Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MA’ANIL HADITS :
SUATU UPAYA MEMAHAMI HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
Disusun dalam rangka untuk memenuhi salah satu tugas individu
Mata Kuliah : Studi Hadits
Dosen : Dr. Ali Sibram Malisi, M.Ag.

Oleh:
Mitra
NIM. 19013279

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)


PALANGKA RAYA

PROGRAM STUDI
MAGISTER MANAJEMENPENDIDIKAN ISLAM
SEMESTER 2
TAHUN 2020
Kata Pengantar

Alhamdulillah, puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan petunjuk dan hidayah-Nya kepada kami sehingga penulisan makalah
yang berjudul “ Ma’anil hadits : suatu upaya memahami hadits sebagai sumber
ajaran Islam ” ini dapat terselesaikan.
Selanjutnya,ucapan terima kasih dan penghargaan kami berikan kepada
semua pihak atas bimbingannya dalam mengarahkan kami sehingga kami bisa
memahami lebih jauh mengenai mata kuliah yang sedang berjalan.

Kami menyadari berbagai kelemahan, kekurangan dan keterbatasan yang


ada, sehingga tetap terbuka kemungkinan terjadi kekeliruan dan kekurangan
dalam penulisan makalah kami. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari para pembaca
terutama dari Dosen Mata Kuliah , yang tentunya lebih menguasai ilmu-ilmu di
bidangnya, dalam rangka penyempurnaan makalah kami.

Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kami
sebagai penulis memohon ma’af atas segala kekurangan dan terima kasih atas
perhatiannya.

Wassalam

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ i


DAFTAR ISI ............................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ……………………………………………………………….
B. Rumusan masalah ………………………………………………………………
C. Tujuan penulisan ………………………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian …………………………………………………………………
1. Metode Historis ………………………………………………………….
2. Metode hermeneutika ……………………………………………………
B. Kedudukan Hadits …………………………………………………………….
C. Fungsi Hadist Dalam Al-Qur’an ……………………………………………..

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ……................................................................................. 13
B. Saran ……………………………………………………………………… 13

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seluruh umat islam, telah sepakat bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran
islam. Ia mempati kedudukannya setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti hadis bagi umat
islam baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban
mengikuti Al-Qur`an. Hai ini karena, hadis merupakan mubayyin bagi Al-qur`an, yang
karenanya siapapun yang tidak bisa memahami Al-qur`an tampa dengan memahami dan
menguasai hadis. Begitu pula halnya menggunakan hadis tampa Al-qur`an. Karena Al-
qur`an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari`at.
Dengan demikian, antara hadis dengan Al-qur`an memiliki kaitan erat, yang untuk
mengimami dan mengamalkannya tidak bisa terpisahkan atau berjalan dengan sendiri-
sendiri.1
Hadits bukanlah teks suci sebagaimana Al-qur’an. Namun, hadits selalu menjadi
rujukan kedua setelah Al-qur’an dan menempati posisi penting dalam kajian keislaman.
Mengingat penulisan hadits yang dilakukan ratusan tahun setelah Nabi Muhammad SAW
wafat, maka banyak terjadi silang pendapat terhadap keabsahan sebuah hadits. sehingga hal
tersebut memuncul kan sebagian kelompok meragukan dan mengingkari akan kebenaran
hadits sebagai sumber hukum.
Setelah pengkodifikasian Alquran, yang dilakukan para sahabat Nabi Shallallaahu
‘alayhi wa Sallam adalah menghimpun hadis. Karena wilayah Islam yang tersebar sangat
luas, hadis baru dikodifikasikan pada abad ke-2 H. atas usulan dari khalifah ‘Umar ibn
‘Abdul ‘Aziz. Aktivitas pengumpulan hadis tersebut berlangsung selama kurang lebih 12
abad.
Hadis merupakan bagian dari kebijaksanaan Nabi, maka mungkin saja hadis tersebut
suatu hadis dapat dimaknai secara tekstual (tersurat) atau kontekstual (tersirat). Segi-segi
yang berkaitan erat dengan diri Nabi dan yang melatarbelakangi ataupun menyebabkan
terjadinya hadis tersebut mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman suatu hadis.
Ilmu ma’anil hadits inilah ilmu yang menelaah suatu hadis agar mudah dipahami,
baik itu hadis yang bersifat tekstual maupun kontekstual. Dari tujuan dibentuknya ilmu
tersebut,
1
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama,1996, h. 19.
1
2

