Anda di halaman 1dari 11

PASCASARJANA. Jurnal Ilmiah.

Prodi Pendidikan Agama Islam


METODE KRITIK MATAN HADITS
Sumiati
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Umhiemachmud92@gmail.com

ABSTRAK
Metodologi kritik matan bersandar pada kriteria hadits yang diterima (maqbul, yakni
yang shahih dan hasan), atau matan tidak janggal (syadz) dan tidak memiliki cacat
(illat). Untuk itu metodologi yang digunakan atau dikembangkan
untuk kritik matan adalah metode perbandingan dengan menggunakan pendekatan
rasional. Metode tersebut, terutama perbandingannya, telah berkembang sejak masa
sahabat. Dalam menentukan otentitas hadits, mereka melakukan studi perbandingan
dengan al-Qur’an, sebagai sumber yang lebih tinggi, perbandingan dengan hadits yang
lain mahfuzh, juga dengan kenyataan sejarah. Bila terjadi pertentangan, maka hadits
yang bersangkutan dicoba untuk ditakwil atau ditakhsish, sesuai sifat dan tingkat
pertentangan, sehingga dikompromikan satu dengan yang lain. Tetapi jika tetap tidak
bisa, maka dilakukan tarjih dengan mengamalkan yang lebih kuat.

Kata kunci: Metode, Kritik dan Matan Hadits

PENDAHULUAN

Hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Alquran, Alquran


sendiri memerintahkan untuk mengikuti Rasulullah saw. Sebagaimana ditegaskan
dalam QS. Al-Imran ayat 32 dan QS An-Nisa ayat 80. Kedua ayat tersebut
menegaskan bahwa taat kepada Allah swt. dengan cara mengikuti ketentuan yang
terdapat dalam Alquran, baik berupa perintah-Nya maupun larangan-Nya. Sedang
menaati Nabi Muhammad saw. dengan cara mengikuti sunnahNya. Selain dalam
Alquran, perintah untuk menaati Nabi Muhammad saw. Juga terdapat dalam hadis
Nabi saw : Diceritakan kepadaku dari Malik. Bahwasanya dia menyampaikan bahwa
Rasulullah saw. bersabda: “Telah aku tinggalkan untukmu dua perkara, kamu sekali-
kali tidak akan sesat apalagi berpegang pada keduanya (yakin), kitabullah dan sunnah
Nabi-Nya.1 Mengingat penulisan hadits dilakukan ratusan tahun setelah Nabi
Muhammad wafat, maka banyak terjadi silang pendapat terhadap keabsahan sebuah
hadits. Adanya hadits-hadits palsu (maudhu’), mendorong diadakannya kodifikasi
atau tadwin hadits sebagai uapaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan.
Mengingat hadits menjadi rujukan sentral dalam kajian keislaman, tentu hal
yang paling tepat ialah memilih dan memilah hadits yang benar-benar aman untuk
‘dikonsumsi’ oleh umat Islam, terlebih hadits yang membahas masalah ibadah atau
praktik ajaran Islam secara umum. Karena harus diakui bahwa banyak hadits yang

1
Darmiati, Muhammad Yahya, Andi Darussalam “Hadis-Hadis tentang Puasa ‘Asyura (Suatu
Kajian Living Sunnah di Kecamatan Bola Kabupaten Wajo)” Jurnal Diskursus Islam Volume 06 Nomor
2, Agustus 2018: hlm. 261
dianggap shahih dan siap dikonsumsi, namun belum tentu shahih dan siap saji. Semua
ini dilatari oleh kenyataan bahwa validitas sebuah hadits sangat tergantung pada
integritas seorang perawi yang sangat personal. Itulah mengapa verifikasi menjadi
sangat penting dilakukan terhadap teks hadits.
Mengingat hal itu, tentu butuh alat yang tepat untuk membaca sebuah teks
hadits, yakni salah satunya dengan cara metode kritik matan hadits.

