Anda di halaman 1dari 22

STUDI TENTENG KRITIK HADITS

Disusun Oleh:

Lutfie Mu’amar Za’imuddin

NIM. 1717662011

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCA SARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PURWOKERTO
2018
STUDI TENTANG KRITIK HADITS

I. Pendahuluan
Hadits dan al-Qur’an merupakan sumber utama hukum Islam. Pada
tataran kedudukan dan substansinya al-Qur’an tidak diragukan lagi
kekuatanya dan kepastianya, hal ini berbeda dengan hadits yang dari segi
kedudukan (wuru>d) dan substansi (dila>lah). Legalitas redaksi al-
Qur’an tidak diragukan lagi baik dari segi kedudukan maupun substansinya,
sedangkan hadits dihadapkan pada fakta bahwa tidak adanya jaminan
otentisitas pada teksnya dan perlu diukur nilai dari sanadnya, sehingga perlu
dan sangat penting untuk melakukan penelitian pada hadits guna menelaah
dan menentukan tingkatan atau kualitas hadits dari segi redaksi dan
sanadnya.
Penelitian kualitas hadits perlu dilakukan, bukan berarti meragukan
hadits Nabi Muhammad SAW, tetapi melihat keterbatasan perawi hadits
sebagai manusia, yang adakalanya melakukan kesalahan, baik karena lupa
maupun karena didorong oleh kepentingan tertentu. Keberadaan perawi
hadits sangat menentukan kualitas hadits, baik kualitas sanad maupun
kualitas matan hadits. Selama riwayat-riwayat ini membutuhkan penelitian
dan kajian mendalam untuk mengetahui mana yang dapat diterima dan
mana yang ditolak, maka mutlak diperlukan adanya kaidah-kaidah dan
patokan sebagai acuan melakukan studi kritik Hadits. Kaidah-kaidah dalam
melakukan penelitian hadits inilah yang dipelajari dalam studi kritik hadits.
Kritik dalam konteks ilmu hadits, tidak sinonim dengan istilah kritik
yang secara umum digunakan. Dalam ilmu hadits kritik tidak dimaksudkan
sebagai upaya untuk memberikan semacam kecaman, yang pada akhirnya
dapat melahirkan pelecehan terhadap eksistensi hadits. Istilah kritik hadits
tidak berkonotasi negatif, bahkan sebaliknya, berkonotasi positif. Aktifitas
kritik dalam konteks ilmu hadits dimaksudkan sebagai upaya menyeleksi
dan meneliti hadits, sehingga dapat diketahui mana yang shahih dan mana
yang tidak shahih.1

1 Umi Sumbulah, Kritik Hadits: Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN Press, 2008),
26.

2
Setidaknya ada enam faktor yang melatarbelakangi pentingnya kritik
hadits, pertama, hadits Nabi SAW sebagai salah satu sumber ajaran islam.
Kedua, tidak seluruh hadits ditulis pada jaman Nabi SAW. Ketiga, telah
muncul beragam pemalsuan hadits. Keempat, proses penghimpunan hadits
membutuhkan waktu yang lama. Kelima, jumlah kitab hadits yang banyak
dengan metode penyusunan yang beragam. Keenam, telah terjadi
periwayatan hadits secara makna.2
Berangkat dari pentingnya penelitian hadits di atas, muncullah
berbagai macam kritik atas hadits dengan berbagai metodologinya. Ada dua
kelompok yang berlainan dalam melakukan kritik hadits. Pertama,
kelompok yang ingin menguji kebenaran suatu hadits dalam rangka
memastikan hadits tersebut dari Rasulullah. Kelompok ini terdiri dari para
ulama hadits Islam. Kedua, kelompok yang mempertanyakan eksistensi
hadits sebagai sumber hukum dalam Islam. Kelompok ini dimotori oleh para
orientalis yang kemudian diikuti sebagian cendekiawan Islam.
Dinamika keilmuan yang ditimbulkan oleh hadits ini dimana
melibatkan dua kutub besar keilmuan yaitu kutub orient (wilayah Timur dan
peradabanya) dan occident (wilayah Barat dan peradabanya) memang
seyogyanya seperti itu, karena arti penting dan posisi hadits bagi umat Islam
baik secara fungsinya sebagai sumber hukum Islam maupun sebagai objek
kajian keilmuan bagi umat Islam. Kritik hadits dalam konteks hadits sebagai
sumber hukum Islam sangat penting dan substansial karena dua alasan,
pertama, dengan melakukan kritik hadits dapat diketahui kualitas hadits
baik dari sisi matan maupun sanadnya, dengan demikian si peneliti dapat
menentukan sebuah hadits yang diteliti (kritik) dapat dijadikan dalil
(maqbu>l) atas suatu hukum Islam, ataukah ditolak (mardu>d), atau
apakah hanya pada level tertentu dalam posisinya sebagai dalil suatu hukum
Islam.
Kedua, kritik hadits dalam konteks hadits sebagai sumber hukum
Islam memiliki peran penting dalam menentukan akurasi makna yang paling

2 Siti Badi’ah, “Metode Kritik Hadits di Kalangan Ilmuwan Hadits”, dalam Al-Dzikra, Vol. 9 No.
2 edisi Juli-Desember 2015, 94.

