Anda di halaman 1dari 12

Kritik Sanad dan Matan dalam Tradisi Syi'ah

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pemikiran Hadist dalam Syi’ah
Dosen Pengampu : Mus’id Millah, M.Ag

Disusun Oleh :
Ubaydillah (201370042)
Farindra Eka Putra (201370064)
Mila Amelia (201370064)
Umu Solihah (201370064)

JURUSAN ILMU HADITS


FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
2023

1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr Wb
Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan kenikmatan iman, islam, ihsan dan
waktu sehingga saya dapat menyelasaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat dan
salam semoga selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita yakni Nabi Muhammad saw, insan
kamil yang terpilih sebagai seorang “Tauladan” yang mampu menerima Firman Yang Maha
Kuasa, sehingga semua perilaku dan perkataannya dapat menjadi tauladan bagi kita semua.

Makalah yang berjudul “Kritik Sanad dan Matan dalam Tradisi Syi'ah” ini disusun
guna memenuhi tugas pada Mata Kuliah Hadist dalam Syi’ah. Tak lupa ucapan terima kasih
saya ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu saya sehingga makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik. Saya selaku penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna baik dalam segi bahasa, penyusunan, maupun pengetikannya, untuk itu saya
mengharapkan kritik dan saran untuk makalah ini agar saya bisa menyusun makalah lebih
baik lagi. Sekali lagi saya selaku penulis mengucapkan terima kasih dan memohon maaf
sebesar-besarnya kepada para pembaca apabila banyak kesalahan dalam segi pengetikkan
maupun penyajian dalam materi kali ini.

Wassalamu’alaikum Wr, Wb.

Serang, 06 April 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
B. Latar Belakang Masalah..................................................................................................4
C. Rumusan Masalah...........................................................................................................4
D. TujuanPenulisan..............................................................................................................4
BAB II.......................................................................................................................................5
A. Tradis Syi’ah...................................................................................................................5
B. Keritik Sanad dalam Tradisi Syi’ah................................................................................8
C. Keritik Matan dalam Tradisi Syi’ah................................................................................8
BAB III....................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................12

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis - bersama dengan al-Qur’an, merupakan sumber ajaran Islam yang
disepakati ulama. Kesepakatan ini didasarkan atas adanya ayat al-Qur’an dan hadis
yang mengokohkan kedudukan tersebut. Hanya saja, sebelum dipergunakan
sebagai hujjah, hadis harus melewati ‘batu uji’ persyaratan keshahihan untuk
mengetahui otentisitas (keaslian) penisbahannya kepada Nabi. Langkah ini
dilakukan mengingat mayoritas periwayatan hadis terjadi secara ahad dan hanya
sedikit yang bersifat mutawatir.

Perbedaan konsep-konsep dasar yang sangat substansial mengenai Hadis


Syiah membawa implikasi pada kualitas Hadis yang dapat dijadikan pegangan
sekaligus sebagai dasar hukum. Kriteria yang ditetapkan oleh Syiah berimplikasi
pada klasifikasi dan kualitas hadis masing-masing. Implikasi terbesar lainnya yaitu
perbedaan kitab hadis. Kitab hadis setelah Al-Quran dalam tradisi Syiah adalah al-
Kahfi Perbedaan selalu terjadi dalam memahami, menginterpretasi, dan menerima
sejarah. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pengetahuan yang dialami dan
perbedaan penginterpretasian terhadap yang diketahui. Perbedaan ini terus muncul
dalam berbagai masa dan tempat seiring berjalannya waktu kurikulum di
madrasah-madrasah ataupun Perguruan Tinggi secara formal. karena faktor yang
terus mempengaruhi pengetahuan tersebut berbeda-beda. Seperti yang telah terjadi pada
kelompok Syiah

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Tradisi Syiah ?
2. Bagaimana Keritik Sanad dalam Tradisi Syi’ah?
3. Bagaimana Keritik Matan dalam Tradisi Syi’ah ?