diharapkan muncul bukti-bukti yang jelas bahwa dalam berbagai hadis Nabi, terkandung
ajaran Islam yang bersifat universal, temporal, atau lokal.
Banyak al-qur’an dan hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu
merupakan sumber hukum islam selain al-qur’an yang wajib di ikuti, baik dalam bentuk
perintah, maupun larangan nya. Namun mengapa para pengingkar sunnah tetap
meragukannya? Berikut makalah ini akan memaparkan sedikit tentang Ma’anil hadits :
suatu upaya memahami hadits sebagai sumber ajaran Islam
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas penulis membatasi pembahasan dalam makalah ini dengan
merumuskan masalah dalam penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut:
1. Apakah itu maanil Hadits ?
2. Bagaimana kedudukan Hadist sebagai sumber hukum islam ?
3. Apa Fungsi Hadist terhadap Al-Qur’an ?
4. Bagaimana hubungan Al-Qur’an dengan Sunnah ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui konsep Maanil hadits.
2. Untuk mengetahui kedudukan hadits sebgai sumber hukum dalam Islam
3. Untuk mengetahui fungsi hadits dalam al-quran
4. Untuk mengetahui hubungan Al-Quran dengan sunnah.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Secara bahasa etimologi, ma‘ani merupakan bentuk jamak dari kata ma‘na yang berarti
makna, arti, maksud, atau petunjuk yang dikehendaki suatu lafal. Ilmu Ma‘ani al Hadits secara
sederhana ialah ilmu yang membahas tentang makna atau maksud lafal hadis Nabi secara tepat
dan benar. Secara terminology, Ilmu Ma‘ani al Hadith ialah ilmu yang membahas tentang prinsip
metodologi dalam memahami hadis Nabi sehingga hadis tersebut dapat dipahami maksud dan
kandungannya secara tepat dan proporsional.2 Ilmu Ma‘ani al Hadits juga dikenal dengan istilah
Ilmu fiqh al-Hadits atau Fahm al-Hadits, yaitu ilmu yang mempelajari proses memahami dan
menyingkap makna kandungan sebuah hadis.3
Dalam proses memahami dan menyingkap makna hadis tersebut, diperlukan cara dan
teknik tertentu. Oleh sebab itu banyak tokoh-tokoh modernis yang menawarkan teori dalam
memahami hadis. Seperti teori yang ditawarkan oleh Nurun Najwa dalam bukunya Ilmu Ma’anil
Hadis Metode Pemahaman Hadis Nabi: Teori dan Aplikasi. Metode yang ditawarkan ada dua,
yaitu metode historis dan metode Hermeneutika.4
1. Metode Historis
Metode historis di sini dalam pengertian khusus, yakni adanya proses analisa secara
kritis terhadap peninggalan masa lampau yakni mengupas otentisitas teks-teks hadis dari
aspek sanad maupun matan. Secara historis, teks-teks hadis tersebut diyakini sebagai laporan
tentang hadis Nabi. Dapat dipahami bahwa metode ini dipergunakan untuk menguji validitas
teks-teks hadis yang menjadi sumber rujukan. Metode ini digunakan karena kajian terhadap
teks hadis pada dasarnya merupakan tahapan penting untuk memahami sejarah masa
lampau.5
Secara keseluruhan, metode ini sama dengan teori atau kaidah kesahihan hadis yang
dikemukakan oleh ulama kritikus hadis. Hanya saja Nurun Najwa tidak menggunakan
kategori otentisitas matan sebagaimana yang dikemukakan jumhur ulama hadis, yakni matan
2
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma‘anil Hadists Paradigma Interkoneksi: Berbagai Teori dan Metode Memahami
Hadis, Yogyakarta: Idea Press, 2008, h.11.
3
Ibid, h.vii.
4
Nurun Najwa, Ilmu Ma’anil Hadis Metode Pemahaman Hadis Nabi: Teori dan Aplikasi, Yogyakarta:
Cahaya Pustaka, 2008, h.10.
5
Ibid, h.11.
3
hadis tersebut tidak mengandung shadh dan ‘illat, maknanya tidak bertentangan dengan Al-
Qur‟an,

