Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

ILMU TAKHRIJUL HADITS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah


Mata Kuliah: Ulumul Hadits

Diampu Oleh:
Ustadz Muhammad Amin, M.Ag

Disusun Oleh:
Inri Lestari : 2120400045

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYEKH ALI HASAN AHMAD ADDARI


PADANGSIDIMPUAN

TAHUN 2022

KATA PENGANTAR

1
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang mana atas berkat dan
rahmatNya sehingga makalah ini dapat terseleseaikan. Adapun tujuan dan maksud
makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits dan juga
ingin lebih memperdalam kajian Ulumul Hadits dalam pembahsan Takhrijul
Hadits yang dibimbing oleh Ustadz Muhammad Amin M.Ag.

Maka dengan demikian penulis berharap makalah yang telah ditulis ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semoga memberikan penegetahuan yang
lebih mendalam mengenai materi Ulumul Hadits tentang Takhrijul Hadits.

Kami sebagai penulis menyadari begitu banyak kekurangan dari makalah ini
sehingga kami sangat berharap kritik dan saran dari pembaca agar kedepannya
kami dapat menuliskan makalah yang lebih baik lagi.

Padangsidimpuan,13 Desember 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….2

DAFTAR ISI………………………………………………………………………3

BAB I : PENDAHULUAN………………………………………………………..4

a. Latar Belakang ……………………………………………………………..4


b. Rumusan Masalah………………………………………………………….4
c. Tujuan Pembahasan………………………………………………………...5

BAB II : PEMBAHASAN…………………………………………………….…..5

a. Pengertian Takhrījul Ḥadīṡ..........................................................................7


b. Sejarah dan Latar Belakang Takhrījul Ḥadīts……………………….…….8
c. Metode Takhrījul Ḥadīṡ …………………………………………….…….8

BAB III : PENUTUP…………………………………………………….………15

a. Kesimpulan……………………………………………………….……..15

DAFTRAR PUSTAKA………………………………………………………….17

BAB I

3
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam di samping al-Qur’an. Dilihat


dari periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan al-Qur’an. Untuk al-Qur’an,
semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir, sedang untuk
hadis Nabi, sebagian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian
lagi berlangsung secara ahad. Karenanya, al-Qur’an dilihat dari segi
periwayatannya mempunyai kedudukan sebagai qat’ī al-wurūd, dan sebagian lagi
ẓannī al-wurūd. Dengan demikian, dilihat dari segi periwayatannya, seluruh ayat
al-Qur’an tidak perlu dilakukan penelitian tentang orisinalitasnya, sedang hadis
Nabi, dalam hal ini berkategori ahad, diperlukan penelitian. Dengan penelitian itu
akan diketahui, apakah hadis yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan
periwayatannya berasal dari Nabi ataukah tidak.
Hadis yang saat ini dipelajari dan diamalkan mempunyai proses sejarah
yang sangat panjang. Dalam proses sejarahnya terjadi berbagai kemungkinan
penyimpangan dan distorsi makna terhadap hadis dan ilmu hadis itu sendiri.
Berangkat dari kenyataan tersebut, maka sebagai upaya mengembangkan
pemikiran tentang hadis ialah juga dengan alasan yang sama sebelumnya, yakni
dengan mengadakan penelitian.
Salah satu pentingnya melakukan penelitian hadis ialah dengan metode
takhrījul ḥadīṡ. Tanpa dilakukan metode ini, maka akan sulit diketahui asal-usul
riwayat hadis yang akan diteliti, berbagai riwayat yang telah meriwayatkan hadis
itu, dan ada atau tidak adanya korroborasi (syahid atau mutābi’) dalam sanad bagi
hadis yang ditelitinya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Takhrījul Ḥadītṡ?


2. Bagaimana sejarah dan latar belakang Takhrījul Ḥadīṡ?
3. Bagaimana metode Takhrījul Ḥadīṡ?
4. Apa manfaat Takhrijul Hadits ?