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Sejarah Kritik Matan Hadits


Kata kritik (kritik matan) diambil dari bahasa Arab dari kata naqd yang
berarti memilih, membedakan, meneliti atau kritik, Menurut Ibnu Abiyhatim al-Rāziy
sebagaimana dikutip oleh Hasyim Abbas dimana kata naqd‛ diartikan dengan kata
pembeda‛, adalah upaya menyeleksi (membedakan) antara hadits sahīh dan dha’īf dan
mentapkan status perawi-perawinya dari segi kepercayaan atau cacat2. Sedangkan kata
“matan” atau “al-matn” menurut bahasa berarti ma irtafa’a min al-ardhi (tanah yang
meninggi). Sedang menurut istilah adalah: “Lafadz-lafadz hadits yang di dalamnya
mengandung makna-makna tertentu”. Ada juga redaksi yang lebih simpel lagi, yang
menyebutkan bahwa matan adalah ujung sanad (gayah as-sanad). Dari semua
pengertian di atas, menunjukkan, bahwa yang dimaksud dengan matan, ialah materi
atau lafadz hadits itu sendiri.
Dalam definisi lain, matan ialah materi berita, yakni lafadz (teks) haditsnya,
berupa perkataan, perbuatan atau taqrir, baik yang disandarkan pada Nabi SAW,
sahabat atau tabi’in, yang letaknya dalam suatu hadits pada penghujung sanad. Jadi,
kritik matan hadits dapat dipahami sebagai upaya pemilihan atau penelitian secara
seksama terhadap berbagai teks yang terdapat dalam hadits3. Adapun tata letak matan
dalam struktur utuh penyajian hadits jatuh setelah ujung sanad ialah menunjuk fungsi
sanad sebagai pengantar data mengenai proses sejarah transfer informasi hadits dari
nara sumbernya. Dengan kata lain, fungsi sanad, merupakan media
pertanggungjawaban ilmiah bagi asal-usul fakta kesejarahan teks hadits. Ibnu Al-Atsir
al-Jazari sebagaimana yang dikutip oleh Hasyim Abbas, menegaskan bahwa, setiap
matan hadits tersusun atas elemen lafal (teks) dan elemen makna (konsep)4. Dengan
demikian, komposisi ungkapan matan hadits pada hakikatnya merupakan cerminan
konsep idea yang intinya dirumuskan berbentuk teks. Teks matan disebut juga nashsh
al-hadits atau nashsh al-riwayah.
Namun, perlu diingat bahwa kesahihan suatu hadits tidak hanya berpegang
teguh pada riwayat semata, tetapi juga pada matan hadits. Untuk
mengetahui shahih tidaknya suatu matan hadits, maka tidak cukup hanya
mengkomparasikan satu matan hadits dengan hadits lainnya, tetapi juga perlu
mengkomparasikan dengan al-Qur’an. Bila tampak pada matan hadits ada
pertentangan, maka status hadits tersebut bisa dianggap dha’if, sehingga tidak bisa
dijadikan hujjah.5 Dalam kajian hadits, kritik matan termasuk kajian yang tidak terlalu

