Diampu Oleh:
Ustadz Muhammad Amin, M.Ag
Disusun Oleh:
Inri Lestari : 2120400045
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
1
بسم هللا الرحمن الرحيم
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang mana atas berkat dan
rahmatNya sehingga makalah ini dapat terseleseaikan. Adapun tujuan dan maksud
makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits dan juga
ingin lebih memperdalam kajian Ulumul Hadits dalam pembahsan Takhrijul
Hadits yang dibimbing oleh Ustadz Muhammad Amin M.Ag.
Maka dengan demikian penulis berharap makalah yang telah ditulis ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semoga memberikan penegetahuan yang
lebih mendalam mengenai materi Ulumul Hadits tentang Takhrijul Hadits.
Kami sebagai penulis menyadari begitu banyak kekurangan dari makalah ini
sehingga kami sangat berharap kritik dan saran dari pembaca agar kedepannya
kami dapat menuliskan makalah yang lebih baik lagi.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………3
BAB I : PENDAHULUAN………………………………………………………..4
BAB II : PEMBAHASAN…………………………………………………….…..5
a. Kesimpulan……………………………………………………….……..15
DAFTRAR PUSTAKA………………………………………………………….17
BAB I
3
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
4
C. Tujuan Pembahasan
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah takhrīj ( )التخريجberasal dari kata kharraja ( )خَ َّر َجdalam bahasa
َ خَ ر
arabnya merupakan ism masdar dari kata kharraja-yukharriju-takhrījan ( -َّج
تَخ-ُ )يُ َخ َّرجyang semakna dengan kata استنباطartinya mengeluarkan. Dalam kamus
Lisān al-‘Arab menyebutkan bahwa makna التخريجadalah mengeluarkan ()التدريب,
dan menjelaskan dengan sesuatu ()التوجيه. Sedangkan menurut Ibrahim Anis adalah
َ خَ رberarti menampakkan, mengeluarkan, dan memecahkan sesuatu. Kata
kata َّج
َ خَ رadalah bentuk fi’il madhi tsulasi mazid dari kata خرجyang terdiri dari huruf
َّج
kha’, ra’, dan jim dengan makna dasarnya ada dua, yakni penembusan sesuatu dan
perbedaan dua warna. Sedangkan Karim al-Bustami menyebutkan dalam
kamusnya al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, bahwa kata التخريجmemiliki
makna menjelaskan ( َ)بَيَّن, menyatukan ()َأ ْب َر َز, mengambil sebagian ( )َأ ْق َس َمdan
mengeluarkan sesuatu ()اإلستنباط.
Secara istilah yang biasa dipakai oleh ulama hadis, kata al-takhrīj
mempunyai beberapa arti, yakni:
1. Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para
periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan
metode periwayatan yang mereka tempuh.
5
2. Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh
para guru hadis, atau berbagai kitab, atau lainnya, yang susunannya
dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau
temannya, atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari
para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3. Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya
dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh para mukharrij-nya langsung
(yakni para periwayat yang juga sebagai penghimpun bagi hadis yang
mereka riwayatkan).
4. Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya,
yakni kitab-kitab hadis, yang di dalamnya disertakan metode
periwayatannya dan sanadnya masing-masing, serta diterangkan keadaan
para periwayatnya dan kualitas hadisnya.
5. Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang
asli, yakni berbagai kitab, yang ada di dalamnya dikemukakan hadis itu
secara lengkap dengan sanadnya masing-masing kemudian untuk
kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan
6
3. Dengan takhrīj kekaburan periwayatan dapat diperjelas dari periwayatan
jalur isnād yang lain. Baik dari segi rāwi, isnād, maupun matan hadis.
4. Dengan takhrīj akan dapat diketahui persamaan perbedaan atau wawasan
yang lebih luas tentang berbagai periwayatan dan beberapa hadis yang terkait.
5. Dengan takhrīj akan dapat ditentukan status hadis ṣhahih li ghairihi,
hasan li zātihi, atau hasan li ghairihi. Demikian juga akan diketahui istilah hadis
mutawatir, masyhur, aziz, dan gharib.
