Oleh:
Dosen Pengampu:
Semester 2 /BKI 3
SUMATRA UTARA
MEDAN
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena berkat dan
rahmat-Nya lah, kami dapat menyelesaikan tugas tentang Model Penelitian Hadis. Kami juga
mengucapkan banyak terima kasih kepada segala pihak yang telah membantu secara materi dan
kerjasamanya.
Tentunya dimakalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan kata, kalimat maupun
dari sistematis pengerjaannya. Itu semua karena masih kurangnya pengetahuan kami dan
pengalaman kami. Untuk itu, kritik dan saran sangatlah diperlukan.
Akhir kata, kami ucapkan banyak terima kasih atas segala perhatiannya. Mohon maaf
atas segala kekurangannya.
Penulis
DAFTAR ISI
Daftar isi...............................................................................................................................
Kata pengantar.......................................................................................................................
Bab I Pendahuluan ................................................................................................................
A. Latar Belakang...........................................................................................................
B. Rumusan malasah......................................................................................................
Bab II Pembahasan................................................................................................................
A. Pengertian Hadis........................................................................................................
B. Model – Model Penelitian Hadis..............................................................................
a. Model H.M. Quraish Shihab................................................................................
b. Model Musthafa Al-Siba’iy.................................................................................
c. Model Muhammad Al-Ghazali............................................................................
d. Model Zain al-Din ‘Abd al-Rahim bin Al-Husain Al-Irqiy.................................
e. Model Penelitian Lainnya....................................................................................
A. Kesimpulan................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-qur’an, keberadaan hadits, di
samping telah mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya, juga telah menjadi
bahasan kajian yang menarik, dan tiada henti-hentinya. Penalitian terhadap hadits baik dari segi
keotentikannya, kandungan makna dan ajaran yang terdapat di dalamnya, macam-macam
tingkatan maupun fungsinya dalam menjelaskan kandungan Al-qur’an dan lain sebagainya telah
banyak dilakukan para ahli di bidangnya.
Mengingat pentingnya kedudukan hadits dalam syariat islam dan fungsinya terhadap Al-
Qur’an, para sahabat memberikan perhatian terhadap hadits-hadits Nabi dan berusaha keras
untuk memperolehnya sebagaimana sikap mereka terhadap Al-Qur’an. Mereka menghafalkan
lafaz-lafaz hadits atau maknanya, memahami dan mengetahui maksud tujuannya, dengan
berdasarkan naluri yang mereka miliki, berdasarkan petunjuk-petunjuk Rasul yang mereka
dengar, perbuatan dan perilakunya yang mereka saksikan dan berdasarkan pengetahuan mereka
mengenai situasi dan kondisi yang melatarbelakangi diucapkannya hadits-hadits itu. Dan hadits-
hadits yang sulit dipahami atau tidak diketahui maksudnya, mereka tanyakan langsung kepada
Nabi SAW.
B. Rumusan Masalah
a. Apa sajakah model penelitian yang digunakan oleh para ulama untuk pemeriksaan
hadist?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HADIS
Pada garis besarnya pengertian hadits dapat dilihat melalui dua pendekatan, yaitu
pendekatan kebahasaan (linguistik), dan pendekatan Istilah (terminologis). Dilihat dari
pendekatan kebahasaan, hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata hadatsa, yahdutsu,
hadtsan, haditsan, dengan pengertian yang bermacam-macam. Kata tersebut misalnya dapat
berarti al-jadid min al-asy ya’ sesuatu yang baru, sebagai lawan dari kata al-qadim yang artinya
sesuatu yang sudah kuno atau klasik. Penggunaan kata al-hadits dalam arti demikian dapat kita
jumpai pada ungkapan hadits al-bina dengan arti jaded al-bina artinya bangunan baru.
Selanjutnya, kata al-hadits dapat pula berarti al-qarib yang berarti menunjukkan pada
waktu yang dekat atau waktu yang singkat. Untuk ini kita dapat melihat pada contoh hadits
al-’ahd bi al-Islam yang berarti orang yang baru masuk Islam. Kata al-hadis kemudian dapat
pula berarti al-khabar yang berarti mayutahaddats bih wa yunqal, yaitu sesuatu yang
diperbincangkan, dibicarakan atau diberitakan, dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.1
Dari ketiga arti kata al-hadits tersebut, nampaknya yang banyak digunakan adalah
pengertian yang ketiga, yaitu sesuatu yang diperbincangkan atau al-hadits dalam arti al-
khabar. Misalnya ayat-ayat yang mengandung kata al-hadits dalam arti al-khabar berikut ini.