2
Muhammad Bakir, “Kritik Matan Hadits Versi Muhaddisin dan Fuqoha’: Studi Pemikiran
Hasjim Abbas,” Jurnal Samawat, Vol. 2, no. 2 (2018): hlm. 15
3
M. Syuhudi Ismail,. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 23
4
Nuruddin Itr,, Ulum al-Hadits, Jilid 1, terj. Mujiyo. (Bandung: Rosdakarya, 1994), h. 56.
5
Maman Abdurrahman, Teori Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015), hal. 73-74.
populer dilakukan oleh para ahli hadits dibanding kritik sanad hadits. Hal ini
disebabkan tradisi penyampaian hadits secara lisan mulai dari generasi sahabat sampai
generasi tabi’ tabi’in. Tepatnya pada tahun ke-8 hijriah pada masa khalifah Umar bin
Abdul Aziz memerintahkan setiap gubernur untuk mencari para ahli agar dapat
menuliskan setiap hadits yang dihapal untuk dicatat dan dibukukan secara resmi.
Mengingat, setiap susunan kata dan kandungan hadits dalam sebuah kalimat, tidak bisa
dinyatakan sebagai hadits, apabila tidak ditemukan rangkaian rawi yang sampai kepada
Nabi Saw.
Adapun sejarah kritik matan sebagai berikut:6
1. Kritik Matan Masa Nabi Saw
Pada masa awal, tradisi kritik hadits muncul sejak masa Nabi Saw. Kala itu, Umar
bin Khattab ketika menerima berita dari seseorang bahwa Nabi Saw telah menceraikan
istri-istrinya, seketika itu Umar langsung mengecek berita tersebut kepada Nabi Saw.
Rasulullah Saw pun menjawab “tidak”. Umar akhirnya mengetahui bahwa Rasul hanya
bersumpah untuk tidak menggauli istri-istrinya selama sebulan. Pada masa ini sangat
mudah mencari keaslian sabda Nabi Saw, sebab para sahabat dapat bertemu langsung
dengan Nabi.
2. Kritik Matan Masa Sahabat
Kritik terhadap sabda Nabi Saw dilakukan dengan cara mencari kabar kepada
sahabat yang pernah terlibat langsung dari Nabi Saw, sebagaimana yang pernah
dilakukan oleh Aisyah ketika mengkritik sabda Nabi Saw dari Abu Hurairah tentang
mayat yang kena azab kubur disebabkan oleh ratapan keluarganya. Ketika itu, Aisyah
membantah dan menyatakan bahwa riwayat tersebut keliru, seraya menyampaikan dan
menjelaskan matan yang sesungguhnya, yaitu “suatu ketika Nabi Saw melewati
kuburan orang Yahudi dan beliau melihat keluarga si mayat sedang meratap di atas
kuburan tersebut. Selanjutnya Aisyah mengutip surah Al-An’am (6) ayat 264
artinya:”.... seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain....” beberapa
sahabat juga melakukan hal yang sama, seperti Umar bin Al-Khattab, Ali bin Abi
Thalib, Absullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar. Upaya
kritik matan terhadap sabda Nabi Saw pada masa sahabat adalah dengan cara meneliti
kandungan sabda Nabi Saw dengan cara menyesuaikannya dengan apa yang pernah
didengar sendiri oleh sahabat, kemudian membandingkannya dengan al-Qur’an.
3. Kritik Matan Masa Tabi’ Tabi’in
Pada masa ini, terdapat tiga alasan utama para ahli hadits dalam melakukan dan
menjaga otentitas (keaslian) hadits, di antaranya: Pertama, pengumpulan hadits yang
dilakukan oleh al-Zuhri atas perintah Umar bin Abdul al-‘Aziz. Kedua, lahirnya ilmu
kritik hadits dalam arti sesungguhnya. Kelanjutan dari proses “kematangan” kritik
sanad. Ketiga, lahirnya semangat kuat untuk melakukan pelacakan hadits sebagaimana
yang telah dilakukan oleh para generasi sebelumnya.
4. Kritik Matan Masa Itba’ Tabi’in
Masa itba’ tabi’in atau generasi tabi’in ketiga pasca sahabat yang dinilai sebagai
periode penyempurnaan. Pada masa ini, ilmu hadits sudah mengalami perkembangan
yang luar biasa. Ilmu hadits sudah ditekuni oleh banyak para ahli hadits seluruh

6
Alkadri Sambas, dalam blog http://alkadri-sambas.blogspot.co.id/2013/10/metodologi-kritik-
matan, diakses tanggal 29 Mei 2017.
pelosok dunia. Konsekuensi logis, kritik hadits tak lagi terbatas pada kalangan ulama
“Arab”, melainkan di seluruh wilayah Islam. Akhir abad ke-2 H, sudah dimulai
penelitian kritik hadits secara teori dan praktek. Seperti imam Syafi’i dikenal sebagai
ulama yang pertama kali mewariskan teori ilmu hadits sebagaimana terdapat dalam
karyanya berjudul ar-Risalah (kitab ushul fikih) dan al-umm (kitab fikih).