4
5

hadis yang sahih, logika, dan sejarah, karena dianggap konsep tersebut ambigu jika
diterapkan dalam otentisitas dan pemaknaan.6
2. Metode Hermeneutika
Secara etimologi hermeneutika berasa dari bahsa Yunani, hermenia yang disetarakan
dengan exegesis, penafsiran atau hermeneuein yang berarti menafsirkan, menginterpretasikan
atau menterjemahkan.7 meski disinonimkan dengan kata exegesis, tetapi hermeneutika lebih
mengarah kepada penafsiran aspek teoritisnya, sedang exegesis penafsiran pada aspek
praksisnya.8
Secara terminologi, berate penafsiran terhadapa ungkapan yang memiliki rentang
sejarah atau penafsiran terhadap teks tertulis yang memiliki rentang waktu yang panjang
dengan audiennya9 sebagai sebuah teori interpretasi, hermeneutika dihadirkan utuk
menjembatani keterasingan dalam distansi waktu, wilayah dan sosio kultural Nabi dengan
teks hadis dan audiens (umat Islam dari masa ke masa). Dalam metode ini akan melibatkan
tiga unsur utama yaitu Teks, Pensyarah, Audiens.10
Metode ini digunakan untuk memahami teks-teks hadis yang sudah diyakini orisinil
dari Nabi, dengan mempertimbangkan teks hadis memiliki rentang yang cukup panjang
antara Nabi dan umat Islam sepanjang masa.
Hermeneutika terhadap teks hadis menuntut diperlakukannya teks hadis sebagai
produk lama dapat berdialog secara komunikatif dan romantis dengan pensyarah dan
audiennya yang baru sepanjang sejarah umat Islam. Oleh karenanya, upaya mempertemukan
horison masa lalu dengan horison masa kini dengan dialog triadic diharapkan dapat
melahirkan wacana pemahaman yang lebih bermakna dan fungsional bagi manusia.11
Berikut langkah-langkah dari metode hermeneutika:12
a. Memahami dari aspek bahasa
Dalam kajian terhadap bahasa disini, ada tiga pembahasan yang dikaji, yakni:
1) perbedaan redaksi masing-masing periwayat hadis,

6
Ibid, h. 9.
7
Edi Mulyono, Belajar Hermeneutika, Yogyakarta: IRCiSoD, 2013, h.15.
8
Najwa, Ilmu Ma’anil,… h. 17.
9
C. Verhaak dan R Haryono Iman, Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1991, h.175.
10
Najwa, Ilmu Ma’anil,… h. 17.
11
Najwa, Ilmu Ma’anil,… h. 18.
12
Ibid ,h.18
6

2) makna harfiah terhadap lafadh yang dianggap penting,


3) pemahaman tekstual matan hadis tersebut, dengan merujuk kamus bahasa Arab
maupun kitab Sharh hadis yang terkait.
b. Memahami konteks historis
Kajian ini diarahkan pada konteks asbab al wurud al hadits secara ekspilisit dan
implisit, serta konteks ketika hadis tersebut dimunculkan (jika memungkinkan), yakni
dengan merujuk pada kitab sharah dan sejarah.
c. Mengorelasikan secara tematik-komprehensif dan integral
Yakni dengan mengkorelasikan teks hadis terkait dengan Al-Qur‟an, teks hadis
yang setema baik sealur maupun yang kontradiktif, serta data-data lain baik relitas
historis empiris, logika, maupun teori Ilmu Pengetahuan yang berkualitas.
d. Memaknai teks dengan menyarikan ide dasarnya, dengan mempertimbangkan data-data
sebelumnya (membedakan wilayah tekstual dan kontekstual)
Prosedur yang dilakukan dalam mencari ide dasar adalah dengan menentukan
apa-apa yang tertuang secara tekstual dalam teks, untuk menentukan tujuan yang tersirat
di balik teks dengan berbagai data yang dikorelasikan secara komprehensif.
Dalam sejarah, Nabi Muhammad SAW berperan dalam banyak fungsi, antara
lain sebagai Rasulullah, manusia biasa, imam, kepala Negara, suami, pribadi, panglima
perang.13 Oleh karenanya, dalam memahami ide dasar hadis, perlu diperhatikan peran
Nabi ketika hadis itu terjadi.
Memahami hadis Nabi secara tekstual saja merupakan sesuatu yang sangat berat,
karena konsistensi untuk merealisasikannya, mustahil untuk dilakukan. Sebagai ilustrasi
yang sangat sederhana, Nabi adalah orang Arab yang berbahasa Arab. Ketika
memahami secara tekstual, mestinya mengharuskan semua orang Islam di dunia dalam
percakapan sehari-hari menggunakan bahasa Arab, sebagai bahasa Nabi. Hal tersebut
mustahil dilakukan14 Oleh karena itu, Nurun Najwa menggunakan batasan wilayah
tekstual/normative dan kontekstual/historis sebagai berikut:
a. Tekstual (Normatif) mencakup:
1) Menyangkut ide moral atau tujuan makna dibalik teks

13
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani Al Hadits Tentang Ajaran
Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 2009, h. 4.
14
Najwa, Ilmu Ma’anil,… h. 20.
7