“Maka hendaklah mereka mendatangkan khabar (berita) yang serupa dengan Al-qur’an itu jika
mereka mengaku orang-orang yang benar”. (QS Al-Thur, 52:34).
Selanjutnya, hadits dilihat dari segi pengertian istilah dijumpai pendapat yang berbeda-
beda. Hal ini antara lain disebabkan karena perbedaan cara pandang yang digunakan oleh
masing-masing dalam melihat suatu masalah. Para ulama ahli hadits misalnya berpendapat
bahwa hadits adalah ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad SAW. Sementara ulama
1
A. Khaer Suryaman, Pengantar Ilmu hadis, (Jakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1982), hlm. 5.
ahli hadits bukan hanya perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah SAW, akan tetapi
termasuk perkataan, perbuatan, dan ketetapan para sahabat dan tabi’in. Dari pada itu ulama ahli
ushul fiqih berpendapat bahwa hadits adalah perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah
SAW yang berkaitan dengan hukum. Ulama ahli fiqih mengidentikkan hadits dengan sunnah,
yaitu sebagaisalahsatudarihukum taklifi, suatu perbuatan apabila dikerjakan akan mendapatkan
pahala dan apabila ditinggalkan tidak akan disiksa. Dalam kaitan ini ulama ahli fiqih berpendapat
bahwa hadis adalah sifat syar’iyab untuk perbuatan yang dituntut mengerjakannya, akan tetapi
tuntutan melaksanakannya tidak secara pasti, sehingga diberi pahala orang yang mengerjakannya
dan tidak disiksa orang yang meninggalkannya.2
Meskipun demikian, di kalangan para ulama terdapat pula perbedaan pendapat di sekitar
istilah hadis, khabar, dan atsar. Pada umumnya para ulama berpendapat bahwa hadis dan khabar
mempunyai pengertian sama, yaitu berita baik yang berasal dari nabi, sahabat, maupun tabi’in.
Berita yang berasal dari nabi mereka disebut hadis marfu, berita yang berasal dari sahabat
mereka disebut hadis mauquf, dan berita yang berasal dari tabi’in mereka sebut hadis maqtu.
Namun demikian kalangan jamhur ulama umumnya berpendapat bahwa hadis, sunnah, khabar
dan atsar tidak ada perbedaannya atau sama saja pengertiannya, yaitu segala sesuatu yang di
nuklilkan dari Rasulullah SAW, sahabat atau tabi’in baik dalam bentuk ucapan, perbuatan
maupun ketetapan, baik semuanya itu dilakukan sewaktu-waktu saja, maupun lebih sering dan
banyak di ikuti oleh para sahabat.
Sebagaimana halnya al-Qur’an, al-hadis pun telah banyak diteliti oleh para ahli, bahkan
dapat dikatakan pengertian terhadap al-hadis lebih banyak kemungkinannya dibandingkan
penelitian terhadap al-Qur’an. Hal ini antara lain dilihat dari segi datangnya al-Qur’an dan hadis
berbeda. Kedatangan (wurud), atau turun (nuzul) nya al-Qur’an diyakini secara mutawatir
berasal dari Allah. Tidak ada satu ayat al-Qur’anpun yang diragukan sebagai yang bukan berasal
dari Allah SWT. atas dasar ini maka dianggap tidak perlu meneliti apakah ayat-ayat al-Qur’an itu
berasal dari Allah atau bukan. Hal ini berbeda dengan al-hadis. Dari segi datangnya hadis tidak
seluruhnya diyakini berasal dari Nabi, melainkan ada yang berasal dari selain Nabi. Hal ini selain
2
Lihat A. Khaer Suryaman, op. cit., hlm. 6-7.
disebabkan sifat dari lafadz-lafadz hadis yang tidak bersifat mukjizat, juga disebabkan perhatian
terhadap penulisan hadis pada zaman Rasulullah aga kurang, bahkan beliau pernah melarangnya;
dan juga karena sebab-sebab yang bersifat politis dan lainnya. Keadaan inilah yang
menyebabkan para ulama seperti Imam Bukhari dan Muslim yang mencurahkan segepan tenaga,
pikiran dan waktunya bertahun-tahun untuk meneliti hadis, dan hasilnya penelitiannya itu
dibukukan dalam Kitabnya Sahih Bukhari (810-870) dan Sahih Muslim (820-875).
