Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, disamping al-Qur’an. Di
lihat dari periwayatannya hadits berbeda dengan al-Qur’an. Untuk al-Qur’an,
semua periwayatanya berlangsung secara mutawatir, sedang untuk hadits,
sebagian periwatannya berlangsung secara mutawattir dan sebagian lagi
berlangsung ahad.

Hadits mengenal istilah shohih, hasan, bahkan ada mardud dan dhoif dan
lainya yang hal itu berarti kita harus menolak/memperlakukan berbeda hadis
itu, sedangkan dalam al-Qur’an tidak mengenal hal itu kerena al-Qur’an dari
segi periwayatannya adalah mutawatir yang tidak lagi diragukan isinya, tetapi
dalam kaitan hadits kita harus cermat, siapa yang meriwayatkan, bagaimana
isinya dan bagaimana kualitasnya, kualitasnya dari hadis ini juga akan
berpengaruh pada pengambilan hadits dalam pijakan hukum Islam.

Dari uraian diatas menyimpulkan al-Qur’an tidak lagi perlu dilakukan


penelitian terhadap keasliannya, karena sudah tidak ada keraguan terhadapnya.
sedangkan hadits perlu sikap kritis untuk menyikapi kehadirannya dengan
diadakan penelitian, dari penelitian ini akan diketahui bahwa hadits ini
memang benar dari Nabi Muhammad dan bukan hadits yang palsu. Penelitian
ini bukan meragukan keseluruhan hadis Nabi tetapi lebih kepada kehati-hatian
kita dalam pengambilan dasar hukum dalam agama. Inilah bukti bahwa kita
benar-benar ingin mengikuti Nabi Muhammad dan menjalankan Islam
sepenuhnya.

Dalam studi hadis persoalan sanad dan matan merupakan dua unsur yang
penting yang menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadis. Kedua unsur itu
begitu penting artinya, dan antara yang satu dengan yang lainya saling
1
berkaitan erat, sehingga kekosongan salah satunya akan berpegaruh, dan
bahkan merusak eksistensi dan kualitas suatu hadis. Karenya suatu berita yang
tidak memilki sanad tidak dapat disebut sebagai hadis; demikian sebaliknya
matan.1

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian kritik sanad hadits
2. Urgensi kritik sanad
3. Ulama’/tokoh dan buku-bukunya

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian kritik sanad
2. Untuk mengetahui Urgensi kritik sanad
3. Untuk mengetahui ulama’/tokoh dan buku-bukunya

1
https://www.anekamakalah.com/2013/04/kritik-sanad-hadis-ulumul-hadis.html
2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kritik Sanad


Kata “kritik” berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya “seorang
hakim, krinein berarti “menghakimi”, kriterion berarti “dasar penghakiman”.
Selain itu kritik juga merupakan terjemahan dari bahasa arab naqd yang berarti
membedakan. Dalam literatur lain ditemukan kata naqd yang diartikan dengan
kritik, hal ini digunakan oleh muhadditsin awal abad kedua, dilain tempat
dikatakan bahwa maksud dari kritik adalah memisahkan sesuatu yang baik dari
yang buruk. Sementara secara terminologi kritik merupakan usaha menemukan
kesalahan atau kekeliruan dalam rangka mencari kebenaran.
Kata sanad dalam bahasa arab sinonim dengan kata da’ama yang
mengandung arti menopang atau menyangga, jamaknya Asnad dan Sanadat.
Sementara Drs. Fathur Rahman dalam bukunya Ikhtisar Musthalahul
Hadis mengatakan bahwa sanad ialah jalan yang dapat menghubungkan
matnu’l-hadist kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw misalnya seperti
kata Bukhary:
‫ حدثنا أيوب عن أبى قالبة عن أنس عن النبى‬:‫ حدثنا عبد الوهاب الثقفى قال‬:‫حدثنا محمد بن المثنى قال‬
(‫(رواه البخار‬..… ‫ ثالث من كن‬:‫صلعم‬
Maka matnul-Hadist “Tsalatsun…” diterima oleh al-Bukhary melalui
sanad pertama Muhammad ibn al-Mutsanna, sanad kedua ‘Abdul-Wahhab-Ats-
Tsaqafy, sanad ketiga Ayyub, sanad keempat Abi Qilab dan seterusnya sampai
sanad terakhir, Anas r.a., seorang shahabat yang langsung menerima sendiri
dari Nabi Muhammad s.a.w. Dengan demikian al-Bukhary itu menjadi sanad
pertama dan rawy terakhir bagi kita.
Sedangkan kata hadist diberi pengertian yang berbeda-beda oleh para
ulama; perbedaan-perbedaan pandangan itu, lebih disebabkan oleh terbatasnya
dan luasnya objek tinjauan masing-masing yang tentu saja mengandung
kecendrungan pada aliran ilmu yang dimiliki oleh ahlinya. Misalnya ulama
hadist mendefinisikan hadist sebagai segala sesuatu yang diberikan dari
3
Rasulullah Saw. Baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal
ihwal Rasulullah Saw.
Jadi, metode kritik sanad hadis ialah suatu cara yang sistematis dalam
melakukan penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang individu
perawi dan proses penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing dengan
berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk
menemukan kebenaran.2