B. Faktor Pendorong Kritik Matan Hadits


Ada beberapa faktor pembangkit kesadaran untuk melakukan kegiatan penelitian
terhadap hadits, khususnya penelitian pada sektor matannya. Berikut dikemukakan
beberapa faktor tersebut:
1. Motivasi Agama
Jaminan keterpeliharaan al-Qur’an (QS. Al-Hijr: 9) perlu diikuti dengan keaslian
(otentisitas) dan kebenaran (validitas) hadits atau sunnah selaku sumber penjelasnya.
Watak ketergantungan agama Islam pada sumber naqli (wahyu) mengharuskan adanya
upaya sungguh-sungguh untuk mempertahankan dan mempertanggungjawabkan
otentisitas hadits (sunnah) secara ilmiah.
2. Motivasi Kesejarahan
Keberadaan hadits (sunnah) sebagai khazanah amat berharga bagi Islam dan umat
pemeluknya merupakan sumber ajaran yang ketahanan berlakunya hingga akhir
kiamat. Kedudukan tersebut amat erat hubungannya dengan kerasulan
maupun nubuwwah Muhammad SAW yang menjadi pamungkas sejarah kerasulan
(QS. Al Ahzab: 40).
Oleh karenanya perjalanan sejarah hadits (sunnah) harus terus dibentengi dari
kemungkinan pemalsuan dan penyimpangan. Fakta terjadinya pemalsuan terhadap
hadits pada masa lalu, harus memacu kepedulian umat Islam untuk melakukan
penyeleksian guna menyelamatkan khazanah hadits (sunnah) yang memang benar
adanya.
3. Keterbatasan Hadits Mutawatir
Proses kejadian hadits yang ternisbahkan kepada Nabi SAW saja menyita waktu
hampir 23 tahun, berlangsung di lokasi yang berpindah-pindah dan pihak yang
bertindak sebagai saksi primer bisa terbatas. Sosialisasi hadits menempuh
media musyafahah (dari mulut ke mulut) ditekan pula oleh kebijakan pengetatan
riwayat di bawah kontrol pada Khulafa’ al-Rasyidin. Oleh karenanya, tebaran hadits
mutawatir sangat minim dan tercipta citra dzanni pada bagian terbesar hadits karena
sifat ahad-nya. Citra dzanni tersebut amat berkepentingan pada usaha untuk
mendongkrak kepercayaan orang agar tidak canggung mengamalkan hadits ahad.
4. Bias Penyaduran Ungkapan Hadits
Dispensasi yang dimaklumkan sejak masa Nabi SAW kepada para sahabat untuk
meriwayatkan kembali hadits, asal mempertahankan inti konsep (riwayah bi al-
ma’na) telah mengkondisikan keragaman teks matan hadits. Gejala pemadatan
ungkapan (ikhtishar), penambahan kata penjelas kalimat, pemilihan kata yang
sinonim, penempatan kata pembanding akibat keraguan perawi, sampai
pembuangan sabab al-wurud, menjadi terbakukan dalam koleksi hadits yang kini
diterbitkan. Kondisi keragaman tak terelakkan karena proses pembukuan (tadwin)
muncul atas inisiatif perorangan dalam kurun waktu hampir 3 (tiga) abad, akses
penyaduran ungkapan hadits tentu harus diimbangi dengan penelitian teks guna
memperoleh narasi verbal yang terkecil data kelainannya.
5. Teknik Pengeditan Hadits
Ulama kolektor hadits (muharrij) menempuh strategi yang tidak sama saat
membukukan hadits. Akibatnya ungkapan hadits nabawi berbaur menyatu dengan
fatwa sahabat atau tabi’in, seperti halnya informasi isra’iliyyat mengambil bentuk
tafsir naqli dan bersanad. Ulasan penjelas matan yang mewarnai prosedur pengajaran
hadits oleh perawi, sisipan penyimpulan makna hadits, hingga penambahan yang perlu
oleh perawi, dalam teknik pengeditan bisa terbawa masuk dalam kerangka ungkapan
matan hadits. Elemen non hadits tentunya perlu diwaspadai melaui penelitian, sebab
bisa terjadi, pemrakarsa penyatuan elemen non hadits itu datang dari orang yang
tidak tsiqah.
6. Kesahihan Sanad tidak Berkorelasi dengan Keshahihan Matan
Hipotesa bahwa “keshahihan sanad belum tentu diikuti oleh keshahihan matan.
Fakta penelitian ulang terhadap hadits–hadits yang telah terkorelasi dan masyarakat
terlanjur menaruh percaya keshahihannya, terbukti di kemudian hari banyak yang
turun derajatnya menjadi dhaif bahkan sampai maudlu’. Para perawi yang
mendukung rangkaian sanad___sahabat sekalipun atau para mukharrij___adalah
manusia yang melekat dengan kelemahan dan keterbatasan kemampuan, artinya bisa
salah dalam menilai sanad maupun matan hadits, sehingga langkah yang diperlukan
ialah uji kebenaran matan hadits sebagai postulat yang sangat signifikan.
7. Sebaran Tema dan Perpaduan Konsep
Refrensi untuk mendukung sebuah tema keagamaan belum tentu memadai bila
hanya berasal dari hadits tunggal. Dengan media al-Qur’an pun perlu bermodal banyak
ayat yang membahas tema sama dengan pola metode maudhu’i ditarik benang merah
yang menghubungkan sub-sub tema. Kedudukan sunnah sebagai sumber atau dalil
perumus hukum syara’ harus mampu bersenyawa dengan dalil syara’ yang lain.
Memperbandingkan data keunggulan (tarjih) memakai kriteria tertentu. Langkah
metodologis itu perlu ditempuh karena sebuah tema bisa tersebar konsepnya pada
banyak hadits dan lazim diwarnai oleh gejala perbedaan.
8. Upaya Penerapan Konsep Doktrinal Hadits
Ungkapan matan hadits sejelas apapun masih menawarkan konsep yang
abstrak. Ikhtiar konkretisasinya sampai pada tataran yang operasional praktis
memerlukan tahapan pemahaman mulai dari: pemaknaan lughawi (leksikal),
pemaknaan gramatikal yang lebih memberi peran pada struktur kalimat matan hadits,
makna sintaksis dan makna kontekstual. Seperti konsep ajaran nikah mut’ah yang
tercatat shahih. Bila ingin diterapkan di Indonesia sangat membutuhkan kajian intensif.
Sebab bisa saja rumusan akhir dari konsep sejeumlah matan hadits di atas akan menuai
reaksi negatif, karena opini yag selama ini telah terbentuk di lingkungan umat Islam di
Indonesia telah tersekat paham mazhab yang berbeda-beda.