Dalam kaitan ini, khusus pada zaman Abū Bakar dan ‘Umar bin Khattāb,
periwayatan hadis dilakukan dengan sangat hati-hati. Setiap sahabat yang hendak
meriwayatkan hadis, diminta untuk menghadirkan saksi atau mengucapkan
sumpah itupun periwayatannya sangat dibatasi dan sahabat-sahabat yang boleh
meriwayatkan hadis hanya dari orang-orang tertentu saja. Demikian dilakukan
agar terhindar dari tercampur aduknya riwayat-riwayat al-Qur’an dengan hadis.
Dari sini dapat diketahui, bahwa kedua khilafah inilah yang mula-mula
meletakkan undang-undang periwayatan hadis.
Untuk masa berikutnya, yakni kekhalifahan Utsman dan Ali, periwayatan
hadis semakin dikurangi, karena fokus perhatian utama di masa ini adalah
penulisan dan pemeliharaan al-Qur’an. Tetapi, di akhir kekhalifahan Ali, tampil
sekelompok mayoritas orang-orang muslim memalsukan hadis. Mereka
meriwayatkan hadis sesuai dengan kepentingan kelompoknya masing-masing dan
yang mula-mula tampil memalsukan hadis adalah kaum Syi’ah.
Para ulama dan peneliti hadis terdahulu dalam mencari hadis sampai
menemukannya, tidak membutuhkan kaidah-kaidah dan pokok-pokok takhrīj,
7
karena pengetahuan mereka sangat luas ditambah lagi ingatan mereka sangat kuat
terhadap sumber-sumber hadis. Di samping itu, mereka mengetahui sistematika
penyusunan kitab-kitab hadis, sehingga dengan mudah bagi mereka untuk
mempergunakan dan memeriksa kembali guna mendapatkan suatu hadis dari kitab
sumbernya. Keadaan seperti itu berlangsung sampai berabad-abad lamanya,
sehingga pengetahuan para ulama dari generasi ke generasi tentang kitab-kitab
hadis dan sumber aslinya menjadi sempit, maka sulitlah bagi mereka untuk
mengetahui tempat-tempat hadis dalam berbagai kitab.
8
Akan tetapi, hadis-hadis yang dikumpulkan untuk satu sahabat terkadang
tidak didapatkan kesesuaian dan kesatuan di antaranya. Terkadang d
ditemukan sebuah hadis tentang al-tahārah, diikuti sebuah hadis tentang al-nikāḥ,
diikuti oleh sebuah hadis al-riqāq, diikuti oleh hadis tentang tafsir, dan
seterusnya.
Hadis-hadis tentang tema-tema yang berbeda-beda tersebut, namun menyatu
dalam perawi yaitu sahabat tertentu. Jika orang yang ingin mentakhrīj telah
mengetahui sahabat yang meriwayatkannya, maka dia dapat menggunakan kitab-
kitab yang dinamai al-masānīd tersebut. Jika ingin mentakhrīj sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah, maka menuju ke tempat yang di dalamnya
terdapat hadis-hadis Jabir dari Musnad Imam al-Ahmad misalnya, kemudian
menelusuri hadis-hadis yang mencakup hadis yang diinginkan.
b. Al-Ma’ājim
Kitab ini mempunyai kemiripan kitab musnad, seperti kitab Mu’jam al-
Thabrāni al-Kabīr. Tetapi, al-Thabrāni memberi nama kitabnya al-Mu’jam
dikarenakan perbedaan ialah pada dasarnya kitab ini menguraikan hal yang
mendasar tentang sahabat. Beliau menjelaskan biografi sahabat dan
memperkenalkan mereka sesuai dengan metode tertentu, kemudian mengikutkan
penyebutan hadis-hadis sahabat tersebut. Dan beberapa kitab yang ditulis juga
memperkenalkan tentang sahabat seperti kitab Mu’jam al-Ṣaḥābah karya Ibn
Qāni.
c. Al-Athrāf
Di antara kitab-kitab yang dapat dijadikan rujukan ialah kitab-kitab al-
Athrāf seperti kitab Tuhfat al-Asyrāf. Akan tetapi perbedaan antara kitab ini
dengan dua jenis kitab sebelumnya adalah kedua jenis kitab terdahulu dianggap
sebagai kitab sumber yang asli. Karena Imam Ahmad dan al-Thabrāni
meriwayatkan hadis dengan sanadnya dengan sanad mereka sendiri, sedangkan
kitab Tuhfat merupakan kitab perantara atau pengganti saat dibutuhkan.