3
aktual suatu hadits terhadap perkembangan dan perubahan zaman. Dalam
kritik hadits ada diskursus tentang makna tekstual dan kontekstual matan
hadits, asbabul wurud hadits, telaaj ma’ani hadits, hingga studi mengenai
hermeneutika hadits, dimana studi-studi tersebut dapat membuka makna
dari matan hadits seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya sehingga dapat
diketahui makna hadits yang sesungguhnya.
Ketiga, sebagaimana yang diungkapkan oleh Musthafa al-Azhamy
bahwa mempelajari Ilmu hadits merupakan upaya menjaga dan
mengabadikan sunnah Rosull SAW dan menjaga syariah dari Allah SWT,
serta menjaga Islam dari hal-hal yang bukan termasuk ajaran Islam. 3
Dalam konteks hadits sebagai objek kajian dalam studi Islam, kritik
hadits tidak kalah penting, karena kritik hadits merupakan upaya dalam
menghidupkan ilmu-ilmu agama Islam. Dalam kritik hadits bukan hanya
ilmu hadits yang dipelajari, akan tetapi ada berbagai disiplin keilmuan yang
menyertainya, seperti ilmu tata bahasa Arab, ilmu tentang kritik periwayat
hadits, tokoh-tokoh Islam dalam studi ilmu hadits, sejarah Islam, dan
seterusnya. Selain itu mempelajari hadits dan penelitian hadits merupakan
perkara yang wajib bagi umat Islam terutama bagi para akademisi dan
cendidkia karena dari merekalah hadits ini disuarakan dan disampaikan
kepada umat, dan diwariskan dalam forum-forum keagamaan dan akademis,
sehingga kesalahan dalam memberi petunjuk terhadap umat dapat dihindari.
Atas dasar uraian diatas, maka makalah yang mengulas mengenai
Studi tentang Kritik Hadits ini layak ditulis dan disajikan, selain karena
pentingnya materi tersebut, juga karena nilai manfaat yang didapat bagi para
mahasiswa calon ilmuwan Muslim, juga merupakan pertimbangan mengapa
makalah dengan tema ini harus ditulis dan disajikan nantinya.
II. Pembahasan
A. Pengertian Kritik Hadits
Kritik hadits diantara ilmuwan Hadits Islam memiliki dua aliran
yaitu salaf (klasik) dan khalaf (modern). Ulama salaf ilmu hadits
berpendapat bahwa setiap hadits yang sanadnya sahih pasti matanya

3 Musthafa al-Azhamy, Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muh}addis|i>n, (Riyadh: Maktabah


Kautsar, 1990), 3-5.

4
sahih. Ulama khalaf berpendapat berbeda bahwa belum tentu sebuah
hadits yang sohih sanadnya sahih pula matanya, demikian juga
sebaliknya. Salah satu ulama kholaf yang berpendapat demikian
adalah Dr. Nuruddin ‘Atar dalam kitabnya manhaj al-naqd f
‘ulu>m al-hadi>s|:4
‫انه ل تلزام بين صحة السييند وصييحة المتيين وبييالعكس ايضييا فييانه ل تلزام بييين‬
‫ضعف السند وضعف المتن‬
Artinya : Sesungguhnya tidak pasti sebuah haditst yang sahih
sanadnya sahih juga matanya, demikian juga sebaliknya, tidak pasti
hadits yang dhoif sanadnya dhoif juga matanya.
Dari sinilah maka timbul potensi bahwa sebuah hadits untuk
dapat ditentukan nilainya atau kualitasnya perlu diteliti secara
mendalam dan sungguh-sungguh, baik matan maupun sanadnya dari
hal-hal yang bisa mempengaruhi kualitas hadits seperti intelektualitas
perawi hadits (d}abit), keadilan perawi (’adl), kebersambungan
sanad (ittis}ol al-sanad), sebab tersembunyi yang merusak kualitas
hadits baik di sanad maupun matanya (’ilat). Oleh karena itu perlu
adanya menyelidiki hadits dari segi matan dan ataupun sanadnya
untuk menentukan kedudukan hadits, perilaku inilah yang kemudian
dikenal dengan kritik hadits.
Kritik dalam bahasa Indonesia memiliki makna menghakimi,
menimbang, dan membandingkan. Dalam penggunaanya sering
dikonotasikan dengan makna yang tidak lekas percaya, tajam dalam
analisa, dan koreksi baik atau buruknya suatu karya. 5 Kritik hadits
dalam istilah ulama ahli hadits dikenal dengan istilah naqd al-
h}adi>s|, yang berarti mengkritik atau memiliki arti yang sama
dengan kata tamyi>z atau membedakan. Al-Azhamy mendefinisikan
pengertian kritik hadits secara bahasa yaitu :
‫تمييز الدراهم واخراج الزيف منها‬

4 Nuruddin ‘Atar, Manhaj al-Naqd f ‘Ulu>m al-h{adi>s|, (Damaskus: Darul Fikr, 1979),
470.

5 DEPDIKBUD, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 466.

5
Artinya: “Memisahkan (menyeleksi) uang dan mengeluarkan
yang palsu darinya”.
Sedangkan pengertian menurut istilah ulama ahli hadits kritik
hadits adalah :
‫تمييز الحااديث الصحيحة من الضعيفة والحكم على الرواة توثيقا وتجريحا‬
Artinya: “Upaya membedakan (menyeleksi) hadits sahih dengan
hadits dhoif dan menentukan kedudukan (hukum) para perawi hadits
tentang kredibilitas maupun kecacatanya”.6
Dari definisi yang diutarakan al-Azhamy memang terlihat
bahwa kritik mengenai sanad dimana di dalamnya terdapat para rawi
hadits menjadi perhatian utama, hal ini mengacu pada formulasi sanad
yang didefinisikan sebagai serangkaian transmitter suatu hadits, maka
upaya mengadakan verifikasi terhadap kredibilitas para perawi
tersebut sangat diperlukan.7 Dikatakan demikian, karena nilai
seseorang perawi hadits baik menyangkut pribadi maupun kapasitas
intelektualnya akan berimplikasi kepada matan hadits yang
diriwayatkannya.
Seorang kritikus hadits harus memperhatikan sanad sebagai
simbol penerimaan dan periwayatan hadits yang digunakan perawi
serta kebersambungan antara seorang perawi dengan perawi diatasnya
(guru) atau perawi dibawahnya (murid), dan diakhiri dengan
melakukan kritik terhadap matan hadits yang bersangkutan. Tetapi hal
ini bukan berarti memposisikan matan berada di bawah sanad dalam
segi ungensi, akan tetapi keduanya merupakan dua bagian hadits yang
tidak bisa dipisahkan dari hadits itu sendiri, layaknya dua mata uang,
yang apabila salah satu dari keduanya hilang maka nilai dari uang itu
sendiri menjadi tidak ada, demikian juga matan hadits dan sanad
hadits, apabila ingin mengetahui dengan cermat tentang nilai sebuah
hadits maka harus meneliti (meng-kritik) keduanya, baik sanad
maupun matanya.
B. Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Kritik Hadits
6 Musthafa al-Azhamy, Manhaj al-Naqd...5.

