ABSTRAK
Metodologi kritik matan bersandar pada kriteria hadits yang diterima (maqbul, yakni
yang shahih dan hasan), atau matan tidak janggal (syadz) dan tidak memiliki cacat
(illat). Untuk itu metodologi yang digunakan atau dikembangkan
untuk kritik matan adalah metode perbandingan dengan menggunakan pendekatan
rasional. Metode tersebut, terutama perbandingannya, telah berkembang sejak masa
sahabat. Dalam menentukan otentitas hadits, mereka melakukan studi perbandingan
dengan al-Qur’an, sebagai sumber yang lebih tinggi, perbandingan dengan hadits yang
lain mahfuzh, juga dengan kenyataan sejarah. Bila terjadi pertentangan, maka hadits
yang bersangkutan dicoba untuk ditakwil atau ditakhsish, sesuai sifat dan tingkat
pertentangan, sehingga dikompromikan satu dengan yang lain. Tetapi jika tetap tidak
bisa, maka dilakukan tarjih dengan mengamalkan yang lebih kuat.
PENDAHULUAN
1
Darmiati, Muhammad Yahya, Andi Darussalam “Hadis-Hadis tentang Puasa ‘Asyura (Suatu
Kajian Living Sunnah di Kecamatan Bola Kabupaten Wajo)” Jurnal Diskursus Islam Volume 06 Nomor
2, Agustus 2018: hlm. 261
dianggap shahih dan siap dikonsumsi, namun belum tentu shahih dan siap saji. Semua
ini dilatari oleh kenyataan bahwa validitas sebuah hadits sangat tergantung pada
integritas seorang perawi yang sangat personal. Itulah mengapa verifikasi menjadi
sangat penting dilakukan terhadap teks hadits.
Mengingat hal itu, tentu butuh alat yang tepat untuk membaca sebuah teks
hadits, yakni salah satunya dengan cara metode kritik matan hadits.
PEMBAHASAN
2
Muhammad Bakir, “Kritik Matan Hadits Versi Muhaddisin dan Fuqoha’: Studi Pemikiran
Hasjim Abbas,” Jurnal Samawat, Vol. 2, no. 2 (2018): hlm. 15
3
M. Syuhudi Ismail,. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 23
4
Nuruddin Itr,, Ulum al-Hadits, Jilid 1, terj. Mujiyo. (Bandung: Rosdakarya, 1994), h. 56.
5
Maman Abdurrahman, Teori Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015), hal. 73-74.
populer dilakukan oleh para ahli hadits dibanding kritik sanad hadits. Hal ini
disebabkan tradisi penyampaian hadits secara lisan mulai dari generasi sahabat sampai
generasi tabi’ tabi’in. Tepatnya pada tahun ke-8 hijriah pada masa khalifah Umar bin
Abdul Aziz memerintahkan setiap gubernur untuk mencari para ahli agar dapat
menuliskan setiap hadits yang dihapal untuk dicatat dan dibukukan secara resmi.
Mengingat, setiap susunan kata dan kandungan hadits dalam sebuah kalimat, tidak bisa
dinyatakan sebagai hadits, apabila tidak ditemukan rangkaian rawi yang sampai kepada
Nabi Saw.
Adapun sejarah kritik matan sebagai berikut:6
1. Kritik Matan Masa Nabi Saw
Pada masa awal, tradisi kritik hadits muncul sejak masa Nabi Saw. Kala itu, Umar
bin Khattab ketika menerima berita dari seseorang bahwa Nabi Saw telah menceraikan
istri-istrinya, seketika itu Umar langsung mengecek berita tersebut kepada Nabi Saw.
Rasulullah Saw pun menjawab “tidak”. Umar akhirnya mengetahui bahwa Rasul hanya
bersumpah untuk tidak menggauli istri-istrinya selama sebulan. Pada masa ini sangat
mudah mencari keaslian sabda Nabi Saw, sebab para sahabat dapat bertemu langsung
dengan Nabi.