2) Bersifat absolut, prinsipil, universal, fundamental


3) Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu’asharah bi al ma’ruf
4) Menyangkut relasi langsung dan spesifik manusia dengan Tuhan yang bersifat
universal (bisa dilakukan siapapun, kapanpun dan dimanapun)
b. Kontekstual (Historis) mencakup:
1) Menyangkut sarana atau bentuk. Bentuk adalah sarana, sehingga kontekstual
sifatnya. Apa yang tertuang secara tekstual selama tidak menyangkut 4 kriteria
di atas, pada dasarnya adalah wilayah kontekstual.
2) Mengatur hubungan manusia sebagai individu dan makhluk biologis.
3) Mengatur hubungan dengan sesama makhluk dan alam seisinya.
4) Terkait persoalan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan IPTEK
5) Kontradiktif secara tekstual
6) Menganalisa pemahaman teks-teks hadis denga teori sosia/ politik/ ekonomi/
sains terkait.
B. Kedudukan Hadits
Al-Qur’an dan Hadist merupakan dua sumber hukum syariat islam yang tetap, yang mana
orang islam tidak mungkin memahami syariat islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali
kepada kedua sumber islam tersebut.
Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadist yang memberikan pengertian bahwa hadist itu
merupakan sumber hukum islam selain Al-Qur’an yang wajib diikuti, baik dalam perintah
maupun larangannya. Pada umumnya Al-Qur’an membawa keterangan-keterangan yang bersifat
mujmal, sehingga banyak hukum yang tidak dapat dijalankan tanpa syarah dari Nabi Muhammad
saw. Jumhur (mayoritas) ulama telah sepakat bahwa dasar hukum Islam adalah Al-Qur’an dan
Sunnah.15 Dari segi urutan tingkatan dasar Islam ini, hadist mempunyai kedudukan sebagai
sumber hukum islam kedua setelah Al-Qur’an karena beberapa alasan, sebagai berikut:
1. Sunnah sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an. Kedudukan penjelas berada satu tingkat di
bawah pihak yang dijelaskan. Teks Al-Qur’an sebagai pokok asal, sedang Sunnah sebagai
penjelas (tafsir) yang dibangun karenanya.
2. Mayoritas Sunnah relatif kebenarannya (zhanniy ats-tsubut). Sehingga derajatnya lebih
rendah dari al-Quran yang berfaedah qath’i ats-tsubut.

15
T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits 2, Bulan Bintang Jakarta, 1976, H. 365
8

C. Fungsi Hadist Dalam Al-Qur’an


Hadis adalah sumber hukum islam kedua yang telah di sepakati oleh para ulama (ahlul
ilmi) dapat memunculkan hukum dengan sendirinya tampa besertaan dengan al-Qur’an.16
Disamping itu hadist juga memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan Al-Qur’an apalagi bila
kita tinjau dari sisi fungsinya. Fungsi hadist terhadap Al-Qur’an secara umum yaitu sebagai
bayan ta’kid, bayan tafsir, bayan takhshis, bayan taqyid, bayan tasyri’, dan bayan tabdil.
Kejelasan fungsi-fungsi hadist tersebut diatas adalah sebagai berikut.
1. Bayan Ta’kid
Bayan ta’kid atau disebut juga dengan bayan Taqrir atau bayan itsbat adalah hadist
yang berfungsi untuk memperkokoh atau memperkuat isi kandungan Al-Qur’an.17 Dalam hal
ini, hadist hanya berfungsi untuk memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an, 18 dengan demikia
maka kandungan hukumnya memiliki dua dalil sekaligus yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi.19
Diantara contoh bayan ta’kid adalah firman Allah SWT:20
....ُ‫ص ْمه‬ َّ ‫فَ َم ْن َش ِه َد ِم ْن ُك ُم‬
ُ َ‫الش ْه َر َفلْي‬
Karena itu, barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia
berpuasa… (Q. S. Al-Baqarah (2): 185)
Ayat Al-Qur’an di atas di ta’kid (di perkuat) oleh hadist Nabi SAW:
‫ص ْو ُم ْواوِإ َذ َار َْأيتُ ُم ْوهُ فَـَأ فْ ِط ُر ْوا‬
ُ َ‫ِإ َذا َر َْأيتُ ُم ْوهُ ف‬
“Apabila kalian melihat (ru’yat) bulan maka, berpuasalah. Dan begitu pula apabila melihat
(ru’yat) bulan itu maka, berbukalah”(H. R.Muslim).
2. Bayan Tafsir
            Yang dimaksud dengan bayan tafsir adalah hadist berfungsi untuk
menerangkan ayat-ayat yang sangat umum (a’m), global (mujmal), dan kesaman makna
(musytarak) dengan memberikan perincian penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang
masih global (mujmal), memberikan batasan (taqyid) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih belum
terbatasi (muthlaq), dan memberikan kekususan (takhshih) ayat-ayat yang masih umum