7 Umi Sunbulah, Kritik Hadits...31-32.

6
1. Kritik Hadits di Era Rosulullah SAW
Kritik hadits pada saat Rasulullah masih hidup sangat mudah
dilakukan para sahabat, karena para sahabat secara langsung dapat
mengetahui valid dan tidaknya hadits yang mereka terima itu melalui
jalan konfirmasi kepada Rasulullah SAW. Pola konfirmasi sebagai
cikal bakal kritik hadits pada masa Rasulullah bukanlah disebabkan
oleh rasa kecurigaan mereka terhadap pembawa beritanya bahwa ia
telah berdusta, tetapi hal tersebut mereka lakukan adalah dimotivasi
oleh sikap mereka yang begitu hati-hati dalam menjaga kebenaran
hadits sebagai sumber hukum Islam disamping al-Qur’an.8
Aktifitas kritik hadits dengan metode konfirmasi pada
zaman Rosulullah SAW seperti dalam hadits berikut :
‫قدم علي رضي ا عنه من اليمن بهدي وساق رسول ا صييلى ايي عليييه وسييلم‬
‫ فانطلقت محرشييا‬:‫ قال‬،‫ واذا فاطمة لبست ثيابا صبيغا واكتحلت‬,‫من المدينة هديا‬
‫ يا رسول ا ان فاطمة لبست ثيابا‬:‫ فقلت‬,‫استفتي رسول ا صلى ا عليه وسلم‬
,‫ صييدقت‬:‫ قييال‬,‫ امرني بييه ابييي صييلى ايي عليييه وسييلم‬:‫ وقالت‬,‫صبيغا واكتحلت‬
.‫ انا امرتها‬,‫صدقت‬
Artinya: “Ali RA. baru pulang dari menyampaikan hadiyah dari
Yaman kepada Nabi SAW dan Nabi memberi hadiah dari Madinah,
tiba-tiba fathimah memakai baju yang diwarnai dan menggunakan
eyelainer (celak), kemudian Ali berkata: kemudian saya pergi segera
kepada Rosulullah SAW untuk meminta fatwa (penjelasan), kemudian
saya berkata: ya Rosulallah, Fathimah memakai baju yang diwarnai,
dan memakai eyelainer (celak), dan dia (Fathimah) berkata bahwa
telah memerintahkan kepadaku Ayahku SAW, kemudian Rosulullah
menjawab: kamu benar, Fathimah benar, saya yang memerintahkan
kepadanya”. 9
2. Kritik Hadits di Era Sahabat
Penelitian hadits di era sahabat terbagi kepada tiga pilar utama,
yaitu, dengan kriteria bahwa hadits tersebut tidak bertentangan dengan

8 Umi Sumbulah, Kritik Hadits,... 23-33

9 Musthafa al-Azhamy, Manhaj al-Naqd,... 8.

7
al-Qur’an, tidak bertentangan dengan hadits lain, dengan cara
membandingkan antar riwayat sesama sahabat, dan melalui penalaran
akal sehat.10
Contoh kritik hadits yang dilakukan oleh Abu Bakar as-Shidiq
RA. Dalam sebuah hadits yang artinya : Telah menceritakan kepada
kami Al Qa'nabi, dari Malik dari Ibnu Syihab, dari Utsman bin Ishaq
bin Kharasyah, dari Qabishah bin Dzuaib, bahwa ia berkata; telah
datang seorang nenek kepada Abu Bakr Ash Shiddiq,ia bertanya
kepadanya mengenai warisannya. Kemudian ia berkata; engkau tidak
mendapatkan sesuatupun dalam Kitab Allah Ta'ala, dan aku tidak
mengetahui sesuatu untukmu dalam sunnah Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam. Kembalilah hingga aku bertanya kepada orang-orang.
Kemudian Abu Bakr bertanya kepada orang-orang, lalu Al Mughirah
bin Syu'bah berkata; aku menyaksikan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam telah memberikan kepadanya seperenam. Kemudian Abu
Bakar berkata: “apakah ada orang (yang menyaksikan) selainmu?
Kemudian Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata seperti apa
yang dikatakan Al Mughirah bin Syu'bah. lalu Abu Bakar
menerapkannya dan berkata; engkau tidak mendapatkan sesuatupun
dalam Kitab Allah Ta'ala, dan keputusan yang telah diputuskan
adalah untuk selainmu, dan aku tidak akan menambahkan dalam
perkara faraidl, akan tetapi hal itu adalah seperenam. Apabila kalian
berdua dalam seperenam tersebut maka seperenam itu dibagi di
antara kalian berdua. Siapapun di antara kalian berdua yang
melepaskannya maka seperenam tersebut adalah miliknya.
Contoh hadits yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits
nabi yang lebih sahih adalah:
‫انا خاتم النبين ل نبي بعدي ال أن شاء ا‬
Artinya: “ Saya adalah penutup para nabi, tidak ada Nabi sesudahku,
kecuali Allah SWT berkehendak.
Hadits ini bertentangan dengan firman Allah :

10 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadits, (Yogyakarta: T-H
Press, 2009), 144-145