C. TujuanPenulisan
1. Mengerti dan Memahami Tradisi Syiah
2. Mengerti dan Memahami Keritik Sanad dalam Tradisi Syi’ah
3. Mengerti dan Memahami Keritik Matan dalam Tradisi Syi’ah

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tradisi Syi’ah
Syi‟ah memiliki terminologi sendiri dalam mendefinisikan Hadis, menurut
mereka Hadis adalah setiap apa saja yang disampaikan oleh para imam ma‟shum
pada hakekatnya sama dengan Sabda Rasulullah. Karena dalam pemahaman
Syi‟ah apa yang di sampaikan oleh para Imam sama nilainya dengan apa yang
dikatakan oleh Rasulullah. Dalam Ushul Fiqh kitab tulisan Muhammad Ridhā al
Mudzaffar mengatakan bahwa: “Sunnah atau Hadis adalah perkataan yang
ma‟shum ,berbuatannya, maupun tarqrir-nya. Senada dengan apa yang dikatakan
oleh Abdul Hadi, ia mengatakan bahwa Hadis adalah kalam yang menceritakan
tentang perkataan orang yang ma‟shum, berbuatanya atau pun persetujuannya.39
Berdasarkan pemahaman seperti ini, dapat dikatahui bahwa menepatkan imam
setara dengan Rasulullah Saw, hal ini dikarenakan dalam keyakinan mereka Imam
juga menerima wahyu seperti Nabi yang mendapatkan wahyu.

Perlu kita ketahui bahwa Golongan Syiah percaya bahwa imamah laksana
kenabian, dan menganggap imam sebagai utusan Allah setelah Nabi. Berdasar
pemahaman ini, kalangan Syiah mengklaim bahwa semua perkataan 12 imam yang
ma’ṣum pada dasarnya berasal dari Rasulullah. Karenanya, para imam tersebut
tidak ubahnya seperti Nabi yang memiliki sifat ma’ṣum, sehingga perkataan,
perbuatan, dan sifat-sifatnya juga sama dengan Nabi. Syiah meyakini, tidak ada
perbedaan antara perkataan yang diucapkan sang imam saat ia masih kanak-kanak
maupun yang diucapkannya pada usia kematangan akalnya. Menurut mereka, para
Imam itu tidak mungkin melakukan kesalahan, sengaja ataupun tidak, sepanjang
hayat mereka. Itulah sebabnya, salah seorang ulama kontemporer Syiah
mengatakan ”Sesungguhnya keyakinan akan kema’suman para imam telah
membuat hadis-hadis yang berasal dari mereka serta-merta menjadi sahih, tanpa
harus mempersyaratkan adanya persambungan sanad sampai Rasulullah SAW
sebagaimana yang dipersyaratkan di kalangan Ahlussunah (Abū Zahrah, n.d.).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Syiah telah mempersempit cakupan
hadis dengan batasan yang mereka yakini bahwa periwayatan hadis hanya

5
dimungkinkan melalui jalur Ahl al-Bait, yang dibatasi bagi mereka yang
mempunyai predikat ma’shum saja, yakni terbatas pada para

Dalam konteks kesahihan hadis,para ulama Syiah memberikan kriteriakriteria


sebagai berikut: (1) Sanadnya bersambung kepada Nabi SAW atau imam ma’ṣum
tanpa terputus; (2) seluruh periwayat dalam sanad berasal dari kelompok imamiyah
dalam semua tingkatan; (3) seluruh periwayat dalam sanad bersifat ’ādil; (4)
seluruh periwayat bersifat ḍhābit; (5) terhindar dari kejanggalan (syudzūdz)
(Saifuddin, 2013). Dengan demikian,hadis sahih menurut Syiah adalah hadis yang
memiliki standar periwayatan,termasuk dari imam-imam dikalangan mereka yang
ma’ṣum.

Dalam tradisi Syiah, hadis diklasifikasikan menjadi empat bagian, yaitu


sebagai berikut hadis ṣaḥīḥ, hadis ḥasan, hadis muwaṡṡaq, hadis ḍha’īf. Pertama,
hadis ṣaḥīḥ, adalah hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’ṣum
serta ’adil dalam semua tingkatan dan jumlahnya berbilang. Dengan kata lain,
hadis ṣaḥīḥ menurut mereka adalah hadis yang memiliki standar periwayatan yang
baik dari imam-imam dikalangan mereka yang ma’ṣūm (al-Salus, 1997). Mereka
sepakat bahwa syarat-syarat hadis sahih adalah sanadnya bersambung kepada
imam yang ma’ṣum tanpa terputus, para periwayatnya dari kelompok imamiah
dalam semua tingkatan, para periwayatnya juga harus adil dan kuat hafalan.