4
C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui penegertian takhrijul hadits


2. Untuk mengetahui sejarah dan latar belakang takhrijul hadits
3. Untuk mengetahui metode tahrijul hadits

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Takhrījul Ḥadīṡ

Istilah takhrīj (‫ )التخريج‬berasal dari kata kharraja (‫ )خَ َّر َج‬dalam bahasa
َ ‫خَ ر‬
arabnya merupakan ism masdar dari kata kharraja-yukharriju-takhrījan ( -‫َّج‬
‫ تَخ‬-ُ‫ )يُ َخ َّرج‬yang semakna dengan kata ‫ استنباط‬artinya mengeluarkan. Dalam kamus
Lisān al-‘Arab menyebutkan bahwa makna ‫ التخريج‬adalah mengeluarkan (‫)التدريب‬,
dan menjelaskan dengan sesuatu (‫)التوجيه‬. Sedangkan menurut Ibrahim Anis adalah
َ ‫ خَ ر‬berarti menampakkan, mengeluarkan, dan memecahkan sesuatu. Kata
kata ‫َّج‬
َ ‫ خَ ر‬adalah bentuk fi’il madhi tsulasi mazid dari kata ‫ خرج‬yang terdiri dari huruf
‫َّج‬
kha’, ra’, dan jim dengan makna dasarnya ada dua, yakni penembusan sesuatu dan
perbedaan dua warna. Sedangkan Karim al-Bustami menyebutkan dalam
kamusnya al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, bahwa kata ‫ التخريج‬memiliki
makna menjelaskan ( َ‫)بَيَّن‬, menyatukan (‫)َأ ْب َر َز‬, mengambil sebagian (‫ )َأ ْق َس َم‬dan
mengeluarkan sesuatu (‫)اإلستنباط‬.

Secara istilah yang biasa dipakai oleh ulama hadis, kata al-takhrīj
mempunyai beberapa arti, yakni:
1. Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para
periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan
metode periwayatan yang mereka tempuh.

5
2. Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh
para guru hadis, atau berbagai kitab, atau lainnya, yang susunannya
dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau
temannya, atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari
para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3. Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya
dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh para mukharrij-nya langsung
(yakni para periwayat yang juga sebagai penghimpun bagi hadis yang
mereka riwayatkan).
4. Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya,
yakni kitab-kitab hadis, yang di dalamnya disertakan metode
periwayatannya dan sanadnya masing-masing, serta diterangkan keadaan
para periwayatnya dan kualitas hadisnya.
5. Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang
asli, yakni berbagai kitab, yang ada di dalamnya dikemukakan hadis itu
secara lengkap dengan sanadnya masing-masing kemudian untuk
kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan

Adapun pengertian al-takhrīj yang digunakan untuk maksud kegiatan


penelitian hadis lebih lanjut ialah pengertian yang dikemukakan pada butir kelima.
Berangkat dari pengertian itu, maka yang dimaksud dengan takhrījul ḥadīṡ dalam
hal ini ialah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber
asli dari hadis yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara
lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan.

Selain itu, kegunaan takhrīj yaitu:


1. Dengan takhrīj akan diketahui banyak sedikitnya jalur periwayatan suatu
hadis yang sedang menjadi topik kajian.
2. Dengan takhrīj akan diketahui kuat atau tidaknya periwayatan. Makin
banyaknya jalur periwayatan akan menambah kekuatan riwayat. Sebaliknya tanpa
dukungan periwayat lain, berarti kekuatan periwayatan tidak bertambah.

6
3. Dengan takhrīj kekaburan periwayatan dapat diperjelas dari periwayatan
jalur isnād yang lain. Baik dari segi rāwi, isnād, maupun matan hadis.
4. Dengan takhrīj akan dapat diketahui persamaan perbedaan atau wawasan
yang lebih luas tentang berbagai periwayatan dan beberapa hadis yang terkait.
5. Dengan takhrīj akan dapat ditentukan status hadis ṣhahih li ghairihi,
hasan li zātihi, atau hasan li ghairihi. Demikian juga akan diketahui istilah hadis
mutawatir, masyhur, aziz, dan gharib.

B. Sejarah dan Latar Belakang Takhrījul Ḥadīṡ

Pada zaman Nabi Muhammad saw. penelitian terhadap hadis belum


dilakukan. Padahal, fakta sejarah membuktikan bahwa penulisan hadis-hadis
sudah terealisasi ketika itu. Di antara sahabat yang sudah menulis hadis, misalnya
Abdullah bin ‘Amr, Abdullah bin Mas’ūd, dan lain-lain. Sejak wafatnya Nabi
Muhammad saw. penulisan dan periwayatan hadis tetap dilanjutkan oleh para
sahabat dan tabi’in.