8
40. Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki
di antara kamu[1223]., tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-
nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S.: al-
Ahzab:40)
[1223] Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. bukanlah ayah dari salah
seorang sahabat, karena itu janda Zaid dapat dikawini oleh Rasulullah
s.a.w.
Selain ayat 40 surat al-Ahzab yang bertentangan dengan hadits
diatas, ada juga hadits sahih dalam kitab Sahih Bukhari yang
menjelaskan tentang Nabi Muhammad SAW adalah penutup para
Nabi: “Telah bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah
bercerita kepada kami Isma'il bin Ja'far dari 'Abdullah bin Dinar dari
Abu Shalih dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perumpamaanku dan nabi-
nabi sebelumku seperti seseorang yang membangun suatu rumah lalu
dia membaguskannya dan memperindahnya kecuali ada satu labinah
(tempat lubang batu bata yang tertinggal belum diselesaikan) yang
berada di dinding samping rumah tersebut, lalu manusia
mengelilinginya dan mereka terkagum-kagum sambil berkata; 'Duh
seandainya ada orang yang meletakkan labinah (batu bata) di
tempatnya ini". Beliau bersabda: "Maka akulah labinah itu dan aku
adalah penutup para nabi". (HR. Bukhari)
Contoh hadits yangbertentangan dengan akal sehat yaitu:
‫من حادث حاديثا فعطس عنده فهو حاق‬
Artinya: “Barang siapa yang berkata sebuah perkataan dan kemudian
dia bersin maka perkataanya tersebut benar”.
Hadits ini palsu karena hal tersebut bertentangan dengan logika
manusia. Karena tidak mustahil orang yang bersin itu selalu jujur.
Oleh karena itu bersin tidak dapat dijadikan sebagai petunjuk bahwa
orang tersebut jujur. Sebab bisa saja orang pura-pura bersin
3. Kritik hadits di Era Tabi’in dan Tabi’t tabi’in Hingga
Kodifikasi Hadits

9
Sebagaimana penulis, sebutkan di atas bahwa konflik sosial
politik yang memicu perpecahan umat muslimin telah mengancam
kemurnian dan keaslian hadits. Sebab pada masa ini telah terdapat
para pemalsu hadits yang dengan sengaja memanipulasi hadits dengan
alasan-alasan yang bersifat personal atau kepentingan golongan,
seperti ungkapan Usman Sya’rani bahwa pada masa ini telah muncul
hadits palsu tentang kelebihan empat Khalifah, kelebihan ketua-ketua
kelompok, kelebihan ketua-ketua partai, memuliakan dan mencaci
kelompok-kelompok agama tertentu. Disamping pemalsu hadits
tersebut dilakukan oleh orang Islam, Orang- orang non-muslim juga
melakukan pemalsuan hadits karena keinginan untuk meruntuhkan
Islam.11
Munculnya pemalsuan hadits kemudian menuntut para ulama
yang hidup pada masa Tabi’in dan sesudahnya untuk lebih bersikap
ekstra ketat dalam melakukan penelitian hadits. Hal tersebut antara
lain dapat dibuktikan dengan semakin ramainya aktivitas perjalanan
ilmiah ke berbagai pelosok daerah yang bermaksud mempelajari
hadits Rasulullah Saw.
Pada masa Tabi’in ini, para ulama semakin aktif dalam
merumuskan rambu-rambu yang dijadikan sebagai standar kesahihan
hadits, hal tersebut terbukti dari lahirnya pemikiran-pemikiran tokoh
kritik hadits yang terkenal dalam memelihara kemurnian dan keaslian
hadits.12
Adapun rambu-rambu yang mengindikasikan adanya aktivitas
kritik hadits pada abad ke II dan ke III antara lain adalah sebagaimana
ungkapan Malik dalam kutipan Umi Sumbulah berikut:
a. Tidak meriwayatkan hadits dari orang yang selalu
memperturutkan ambisi pribadinya (hawa nafsu).

11 Usman Sya’rani, Otentisitas Hadits Menurut Ahli Hadits dan Kaum Sufi, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2002), viii.

12 Umi Sumbulah, Kritik Hadits,... 40-41.

10
b. Tidak meriwayatkan hadits dari orang yang bodoh, yang
dengan kebodohonnya itu ia kemudian membuat kebohongan
atas nama Rasulullah.
c. Tidak meriwayatkan hadits dari seseorang yang sebenarnya
baik amal ibadahnya, namun hadits yang diriwayatkannya itu
tidak dikenal (umum).13
Kritik hadits pada masa Tabi’in dan setelahnya (abad ke- II dan
ke-III) telah mencakup kepada penelitian sanad dan matan hadits.
Kegiatan penelitian tersebut telah menjalar ke seluruh pelosok negeri
Islam seperti: Makkah, Yaman, Irak, Mesir, Syam, Khurasan, Bukhara,
Merv, Kufah, Naisabur dan sebagainya. Pada awalnya metode
penelitian hadis tersebut hanya ditulis di pinggiran buku-buku hadits
seperti terdapat pada kitab Musna>d, Jawa>mi’, Sunan dan
lainnya. Ulama yang mencoba memberikan komentar atau kritik
terhadap beberapa hadits, hanya meletakkan komentarnya di bagian
akhir atau catatan kaki dalam berbagai buku induk hadis.
Kemudian cara yang pertama ini dirasakan kurang efektif dan
tidak cukup luas untuk mengupas kelemahan dan cacat yang terdapat
dalam hadis, sehingga para ulama hadits kemudian berinisiatif
menuliskan komentar-komentar mereka dalam satu kitab tersendiri,
yang memuat seluruh riwayat yang dimiliki oleh masing-masing
perawi agar penilaan atas hadits benar-benar objektif. Hal tersebut
sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad dalam karyanya:
Kita>b al-‘Ilal f Ma’rifah al-Rija>l, atau Musna>d al-
Mu’allal karya Ya‘qub bin Syaibah.
Pada tahap selanjutnya, penulisan kitab rujukan kritik hadits
menjadi lebih sistematis lagi setelah dilakukannya pengkajian yang
terpisah antara penelitian sanad dengan penelitian matan hadis. Hal ini
digagas oleh pakar peneliti hadits seperti Ibnu Abi Hatim dalam