B. Urgensi Kritik Sanad

Tujuan pokok penelitian sanad hadits adalah untuk mengetahui kualitas


hadits yang diteliti. Kualitas hadits sangat perlu diketahui dalam hubungannya
dengan kehujjahan hadits yang bersangkutan.3 Apakah hadits itu dapat
digolongkan hadits shahih, hadits hasan atau hadits dha’if. Sehingga bisa
memperjelas kapasitas hadits tersebut apakah bisa dijadikan sebagai dalil
(landasan) dalam proses istimbath hukum atau tidak.

Kegiatan kritik sanad belum muncul pada masa Rasulullah SAW, bahkan
lebih dari itu dikatakan pada masa shahabat besar (khulafaurrasyidin) juga
belum ditemukan kegiatan kritik sanad. Bahkan para muhadditsin menganggap
para shahabat yang meriwayatkan hadits pada periode tersebut merupakan
shahabat yang dapat dipastikan ke’adilannya karena menurut mereka shahabat
Rasulullah SAW adalah Adil.

Perhatian para muhadditsin mulai terpusat pada persoalan sanad hadits ini
tak terlepas dari ditemukannya hadits palsu yang dikemukakan oleh orang-
orang zindik yang dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan baik kepentingan
bisnis, politik, maupun karena faktor kefanatikan pada mazhab atau aliran

2
http://pustakailmiah78.blogspot.com/2016/01/pustaka-ilmiah78-pengertian-dan-
urgensi.html
3
http://pustakailmiah78.blogspot.com/2016/01/pustaka-ilmiah78-pengertian-dan-
urgensi.html
4
tertentu. Yang semuanya mengemukakan hadits palsu untuk meletigimasi
tindakan dan kepentingan masing-masing.

Versi lain mengemukakan bahwa kegiatan kritik sanad hadits ini bermula
sejak peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman Bin Affan oleh pemberontak.
Maka terjadi perpecahan aliran politik dan firqah dalam tubuh ummat Islam.
Dengan demikian bermunculan hadits-hadits amatiran (palsu) untuk
melegitimasi masing-masing kelompok tersebut. Sehingga proses transmisi
hadits (sanad) secara eksternal itupun mulai berlaku untuk memverifikasi
tingkat keotentikan hadits-hadits yang dikeluarkan oleh para perawi.

Sebagaimana pernyataan Abdullah bin Al-Mubarak (w.181 H.): “sistem


sanad itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agama Islam, bahkan
sistem sanad itu merupakan salah satu sisi keistimewaan umat Islam, yang
tidak dimiliki oleh non muslim.

Dengan demikian seandainya umat Islam tidak memiliki sistem sanad,


tentulah al-Qur’an dan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. sudah
mengalami nasib tragis seperti ajaran Nabi sebelumnya yang mengalami
banyak perobahan. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa disinilah letak
nilai utama dan urgensi sanad dalam Islam.
Urgensi sanad ini akan lebih tampak apabila kita meneliti rawi-rawi hadits
yang membentuk sanad itu sendiri. Karena dengan meneliti sanad dapat
diketahui apakah silsilah rawi-rawi itu bersambung kepada Nabi SAW atau
tidak. Sehingga dapat diketahui kualitas hadits yang diriwayatkan itu apakah
tergolong hadits sahih, hasan atau dhaif (lemah) atau bahkan hadits palsu.4

Olehnya itu, penelitian terhadap hadis Nabi saw. menjadi penting


dilakukan oleh para ilmuan, dan menjadikan hadis atau ilmu hadis sebagai
bidang studi keahliannya. Hal ini berdasar pada beberapa faktor:

4
http://habapendidikan.blogspot.com/2012/03/kritik-sanad-hadits.html
5
1. Hadis Nabi saw. Sebagai sumber ajaran dan atau sumber hukum Islam
sesudah al-Quran.