Dalam kaitan ini, khusus pada zaman Abū Bakar dan ‘Umar bin Khattāb,
periwayatan hadis dilakukan dengan sangat hati-hati. Setiap sahabat yang hendak
meriwayatkan hadis, diminta untuk menghadirkan saksi atau mengucapkan
sumpah itupun periwayatannya sangat dibatasi dan sahabat-sahabat yang boleh
meriwayatkan hadis hanya dari orang-orang tertentu saja. Demikian dilakukan
agar terhindar dari tercampur aduknya riwayat-riwayat al-Qur’an dengan hadis.
Dari sini dapat diketahui, bahwa kedua khilafah inilah yang mula-mula
meletakkan undang-undang periwayatan hadis.
Untuk masa berikutnya, yakni kekhalifahan Utsman dan Ali, periwayatan
hadis semakin dikurangi, karena fokus perhatian utama di masa ini adalah
penulisan dan pemeliharaan al-Qur’an. Tetapi, di akhir kekhalifahan Ali, tampil
sekelompok mayoritas orang-orang muslim memalsukan hadis. Mereka
meriwayatkan hadis sesuai dengan kepentingan kelompoknya masing-masing dan
yang mula-mula tampil memalsukan hadis adalah kaum Syi’ah.
Para ulama dan peneliti hadis terdahulu dalam mencari hadis sampai
menemukannya, tidak membutuhkan kaidah-kaidah dan pokok-pokok takhrīj,

7
karena pengetahuan mereka sangat luas ditambah lagi ingatan mereka sangat kuat
terhadap sumber-sumber hadis. Di samping itu, mereka mengetahui sistematika
penyusunan kitab-kitab hadis, sehingga dengan mudah bagi mereka untuk
mempergunakan dan memeriksa kembali guna mendapatkan suatu hadis dari kitab
sumbernya. Keadaan seperti itu berlangsung sampai berabad-abad lamanya,
sehingga pengetahuan para ulama dari generasi ke generasi tentang kitab-kitab
hadis dan sumber aslinya menjadi sempit, maka sulitlah bagi mereka untuk
mengetahui tempat-tempat hadis dalam berbagai kitab.

Berangkat dari kenyataan tersebut, ulama merespon keadaan yang berlarut-


larut itu. Mereka bangkit membela hadis dengan cara menakhrijnya dari kitab-
kitab sumber asli, menyebutkan sanad-sanadnya dan membicarakan keshahihan
dan kedha’ifan hadis sebagian atau seluruhnya. Ulama yang mula-mula
melakukan kegiatan takhrīj, dalam hal ini mengutip berbagai hadis dari berbagai
sumber adalah Muhammad ibn Mūsa al-Hasyimi al-Syāfi’ī. Kegiatan yang sama
juga telah dilakukan oleh sejumlah ulama. Dari kegiatan-kegiatan yang telah
dilakukan ini, melahirkan berbagai kitab yang dapat disebut sebagai kitab Takhrīj.

C. Metode Takhrījul Ḥadīṡ

1. Takhrij Melalui Sanad Hadis


Metode takhrīj melalui pengetahuan tentang sanad dapat dilakukan dengan
perantara al-rāwi al-a’lā (perawi paling atas) yaitu para sahabat, atau tabi’in jika
hadisnya mursal. Terkadang pula kita dapat mentakhrīj melalui perantaraan salah
seorang perawi dalam sanad.
a. Al-Masānīd (Kitab-kitab Musnad)
Para penyusun kitab musnad mengumpulkan hadis-hadis yang diriwayatkan
oleh satu sahabat dalam satu tempat, lalu mereka misalnya mulai dengan Abu
Bakar r.a. dan menyebutkan semua hadisnya. Setelah selesai, maka berpindah ke
Umar r.a. dan menyebutkan semua hadis yang diriwayatkannya, hingga mereka
telah selesai mereka berpindah ke hadis-hadis Usman r.a. dan seterusnya dengan
cara yang sama.