2. Kritik Matan Masa Sahabat
Kritik terhadap sabda Nabi Saw dilakukan dengan cara mencari kabar kepada
sahabat yang pernah terlibat langsung dari Nabi Saw, sebagaimana yang pernah
dilakukan oleh Aisyah ketika mengkritik sabda Nabi Saw dari Abu Hurairah tentang
mayat yang kena azab kubur disebabkan oleh ratapan keluarganya. Ketika itu, Aisyah
membantah dan menyatakan bahwa riwayat tersebut keliru, seraya menyampaikan dan
menjelaskan matan yang sesungguhnya, yaitu “suatu ketika Nabi Saw melewati
kuburan orang Yahudi dan beliau melihat keluarga si mayat sedang meratap di atas
kuburan tersebut. Selanjutnya Aisyah mengutip surah Al-An’am (6) ayat 264
artinya:”.... seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain....” beberapa
sahabat juga melakukan hal yang sama, seperti Umar bin Al-Khattab, Ali bin Abi
Thalib, Absullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar. Upaya
kritik matan terhadap sabda Nabi Saw pada masa sahabat adalah dengan cara meneliti
kandungan sabda Nabi Saw dengan cara menyesuaikannya dengan apa yang pernah
didengar sendiri oleh sahabat, kemudian membandingkannya dengan al-Qur’an.
3. Kritik Matan Masa Tabi’ Tabi’in
Pada masa ini, terdapat tiga alasan utama para ahli hadits dalam melakukan dan
menjaga otentitas (keaslian) hadits, di antaranya: Pertama, pengumpulan hadits yang
dilakukan oleh al-Zuhri atas perintah Umar bin Abdul al-‘Aziz. Kedua, lahirnya ilmu
kritik hadits dalam arti sesungguhnya. Kelanjutan dari proses “kematangan” kritik
sanad. Ketiga, lahirnya semangat kuat untuk melakukan pelacakan hadits sebagaimana
yang telah dilakukan oleh para generasi sebelumnya.
4. Kritik Matan Masa Itba’ Tabi’in
Masa itba’ tabi’in atau generasi tabi’in ketiga pasca sahabat yang dinilai sebagai
periode penyempurnaan. Pada masa ini, ilmu hadits sudah mengalami perkembangan
yang luar biasa. Ilmu hadits sudah ditekuni oleh banyak para ahli hadits seluruh
6
Alkadri Sambas, dalam blog http://alkadri-sambas.blogspot.co.id/2013/10/metodologi-kritik-
matan, diakses tanggal 29 Mei 2017.
pelosok dunia. Konsekuensi logis, kritik hadits tak lagi terbatas pada kalangan ulama
“Arab”, melainkan di seluruh wilayah Islam. Akhir abad ke-2 H, sudah dimulai
penelitian kritik hadits secara teori dan praktek. Seperti imam Syafi’i dikenal sebagai
ulama yang pertama kali mewariskan teori ilmu hadits sebagaimana terdapat dalam
karyanya berjudul ar-Risalah (kitab ushul fikih) dan al-umm (kitab fikih).
Demikian faktor yang mendorong pentingnya penelitian matan hadits, dan masih
terbuka peluang bagi faktor-faktor lain.
9
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Penginkar dan Pemalsunya, Cet.I; Jakarta:
Gema Insani Press, 1995.
meriwayatkan.
e. Hasil uji hipotesisi tentang gejala syadz pada matan hadts ternyata
berbanding lurus dengan keberadaan rawi hadits (sanad) yang syadz. Syu’bah bin
al-Hajjaj, seperti dikutip pernyatannya leh Hasyim Abbas, menegaskan:
“Tidak datang padamu hadits (dengan kondisi matan) yang syadz, kecuali
riwayat hadits itu melalui orang yang syadz pula”.
Memang dalam aplikasi kaidah untuk menduga gejala syadz pada matan hadits, harus
dilakukan uji ke-dhabitha-an (tsiqah) perawi yang merupakan bagian dari kegiatan
kritik sanad. Hasil temuan akan memunculkan status berbeda, bila perawi yang
kedapatan menyimpang dalam matan hadits itu sesama orang tsiqah, maka hadits nya
itu distatuskan syadz. Tetapi bila perawi tersebut tidak tsiqah, maka hadits yang
menyimpang itu dikategorikan mungkar. Prosedur pendugaan gejala penyimpangan
(kelainan) adalah dengan memperbandingkan antar teks matan dari perawi yang
berbeda. Bila jelas data kelainan pada teks matan, peneliti tentunya
mengupayakan i’tibar syahid atau i’tibar muttaba’, manakala upaya i’tibar gagal,
otomatis tertutup sudah jalan bagi pencapaian tingkat validitas sanad dan matan hadits
dari gejala syadz.