Cukup banyak ayat al-Quran yang memerintahkan orang beriman untuk


patuh dan taat dan selanjutnya mengikuti petunjuk Nabi Muhammad saw.
sebagai utusan Allah swt. Anjuran dimaksud tercantum Al-Quran surat al-
Khasyr/59: 7 yang terjemahnya sebagai berkut:

…” Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka hendaklah kamu


menerimanya, dan apa yang dilarang bagimu, maka hendaklah kamu
tinggalkan(apa yang dilarangnya itu”.

Ulama misalnya al-Qurthubi, berpendapat bahwa ayat tersebut memberi


petunjuk secara umum, bahwa semua perintah dan larangan yang datang
dari Rasul, wajib dipatuhi oleh setiap mukmin. Olehnya, kewajiban patuh
kepada Rasul adalah konsekuensi logis dari keimanan seseorang.

Al-Quran, surat Ali Imran/3:32menyebutkan:

“Katakanlah; Taatlah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling maka


sesungguhnya Allah tiadak menyukai orang-orang kafir.”

Menurut penjelasan ulma, bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa


bentuk ketaatan kepada Allah swt. adalah dengn mematuhi petunjuk al-
Quran, sedangkan bentuk ketaatan kepada Nabi saw. adalah mengikuti
sunnah-nya atau hadis Selanjutnya ayat al-Quran yang menjelaskan tentang
taat kepada Nabi saw.

Dengan petunjuk ayat-ayat di atas, maka jelaslah bahwa hadis atau


sunnah Nabi Muhammad saw. merupakan sumber ajaran agama Islam, di
samping al-Quran. Orang yang menolak hadis sebagai salah satu sumber
ajaran Islam, berarti orang itu menolak petunjuk al-Quran.

6
Sebagai alasan bahwa hadis Nabi saw. perlu diteliti kembali, maka dapat
dikemukakan sejumlah alasan sebagai berikut;

2. Hadis Nabi saw. tidak seluruhnya tertulis pada waktu Nabi masih
hidup.

Nabi pernah melarang sahabat untuk menulis hadis beliau, tapi di saat
yang berbeda, beliau pernah mnyuruh sahabat untuk menulis hadis beliau

Kebijakan Nabi tersebut, menimbulkan perbedan pendapat dikalangan


ulama, bahkan dikalangan sahabat Nabi sendiri, tentang boleh tidaknya
menulis hadis Nabi. Di masa Nabi, ada terjadi penulisan hadis misalnya
surat-surat Nabi yang beliau kirim kepada sejumlah pembesar untuk
memeluk Islam. Di antara sahabat yang menulis hadis Nabi tersebut,
misalnyan Abdullah bin Amar bin ‘Ash, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi
Thalib, Sumrah bin Jundab, Jabir bin Abdullah dan Abdullah bin Abi
Aufa’Sekalipun demikian tidak semua hadis terhimpun ketika itu, hal itu
sangat beralasan karena sahabat yang membuat catatan itu adalah inisiatif
sendiri. Di sisi lain mereka kesulitan untuk mencatat setiap peristiwa dari
Nabi saw., apalagi kejadiannya hanya terjadi di hadapan satu atau dua orang
saja.

3. Telah terjadi upaya pemalsuan terhadap hadis Nabi saw.

Masih sulit dibuktikan, bahwa di zaman Nabi saw. sudah terjadi


pemalsuan hadis. Kegiaatan pemalsuan hadis mulai muncul dan
berkembang di masa khalifah Ali bin Abi Thalib(memerintah 35-40 H).
Demikian pendapat ulama hadis pada umumnya.