16
Muhammad bin Ali bin Muhammad as-Syaukani, Irsyadul Fuqul, Kairo: Darus Salam, 2006, Jilid:1, h.132.
17
Agus Solahudin, dkk, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2009, h.78.
18
Idri, Studi Hadist, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010, h.24.
19
Abu Yasid, Hubungan simbiotik al-Qur’an dan al-Hadist dalam membentuk diktum-diktum hukum,
Ponorogo: Jurnal Tsaqofah, Vol.7, No.1, April, 2011, h.144.
20
Munzier Suprapta, Ilmu Hadist, Jakarta: Raja Grafindo Pustaka: 2013, h.59.
9

(a’m).21 Badri Khaeruman mendefinisikan dengan hadist yang difungsikan menerangkan hal-
hal yang tidak mudah di ketahui pengertiannya (mujmal atau musytarok fihi)22 atau dapat
dikatakan memberikan penafsiran dan penjabaran yang lebih konkret tentang garis besar
yang ada di dalam al-Qur’an.23
Jadi, bila memandang pengertian di atas maka bayan takhshis dan bayan taqyid
termasuk dalam katagori bayan tafsir. Di antara contoh bayan tafsir ini adalah:24
1) Bayan Tafsir Mujmal adalah seperti hadist yang menerangkan ke mujmala-an ayat-ayat
tentang perintah Allah SWT untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat dan haji. Ayat-ayat
Al-Qur’an yang menjelaskan masalah ibadah tersebut masih bersifat global atau secara
garis besarnya saja. Contohnya kita diperintahkan shalat, namun Al-Qur’an tidak
menjelaskan bagaimana tata cara shalat, tidak menerankan rukun-rukunnya dan kapan
waktu pelaksanaannya. Semua ayat tentang kewajiban shalat tersebut dijelaskan oleh Nabi
SAW dengan sabdanya,
ِ
َ ‫صلُّ ْوا َك َما َر َْأيتُ ُم ْون ْي‬
‫ُأصلِّ ْي‬ َ
              “Shalatlah sebagaimana kamu melihatku shalat.”(H.R. Bukhari)
2) Bayan Tafsir Musytarak Fihi, adalah menjelaskan tentang ayat quru’. Allah SWT
berfirman:
ٍ ‫ات يتربَّص ن بَِأْن ُف ِس ِه َّن ثَاَل ثَ ةَ ُق ر‬
‫وء َواَل يَ ِح ُّل ل َُه َّن َأ ْن يَكْتُ ْم َن َم ا َخلَ َق اللَّهُ فِي َْأر َح ِام ِه َّن ِإ ْن ُك َّن ُي ْؤ ِم َّن بِاللَّ ِه‬ ُ َ ْ َ َ َ ُ ‫َوال ُْمطَلَّ َق‬

ِّ ِ‫وف َول‬
ِ ‫لر َج‬ ِ ‫ادوا ِإصاَل حا ولَه َّن ِمثْ ل الَّ ِذي َعلَي ِه َّن بِ الْمعر‬ ِ ‫والْيوِم اآْل ِخ ِر وبعولَته َّن َأح ُّق بِرد‬
َ ِ‫ِّه َّن فِي َذل‬
‫ال َعلَْي ِه َّن‬ ُْ َ ْ ُ ُ َ ً ْ ُ ‫ك ِإ ْن ََأر‬ َ َ ُ ُ ُُ َ َْ َ
ِ
ٌ ‫َد َر َجةٌ َواللَّهُ َع ِز ٌيز َحك‬
‫يم‬

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya.Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
21
Agus Solahudin, dkk, Ulumul Hadist,… h.81.
22
Badri Khaeruman, Ulum al-Hadist Bandung: Pustaka Setia, 2010, h.49.
23
Abu Yasid, Hubungan simbiotik al-Qur’an dan al-Hadist dalam membentuk diktum-diktum hukum, h.145.
24
Munzier Suprapta, Ilmu Hadist,… h.61-63.
10

Untuk menjelaskan lafazh quru’ ini, datanglah hadist Nabi SAW berikut ini,

َ ‫ـان َو ِع َّد ُت َهـا َح ْي‬


ِ َ‫ضت‬
‫ـان‬ ِ َ‫طَالَ ُق اَأْلم ِة ِإ ْثنَت‬
َ
“Talak budak dua kali dan iddahnya dua haid.” (H.R. Ibnu Majah)
Sehingga arti kata perkataan quru’ dalam ayat Al-Qur’an tersebut di atas berarti suci
dari haid.
3) Bayan Tafsir Taqyid adalah sifat mutlaq ayat Al-Qur’an yang antara lain
Q. S Al-Maidah (5) : 38, yaitu :