Kedua, hadis ḥasan menurut Syiah adalah hadis yang bersambung sanadnya
kepada imam yang ma’ṣum dari periwayat adil, sifat keadilannya sesuai dalam
semua atau sebagian tingkatan para rawi dalam sanadnya (alSalus, 1997). Mereka
menyaratkan hadis hasan, yaitu bertemu sanadnya kepada imam yang ma’ṣum
tanpa terputus, semua periwayatnya dari kelompok imamiyah, semua periwayatnya
terpuji dengan pujian yang diterima dan diakui tanpa mengarah pada kecaman.
Dapat dipastikan bahwa bila periwayatnya dikecam, maka dia tidak diterima dan
tidak diakui riwayatnya, tidak ada keterangan tentang adilnya semua periwayat.
Sebab, jika semua periwayat adil maka hadisnya menjadi sahih sebagaimana syarat
yang ditetapkan di atas. Semua itu harus sesuai dalam semua atau sebagian rawi
dalam sanadnya. Dari lima kriteria tersebut, tampak pengaruh akidah Imamiyah
berikut: periwayatnya disyaratkan harus dari kelompok Imamiyah, diterimanya
riwayat orang yang bermazhab Imamiah yang tidak adil, dan menolak riwayat

6
orang yang tidak bermazhab Imamiyah, meskipun dia adil dan wara’, diterimanya
riwayat orang yang bermazhab Imamiyah yang terpuji dan kadang tercela dengan
syarat tercelanya bukan sebab kerusakan mazhab.

Ketiga, hadis muwaṡṡaq, yaitu hadis yang bersambung sanadnya kepada imam
yang ma’ṣum dengan orang yang dinyatakan ṡīqah oleh para pengikut Syiah
Imamiyah, meskipun rusak akidahnya seperti dia termasuk salah satu firqah yang
berbeda dengan Imamiyah (al-Salus 1997). Dengan demikian, syarat hadis
muwaṡṡaq yaitu: bersambungnya sanad kepada imam yang ma’ṣum, para
periwayatnya bukan dari kelompok imamiah, tapi mereka dinyatakan tsiqah oleh
Ja’fariyah secara khusus, sebagian periwayatnya sahih, dan tidak harus dari
imamiah. Kriteria hadis muwaṡṡaq ini, tampak pengaruh dari akidah Syiah, yaitu
posisi hadis muwaṡṡaq diletakkan setelah hadis sahih dan hadis hasan karena
adanya periwayat dari selain Ja’fariyah. Pernyataan ṡiqah harus dari kelompok
Ja’fariyah sendiri, karena pernyataan ṡiqah dari selain Ja’fariyah tidak cukup dan
dinyatakan ḍa’īf.

Keempat, hadis ḍha’īf, yaitu hadis yang tidak memenuhi salah satu dari tiga
kriteria di atas. Misalnya di dalam sanad-nya terdapat orang yang cacat sebab fasik,
atau orang yang tidak diketahui kondisinya, atau orang yang lebih rendah dari itu,
seperti orang yang memalsukan hadis (al-Salus, 1997). Atas dasar itu mereka
menolak hadis-hadis sahih dari tiga Khulafā al-Rāsyidīn (Abū Bakr, ‘Umar, dan
‘Uṡman) dan sahabat yang lain, tābi’īn, serta para imam ahli hadis dan fuqaha.
Pasalnya mereka tidak percaya dengan akidah Imamiyah isna ‘asyariyah. Sebab
riwayat-riwayat sahih yang di dalam sanad-nya terdapat para sahabat senior dan
para imam yang amanah, tetapi tidak percaya dengan akidah dua belas imam, maka
riwayat-riwayat tersebut dinyatakan ḍa’īf oleh Syiah. Adapun hadis-hadis yang
ḍha’īf bukan berarti tidak dapat diamalkan. Keberadaan hadis tersebut dapat
disejajarkan dengan hadis sahih manakala hadis tersebut populer dan sesuai dengan
ajaran mereka, kaum Syiah. Hal yang penting diperhatikan bahwa hujah
keagamaan dikalangan Syiah tidak serta merta berakhir dengan wafatnya
Rasulullah, namun tetap berjalan sampai imam dua belas.

7
B. Kritik Sanad dalam Tradisi Syi’ah
Dalam hal ini yang akan dipaparkan dalam kritik dalam tradisi syiah itu melalui
klasifikasi perawi, kajian al-rijal, serta kajian seputar persambungan dan perputusan
sebuah sanad dalam sudut pandang Syiah Imamiyah.

C. Kritik Matan dalam Tradisi Syi’ah


Secara umum, dalam hal ini, Syiah Imamiyah melakukan kritik matan dengan
4 cara yang juga sebenarnya diakui dan digunakan oleh Ahl al-Sunnah-, yaitu:
Akan tetapi, dalam prakteknya banyak hal-hal musykil yang kemudian menjadi
pembeda antara Ahl al-Sunnah dan Syiah dalam melakukan kritik matan. Hal itu
akan dijelaskan sebagaimana berikut.

Pertama, menimbangnya matan hadits kepada al-Qur’an.