Karena begitu luasnya peredaran dan pengaruhnya dari kedua macam kitab tersebut,
maka belakangan datang para peneliti yang selain menggunakan pendekatan perbandingan
(comparativ) juga melakukan kritik. Ulama yang paling keras mengkritik Bukhari adalah al-
Daruquthni. Ia mengatakan bahwa tidak semua hadis yang terdapat dalam Sahih Bukhari dan
Muslim diterima oleh ulama secara sepakat. Di antara ulama yang tidak menerima adalah dia
sendiri, karena di dalamnya terdapat hadis mu’allaq. Bagian-bagian lain yang dikritik antara lain:
a) Berkaitan dengan lebih atau kurangnya rawi; b) berkaitan dengan perbedaan rawi disebabkan
perubahan sanad; c) Berkaitan dengan penyendirian (fard) rawi; dan penyebutannya pada kali
yang lain tanpa sanad hanya sebagai syahid saja.
Sebagaimana halnya pada Bukhari, pada Muslimpun datang pula ulama yang memuji dan
mengkritiknya. Ulama yang memuji Muslim antara lain ulama dari al-Maghriby dan al-
Naisaburi. Sedangkan ulama yang mengkritiknya seperti al-Daruquthny yang mengatakan:
“Seandainya tidak ada Bukhari, Muslim tidak akan ada.” Kritik yang bernada meremehkan Imam
Muslim ini berkisar pada masalah sanad atau matan.
Namun, demikian kritik terhadap kedua kitab tersebut tidak akan sampai menjatuhkan
kesahihan kitab tersebut, dengan dua alasan:
a. Kritik pada sanad itu muncul ketika Bukhari menerima riwayat seseorang yang oleh
orang lain diangap memiliki kelemahan karena dia menganggap lebih dekat dan lebih
tahu terhadap rawi tersebut
b. Terdapatnya hadis-hadis mu’allaq dalam Sahih Bukhari hanyalah sekedar untuk
menjelaskan hadis-hadis lainnya yang sanadnya sudah ada.
Selanjutnya terdapat pula penelitian terhadap hadis Bukhari Muslim dengan
menggunakan pendekatan perbandingan. Menurut hasil penelitian Jumhur Ulama, bahwa Sahih
bukhari lebih tinggi nilainya dari Sahih Muslim dengan alasan:
Pada sisi lain ada yang menilai bahwa Sahih Muslim jauh lebih memiliki kelebihan
dibandingkan dengan yang dimiliki Bukhari. Kelebihan tersebut antara lain:
Melihat beberapa kelebihan yang terdapat pada Imam Muslim tersebut, maka ulama
Maghriby menganggap bahwa hadis Sahih Muslim lebih tinggi kedudukannya dibandingkan
hadis Sahih Bukhari, karena meskipun persyaratan Muslim dalam menerima hadis lebih sedikit
dibandingkan dengan persyaratan bukhari, namun sudah dianggap memenuhi persyaratan
minimal, sedangkan penamhan liqa’ yakni harus berjumpa antara sesama perawi dalam hadis
Bukhari, mereka menganggapnya sebagai berlebih-lebihan.
Demikianlah berbagai penilaian yang diberikan para ahli mengenai kelebihan dan
kekurangan yang terdapat pada masing-masing kitab tersebut. Hal ini hendaknya semakin
menyadarkan kepada kita, bahwa betapapun hebatnya penelitian tersebut tetap memiliki
kelemahan, disamping kelebihan masing-masing. Yang jelas mereka adalah peneliti-peneliti
awal di bidang hadis. Peneliti hadis berikutnya dapat diikuti pada uraian berikut ini.
Selain itu Al-Hadis juga dapat mengambil peran sebagai menetapkan hukum atau aturan
yang tidak di dapati di dalam al-qur’an. Dalam hubungan ini kita misalnya membaca hadis yang
artinya: “Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ‘ammah
(saudari bapak) nya dan seorang wanita khalah (saudari ibu) nya.” (HR Bukhari Muslim), dan
hadis yang artinya: “Sungguh allah telah mengharamkan mengawini seseorang karena
sepersusuan, sebagaimana hal nya allah telah mengharamkannya karena senasab” (HR Bukhari
dan Muslim).
Dengan melihat isi penelitian yang dikemukakan di atas, al-Siba’iy nampak tidak netral.
Ia berupaya mengumpulkan bahan-bahan kajian sebanyak mungkin untuk selanjutnya diarahkan
untuk melakukan pembelaan kaum sunni terhadap al-sunnah. Seharusnya ia menyajikan data apa
adanya, sedangkan penilaiannya diserahkan kepada pembaca.
3
Lihat Mushtafa Al-Siba’iy, Sunnah dan peranannya dalam penetapan hukum islam sebuah pembelaan
kaum sunni (terj).