2. Asas Metodologi Kritik Matan
Memasuki langkah kegiatan penelitian terhadap matan hadits, beberapa hal yang cukup
fundamental penting dikemukakan, yaitu:
a. Objek Forma Penelitian Matan
Aplikasi metodologis penelitian matan hadits bersandar pada
kriteria maqbul (diterima) atau mardud (ditolak) untuk kepentingan melandasi
pemikiran keagamaan (hujjah syar’iyah), bukan bersandar pada kriteria benar
atau salah menurut penilaian keilmuan rasional/empiris. Adapun objek forma
penelitian matan hadits mencakup:
1). Uji ketetapan nisbah (asosiasi) ungkapan matan
2). Uji validitas komposisi dan struktur bahasa pengantar matan atau uji teks
redaksi, serta
3). Uji taraf koherensi konsep ajaran yang terkandung dalam formula matan
hadits.
b. Potensi Bahasa Teks Matan
Asas metodologis dalam pengujian bahasa redaksi matan tekanannya pada
mendeteksi rekayasa kebahasaan yang merusak citra informasi hadits dan
ancaman penyusutan atau penyesatan inti pernyataan aslinya. Jadi tujuan kritik
matan adalah memperoleh data teks yang mempertahankan formula keshahihan
makna dan keutuhan kehendak dengan mengeleminir unsur sisipan, tambahan
yang mengganggu, serta paling minim kesalahan redaksinya.
Berbeda dengan Bustamin dalam bukunya Metodologi Kritik Hadits, mengemukakan
lima langkah yang harus ditempuh dalam rangka mengkritik sebuah matan hadits
yaitu:10
1. Menghimpun hadits-hadits yang terjalin dalam tema yang sama
Yang dimaksud dengan hadits yang terjalin dalam tema yang sama
adalah: Pertama, hadits-hadits yang mempunyai sumber sanad dan matan yang sama,
10
Bustamin, A.Salam Metodologi Kritik Matan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004).
baik riwayat bi al-lafzh maupun melalui riwayat bi al-ma’na. Kedua, hadits-hadits
mengandung makna yang sama, baik sejalan maupun bertolak belakang, Ketiga, hadits-
hadits yang memiliki tema yang sama, seperti tema aqidah, ibadah, dan lainnya. Hadits
yang pantas dibandingkan adalah hadits yang sederajat
kualitas sanad dan matannya. Perbedaan lafad pada matan hadits yang semakna ialah
karena dalam periwayatan secara makna (al-riwayah bi al-ma’na). Menurut
muhadditsin, perbedaan lafazh yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, dapat
ditoleransi asalkan sanad dan matannya sama-sama sahih.
2. Meneliti matan hadits dengan pendekatan hadits
Sekiranya kandungan suatu matan hadits bertentangan dengan matan hadits
lainnya, menurut Muhadditsin perlu diadakan pengecekan secara cermat. Sebab, Nabi
Muhammad SAW tidak mungkin melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
perkataan yang lain, demikian pula dengan al-Qur’an. Pada dasarnya,
kandungan matan hadits tidak ada yang bertentangan, baik dengan hadits maupun
dengan al-Qur’an.
Hadits yang pada akhirnya bertentangan dapat diselesaikan melalui pendekatan
ilmu mukhtalifu al-hadits. Imam Syafi’i mengemukakan empat jalan keluar:
Pertama, mengandung makna universal (mujmal) dan lainnya terperinci
(mufassal), kedua, mengandung makna umum (am) dan lainnya
khusus, ketiga, mengandung makna penghapus (al-nasikh) dan lainnya dihapus
(mansukh), keempat, kedua-duanya mungkin dapat diamalkan. Untuk menyatukan
suatu hadits yang bertentangan dengan hadits lainnya, diperlukan pengkajian yang
mendalam guna menyeleksi hadits yang bermakna universal dari yang khusus, hadits
yang naskh dari yang mansukh.
3. Meneliti matan hadits dengan pendekatan al-Qur’an
Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa al-Qur’an adalah sebagai
sumber pertama atau utama dalam Islam untuk melaksanakan berbagai ajaran, baik
yang ushul maupun yang furu’, maka al-Qur’an haruslah berfungsi sebagai penentu
hadits yang dapat diterima dan bukan sebaliknya. Hadits yang tidak sejalan dengan al-
Qur’an haruslah ditinggalkan sekalipun sanadnya sahih. Cara yang ditempuh mereka
untuk meloloskan matan hadits yang kelihatannya bertentangan dengan teks al-Qur’an
adalah dengan menta’wil atau menerapkan ilmu mukhtalif al-hadits. Oleh karena itu,
kita akan kesulitan menemukan hadits yang dipertentangkan dengan al-Qur’an dalam
buku-buku hadits atau hadits sahih dari segi sanad dan matannya dibatalkan karena
bertentangan dengan al-Qur’an.