13 Ibid,. 43.

11
bukunya: al-Jarh wa Ta’di>l dan’Ilal yang begitu detail dalam
melacak keabsahan hadits dari aspek matan dan perawinya.14
C. Ruang Lingkup Kajian Kritik Hadits
Pada dasarnya penelitian hadits harus diarahkan pada dua objek
penelitian yaitu penelitian sanad dan penelitian matan. Tujuan pokok
penelitian hadits, baik penelitian sanad maupun matan, adalah untuk
mengetahui kualitas hadits dimaksud, hingga dipastikan suatu hadits
itu sahih (maqbu>l), atau dhaif (mardu>d). Menurut Ash-
Shiddieqy kaidah naqd al-hadi>s| dibagi atas dua macam,15 yaitu :
1. Al-Naqd al-Kharijiyyu>n (kritik sanad hadits)
Pada kaidah al-naqd al-kharijiyyu>n ini membahas tentang
cara-cara periwayatan hadits. sahnya periwayatan. keadaan rawi, dan
kadar kepercayaan kepada mereka. Kritik pada umumnya berkisar di
sekitar persoalan, yaitu ketersambungan sanad dan kesiqahan rawi.
Kritik terhadap sanad merupakan penyelidikan terhadap kejujuran
rawi menyampaikan sumber hadits didapat. Langkah pertama dalam
melakukan penelitian hadits adalah melihat ittis}al al-sanad
(bersambungnya sanad) sampai pada Rasulullah SAW. Ada beberapa
langkah untuk melihat ittis}al al-sanad, yaitu: mencatat semua
rawi dalam sanad yang akan diteliti, mempelajari masa hidup masing-
masing rawi, mempelajari sigat al-tah}ammul wa al-‘ada yaitu
bentuk lafal ketika menerima atau mengajarkan hadits. meneliti guru
dan murid.16
Penelitian terhadap kesiqahan rawi dengan metode jarh wa
ta’di>l. Jarh adalah suatu sifat di mana rawi dan persaksiannya
dianggap jatuh dan batal dalam pengamalannya, sedangkan ta’di>l
adalah sifat di mana rawi dan persaksiannya diterima.17 Memahami
14 Ibid., 45-56.

15 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2009), 279-280.

16 M. Abdurrahman and Elan Sumarna, Metode Kritik Hadits, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2013), 14.

17 Ibid., 57.

12
ilmu jarh wa ta’di>l berarti telah memahami bagaimana seorang
rawi itu diterima atau ditolak periwayatannya. Dalam ilmu jarh wa
ta’di>l dibahas pula kaidah-kaidah yang berkaitan dengan jarh wa
ta’di>l dan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh ja>rih dan
mu’addil itu sendiri sehingga penta’dilan dan pentajrihan dapat
diterima atau ditolak. Metode jarh dan ta’dil menyelidiki persoalan
‘adil - d}a>bit - bid’ah – fa>sik menyalahi orang lain
(sya>z|), kesilapan, rawi tidak dikenal dan ada tuduhan bahwa
sanadnya munqat}i18, atau rawinya men-tadli>s19, atau meng-
irsa>l20
Keadaan dan kualitas sanad harus diperhatikan dan dikaji oleh
peneliti hadits dalam melakukan penelitan hadits. Apabila sanad hadits
itu tidak mencapai kriteria sebagaimana ditentukan, mosalnya
ditemukan rawinya tidak adil, sanadnya putus, dan penelitan hadits
tersebut dihentikan. Dan jika sanad tersebut berkualitas sahih maka
penelitian dilanjut dengan meneliti matanya.
2. Al-Naqd al-Da>khily (Kritik Matan Hadits)
Bagian ini lebih banyak berbicara hadits itu sendiri. apakah
maknanya sahih atau tidak, dan apa jalan-jalan yang dilalui dalam
menuju kesahihannya. Metode al-naqd al-da>khily pada
umumnya melakukan langkah “membandingkan” atau “pertanyaan
silang” dan “referensi silang”. Langkah teknis metode al-naqd al-
da>khily dengan mengumpulkan semua yang berhubungan dengan
materi atau informasi, kemudian secara hati-hati membandingkan
dengan satu persatu dengan yang lain, satu informasi dinilai.

18 Hadits yang gugur seorang atau dua orang dengan tidak berturut-turut di pertengahan sanad.
Hal tersebut dinamai inqit}a>’. Mengetahui adanya inqit}a>’adalah dengan mengetahui ada
tidaknya pertemuan antara seorang dan rawi lain. Hal ini adakalanya karena tidak semua atau tidak
semua atau tidak pernah bertemu. Ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits..., 170.

19 Hadits yang tidak disebut dalam sanad atau sengaja digugurkan oleh seorang rawi nama
gurunya dengan cara memberi waham (keraguan) apakah dia mendengar sendiri Hadits itu dari
orang yang disebut namanya itu. Ibid.