ِ ِ ِ ِ ‫السا ِرقَةُ فَاقْطَعُوا َأيْ ِد َي ُهما َج َز‬


ٌ ‫اء ب َما َك َسبَا نَ َكااًل م َن اللَّه َواللَّهُ َع ِز ٌيز َحك‬
‫يم‬ ً َ َّ ‫السا ِر ُق َو‬
َّ ‫َو‬
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Hadist Nabi:
ِ ‫السـا ِر ِق ِإاَّل فَي رب ِع ِدينـا ٍر فَصـ‬
‫اع ًدا‬ َّ ‫الَ ُت ْقطَ ُع يَ ُد‬
َ َْ ُْ ْ
“Tangan pencuri tidak boleh di potong, melainkan pada (pencurian sebilai)
seperempat dinar atau lebih.” (H. R. Mutafaq menurut lafadz Muslim)
4) Bayan Tafsir Takhshis keumuman ayat-ayat Al-Qur’an adalah hadist Nabi SAW, berikut
ini.

‫ث الْ َقاتِ ُل ِم َن ال َْم ْق ُت ْو ِل َش ْيـًأ‬


ُ ‫الَ يَ ِر‬
“Seorang pembunuh tidak berhak menerima harta warisan” (H. R. Ahmad)
Hadist tersebut men-takhshis keumuman firman Allah SWT dalam Q. S. An-Nisa (4): 11
yaitu :
ِّ ‫لذ َك ِر ِمثْل َح‬
ِ‫ظ اُأْلْن َثَي ْين‬ َّ ِ‫وصي ُكم اللَّهُ فِي َْأواَل ِد ُك ْم ل‬
ِ ‫ي‬
ُ
ُ ُ
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu
: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan..

3. Bayan Takhshis
11

Bayan Takhshis adalah membatasi atau mengkhususkan kandungan ayat-ayat al-


Qur’an yang bersifat umum.25
Sebagai contoh adalah hadist Nabi SAW:

‫ث الْ َقاتِ ُل ِم َن ال َْم ْق ُت ْو ِل َش ْيـًأ‬


ُ ‫الَ يَ ِر‬
“Seorang pembunuh tidak berhak menerima harta warisan” (H. R. Ahmad)
Yang membatasi ayat al-Qur’an an-Nisa 11:
ِّ ‫لذ َك ِر ِمثْل َح‬
‫ظ اُأْلْن َثَي ْي ِن‬ َّ ِ‫وصي ُكم اللَّهُ فِي َْأواَل ِد ُك ْم ل‬
ِ ‫ي‬
ُ
ُ ُ
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan..
4. Bayan Taqyid
Bayan Taqyid adalah membatasi ayat yang bersifat mutlak (hakikat kata tampa
memandang jumlah maupun sifatnya) dengan sifat, keadaan atau syarat tertentu.26
Contoh ayat Q. S Al-Maidah (5) : 38, yaitu :
‫اء بِ َما َك َسبَا نَ َكااًل ِم َن اللَّه‬ ِ
ً ‫السا ِرقَةُ فَاقْطَعُوا َأيْد َي ُه َما َج َز‬
َّ ‫السا ِر ُق َو‬
َّ ‫َو‬
Di batasi dengan hadist:
ِ ‫السـا ِر ِق ِإاَّل فَي رب ِع ِدينـا ٍر فَصـ‬
‫اع ًدا‬ َّ ‫الَ ُت ْقطَ ُع يَ ُد‬
َ َْ ُْ ْ
“Tangan pencuri tidak boleh di potong, melainkan pada (pencurian senilai)
seperempat dinar atau lebih.” (H. R. Mutafaq menurut lafadz Muslim)
5. Bayan Tasyri’
Yang dimaksud dengan bayan tasyri’ adalah ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam
al-Qur’an maka dimunculkan hukumnya, baik yang tidak ada sama sekali atau yang
diketemukan pokok-pokoknya (ashl) saja.27
Hadist termasuk ke dalam kelompok ini, diantaranya adalah hadist penetapan
haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara istri dengan bibinya), hukum
syuf’ah, hukum merajam wanita pezinah yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris

25
Idri, Studi Hadist,… h.28.
26
Ibid, h.28.
27
Munzier Suprapta, Ilmu Hadist,… h.64.
12

bagi seorang anak. Salah satu contoh yang lain adalah hadist tentang hukum zakat fitrah
sebagai berikut;28
‫اعا ِم ْن َش ِعي ٍر َعلَى‬
ً ‫ص‬
ِ ‫َّاس ص‬
َ ‫اعا م ْن تَ ْم ٍر َْأو‬ َ ‫ض َز َك اةَ ال ِْفطْ ِر ِم ْن َر َم‬
ً َ ِ ‫ض ا َن َعلَى الن‬ ِ
َ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم َف َر‬
ِ َ ‫َأن رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َّ
ِِ ِ ٍ
َ ‫ُك ِّل ُح ٍّر َْأو َع ْبد ذَ َك ٍر َْأو ُأْنثَى م ْن ال ُْم ْسلم‬
‫ين‬

“Bahwasanya Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada
bulan Ramadlan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka
atau hamba, laki-laki atau perempuan Muslim.” (H. R Muslim)
6. Bayan Tabdil
Bayan tabdil di sebut juga dengan nasakh (membatalkan), alijalah (menghilangkan),
tahwil (memindahkan), atau taqyir (mengubah). Yang dimaksud dengan tabdil disini adalah
menghapus ketentuan hukum yang ada di al-Qur’an.29
Salah satu contoh dari katagori bayan tabdil adalah sabda Rasul SAW dari ibnu
Umamah Al-Bihili,
ٍ ‫صيَّةَ لِوا ِر‬
‫ث‬ ِ ‫ِإ َّن اللَّهَ قَ ْد َأ ْعطَى ُك َّل ِذي ح ٍّق ح َّقهُ فَاَل و‬
َ َ َ َ
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknya (masing-masing).
Maka, tidak ada wasiat bagi ahli waris.”(H. R Ahmad dan Al-Arba’ah, kecuali An-Nasa’i.
Hadist ini dinilai hasan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi).
Hadis ini menurut mereka men-naskh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2): 180, yakni;
ِ ِ ِ ِ‫صيَّةُ لِلْوالِ َديْ ِن واَأْلقْرب‬
ِ ‫ت ِإ ْن َتر َك َخ ْيرا الْو‬ َ ‫ب َعلَْي ُك ْم ِإ َذا َح‬ ِ
َ ‫ين بال َْم ْع ُروف َح ًّقا َعلَى ال ُْمتَّق‬
‫ين‬ َ َ َ َ َ ً َ ُ ‫َأح َد ُك ُم ال َْم ْو‬
َ ‫ض َر‬ َ ‫ُكت‬
Diwajibkan atas kamu, apabila seorng di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dari karib kerabatnya
secara makruf, (ini adalah) kewajiban atau orang-orang yang bertaqwa (Q. S. Al-Baqarah
(2): 180)
Kewajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan Q. S Al-Baqarah
(2): 180 di atas, di naskh hukumnya dengan hadist yang menjelaskan bahwa ahli waris tidak
boleh menerima wasiat, sebab ahli waris akan mendapatkan bagian warisan tersendiri setelah
mayit meninggal.30

28
Ibid, h.64.
29
Idri, Studi Hadist,… h.30.
30
Ibid, h.30.
13

Sehubungan dengan fungsi hadist sebagai bayan tersebut, para ulama berbeda pendapat
dalam merincinya lebih lanjut.31
1. Menurut Imam Malik bin Annas, yaitu: meliputi bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tafshil,
bayan Isbat, dan bayan tasyri’.
2. Menurut Imam Syafi’i, yaitu: meliputi bayan takhsis, bayan ta’yin, bayan tasyri’, bayan
nasakh, bayan tafshil dan bayan isyaroh.
3. Menurut Ahman bin Hanbal: yaitu meliputi bayan ta’kid, bayan tafsir, bayan tasyri’, dan
bayan takhsis.
Hadits sebagai penjelas atau bayan Al-Qur’an itu memiliki bermacam-macam fungsi.
Imam Malik menyebutkan lima macam fungsi, yaitu sebagai bayan at-taqrir, bayan at-tafsir,
bayan at-tafsil, bayan at-bast, bayan at-tasyri. Sementara itu, Imam Safi’i menyebutkan lima
fungsi, yaitu bayan at-tafsil, bayan at-takhsis, bayan at-ta’yin, bayan at-tasyri dan bayan an-
nasakh. Dalam “Al-Risalah” ia menambahkan dengan bayan al-isyarah.Ibnu qoyyim
menyebutkan empat bayan, yaitu; bayan ta’kid, bayan tafsir,bayan tasyri’, bayan takhsis dan
takyid. Imam Ahmad dan Hanbal menyebutkan empat fungsi yaitu bayan al-ta’kid, bayan at-
tafsir, bayan at-tasyri dan bayan at-takhsis.32
Meskipun para ulama menggunakan istilah yang berbeda, namun pada dasarnya yang mereka
maksudkan sama saja. Secara umum fungsinya adalah menguatkan (ta’qid), merinci (tafshil),
menjelaskan (tafsir), memunculkan hukum baru (tasryi’) serta merevisi hukum al-quran
(naskh).33