Awalnya faktor yang mendorong seseorang melakukan pemalsuan hadis


karena kepantingan politik. Ketika itu terjadi pertentangan politik antara Ali
bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Masing-masing pendukung

7
berusaha untuk memenangkan perjuangannya. Salah satu upaya yang
dilakukan oleh sebagian dari mereka adalah membut hadis-hadis palsu.

Menurut sejarah, pertentangan politik tersebut telah pula mengakibatkan


timbulnya pertentangan di bidang teologi. Sebagian pendukung aliran
teologi yang timbul pada saat itu telah membuat berbagai hadis palsu untuk
memperkuat argumantasi aliran yang mereka yakini benar.

Selain itu upaya dari musuh-musuh Islam yang berusaha untuk


menghancurkan Islam dari dalam, mereka membuat hadis palsu dalam
rangka memerangi Islam. Demikian pula karena kepentingan ekonomi,
keinginan menyenangkan hati pejabat (menjilat kepada pejabat), dan ada
juga sebagian muballig berpendapat bahwa, untuk kepentingan dakwa dapat
saja membuat hadis palsu.

Dengan telah terjadinya pemalsuan hadis tersebut, maka kegiatan


penelitian hadis menjadi sangat penting . Tanpa dilakukan penelitian hadis,
maka hadis Nab saw. akan bercampur aduk dengan yang bukan hadis Nabi
saw. dan akhirnya ajaran Islam akan dipenuhi dengan berbagai hal yang
akan menyesatkan umat.

4. Proses penghimpunan dan periwayatan hadis Nabi saw. Telah


memakan waktu yang sangat panjang.

Dalam sejarah, penghimpunn hadis secara resmi dan masal terjadi atas
perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz (W.101 H/750 M). Dikatakan resmi
karena kegiatan penghimpunan itu merupakan kebijakan dari kepala negara;
dan dikatakan masal karena perintah kepala negara itu ditujukan kepada
para gubernur dan ulama ahli hadis pada zaman itu.

Pada sekitar pertengahan abad ke 2 hijriyah, telah muncul karya-karya


himpunan hadis diberbagai kota besar; misalnya di Makkah, Madinah, dan

8
Bashrah. Puncak penghimpinan hadis Nabi terjadi sekitar pertenghan abad
ke 3 hijriyah.

Dengan demikian, jarak waktu antara masa penhimpunan hadis dan


wafatnya Nabi saw. cukup lama. Hal itu membawa akibat bahwa berbagai
hadis yang dihimpun dalam berbagai kitab menuntut penelitian yang
seksama untuk menghindarkan dari penggunaan dalil hadis yang tidak
dapat dipertanggunjawabkan validitasnya.

5. Kitab-kitab hadis yang telah banyak beredar ternyata menggunakan


metode dan pendekatan penyusunan yng bervariasi.

Sebagai mana diketahui bahwa jumlah kitab hadis yang telah disusun
oleh ulama periwayat hadis cukup banyak. Jumlah tersebut sangat sulit
dipastikan angkanya sebab mukharrijul hadis(ulama yang meriwayatkan
hadis dan sekaligus mengadakan penghimpunan hadis) tidak terhitung
jumlahnya. Apalagi, sebagian dari penghimpun hadis itu ada yang
menghasilkan karya himpunan hadis lebih dari satu kitab.

Metode penyusuanan kitab-kitab himpunan hadis tersebut ternyata tidak


seragam. Hal itu memeng logis, seabab yang lebih ditekankan dalam
penulisan itu bukanlah metode penyusunannya, melainkan penghimpunan
hadisnya.

Masing-masing mukharrij memiliki metode sendiri-sendiri, baik dalam


penyusunan, sistemtikanya dan topik yang dikemukakan oleh hadis yang
dihimpunnya, maupun kriteria kualitas hadisnya masing-masing. Karenanya
tidaklah mengherankan, bila pada masa sesudah kegiatan penghimpuanan
itu, ulama menilai dan membuat krieteria tentang peringkat kualitas kitab-
kitab himpunan hadis tersebut, misalnya al-Kutubul khamsah(lima kitab
hadis yang standar), al-Kutubus sittah(enam kitab hadis yang stanadar), dan
al-Kutubus sab’ah (tujuh kitab hadis yang stanadar).

9
6. Periwayatan hadis lebih banyak berlangsung secara makna dari pada
secara lafal.