8
Akan tetapi, hadis-hadis yang dikumpulkan untuk satu sahabat terkadang
tidak didapatkan kesesuaian dan kesatuan di antaranya. Terkadang d
ditemukan sebuah hadis tentang al-tahārah, diikuti sebuah hadis tentang al-nikāḥ,
diikuti oleh sebuah hadis al-riqāq, diikuti oleh hadis tentang tafsir, dan
seterusnya.
Hadis-hadis tentang tema-tema yang berbeda-beda tersebut, namun menyatu
dalam perawi yaitu sahabat tertentu. Jika orang yang ingin mentakhrīj telah
mengetahui sahabat yang meriwayatkannya, maka dia dapat menggunakan kitab-
kitab yang dinamai al-masānīd tersebut. Jika ingin mentakhrīj sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah, maka menuju ke tempat yang di dalamnya
terdapat hadis-hadis Jabir dari Musnad Imam al-Ahmad misalnya, kemudian
menelusuri hadis-hadis yang mencakup hadis yang diinginkan.

b. Al-Ma’ājim
Kitab ini mempunyai kemiripan kitab musnad, seperti kitab Mu’jam al-
Thabrāni al-Kabīr. Tetapi, al-Thabrāni memberi nama kitabnya al-Mu’jam
dikarenakan perbedaan ialah pada dasarnya kitab ini menguraikan hal yang
mendasar tentang sahabat. Beliau menjelaskan biografi sahabat dan
memperkenalkan mereka sesuai dengan metode tertentu, kemudian mengikutkan
penyebutan hadis-hadis sahabat tersebut. Dan beberapa kitab yang ditulis juga
memperkenalkan tentang sahabat seperti kitab Mu’jam al-Ṣaḥābah karya Ibn
Qāni.
c. Al-Athrāf
Di antara kitab-kitab yang dapat dijadikan rujukan ialah kitab-kitab al-
Athrāf seperti kitab Tuhfat al-Asyrāf. Akan tetapi perbedaan antara kitab ini
dengan dua jenis kitab sebelumnya adalah kedua jenis kitab terdahulu dianggap
sebagai kitab sumber yang asli. Karena Imam Ahmad dan al-Thabrāni
meriwayatkan hadis dengan sanadnya dengan sanad mereka sendiri, sedangkan
kitab Tuhfat merupakan kitab perantara atau pengganti saat dibutuhkan.
2. Takhrij Melalui Matan Hadis
Takhrīj melalui matan hadis lebih mudah daripada takhrīj melalui sanad,
dan masing-masing memiliki kelebihan dan keistimewaan. Tetapi, keberadaan

9
sanad yang lengkap terkadang tidak terpenuhi bagi peneliti hadis, karena adanya
kemungkinan dia hanya memiliki matan hadis saja, atau hanya nama sahabat yang
disebutkan. Terkadang pula, mungkin terdapat sedikit kesulitan ketika merujuk
kitab-kitab yang ditulis dalam bentuk masānīd. Misalnya, kita ingin mentakhrīj
hadis Abu Hurairah r.a. dari Musnad al-Imam Ahmad, sedangkan hadis Abu
Hurairah ada 4000 hadis atau lebih. Maka tentunya sulit bagi peneliti hadis untuk
menemukan sebuah hadis. Berikut ada dua metode takhrījul hadīṡ melalui matan
hadis yang populer.
a. Takhrīj bi al-Lafẓī (Mentakhrīj Berdasarkan Kosa Kata Hadis)
Cara yang sangat populer dalam mentakhrīj hadis melalui lafalnya adalah
menggunakan alat bantu berupa Mu’jam (kamus hadis) karya A. J. Wensink yang
berjudul al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Ḥadīṡ al-Nabawī. Kitab ini disusun
dengan merujuk kepada sembilan kitab hadis induk, yaitu Shahih Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Turmuzi, Sunan al-Nasaih, Sunan Ibnu
Majah, Sunan al-Darami, Muwattha Malik, dan Musnad Ahmad bin Hanbal.
Untuk menelusuri hadis dengan metode ini cukup mengambil sebagian lafaz
dari matan hadis yang akan diteliti baik dalam bentuk fi’il maupun ism.
Penyusunan dari kitab ini juga disusun mulai dari al-af’āl al-mujarradah
berdasarkan huruf mu’jam, kemudian ismu al-fā’il, ismu al-maf’ūl dan seterusnya.
Selanjutnya, setelah lafaz-lafaz itu, ada petunjuk bahwa lafaz tersebut terdapat
dalam kitab-kitab yang menjadi rujukan kamus ini lengkap dengan petunjuk kitab,
juz, dan bab, bahkan halamannya pada hadis yang dimaksud. Misalnya, hadis
yang akan dicari adalah:

‫ال يؤمن أحدكم حىت حيب ألخيه ما حيب لنفسه‬


Artinya:
Tidaklah beriman seseorang kecuali dia mencintai orang lain sebagaimana
dia mencintai dirinya sendiri.

Hadis tersebut dapat ditelusuri lewat kitab Mu’jam dengan mencari lafal
‫ يؤمن‬dengan mengembalikan pada kosa kata dasarnya, yakni ‫أمن‬. Atau lafal ‫يحب‬
dengan kosa kata dasarnya ‫حب‬. Lafal ‫ أمن‬terdapat dalam juz 1 halaman 105-120.
Dalam halaman ini, dicari lafal ‫ ال يؤمن‬. atau lafal ‫ حب‬yang masih terdapat pada
juz I halaman 405-409, lalu dicari lafal ‫ حتى يحب ألخيه‬, setelah menemukan lafal

10
tersebut, kitab Mu’jam memberikan petunjuk tentang di mana letak hadis yang
akan ditakhrij pada kitab-kitab sumber hadis.

Contoh lebih jelasnya jika hadis yang diingat hanyalah bagian lafal matan
yang berbunyi ‫من رأى منكم منكرا‬. Dengan modal lafal ‫منكرا‬, maka lafal itu ditelusuri
melalui halaman kamus yang memuat lafal ‫نكر‬. Setelah diperoleh, lalu dicari kata
‫منكرا‬. Di bagian itu ada petunjuk bahwa hadis yang dicari memiliki sumber yang
cukup banyak, yakni:

1) Shahih Muslim, kitab Iman, nomor hadis 78.


2) Sunan Abi Dawud, kitab Shalat. bab 242.
3) Sunan al-Turmuzi, kitab Fitan, bab 11.
4) Sunan al-Nasa’i, kitab Iman, bab 17.
5) Sunan Ibnu Majah, kitab Iqamah, bab 155.
6) Musnad Ahmad bin Hanbal, juz III, halaman 10, 20, 49, dan 52-53.

Tanda-tanda atau rumus yang menjadi sumber rujukan Mu’jam untuk kitab-
kitab hadis berjumlah sembilan kitab hadis. Yakni sebagai berikut:

1) ‫ خ‬untuk Shahih Bukhari


2) ‫ م‬untuk Shahih Muslim
3) ‫ ت‬untuk Jami’ al-Turmuzi (Sunan al-Turmuzi)
4) ‫ د‬untuk Sunan Abu Dawud
5) ‫ ن‬untuk Sunan al-Nasa’i
6) ‫ جه‬untuk Sunan Ibn Majah
7) ‫ ط‬untuk Muwatta’ Malik
8) ‫ حم‬untuk Musnad Ahmad bin Hanbal
9) ‫ دي‬untuk Musnad al-Darimiy

b. Takhrij bi al-Mawdū’i (Mentakhrīj Berdasarkan Tema Hadis)


Metode ini merupakan penelusuran terhadap hadis berdasarkan tema atau
topik masalah yang menjadi objek utama pada hadis tersebut. Pencarian hadis
berdasarkan tema atau topik masalah tertentu dapat ditempuh dengan cara
membaca berbagai kitab himpunan kutipan hadis, namun berbagai kitab itu