Demikian faktor yang mendorong pentingnya penelitian matan hadits, dan masih
terbuka peluang bagi faktor-faktor lain.

C. Metode Kritik Matan Hadits


Metodologi kritik matan hadits bersandar pada kriteria hadits yang diterima
(maqbul, yakni yang shahih dan hasan), atau matan tidak janggal (syadz) dan tidak
memiliki cacat (illat). Untuk itu metodologi yang digunakan atau dikembangkan
untuk kritik matan adalah metode perbandingan dengan menggunakan pendekatan
rasional. Metode tersebut, terutama perbandingannya, telah berkembang sejak masa
sahabat. Dalam menentukan otentitas hadits, mereka melakukan studi perbandingan
dengan al-Qur’an, sebagai sumber yang lebih tinggi, perbandingan dengan hadits yang
lain mahfuzh, juga dengan kenyataan sejarah. Bila terjadi pertentangan, maka hadits
yang bersangkutan dicoba untuk ditakwil atau ditakhsish, sesuai sifat dan tingkat
pertentangan, sehingga dikompromikan satu dengan yang lain. Tetapi jika tetap tidak
bisa, maka dilakukan tarjih dengan mengamalkan yang lebih kuat.
Menurut Shalahuddin Al-Adlabi sebagaimana dikutip M. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, urgensi obyek studi kritik matan tampak dari beberapa segi, di antaranya:7
1. Menghindari sikap sembrono (tasahhul) dan berlebihan (tasyaddud) dalam
meriwayatkan suatu hadits karena adanya ukuran-ukuran tertentu dalam
metodologi kritik matan.
2. Menghadapi kemungkinan adanya kesalahan pada diri periwayat.
3. Menghadapi musuh-musuh Islam yang memalsukan hadits dengan
menggunakan sanad hadits yang shahih, tetapi matan-nya tidak shahih.
4. Menghadapi kemungkinan terjadinya kontradiksi antara beberapa periwayat.
Selanjutnya, masih menurutnya, ada beberapa kesulitan dalam melakukan penelitian
terhadap obyek studi kritik matan, yaitu:
1. Minimnya pembicaraan mengenai kritik matan dan metodenya.
2. Terpencar-pencarnya pembahasan mengenai kritik matan.
3. Kekhawatiran terbuangnya sebuah hadits.
Jika menilik kembali sosio-historis perkembangan hadits, maka akan
ditemukan banyak problem di seputarnya. Di antaranya, banyak upaya pemalsuan
hadits dan sebagainya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah
kesengajaan, baik itu untuk menyerang dan menghancurkan Islam, maupun untuk
pembelaan terhadap kepentingan kelompok atau golongan, atau ketidak-sengajaan,
seperti kekeliruan pada diri periwayat, dan lain-lain.
Ulama ahli hadits sepakat bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh
suatu matan hadits yang berkualitas shalih ada dua macam, yaitu terhindar
dari syuzuz (kejanggalan) dan terhindar dari illat (cacat). Adapun untuk mengetahui
bahwa sebuah hadits tersebut dapat dikatakan sahīh, hadits tersebut harus memenuhi
lima kriteria kesahīhannya, yaitu sanad-nya bersambung, perawinya bersifat adil,
dhabit, dan terhindar dari syadz dan terbebas dari ‘illat. Untuk kriteria pertama kedua
dan ketiga yang disebutkan diatas adalah kriteria khusus diperuntukkan pada aspek
sanad, sedangkan untuk kriteria yang ke empat dan kelima yang disebutkan berkaitan
dengan aspek sanad dan matan. Dengan demikian berarti bahwa kriteria kesahīhan
sanad hadits mencakup lima hal, sedangkan aspek matan hanya mencakup dua hal,
yakni tidak mengandung unsur syadz dan ‘illat8. Apabila mengacu pada pengertian
hadits shahih yang dikemukakan oleh ulama, sebagaimana telah disebutkan terdahulu,
maka dapat dinyatakan bahwa kaidah mayor bagi kesahihan matan hadits adalah 1).
terhindar dari syuzuz dan 2). terhindar dari ‘illat. Syuzuz dan ‘illat selain terjadi
pada sanad juga terjadi pada matan hadits. Dari keberagaman tolok ukur yang ada,
terdapat unsur-unsur yang oleh Syuhudi Ismail merumuskan dan mengistilahkannya
7
M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Metodologi Kritik Matan Hadits, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2004).
8
Ali Yasmanta dan Ratnawati, “Studi Kritik Matan Hadits: Kajian Teoritis dan Aplikatif Untuk
Menguji Keshahihan Matan Hadits,” Al-Bukhari: Jurnal Ilmu Hadits, Vol. 2, no. 2 (2019): hlm. 217.
dengan kaidah minor bagi matan yang terhindar dari syuzuz dan ‘illat9. Adapun kaidah
minor bagi matan yang terhindar dari syuzuz adalah: Pertama, matan bersangkutan
tidak menyendiri. Kedua, matan hadits tidak bertentangan dengan hadits yang lebih
kuat. Ketiga, matan hadits itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an. Keempat, matan
hadits itu tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah. Adapun kaidah
minoryangtidakmengandung‘illat adalah: Pertama, matan haditstidakmengandung idraj
(sisipan). Kedua, matan haditstidakmengandung ziyadah (tambahahan). Ketiga, matan
haditstidakmengandung maqlub (pergantian/terbaliklafazataukalimat). Keempat, mata
n tidak terjadi idhthirab (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan). Kelima, tidak
terjadi kerancuan lafadz dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadits itu.