Para imam Syiah telah menyatakan kewajiban memaparkan hadits-hadits yang


diriwayatkan dari mereka kepada al-Qur’an. Maka yang sesuai dengan al-Qur’an,
itulah yang benar. Namun jika hadits itu menyelisihi al-Qur’an, maka ia tidak bisa
dijadikan pegangan. Imam al-Ridha mengatakan, Maka janganlah kalian
menerima (riwayat) dari kami yang menyelisihi al-Qur’an. Sebab jika kami
menyampaikan sesuatu pada kalian, kami tidak menyampaikan kecuali yang
sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah…Maka jika datang kepada kalian orang
yang menyampaikan hadits yang menyelisihi itu, maka tolaklah! Sebab setiap
perkataan dari kami itu akan disertai dengan hakikat dan cahaya, dan sesuatu
yang tidak ada hakikat dan cahayanya, maka itu adalah perkataan syetan.” Namun
yang menjadi masalah adalah –seperti telah disinggung sebelumnya-, bahwa
Syiah Imamiyah sendiri meragukan keabsahan al-Qur’an yang ada sekarang ini.
Hanya sebagian kecil dari kalangan al-Ushuliyyun dan al-Ikhbariyyun yang
meyakini bahwa al-Qur’an yang ada saat ini selamat dari tahrif (penyelewengan),
dan bahwa Allah telah menjaganya dari tangan-tangan jahat yang akan
merubahnya. Oleh sebab itu, mereka –yang meyakini kesucian al-Qur’an ini-
memandang bahwa al-Qur’an adalah sumber pertama dalam tasyri’, dan bahwa
hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab hadits mereka ada yang shahih dan
tidak. Maka menghadapi kenyataan ini, kalangan Syiah yang meyakini adanya
tahrif pada al-Qur’an pun menjadi dilematis. Betapa tidak, terlalu banyak hadits
dari para imam mereka yang memerintahkan untuk merujuk pada al-Qur’an dan

8
bahwa ia adalah sumber pertama dalam tasyri’ yang tidak mengalami tahrif dan
perubahan. Akibatnya, mereka terpaksa memilih pandangan yang menyatakan
bahwa para imam itu memerintahkan mereka untuk berpegang pada al-Qur’an
yang ada di hadapan kita saat ini, meskipun telah diselewengkan –menurut
mereka- hingga datangnya al-Qa’im al-Mahdy yang akan mengeluarkan al-
Qur’an yang shahih yang dikumpulkan oleh Imam ‘Ali r.a.

Kedua, menimbangnya dengan al-Sunnah.

Syiah Imamiyah memandang bahwa al-Sunnah merupakan sumber tasyri’


kedua setelah Kitabullah, dan hal ini disepakati oleh semua kaum muslimin.[61]
Namun sebagaimana telah dijelaskan pula, bahwa definisi al-Sunnah menurut
Syiah adalah perkataan, perbuatan dan penetapan al-ma’shum. Oleh sebab itu,
sang imam mempunyai hak untuk mengkhususkan dalil al-Qur’an yang umum,
atau tindakan semacamnya. Atau dengan kata lain, sang imam –karena ia
ma’shum-, maka posisinya sama dengan Nabi saw yang tidak berbicara kecuali
berdasarkan wahyu.

Ketiga, menimbangnya dengan ijma’.

Syiah –sebagaimana juga Ahl al-Sunnah- memandang ijma’ sebagai salah satu
sumber tasyri’ dalam Islam. Hanya saja, terminologi ijma’ dalam pandangan
mereka berbeda dengan terminologi ijma’ menurut Ahl al-Sunnah. Ibn al-
Muthahhir al-Huliyy mendefinisikan ijma’ menurut Syiah dengan mengatakan,
“Ijma’ itu hanya menjadi hujjah bagi kita jika ia mencakupi perkataan sang
(imam) yang ma’shum. Maka jama’ah apapun, sedikit atau banyak, jika perkataan
imam termasuk dalam perkataan mereka, maka ijma’nya menjadi hujjah
karenanya (perkataan imam –pen), bukan karena kesepakatan mereka.” Tentu
menjadi jelas, bahwa ijma’ semacam ini tentu tidak memiliki arti, sebab tetap saja
yang menjadi dasar penetapannya adalah ada-tidaknya perkataan imam ma’shum
dalam ijma’ tersebut. Mereka sebenarnya tidak mengakui ijma’ sebagai hujjah.
Yang menjadi hujjah tetaplah perkataan imam yang ma’shum. Pengakuan bahwa
ijma’ adalah hujjah bagi mereka hanyalah pengakuan kosong belaka. Sebagai
contoh, jika Imam al-Jawad –yang ‘menjabat’ sebagai imam saat ia berusia 7
tahun- mengeluarkan sebuah pendapat, maka pendapatnya itulah yang menjadi
hujjah, meskipun ummat Islam sedunia menyelisihi apa yang ia katakan.