20 Hadits yang tidak bersambung sanadnya. Ibid.

13
Al-naqd al-da>khily oleh al-Azhamy dijelaskan dengan
metode perbandingan. Adapun metode-metode tersebut adalah: 1)
perbandingan matan hadits dengan berbagai sanad yang diriwayatkan
oleh perawi yang berbeda, 2) membandingkan matan hadits dengan
pernyataan ulama pada waktu yang berbeda, 3) perbandingan matan
hadits dengan dengan dengan dokumen tertulis untuk mengetahui
makna yang dikehendaki matan hadits tersebut, dan 4) perbandingan
hadits dengan teks al Quran yang berkaitan. 5) Selain menggunakan
metode perbandingan, menurut al-Azhamy al-naqd al-da>khily
juga menggunakan penggunaan pendekatan rasio dalam mengkritisi
kebenaran informasi.21
Dari konsep penelitan matan yang diutarakan oleh al-Azhamy
maka dapat disederhanakan menjadi menjadi naqd al-matan bi
al-matan (matan dengan matan/riwayat lain), naqd al-matan bi
al-Qur’an (matan dengan al-Qur’an), naqd al-matan bi al-was|
i>qoh al-kita>biyyah (matan dengan dokumen tertulis), naqd
al-matan bi al-‘aql (matan dengan akal). Pada perkembanganya
perbandingan matan dengan akal yang kemudian memunculkan kritik
matan hadits dengan metode hermeneutika dan semantik. Pendekatan
ini dalam penelitian matan hadits sangat diperlukan karena level
bahasa yang dipakai Nabi SAW, dalam menyampaikan haditsnya
selalu dalam susunan bahasa yang indah, baik, dan benar.
D. Urgensi Kritik Hadits dalam Studi Islam
Penelitian hadits pada dasarnya memiliki tujuan utama yaitu
meneliti, mengukur dan menentukan kualitas hadits dari dua
komponen utama hadits yaitu sanad dan matan hadits tersebut. Bagi
umat Islam, posisi hadits merupakan elemen yang fundamental dalam
menentukan hukum Islam yang dijalaninya dalam segala sisi
kehidupan, oleh karena kualitas hadits sebagai dalil hukum Islam
perlu diuji dan diteliti secara sungguh-sungguh dan mendalam
sehingga akan diperoleh landasan hukum yang kuat, tepat, dan benar

21 Musthafa al-Azhamy, Manhaj al-Naqd,... 49.

14
dalam menentukan hukum suatu persoalan dalam kehidupan umat
Islam.
Atas dasar latar belakang substansial inilah penelitian terhadap
hadits Nabi SAW, sangat penting dilakukan oleh para ilmuwan, dan
menjadikan hadits atau ilmu hadits `sebagai bidang studi keilmuan
yang harus ditekuni dan dikuasai dengan baik, hal ini berdasarkan
kepada beberapa faktor, antara lain :
1. Kedudukan Hadits sebagai Sumber Ajaran Islam
Bersamaan dengan al-Qur’an
Al-Qur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum Islam yang
tidak bisa dipisahkan atau dihilangkan salah satunya, al-Qur’an sangat
jelas dan tegas dalam mengungkapkan hal ini, seperti dalam al-Hasyr:
7, yang berbunyi :

7. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada


RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota
Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan,
supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di
antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah.
dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya.
Posisi hadits yang demikian fundamental bagi kehidupan umat
Islam sangta memerlukan upaya nyata guna menjaga posisinya,
sehingga tidak diragukan bahkan sampai hilang, karena
konsekuensinya adalah Islam sendiri yang terancam apabila posisi
hadits sampai diragukan kredibilitas dan kualitasnya. Dengan kata
lain, mempelajari ilmu hadits, termasuk penelitian hadits di dalamnya,
sama dengan menjaga Islam itu sendiri.
2. Hadits Nabi SAW Tidak Seluruhnya Tertulis pada Waktu
Nabi Masih Hidup
Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau,
tapi di saat yang berbeda, beliau pernah menyuruh sahabat untuk

15
menulis hadits beliau. Nabi melarang menulis hadits karena nabi lebih
mengutamakan untuk menulis ayat-ayat al-Qur’an yang turun. Seperti
hadits yang dikutip oleh Nurudin ‘Atar yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dan Imam Ahmad bin Hanbal mengenai larangan menulis
hadits berikut :
‫ لتكتبيوا عنيي شييئا‬: ‫عن ابي سعيد الخدري ان النبي صلى ا علي ه وسيلم قيال‬
‫الالقرآن فمن كتب عني غير القرأن فليمحه‬

Artinya : Dari Abu Sa’id al-Khudry bahwa sesungguhnya Nabi SAW


bersabda : “Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain al-
Qur’an, barang siapa yang menulisnya, maka hapuslah” 22
Ada juga hadits yang menyatakan bahwa nabi memperbolehkan
sahabat untuk menulis hadits-hadits beliau seperti hadits yang
berkisah mengenai Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash dalam menulis hadits
Rosulullah SAW. Hadits tersebut dikutip oleh ‘Atar dalam kitabnya
Manhaj al-Naqd f ‘Ulu>m al-h}adis| dari Sunan Abu
Dawud dan al-Musnad Ahmad bin Hanbal, hadits tersebut
sebagai berikut:
‫ كنت اكتب كل شيئ اسمعه من رسول ا صييلى ايي‬: ‫عن عبد ا بن عمرو قال‬
‫ اتكتييب كييل شيييئ و رسييول ايي‬:‫ ونهتنييي قريييش وقييالوا‬,‫عليه وسلم اريد حافظها‬
,‫ فامسييكت عين الكتابيية‬,‫صلى ا علييه وسيلم بشير يتكلييم فييي الغضيب والرضيا‬
‫ اكتييب‬: ‫ فقييال‬,‫ فاومأ بيييده الييى فيييه‬,‫فذكرت ذلك لرسول ا صلى ا عليه وسلم‬
.‫فوالذي نفسي بيده مايخرج منه ال حاق‬
Artinya: “Dari Abdullah bin ‘Amr : “Saya menulis segala sesuatu
yang saya dengar dari Rosulullah SAW, saya hendak menghafalnya,
kemudian orang-orang Quraisy mencegahku, mereka berkata : apakah
kamu menulis segala sesuatunya ? sedangkan Rosulullah SAW adalah
orang biasa, yang berbicara didalam kemarahan dan ridlo, maka saya
berhenti menulis dan mengutarakan hal ini kepada Rosulullah SAW,
kemudian Rosulullah SAW berisyarat deeennngan tangannya ke

22 Nurudin ‘Atar, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-hadits,..41, dikutip dari Sahih Muslim Bab Zuhud,
Juz V, hal. 229, dan kitab al-Musnad Ibnu Hanbal, Juz III, hal. 21.