3. Model Muhammad Al-Ghazali
Muhammad al-Ghazali yang menyajikan hasil penelitiannya tentang hadis dalam
bukunya berjudul al-Sunnah al-Nabawiyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits adalah salah
seorang ulama jebolan Universitas Al-Azhar Mesir yang disegani di dunia Islam, khususnya
Timur Tengah, dan salah seorang penulis Arab yang sangat produktif. 4 Menurut Quraish Shihab
buu ini telah menimbulkan tanggapan yang berbeda, sehingga menjadi salah satu buku terlaris
dengan lima kali naik cetak dalam waktu antara Januari-Oktober 1989.5
Dilihat dari segi kandungannya yang terdapat dalam buku tersebut, nampak bahwa
penelitiab hadis yang dilakukan Muhammad al-Ghazali termasuk penelitian eksploratif, yaitu
membahas, mengkaji dan menyelami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang muncul
di masyarakat untuk kemudian diberikan status hukumnya dengan berpijak pada konteks hadis
tersebut. Dengan kata lain Muhammad Al-Ghazali terlebih dahulu memahami hadis yang
ditelitinya itu dengan melihat konteksnya kemudian baru dihubungkan dengan berbagai masalah
aktual yang muncul di masyarakat. Corak penyajiannya masih bersifat deskriptif analitis. Yakni
mendeskripsikan hasil penelitian sedemikian rupa, dilanjutkan menganalisisnya dengan
menggunakan pendekatan fikih, sehingga terkesan ada misi pembelaan dan pemurnian ajaran
Islam dari berbagai paham yang dianggapnya tidak sejalan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah yang
mutawatir.
Masalah yang terdapat dalam buku hasil penelitian Muhammad al-Ghazali itu nampak
cukup banyak. Setelah ia menjelaskan tentang kesahihan hadis dan persyaratannya, ia
mengungkapkan tentang mayit yang diazab karena tangisan keluarganya, tentang hukum qishash,
salat tahiyat masjid, tentang sekitar dunia wanita yang meliputi antara kerudung dan cadar,
wanita keluarga dan profesi, hubungan wanita dengan masjid, kesaksian wanita dalam kasus-
kasus pidana dan qishash, perihal nyanyian, etika makan, minum, berpakaian dan membangun
rumah, kemasukan setan: esensi dan cara pengobatannya, memahami al-Qur’an secara serius,
hadis-hadis tentang masa kekacauan, antara sarana dan tujuan, serta takdir dan fatalisme.
4
Penilaian tersebut diberikan oleh Dr. H.M. Quraish Shihab dalam kata pengantarnya dalam terjemahan
buku al-sunnah al-nahawiyah al-fiqh wa ahli al-hadist ke dalam bahasa Indonesia.
5
Ibid., hlm. 8.
Berbagai masalah yang dimuat dalam buku tersebut nampak didominasi oleh masalah-
masalah fikih yang aktual. Sedangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan etika dan teologi
hanya disinggung secara sepintas saja. Di sini menunjukan kecenderungan peneliti menekuni
masalah fikih.
Dalam buku tersebut dikemukakan tentang sifat dan karakteristik orang yang dapat
diterima riwayatnya, cara menerima dan menyampaikan hadiah, etika dan tatakrama kesopanan
6
Abd Al-Rahman Muhammad ‘Usman (pentahkik), Karya Al-Hafidz Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahim bin
Al-Husain Al-‘Iraqy, al-taqyid wa al-idlab Syarb Muqaddimab ibn Al-Shalah, (Beirut: Dar al-Fikr, 140
H./1981, hlm. 3.
para ahli hadis dan lainnya yang berkaitan dengan adanya hadis-hadis yang secara lahiriah
bertentangan dengan cara mengkompromikannya.7
7
Ibid., hlm. 485-488.
demikian, nampak bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadis pada umumnya masih bersifat
persial.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Para ahli bahasa mendefinisikan yang dimaksud dengan “sebab” (arab: sababa) adalah
“al-habl”: tali, yang menurut lisan al-‘arab dinyatakan bahwa: kata ini dalam bahasa arab berarti
“saluran”, yang berarti: “segala sesuatu yang menghubungkan satu benda ke benda lainnya”.
Para ahli istilah memaksudkannya sebagai : “segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”.
Sementara itu, para ahli hukum islam mendefinisikannya dengan: “suatu jalan menuju
terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apa pun dalam hukum itu”. Munculnya
(wurud) hadits sebagai: “sesuatu yang membatasi arti suatu hadits, baik berkenaan dengan arti
umum atau khusus, mutlak atau terbatas, di nasikh (dihapus) dan seterusnya, atau suatu arti yang
dimaksud oleh sebuah hadits saat kemunculannya.