Mayoritas sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadis secara makna.


Mereka misalnya, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin
Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Darda, Abu Hurairah dan ‘Aisyah istri
Rasulullah. Adapun yang menolak periwayatan hadis secara makna,
misalnya, Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar bin Khattab dan Zaid bin
Arqam.

Perbedaan pandangn tentang periwayatan hadis secara makna itu terjadi


juga di kalangan ulama sesudah zaman sahabat. Ulama yang membolehkan
periwayatan secara makna menekankan pentingnya pemenuhan syarat-
syarat yang cukup ketat, misalnya proses periwayatan, yang bersangkutan
harus mendalam pengetahuannya tentang bahasa arab, hadis yang
diriwayatkan bukanlah bacaan yang bersifat ta’abbudi, umpamanya bacaan
shalat, dan periwayatan secara makna dilakukan karena sangat terpaksa.
Dengan demikian, periwayatan hadis secara makna tidaklah berlangsung
secara longgar, tetapi cukup ketat.

Selain itu ada sebagian kecil umat Islam yang menolak hadis Nabi saw.
Sebagai sumber ajaran dan hujjah, kelompok ini kemudian disebut sebagai
inkar al-sunnah (menolak sunah), mereka dengan beberapa argumentasi
misalnya; 1) al-Quran sudah sangat lengkap dan sempurna sebagaimana
Allah jelaskan dalam Q.S. al-Nahl :16; 89, 2) Hadis tidak ada perintah
untuk diikuti, andaikan ada perintah untuk itu, tentunya Nabi saw. Sejak
awal sudah menyuruh para sahabat untuk menulis seluruh hadis, ternyata
tidak demikian.

Olehnya itu, faktor-faktor tersebut menjadi pendorong terhadap usaha


penelitian hadis Nabi saw. Menjadi sangat penting dilakukan untuk
memelihara dan mengantisipasi berbagai ancaman dari virus yang dapat

10
menyerang dan atau menjangkitinya. Sehingga menyebabkan hadis tersebut
menjadi cacat dan akhirnya kualitasnya menjadi dhaif(lemah), maudhu
(palsu), dan selanjutnya menjadi tertolak dan tidak dapat dijadikan sebagai
hujjah. Sebab, kualitas hadis yang dapat dijadikan sebagi hujjah atau dalil
hukum, adalah hadis yang harus berkualitas shohih.Dengan menggunakan
metode penelitian secara kritis terhadap sanad dan matan-nya. Kajian hadis
dalam bentuk ini dikenal dengan sebutan naqdu al-sanad dan naqdu al-
matan (kritik sanad dan matan), yakni melakukan penelitian dengan
langkah-langkah yang bersifat kritis terhadap sanad dan matan hadis,
dengan pendekatan yag bersifat multi disiplir atau inter disipliner dan antar
disipliner.5

C. Ulama’/Tokoh dan buku- bukunya

Di antara sederet kitab hadis yang ditulis para ulama sejak abad ke-2
Hijriah, para ulama lebih banyak merujuk pada enam kitab hadis utama atau
Kutub As-Sittah. Keenam kitab hadis yang banyak digunakan para ulama dan
umat Islam di seantero dunia itu adalah Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim,
Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmizi, Sunan An-Nasai, serta Sunan Ibnu
Majah.

1. Sahih al-Bukhari

Kitab hadis ini disusun oleh Imam Bukhari. Sejatinya, nama lengkap
kitab itu adalah Al-Jami Al-Musnad As-Sahih Al-Muktasar min Umur
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassallam wa Sunanihi. Kitab hadis nomor
satu ini terbilang unggul, karena hadis-hadis yang termuat di dalamnya
bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW.

Dengan banyaknya kitab hadis, yang mencampuradukan antara hadis


sahih, hasan, dan dhaif –tanpa membedakan hadis yang diterima sebagai

5
https://walangjurnal.wordpress.com/2012/10/24/urgensi-penelitian-sanad-dan-matan-
hadis/
11
hujah (maqbul) dan hadis yang ditolak sebagai hujah (mardud) pada aman
itu. Imam Bukhari makin giat mengumpulkan, menulis, dan membukukan
hadis, Selama 15 tahun,dalam mencari kebenaran suatu hadis, Imam
Bukhari akan menemui periwayatnya di mana pun berada, sehingga ia betul-
betul yakin akan kebenarannya. ‘’Hadis yang diterimanya adalah hadis yang
bersambung sanadnya sampai ke Rasulullah SAW.’’ Ia juga memastikan
bahwa hadis itu diriwayatkan oleh orang yang adil dan kuat ingatan serta
hafalannya. Tak cukup hanya itu. Imam Bukhari juga akan selalu
memastikan bahwa antara murid dan guru harus benar-benar bertemu.