16
mulutnya dan berkata : tulislah, maka demi Allah dzat yang
menguasai jiwaku bahwa tiada yang keluar dari-Nya kecuali
kebenaran.”23
Hadits tersebut menunjukan bahwa kondisi sahabat dan
masyarakat pada masa itu masih belum ada kesadaran untuk menulis
hadits dan banyak yang belum melakukanya, dan Rosulullah SAW
pun hanya mengizinkan kepada sebagian sahabat saja dan salah
satunya adalah Abdullah bin ‘Amr. Hal ini diperkuat dengan kesaksian
dari Abu Hurairah RA. Mengenai Abdullah bin ‘Amr, Abu Hurairah
berkata: “Tidak ada satu sahabat Nabi SAW yang lebih banyak dariku
dalam periwayatan hadits Nabi kecuali Abdullah bin ‘Amr, karna
sesungguhnya dia menulis (hadits) sedangkan saya tidak
melakukanya”24
3. Adanya Pemalsuan Hadits Nabi SAW
Faktor awal penyebab adanya pemalsuan hadits Nabi SAW
adalah adanya konflik kepentingan politik yang terjadi antara Ali bin
Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sofyan, masing-masing pendukung
berusaha dengan segala cara untuk memenangkan perjuanganya, dan
salah satu cara yang dilakukan pada masa itu adalah memalsukan
hadits Nabi SAW. Tujuan pemalsuan hadits tersebut adalah untuk
melegitimasi pendapat-pendapatnya dan sikapnya terhadap lawan
politik masing-masing.25 Selain kepentingan politik dalam pemalsuan
hadits ini, kepentingan ekonomi juga menjadi motof dari pemalsuan
hadits Rosul SAW. Dengan adanya pemalsuan hadits ini maka
penelitian hadits ini sangat penting artinya untuk memastikan apakah
hadits ini benar-benar berasal dari Rosulullah SAW ataukah hadits
palsu.
4. Periwayatan dan Penghimpunan Hadits Nabi SAW
Memakan Waktu yang Sangat Panjang

23 Ibid. 40.

24 Ibid.

25 Lihat, Zaim Uchrowi dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka setia, 2003).

17
Sejarah mencatat bahwa pencatatan hadits secara resmi pada
masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (101 H/750 M). Penulisan hadits
tersebut merupakan kebijakan dan perintah langsung dari sang
khalifah yang dilakukan secara masiv dengan melibatkan para
gubernur dan ilmuwan hadits pada zaman itu. 26 Dengan demikian
jarak waktu antara wafatnya Rosulullah SAW dan penghimpunan
hadits sangat jauh sekitar 100 tahun lamanya, dan dalam masa selama
itu telah banyak pemalsuan hadits dan penggunaan sanad hadits sahih
untuk matan hadits palsu, oleh karena itu untu menjaga kualitas dan
validitas hadits kritik hadits sangat penting artinya.
5. Metode dan Pendekatan Penyusunan Kitab-kitab Hadits
yang Bervariasi
Sejak zaman belum diresmikanya penulisan hadits masing-
masing mukharrij (orang yang meriwayatkan hadits dan sekaligus
menghimpun hadits) memiliki metode sendiri-sendiri baik dalam
penyusunan, sistematika, dan topik yang dikemukakan oleh hadits
yang dihimpunya, maupun kriteria hadits yang dihimpunya. Tidaklah
mengherankan apabila pada masa itu, ulama menilai dan membuuat
kriteria tentang peringkat kualitas kitab-kitab himpunan hadits setelah
masa penghimpunan tersebut. Dari situlah muncul istilah-istilah
mengenai kriteria kitab-kitab himpunan hadits seperti kutub al-
khamsah, kutub al-sittah, dan kutub al-sab’ah.27
6. Periwayatan Hadits yang Berlangsung secara Maknawi
Dalam periwayatan hadits bisa saja secara maknanya dan juga
secara lafalnya, dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat mengenai
periwayatan redaksi hadits ini baik dikalangan sahabat maupun para
ulama ahli hadits sesudah masa sahabat. Pada perkembanganya, ada
peraturan ketat mengenai cara periwayatan redaksi hadits ini seperti
sang periwayat harus sangat faham dan menguasai ilmu bahasa Arab,

26 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 98.