9
Keempat, menimbangnya dengan akal.

Secara umum, Syiah Imamiyah juga mengakui akal sebagai sumber tasyri’
keempat. Dan yang dimaksud dengan akal di sini adalah “hukum-hukum yang
digali sendiri oleh akal”, seperti keharusan menolak semua kemudharatan, dan
menghukumi jahatnya memberikan hukuman tanpa penjelasan. Akan tetapi akal
tidaklah dapat berdiri sendiri tanpa adanya dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah dan
ijma’ –dengan semua definisi dan keyakinan mereka tentang ketiga sumber itu-.
Bahkan dengan semua keyakinan mereka tentang ketiga sumber itu, mereka
sebenarnya tidak akan pernah menimbang hadits-hadits mereka dengan akal
sehat, sebab pada akhirnya semua bergantung pada riwayat-riwayat yang ada
dalam kitab-kitab al-Ushul mereka. Syekh al-Mufid menggambarkan tentang
“tidak berfungsinya” akal menghadapi teks-teks hadits Imamiyah, “Seandainya ia
(maksudnya imam mereka yang masih kanak-kanak) mengatakan sebuah
perkataan yang tidak ada seorang manusia pun sepakat dengannya, itu sudah
cukup untuk menjadi hujjah dan dalil.” Intinya, bahwa Syiah Imamiyah tidak
terlalu memfungsikan rambu-rambu kritik matan tersebut. Sebab, seandainya
mereka memfungsikan rambu yang keempat saja –menimbang dengan akal
sehat-, maka –seperti kata DR. al-Qifary- mereka akan menemukan begitu banyak
matan-matan hadits yang jelas kedustaannya atas Islam; baik karena menyerang
Kitabullah, memerangi sunnah Nabi saw, mengkafirkan generasi terbaik ummat
ini, dan menyebutkan akidah-akidah yang tidak ada dalam al-Qur’an. Ini saja
sudah cukup untuk mempertanyakan hadits-hadits mereka.

10
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Kesimpula dalam konteks kesahihan hadis,para ulama Syiah memberikan


kriteriakriteria sebagai berikut: (1) Sanadnya bersambung kepada Nabi SAW atau
imam ma’ṣum tanpa terputus; (2) seluruh periwayat dalam sanad berasal dari
kelompok imamiyah dalam semua tingkatan; (3) seluruh periwayat dalam sanad
bersifat ’ādil; (4) seluruh periwayat bersifat ḍhābit; (5) terhindar dari kejanggalan
(syudzūdz)
Adapaum keritik sanad dalam tradisi syiah dapat disimpulkan bahwa itu melalui
klasifikasi perawi, kajian al-rijal, serta kajian seputar persambungan dan perputusan
sebuah sanad dalam sudut pandang Syiah Imamiyah Sedangkan keritik matan itu
melalui menimbangnya matan hadits kepada al-Qur’an, menimbangnya dengan
al-Sunnah, menimbangnya dengan ijma’ menimbangnya dengan akal

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Salus, Ali Ahmad. (1997). Ensiklopedi Sunah-Syiah; Studi Perbandingan


Hadis&Fiqih, Jakarta, Pustaka alKausar, 127-130, 706,
Munir, Miftakhul (2017).. Kajian Hadits Dalam Pandangan Sunni dan Syi’ah:
Sebuah Perbandingan. Al-Makrifat: Jurnal Kajian Islam, 2(2), 89-92..
Imran, Muhammad. (2016). Sahabat Nabi Saw Dalam Perspektif Sunni dan
Syi’ah (Pengaruhnya Pada Kesahihan Hadis). Jurnal Aqlam: Journal of
Islam and Plurality, 1(1), 16, 17, Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya. 1962
Awa’il al-Maqalat fi al-Madzahib al-Mukhtarat: Luthfullah al-Shafy. Al-
Mathba’ah al-‘Ilmiyyah Qum. Cetakan pertama 1398 H.
Bihar al-Anwar al-Jami’ah li Durar Akhbar al-A’immah al-Athhar: Muhammad
Baqir al-Majlisy (w. 1111 H), Mua’assasah al-Wafa’ Beirut. Cetakan kedua
1983 M
Al-‘Itr, Nur al-Dīn. (1972). al-Madkhāl ilā ‘Ulūm al-Ḥādist, Madīnah
alMunawwarah, al-Maktabah al-‘Ilmiyyah.

12

Anda mungkin juga menyukai