31
Muhammadiyah Amin, Ilmu Hadist, Yogyakarta: Graha Guru, 2008, h.17.
32
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 1999, h.58-60
33
Muhammadiyah Amin, Ilmu Hadist,… h.17.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Antara Hadist dan Al-Qur’an memiliki pertalian dan hubungan yang sangat erat,
karenanya satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Secara ‘Aqli maupun secara Naqli, kedudukan
Hadist terhadap Al-Qur’an, Hadist merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an
memang merupakan pedoman umat Islam yang utama, namun isi dan redaksi dari Al-Qur’an itu
sendiri masih sangat bersifat global (mujmal). Maka dari itu kedudukan Hadist dalam Islam yang
utama adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang masih global. Rasulullah diperintahkan
untuk menjelaskan tiap-tiap ajaran kepada para sahabat setelah beliau mendapatkan penjelasan
dari Jibril.
Peran kedua adalah agar Hadist menjadi pedoman ketika muncul persoalan-persoalan
yang tidak secara spesifik terdapat dalam Al-Qur’an. Setelah masa Rasulullah SAW. Al-Qur’an
dan Hadist dijadikan sebagai rujukan para ulama untuk mengeluarkan fatwa dan aturan lainnya.
Karena tidak menutup kemungkinan perseteruan akan terjadi di masa yang akan datang
berhubungan dengan hukum dalam Al-Qur’an.
Peran yang ketiga, menjaga agar ayat-ayat Al-Qur’an tidak secara sembarangan
dilencengkan sehingga seolah ayat-ayat Al-Qur’an berkontradiksi. Penjelasan Rasulullah sudah
merupakan penjelasan yang dapat dipahami bahwa juga telah ditafsirkan mendalam oleh para
ulama.
Rasulullah yang bergelar uswatun hasanah segala ucapan dan kepribadianya adalah
pencitraan dari Al-Qur’an. Sehingga umat Islam yang mengikuti hadist-hadist Rasulullah adalah
mereka yang juga taat kepada Al-Qur’an.
fungsi Hadist terhadap Al-Qur’an secara umum ada enam, yaitu: sebagai bayan ta’kid,
bayan tafsir, bayan takhshis, bayan taqyid, bayan tasyri’, dan bayan tabdil.
Pandangan para ulama mengenai bayan secara umum terbagi menjadi empat pendapat ada
yang berbeda tetapi memiliki esensi yang sama yaitu Secara umum berfungsi untuk menguatkan
(ta’qid), merinci (tafshil), menjelaskan (tafsir), memunculkan hukum baru (tasryi’) serta merevisi
hukum al-quran (naskh).

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mustaqim, Ilmu Ma‘anil Hadists Paradigma Interkoneksi: Berbagai Teori dan Metode
Memahami Hadis, Yogyakarta: Idea Press, 2008.
Abu Yasid, Hubungan simbiotik al-Qur’an dan al-Hadist dalam membentuk diktum-diktum
hukum, Ponorogo: Jurnal Tsaqofah, Vol.7, No.1, April, 2011
Agus Solahudin, dkk, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2009
Badri Khaeruman, Ulum al-Hadist Bandung: Pustaka Setia, 2010
C. Verhaak dan R Haryono Iman, Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Edi Mulyono, Belajar Hermeneutika, Yogyakarta: IRCiSoD, 2013.
Idri, Studi Hadist, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010
Muhammadiyah Amin, Ilmu Hadist, Yogyakarta: Graha Guru, 2008
Muhammad bin Ali bin Muhammad as-Syaukani, Irsyadul Fuqul, Kairo: Darus Salam, 2006,
Jilid:1.
Munzier Suprapta, Ilmu Hadist, Jakarta: Raja Grafindo Pustaka: 2013,
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 1999
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani Al Hadits Tentang
Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 2009.
Nurun Najwa, Ilmu Ma’anil Hadis Metode Pemahaman Hadis Nabi: Teori dan Aplikasi,
Yogyakarta: Cahaya Pustaka, 2008.
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama,1996.
T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits 2, Bulan Bintang Jakarta, 1976

Anda mungkin juga menyukai