27 Subhi Shalih, ‘Ulu>m al-H}adits wa Must}ola>huhu, (Beirut: Dar al-Ilm: 1977), 117-
119.

18
dan hadits yang diriwayatkan bukan bacaan ta’abudy seperti bacaan
sholat misalnya.28
Fenomena yang muncul setelah Nabi SAW wafat ini
memunculkan perbedaan sikap di kalangan para sahabat dan tabi’in.
Sebagian besar bahkan ‘Ajaj al-Khatib menyatakan bahwa tidak
diragukan bahwa semua sahabat Nabi SAW memilih untuk menjaga
dalam mengampaikan hadits dengan lafadz yang didapat dari Nabi
SAW. Adapun pembolehan meriwayatkan hadits dengan makna begi
para sahabat diperbolehkan hanya dalam kondisi darurat saja.
Memang pada perkembanganya sebagian dari para sahabat ada yang
ridlo dengan penggantian lafal, baik itu huruf dengan huruf, kata
dengan kata lain, ataupun kalimat dengan kalimat lain.
Para sahabat utama yang seperti Abu bakar, Umar, Utsman, dan
Ali rodliyallahu ‘anhum, lebih memilih untuk meriwayatkan hadits
dengan lafal seperti yang di dengar dari Nabi SAW. Bahkan Umar RA
berkata mengenai periwayatan hadits dengan secara maknawi bahwa,
“barang siapa yang mendengar hadits, dan kemudian menyampaikan
hadits tersebut sebagaimana yang didengarnya, maka dialah orang
yang selamat”.29 Sikap demikian itu diperlihatkan karena
dikhawatirkan ada perubahan makna substansial yang datang seiring
makna perubahan redaksi hadits.
Dari segi pengembangan ilmu ke-Islaman kritik hadits
merupakan upaya menggali khazanah Islam untuk memberikan
alternatif baru dalam mengatasi kelemahan-kelemahan disiplin ilmu
moderen dan Barat yang lebih dulu berkembang, seperti ilmu
pendidikan, ilmu sosial, ilmu psikologi, ilmu ekologi, dan lain-lain.
kritik hadits juga merupakan upaya memberikan pondasi yang kuat
dalam konstruksi bangunan ilmu baru yang lebih kuat dan andal,
sesuai dengan cita-cita Islam, mewujudkan kehidupan semesta yang

28 M. Abdurrahman and Elan Sumarna, Metode Kritik Hadits,... 43.

29 Lihat, Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, al-Sunnah qobla Tadwi>n, (Beirut: Darul Fikr: 1990),
126-128.

19
lebih damai dan nyaman, yang dapat mengantarkan manusia mencapai
bahagia dan sejahtera, di dunia dan akherat.30
Urgensi kritik hadits dalam konteks pengembangan paradigma
studi Islam interdisipliner merupakan membangun frame yang jelas
kuat dalam penyelidikan dan penafsiran atas semesta (Ilmiah-
akademis) dari prespektis etis-akademis sehingga bisa diketahui
jawaban dari pelbagai fenomena yang terjadi. Selain itu studi kritik
hadits memiliki nilai urgensi terkait dengan sikap serta pemikiran
yang menempatkan rasa ketuhanan dalam segala lini kehidupan.31
Studi ilmu hadits merupakan implementasi cinta terhadap Tuhan sang
pencipta segala Ilmu pengetahuan, dengan pemahaman mengenai
kualitas hadits yang di dapat dari studi kritik hadits seorang ilmuwan
dapan memformulasikan nilai-nilai ketuhanan dalam setiap solusi
akademis dari persoalan-persoalan yang dihadapinya.
III. Simpulan
Dari bahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kritik hadits sangat
fundamental dan sangat fital dalam Islam, fundamental karena disiplin studi
ini sangat menentukan dalam konstruksi hukum Islam dan tidak tergantikan
nilainya. Fital karena ketiadaanya akan sangat berdampak buruk bagi
konstruksi hukum Islam. Dalam konteks keilmuan, kritik hadits merupakan
ilmu yang wajib dipelajari secara sungguh-sungguh dan dikuasai oleh para
ilmuwan Muslim dalam rangka menghidupkan Ilmu-ilmu keislaman dan
menjaga hadits sebagai sumber hukum Oslam yang fundamental.
Ada kaidah dalam ilmu fiqih yang sangat terkenal yaitu kullu ma>
yutawassalu ila> al-wa>jib fahua wa>jib (segala sesuatu yang
menjadi media dalam menunaikan perkara wajib maka sesuatu tersebut
hukumnya wajib). Dalam konteks ini mempelajari hadits adalah sesuatu
yang wajib bagi umat Islam, sedangkan kritik hadits merupakan media

30 Hasan Baharun dan Akmal Mundiri, Merodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran Tokoh dalam
Membumikan Agama, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 13

31 Ibid., 79.

20
dalam memahami hadits maka memiliki hukum sama dengan hadits itu
sendiri bagi umat Islam.
Kesimpulan selanjutnya adalah mempelajari ilmu kritik hadits adalah
upaya dalam rangka menjaga Islam agar senantiasa relevan dengan
tantangan zaman, s|a>lih likulli zama>n wa maka>n. Dengan kritik
hadits, seorang ilmuwan akan mampu mengetahui kualitas hadits dan makna
yang dikehendaki oleh matan hadits, sehingga ilmuwan tersebut dapat
merespon dengan mengambil rujukan hadits dengan tepat dan kuat terhadap
persoalan yang ditemui dalam perubahan dan perkembangan zaman.

21
Daftar Pustaka

Abdurrahman , M., and Elan Sumarna, Metode Kritik Hadits, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2013.

Al-Azhamy, Musthafa, Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muh}adis|i>n, Riyadh:


Maktabah Kautsar, 1990.

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj, al-Sunnah qobla Tadwi>n, Beirut: Darul Fikr:


1990.

‘Atar, Nuruddin, Manhaj al-Naqd f ‘Ulu>m al-H}adi>s|, Damaskus:


Darul Fikr, 1979.

Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits Semarang: Pustaka


Rizki Putra, 2009.

Badi’ah, Siti, “Metode Kritik Hadits di Kalangan Ilmuwan Hadits”, dalam Al-
Dzikra, Vol. 9 No. 2 edisi Juli-Desember 2015.

Baharun , Hasan, dan Akmal Mundiri, Merodologi Studi Islam: Percikan


Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2011.

DEPDIKBUD, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Ismail, M. Syuhudi, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, Jakarta: Bulan Bintang,


1992.

Sumbulah, Umi, Kritik Hadits: Pendekatan Historis Metodologis, Malang: UIN


Press, 2008.

Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadits,


Yogyakarta: T-H Press, 2009.

Sya’rani,Usman, Otentisitas Hadits Menurut Ahli Hadits dan Kaum Sufi, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2002.

Uchrowi, Zaim, dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka setia, 2003.

Shalih, Subhi, ‘Ulu>m al-Hadi>s| wa Musthola>huhu, Beirut: Dar al-


Ilm: 1977.

22

Anda mungkin juga menyukai