Menurut Ibnu hajar Al-Asqalani, kitab hadis nomor wahid ini memuat
sebanyak 7.397 hadis, termasuk yang ditulis ulang. Imam Bukhari
menghafal sekitar 600 ribu hadis. Ia menghafal hadis itu dari 90 ribu
perawi. Hadis itu dibagi dalam bab-bab yang yang terdiri dari akidah,
hukum, etika makan dan minum, akhlak, perbuatan baik dan tercela, tarik,
serta sejarah hidup Nabi SAW.

2. Sahih Muslim

Menurut Imam Nawawi, kitab Sahih Muslim memuat 7.275 hadis,


termasuk yang ditulis ulang. Berbeda dengan Imam Bukahri, Imam Muslim
hanya menghafal sekitar 300 ribu hadis atau separuh dari yang dikuasai
Imam Bukhari. ‘’Jika tak ada pengulangan, maka jumlah hadis dalam kitab
itu mencapai 4.000,’’ papar Ensiklopedi Islam.

Imam Muslim meyakni, semua hadis yang tercantum dalam kitab yang
disusunnya itu adalah sahih, baik dari sisi sanad maupun matan. Seperti
halnya Shahih Bukhari, kitab itu disusun dengan sistematika fikik dengan
topiknya yang sama.

Sang Imam, tergerak untuk mengumpulkan, menulis, dan membukukan


hadis karena pada zaman itu ada upaya dari kaum zindik (kafir), para ahli

12
kisah, dan sufi yang berupaya menipu umat dengan hadis yang mereka buat-
buat sendiri. Tak heran, jika saat itu umat islam sulit untuk menilai mana
hadis yang benar-benar dari Rasulullah SAW dan bukan.

Soal syarat penetapan hadis sahih, ada perbedaan antara Imam Bukhari
dan Imam Muslim. Shahih Muslim tak menerapkan syarat terlalu berat.
Imam Muslim berpendapat antara murid (penerima hadis) dan guru (sumber
hadis) tak harus bertemu, cukup kedua-duanya hidup pada zaman yang
sama.

3. Sunan Abi Dawud

Kitab ini memuat 5.274 hadis, termasuk yang diulang. Sebanyak 4.800
hadis yang tercantum dalam kitab itu adalah hadis hukum. ‘’Di antara imam
yang kitabnya masuk dalam Kutub as-Sittah, Abu Dawud merupakan imam
yang paling fakih,’’ papar Ensiklopedi Islam.

Karenanya, Sunan Abi Dawud dikenal sebagai kitah hadis hukum,


para ulama hadis dan fikih mengakui bahwa seorang mujtahid cukup
merujuk pada kitab hadis itu dan Alquran. Ternyata, Abu Dawud menerima
hadis itu dari dua imam hadis terdahulu yakni Imam Bukhari dan Muslim.
Berbeda dengan kedua kitab yang disusun kedua gurunya itu, Sunan Abi
Dawud mengandung hadis hasan dan dhaif.Kitab hadis tersebut juga banyak
disyarah oleh ahli hadis sesudahnya.

4. Sunan At-Tirmizi

Kitab ini juga dikenal dengan nama Jami’ At-Tirmizi. Karya Imam At-
Tirmizi ini mengandung 3.959 hadis, terdiri dari yang sahih, hasan, dan
dhaif. Bahkan, menurut Ibnu Qayyim al-Jaujiyah, di dalam kitab itu
tercantum sebanyak 30 hadis palsu. Namun, pendapat itu dibantah oleh ahli
hadis dari Mesir, Abu Syuhbah.

13
‘’Jika dalam kitab itu terdapat hadis palsu, pasti Imam At-Tirmizi pasti
akan menjelaskannya,’’ tutur Syuhbah. Menurut dia, At-Tirmizi selalu
memberi komentar terhadap kualitas hadis yang dicantumkannya.