2. Takhrij Melalui Matan Hadis
Takhrīj melalui matan hadis lebih mudah daripada takhrīj melalui sanad,
dan masing-masing memiliki kelebihan dan keistimewaan. Tetapi, keberadaan
9
sanad yang lengkap terkadang tidak terpenuhi bagi peneliti hadis, karena adanya
kemungkinan dia hanya memiliki matan hadis saja, atau hanya nama sahabat yang
disebutkan. Terkadang pula, mungkin terdapat sedikit kesulitan ketika merujuk
kitab-kitab yang ditulis dalam bentuk masānīd. Misalnya, kita ingin mentakhrīj
hadis Abu Hurairah r.a. dari Musnad al-Imam Ahmad, sedangkan hadis Abu
Hurairah ada 4000 hadis atau lebih. Maka tentunya sulit bagi peneliti hadis untuk
menemukan sebuah hadis. Berikut ada dua metode takhrījul hadīṡ melalui matan
hadis yang populer.
a. Takhrīj bi al-Lafẓī (Mentakhrīj Berdasarkan Kosa Kata Hadis)
Cara yang sangat populer dalam mentakhrīj hadis melalui lafalnya adalah
menggunakan alat bantu berupa Mu’jam (kamus hadis) karya A. J. Wensink yang
berjudul al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Ḥadīṡ al-Nabawī. Kitab ini disusun
dengan merujuk kepada sembilan kitab hadis induk, yaitu Shahih Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Turmuzi, Sunan al-Nasaih, Sunan Ibnu
Majah, Sunan al-Darami, Muwattha Malik, dan Musnad Ahmad bin Hanbal.
Untuk menelusuri hadis dengan metode ini cukup mengambil sebagian lafaz
dari matan hadis yang akan diteliti baik dalam bentuk fi’il maupun ism.
Penyusunan dari kitab ini juga disusun mulai dari al-af’āl al-mujarradah
berdasarkan huruf mu’jam, kemudian ismu al-fā’il, ismu al-maf’ūl dan seterusnya.
Selanjutnya, setelah lafaz-lafaz itu, ada petunjuk bahwa lafaz tersebut terdapat
dalam kitab-kitab yang menjadi rujukan kamus ini lengkap dengan petunjuk kitab,
juz, dan bab, bahkan halamannya pada hadis yang dimaksud. Misalnya, hadis
yang akan dicari adalah:
Hadis tersebut dapat ditelusuri lewat kitab Mu’jam dengan mencari lafal
يؤمنdengan mengembalikan pada kosa kata dasarnya, yakni أمن. Atau lafal يحب
dengan kosa kata dasarnya حب. Lafal أمنterdapat dalam juz 1 halaman 105-120.
Dalam halaman ini, dicari lafal ال يؤمن. atau lafal حبyang masih terdapat pada
juz I halaman 405-409, lalu dicari lafal حتى يحب ألخيه, setelah menemukan lafal
10
tersebut, kitab Mu’jam memberikan petunjuk tentang di mana letak hadis yang
akan ditakhrij pada kitab-kitab sumber hadis.