11
biasanya tidak menunjukkan teks hadis menurut para periwayatnya masing-
masing. Kitab Mu’jam hadis yang sangat populer menggunakan metode ini ialah
Miftāh Kunūz al-Sunnah karya Arnold John Wensinck dan telah ditahqīd oleh
Syaikh Muhammad Fu’ad Abdul Bāqi.
Dalam kitab Miftāh, nama dan beberapa hal yang berhubungan dengannya
dikemukakan dalam bentuk lambang. Berikut ini dikemukakan maksud lambang
yang dipakai dalam kitab Miftāh:
1) ‫ بخ‬: Shahih al-Bukhari
2) ‫ مس‬: Shahih Muslim
3) ‫ بد‬: Sunan Abu Dawud
4) ‫ تر‬: Sunan al-Turmuzi
5) ‫ نس‬: Sunan al-Nasāi
6) ‫ مج‬: Sunan Ibnu Mājah
7) ‫ مي‬: Sunan al-Dārimi
8) ‫ ما‬: Muwatta’ Malik
9) ‫ ز‬: Musnad Zaid bin ‘Ali
10) ‫ عد‬: Thabaqāt Ibn Sa’d
11) ‫ حم‬: Musnad Ahmad bin Hanbal
12) ‫ ط‬: Musnad al-Thayālisiy
13) ‫ عش‬: Sirat Ibn Hisyam
14) ‫ قد‬: Magāzi al-Waqīdi
15) ‫ ك‬: Kitab
16) ‫ ب‬: Bab
17) ‫ ح‬: Hadis
18) ‫ ص‬: Halaman
19) ‫ ج‬: Jilid
20) ‫ ق‬: Bagian
21) ‫ قا‬: Bandingkan yang sebelumnya dengan sesudahnya
22) ‫ م م م‬: Di atas bilangan dari arah kiri menunjukkan hadis terulang
beberapa kali. Nomor kecil di atas bilangan dari arah kiri menunjukkan
hadis diulang seperlunya.

Cara mentakhrīj hadis melalui kitab Miftāh adalah sebagai berikut:

12
1) Hadis yang akan ditakhrīj terlebih dahulu ditentukan matannya beserta
tema pokoknya. Misalnya potongan matan hadis ‫ثالث دعوات مستجابات‬. Tema pokok
yang terkandung dalam potongan matan di atas adalah doa-doa yang dikabulkan
Allah.
2) Menelusuri kitab Miftāh pada term ‫الˆˆˆدعاء‬. Dari sini, kitab Miftāh
memberikan data sebagai berikut:
‫ثالث دعوات مستجابات‬...
50 ‫ و‬7 ‫ ب‬35 ‫ ك‬-‫تر‬
11 ‫ ب‬34 ‫ ك‬-‫مج‬
281 ‫ ح‬-‫ز‬
154 ‫ رابع ص‬،258،434،445،448،517،523 ‫ ثان ص‬-‫حم‬

Matan hadis ‫ثالث دعوات مستجابات‬ dapat ditemui dalam: 1) Sunan al-
Turmuzī pada kitab 35 nomor urut bab 7 dan 50. 2) Sunan Ibnu Mājah pada
kitab 34 nomor urut bab 11. 3) Musnad Zaid bin ‘Ali pada nomor urut hadis
281. 4) Musnad Ahmad bin Hanbal pada juz 2 halaman 258, 434, 445, 448,
523, 517 dan pada juz 4 halaman 154.

3) Setelah memahami maksud data di atas, maka selanjutnya adalah


menelusuri hadis-hadis pada kitab-kitab sumber sesuai dengan petunjuk,
kemudian dikemukakan hadis-hadisnya secara lengkap sanad dan matan, misalnya
susunan sanad dan redaksi matan Sunan al-Turmuzi sebagai berikut:

‫اف َع ْن حَيْىَي بْ ِن َأيِب َكثِرْيٍ َع ْن َأيِب‬


ُ ‫الص َّو‬ ِ
ُ ‫َح َّدثَنَا حُمَ َّم ُد بْ ُن بَشَّا ٍر َح َّدثَنَا َأبُو َعاص ٍم َح َّد َثنَا احْلُ َّج‬
َّ ‫اج‬
ٍ ‫ث دعو‬
‫ات‬ َّ ِ ِ ‫ول‬
َّ َ ‫اهلل‬ ُ ‫َج ْع َف ٍر َع ْن َأيِب ُهَر ْيَرةَ َر ِض َي اهلل َعْنهُ قَ َال قَ َال َر ُس‬
َ َ َ َ َ‫صلى اهللُ َعلَْيه َو َسل َم ثَال‬
)‫لى َولِ ِد ِه (رواه الرتمذي‬ ‫ع‬ ِ ِ‫مستجابات دعوةُ املظْلُوِم و دعوةُ الْمسافِ ِر و دعوةُ الوال‬
‫د‬
َ َ َ َْ َ َ َ ُ َْ َ َ ْ َ َْ َ ٌ َ َ َْ ُ
Artinya:
Imam al-Turmuzi berkata: Muhammad bin Basyār memberitakan kepada
kami dari ‘Abi ‘Āsim memberitakan dari al-Hajjāj al-Sawwāf dari Yahya
bin Abi Katsīr dari Abi Ja’far dari Abi Hurairah berkata Rasulullah saw.
bersabda: tiga macam doa yang dikabulkan oleh Allah, yaitu doanya orang