4. Meneliti matan hadits dengan pendekatan bahasa
Pendekatan bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadits tertuju pada beberapa
obyek: Pertama, struktur bahasa, artinya apakah susunan kata dalam matan hadits yang
menjadi obyek penelitian sesuai dengan kaedah bahasa Arab. Kedua, kata-kata yang
terdapat dalam matan hadits, apakah menggunakan kata-kata yang lumrah
dipergunakan bangsa Arab pada masa Nabi Muhammad atau menggunakan kata-kata
baru, yang muncul dan dipergunakan dalam literatur Arab
Modern? Ketiga, matan hadits tersebut menggambarkan bahasa kenabian. Keempat,
menelusuri makna kata-kata yang terdapat dalam matan hadits, dan apakah makna kata
tersebut ketika diucapkan oleh nabi Muhammad sama makna dengan yang dipahami
oleh pembaca atau peneliti.
5. Meneliti matan hadits dengan pendekatan sejarah
Salah satu langkah yang ditempuh para muhadditsin untuk penelitian matan hadits
adalah mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu hadits (asbab al-
wurud haditsi). Langkah ini mempermudah memahami kandungan
hadits. Fungsi asbab al-wurud hadits ada tiga. Pertama, menjelaskan makna
hadits. Kedua, mengetahui kedudukan Rasulullah pada saat kemunculan hadits apakah
sebagai rasul, sebagai pemimpin masyarakat, atau sebagai manusia biasa. Ketiga,
mengetahui situasi dan kondisi masyarakat saat hadits itu disampaikan.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut: Kritik matan hadits adalah kegiatan yang mempunyai cara-cara sistimatis
dalam mengkaji dan menelusuri kebenaran suatu hadits, sehingga ditemukan status
hadits sahih dan tidak sahih dari segi matannya, juga dimaksudkan sebagai pengecekan
kembali kebenaran sumber hadits yang disandarkan kepada Nabi atau tidak dan
kegiatan kritk matan memang sudah ada sejak zaman Nabi masih hidup.
Metodologi kritik matan bersandar pada kriteria hadits yang diterima (maqbul,
yakni yang shahih dan hasan), atau matan tidak janggal (syadz) dan tidak memiliki
cacat (illat). Untuk itu metodologi yang digunakan atau dikembangkan
untuk kritik matan adalah metode perbandingan dengan menggunakan pendekatan
rasional. Metode tersebut, terutama perbandingannya, telah berkembang sejak masa
sahabat. Dalam menentukan otentitas hadits, mereka melakukan studi perbandingan
dengan al-Qur’an, sebagai sumber yang lebih tinggi, perbandingan dengan hadits yang
lain mahfuzh, juga dengan kenyataan sejarah. Bila terjadi pertentangan, maka hadits
yang bersangkutan dicoba untuk ditakwil atau ditakhsish, sesuai sifat dan tingkat
pertentangan, sehingga dikompromikan satu dengan yang lain. Tetapi jika tetap tidak
bisa, maka dilakukan tarjih dengan mengamalkan yang lebih kuat.
Metodologi kritik matan hadits (kaidah mayor dan kaidah minor) adalah:
Kaidah mayor bagi kesahihan matan hadits adalah 1). Terhindar dari syuzuz dan 2).
Terhindar dari ‘illat. Syuzuz dan ‘illat selain terjadi pada sanad juga terjadi pada
matan hadits. Kaidah minor bagi matan yang terhindar dari syuzuz adalah:
Matan hadits bersangkutan tidak menyendiri, matan hadits itu tidak bertentangan
dengan hadits yang lebih kuat, matan hadits itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an,
dan matan hadits itu tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah. Kaedah
minor yang tidak mengandung ‘illat adalah: Matan hadits tidak
mengandung idraj (sisipan), matan hadits tidak mengandung ziyadah (tambahan),
matan hadits tidakmengandung maqlub (pergantian lafaz atau kalimat), tidak
terjadi idhthirab (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan), serta tidak terjadi
kerancuan lafaz dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadits itu.
Langkah-langkah dalam melakukan kritik matan hadits adalah:
a. Menghimpun hadits-hadits yang terjalin dalam tema yang sama.
b. Penelitian matan hadits dengan pendekatan hadits sahih.
c. Penelitian matan hadits dengan pendekatan al-Qur’an.
d. Penelitian matan hadits dengan pendekatan bahasa.
e. Penelitian matan dengan pendekatan sejarah.
DAFTAR RUJUKAN