5. Sunan An-Nasa’i

Kitab ini juga dikenal dengan nama Sunan Al-Mujtaba. An-Nasa’I


menyusun kitab itu setelah menyeleksi hadis-hadis yang tercantum dalam
kitab yang juga ditulisnya berjudul As-Sunan Al-Kubra yang masih
mencampurkan antara hadis sahih, hasan, dan dhaif. Sunan An-Nasa’I
berisi 5.671 hadis, yang menurut Imam An-Nasa’I adalah hadis-hadis sahih.

Dalam kitab ini, hadis dhaif terbilang sedikit sekali. Sehingga, sebagian
ulama ada yang meyakini kitab itu lebih baik dari Sunan Abi Dawud dan
Sunan At-Tirmizi. Tak heran jika, para ulama menjadikan kitab ini rujukan
setalah Sahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim.

6. Sunan Ibnu Majah

Kitab ini berisi 4.341 hadis. Sebanyak 3.002 hadis di antaranya terdapat
dalam Al-Kutan Al-Khasah dan 1.339 hadis lainnya adalah hadis yang
diriwaytkan Ibnu Majah. Awalnya, para ulama tak memasukan kitab hadis
ini kedalam jajaran Kutub As-Sittah, karena di dalamnya masih bercampur
antara hadis sahih, hasan dan dhaif. Ahli hadis pertama yang memasukan
kitab ini ke dalam jajaran enam hadis utama adalah Al-Hafiz Abu Al-fadal
Muhammad bin Tahir Al-Maqdisi (wafat 507 Hijiriah).6

6
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/28/m367qg-inilah-enam-
kitab-hadis-utama
14
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
A. kritik sanad hadis ialah suatu cara yang sistematis dalam melakukan penelitian,
penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang individu perawi dan proses
penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing dengan berusaha
menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk
menemukan kebenaran.
B. Urgensi/Tujuan pokok penelitian sanad hadits adalah untuk mengetahui
kualitas hadits yang diteliti. Kualitas hadits sangat perlu diketahui dalam
hubungannya dengan kehujjahan hadits yang bersangkutan.
Beberapa factor penting dalam penelitian hadits Nabi S.A.W
1. Hadis Nabi saw. Sebagai sumber ajaran dan sumber hukum Islam sesudah
al-Quran.
2. Hadis Nabi saw. tidak seluruhnya tertulis pada waktu Nabi masih hidup.
3. Telah terjadi upaya pemalsuan terhadap hadis Nabi saw.
4. Proses penghimpunan dan periwayatan hadis Nabi saw. Telah memakan
waktu yang sangat panjang.
5. Kitab-kitab hadis yang telah banyak beredar ternyata menggunakan metode
dan pendekatan penyusunan yng bervariasi.
6. Periwayatan hadis lebih banyak berlangsung secara makna dari pada secara
lafal.
C. Ulama’/Tokoh dan buku- bukunya
1. Imam bukhori-shohih al Bukhori(Al-Jami Al-Musnad As-Sahih Al-
Muktasar min Umur Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassallam wa Sunanihi)
2. Imam Muslim-Shohih Muslim
3. Abu dawud- Sunan Abi Dawud
4. Imam At-Tirmizi- Sunan At-Tirmizi
5. Imam An-Nasa’I- Sunan An-Nasa’i(Sunan Al-Mujtaba)-Sunan AL qubra
6. Ibnu Majah-Sunan Ibnu Majah
15
DAFTAR PUSTAKA

1) https://www.anekamakalah.com/2013/04/kritik-sanad-hadis-ulumul-hadis.html
2) http://pustakailmiah78.blogspot.com/2016/01/pustaka-ilmiah78-pengertian-
dan-urgensi.html
3) http://pustakailmiah78.blogspot.com/2016/01/pustaka-ilmiah78-pengertian-
dan-urgensi.html
4) http://habapendidikan.blogspot.com/2012/03/kritik-sanad-hadits.html
5) https://walangjurnal.wordpress.com/2012/10/24/urgensi-penelitian-sanad-dan-
matan-hadis/
6) https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/28/m367qg-
inilah-enam-kitab-hadis-utama

16

Anda mungkin juga menyukai