13
teraniaya, doanya orang musafir, doanya orangtua untuk anaknya. (HR. Al-
Turmuzi)

3. Takhrij Hadis dengan Program Komputer


Dengan tingginya tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
maka dapat dilakukan penelusuran hadis melalui program komputer. Penggunaan
teknologi modern dalam melakukan kajian hadis tentu bukanlah sebuah aib.
Apalagi mengingat rendahnya kualitas dhabit dan wawasan hadis yang dimiliki
kebanyakan pengaji hadis, penggunaan alat bantu komputer atau internet akan
sangat membantu. Namun, perlu dilakukan cross check atau konfirmasi ke kitab-
kitab atau literatur hadis yang manual yang disebut sebagai sumber asli. Hal ini
demi mendapatkan hasil yang faktual dan valid, dan untuk menghindari adanya
kesalahan yang mungkin terjadi saat mengakses program atau internet.
Takhrīj al-Hadīṡ dapat juga dilakukan dengan menggunakan CD Hadis
tersebut. Dapat dilakukan beberapa cara dengan ketentuan bahwa terlebih dahulu
akan ditawarkan pilihan kitab rujukan yang dikehendaki. Adapun ketentuan-
ketentuan yang harus ditempuh yaitu dengan memilih salah satu cara sebagai
berikut:
a. Penelusuran hadis bermula dari lafal yang dikuasai, contoh mencari hadis
yang di dalamnya terdapat lafal ‫ وقنت رسول هللا‬maka dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu melalui fasilitas pilihan huruf yang telah disediakan CD hadis
atau dengan menuliskan sendiri lafal itu pada tempat yang telah disediakan.
b. Penelusuran hadis Nabi saw. berangkat dari bab yang umumnya memuat
hadis tersebut, misalnya dibuka di bab qunut itu sendiri, bila tidak dijumpai ,
maka dapat diakses pada bab shalat, demikian seterusnya.
c. Penelusuran hadis berangkat dari rawi yang paling atas, dahulu hal ini lebih
rumit karena harus mencari lebih dahulu secara detail periwayat yang
dimaksud, misalnya riwayat Ibnu Umar yang tidak hanya berkenan dengan
qunut saja, tetapi bercampur dengan hadis-hadis dengan tema lainnya.
d. Penelusuran hadis melalui nomor hadis
e. Penelusuran hadis melalui tema-tema yang disediakan CD hadis Nabi saw. itu
sendiri.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Takhrījul Hadīs menurut terminologi yang dikemukakan oleh para ulama


ialah menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang
asli, yakni berbagai kitab yang ada di dalamnya dikemukakan hadis itu secara
lengkap dengan sanadnya masing-masing untuk kepentingan penelitian penjelasan
kualitas hadis yang bersangkutan. Pengertian inilah yang disepakati oleh para
ulama dengan defenisi metodologi penelitian hadis.
2. Takhrījul Hadīs dilatarbelakangi ketika para ulama dan peneliti hadis
terdahulu dalam mencari hadis sampai menemukannya, tidak membutuhkan
kaidah-kaidah dan pokok-pokok takhrīj, karena pengetahuan mereka sangat luas
ditambah lagi ingatan mereka sangat kuat terhadap sumber-sumber hadis. Namun,
seiringnya berjalannya waktu dan berubahnya perkembangan dari zaman ke
zaman, maka pengetahuan para ulama dari generasi ke generasi tentang kitab-
kitab hadis dan sumber aslinya menjadi sempit, maka sulitlah bagi mereka untuk
mengetahui tempat-tempat hadis dalam berbagai kitab. Berangkat dari hal itu,
mereka bangkit membela hadis dengan cara menakhrijnya dari kitab-kitab sumber
asli, menyebutkan sanad-sanadnya dan membicarakan keshahihan dan kedha’ifan
hadis sebagian atau seluruhnya. Adapun ulama yang pertama kali melakukan
kegiatan takhrīj ialah ibn Mūsa al-Hasyimi al-Syāfi’ī.
3. Metode Takhrījul Hadīs terbagi atas tiga kategori:
a. Takhrij dengan sanad hadis, terbagi atas beberapa cara seperti di beberapa
kitab al-Masānīd, al-Ma’ājim, dan al-Athrāf.
b. Takhrij dengan matan hadis menurut M. Syuhudi Ismail yang populer ada dua
yaitu:

15
1) Takhrīj bi al-Lafẓī dengan menggunakan al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ
al-Ḥadīṡ al-Nabawī.
2) Takhrij bi al-Mawdū’i dengan menggunakan Miftāh Kunūz al-Sunnah.
c. Takhrij hadis dengan program komputer seperti CD Hadis, atau program
komputer lainnya. Dapat dilakukan beberapa cara dengan ketentuan bahwa
terlebih dahulu akan ditawarkan pilihan kitab rujukan yang dikehendaki.
Metode ini jauh lebih mudah dan praktis, selain itu sangat membantu bagi
orang-orang yang rendah akan kualitas dhabit-nya dan wawasan hadis yang
dimiliki kebanyakan pengaji hadis.

16
DAFTAR PUSTAKA

Anis, Ibrahim. al-Mu’jam al-Wasīt. Juz I. Teheran: Maktabah al-Islamiyah. t.th.


Arifin, Zainul. “Metode Pentarjihan Hadits Ditinjau dari Segi Sanad dan Matan”.
Muhammadiyah 1, no. 1 (2012): h. 27.
Azami, Muhammad Musṭafā. Studies in Hadith Metodology and Literature. Terj.
‘Ali Musṭafā Ya’qūb. Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Al-Bustami, Karim. al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam. Beirut: Dār al-Masyriq,
1973.
Darwis, Burhanuddin. Metodologi Takhrij Hadis. Cet. I; Gowa: Alauddin
University Press, 2013.
Al-Gumari, Abu al-Faid Ahmad bin Muhammad al-Siddiq. al-Hidāyah fī Takhrīj
Aḥādīṡ al-Bidāyah. t.t: ‘Alamul Kutub, 1407 H.
Husnan, Ahmad. Kajian Hadis Metode Takhrij. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993.
Ismail, M. Syuhudi. Kaidah Keshahihan Sanad Hadis. Cet. I; Jakarta: Bulan
Bintang, 1988.
-------. Cara Praktis Mencari Hadis. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
-------. Metodologi Peneletian Hadis Nabi. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
-------. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Cet. I; Jakarta:
Bulan Bintang, 1994.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Usul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu. Beirut:
Dar al-Fikr, 1395 H.
Mukarram, Ibnu Mansur Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad. Lisān al-‘Arab.
Beirut: Dār al-Qadr, 1968.
Munawwir, A.W. Kamus al-Munawwir ‘Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok
Pesantren al-Munawwir, 1984.
Puyu, Darsul S. Metode Takhrij al-Hadis Menurut Kosakata, Tematik dan CD
Hadis. Makassar: Alauddin University Press, 2012.
Rahman, Andi. “Pengenalan atas Takhrij Hadis”. Jurnal Studi Hadis 2. no. 1
(2016): h. 159.
Al-Sabbag. al-Hadis al-Nabawi. t.t.: al-Maktab al-Islami, 1392 H.
Al-Salih, Subhi. ‘Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-
Malayin, 1977 M.
Al-Shiddieqy, Hasbi al-Shiddieqy. Mutiara Hadis. Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra, 2003.
Syakir, Ahmad Muhammad. al-Bāiṡ al-Ḥadīṡ Syarah Ikhtisār ‘Ulūm al-Ḥadīṡ.
Cet. IV; Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994.

17
Al-Thahhan, Mahmud. Taisir Mustalah al-Hadis. Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim,
1398 H.

18
19

Anda mungkin juga menyukai