. 18.

Nawer, Yuslem. 2001. Ulumul Hadis. Jakarya : PT. MUTIARA SUMBER WIDYA.

https://www.academia.edu/37908616/UNSUR_UNSUR_HADITS_DAN_PROSES_TRANSFO
RMASI_NYA

http://tarichanabila.blogspot.com/2019/04/ulumul-hadist-sanad-matan-dan-rawi.html?m=1

12

Anda mungkin juga menyukai