Contoh lebih jelasnya jika hadis yang diingat hanyalah bagian lafal matan
yang berbunyi من رأى منكم منكرا. Dengan modal lafal منكرا, maka lafal itu ditelusuri
melalui halaman kamus yang memuat lafal نكر. Setelah diperoleh, lalu dicari kata
منكرا. Di bagian itu ada petunjuk bahwa hadis yang dicari memiliki sumber yang
cukup banyak, yakni:
Tanda-tanda atau rumus yang menjadi sumber rujukan Mu’jam untuk kitab-
kitab hadis berjumlah sembilan kitab hadis. Yakni sebagai berikut:
11
biasanya tidak menunjukkan teks hadis menurut para periwayatnya masing-
masing. Kitab Mu’jam hadis yang sangat populer menggunakan metode ini ialah
Miftāh Kunūz al-Sunnah karya Arnold John Wensinck dan telah ditahqīd oleh
Syaikh Muhammad Fu’ad Abdul Bāqi.
Dalam kitab Miftāh, nama dan beberapa hal yang berhubungan dengannya
dikemukakan dalam bentuk lambang. Berikut ini dikemukakan maksud lambang
yang dipakai dalam kitab Miftāh:
1) بخ: Shahih al-Bukhari
2) مس: Shahih Muslim
3) بد: Sunan Abu Dawud
4) تر: Sunan al-Turmuzi
5) نس: Sunan al-Nasāi
6) مج: Sunan Ibnu Mājah
7) مي: Sunan al-Dārimi
8) ما: Muwatta’ Malik
9) ز: Musnad Zaid bin ‘Ali
10) عد: Thabaqāt Ibn Sa’d
11) حم: Musnad Ahmad bin Hanbal
12) ط: Musnad al-Thayālisiy
13) عش: Sirat Ibn Hisyam
14) قد: Magāzi al-Waqīdi
15) ك: Kitab
16) ب: Bab
17) ح: Hadis
18) ص: Halaman
19) ج: Jilid
20) ق: Bagian
21) قا: Bandingkan yang sebelumnya dengan sesudahnya
22) م م م: Di atas bilangan dari arah kiri menunjukkan hadis terulang
beberapa kali. Nomor kecil di atas bilangan dari arah kiri menunjukkan
hadis diulang seperlunya.
12
1) Hadis yang akan ditakhrīj terlebih dahulu ditentukan matannya beserta
tema pokoknya. Misalnya potongan matan hadis ثالث دعوات مستجابات. Tema pokok
yang terkandung dalam potongan matan di atas adalah doa-doa yang dikabulkan
Allah.
2) Menelusuri kitab Miftāh pada term الˆˆˆدعاء. Dari sini, kitab Miftāh
memberikan data sebagai berikut:
ثالث دعوات مستجابات...
50 و7 ب35 ك-تر
11 ب34 ك-مج
281 ح-ز
154 رابع ص،258،434،445،448،517،523 ثان ص-حم
Matan hadis ثالث دعوات مستجابات dapat ditemui dalam: 1) Sunan al-
Turmuzī pada kitab 35 nomor urut bab 7 dan 50. 2) Sunan Ibnu Mājah pada
kitab 34 nomor urut bab 11. 3) Musnad Zaid bin ‘Ali pada nomor urut hadis
281. 4) Musnad Ahmad bin Hanbal pada juz 2 halaman 258, 434, 445, 448,
523, 517 dan pada juz 4 halaman 154.
13
teraniaya, doanya orang musafir, doanya orangtua untuk anaknya. (HR. Al-
Turmuzi)
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
15
1) Takhrīj bi al-Lafẓī dengan menggunakan al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ
al-Ḥadīṡ al-Nabawī.
2) Takhrij bi al-Mawdū’i dengan menggunakan Miftāh Kunūz al-Sunnah.
c. Takhrij hadis dengan program komputer seperti CD Hadis, atau program
komputer lainnya. Dapat dilakukan beberapa cara dengan ketentuan bahwa
terlebih dahulu akan ditawarkan pilihan kitab rujukan yang dikehendaki.
Metode ini jauh lebih mudah dan praktis, selain itu sangat membantu bagi
orang-orang yang rendah akan kualitas dhabit-nya dan wawasan hadis yang
dimiliki kebanyakan pengaji hadis.
16
DAFTAR PUSTAKA
17
Al-Thahhan, Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadis. Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim,
1398 H.
18
19