D. Langkah-Langkah dalam Melakukan Kritik Matan Hadits


1. Naqd Sanad sebagai langkah awal kritik matan
Apabila dilakukan studi banding dengan cara menukil (mengutip) teks ayat al-
Qur’an, sepanjang menyangkut data-data tawqifi, maka tidak diperlukan dukungan
sanad. Perlakuan itu terjadi berkat jaminan sifat ke-mutawatir-an data yang melekat
pada mushaf. Sementara ini komponen mushaf yang diakui tawqifi meliputi: bentuk
kosa kata (mufradat), komposisi kalimat, tata letak ayat dalam surah masing-masing
dan cara tulis huruf hijaiyah al-Qur’an berpedoman pada style (gaya) rasam Usmani.
Sekira orang ingin mengoper hal-hal yang yang ijtihadi (istilahi), karena bersifat
terminologis, maka dibutuhkan dukungan sanad.
Adapun langkah prosedural penelitian hadits berlaku keharusan mendahulukan
kritik sanad, tradisi itu didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a. Latar belakang sejarah periwayatan hadits sejak mula didominasi oleh tradisi
penuturan (syafahiyah) setidaknya hingga generasi tabi’in dan amat sedikit data
hadits yang tertulis. Tradisi riwayat semacam itu memposisikan silsilah keguruan
dalam proses pembelajaran menjadi penentu data kesejarahan hadits, karena kecil
kemungkinan menyandarkan kepercayaan pada dokumentasi hadits.
b. Upaya antisipasi terhadap gejala pemalsuan hadits ternyata efektif bila
ditempuh dengan mengidentfikasi kepribadian (biodata) orang-orang yang secara
berantai meriwayatkan hadits yang diduga palsu.
c. Proses penghimpunan hadits secara formal memakan waktu yang lama (sejak
abad kedua hijriah hingga tiga abad kemudian) melibatkan banyak orang dengan
pola koleksi, cara seleksi dan sistematika yang beragam. Namun tanpa ada
kesepakatan sebelumnya, telah terjadi kekompakan di kalangan ulama kolektor
hadits dalam mempotensikan sanad sebagai mahkota bagi keberadaan matan,
terbukti hampir seluruh kitab koleksi hadits menempatkan rangkaian sanad
sebagai pengantar riwayat, minimal nama perawi terutama pada pola penyajian
hadits mu’allaq.
d. Akibat pemanfaatan dispensasi penyaduran (riwayah bi al-ma’na) yang tidak
merata dan diketahui sebagian perawi lebih berdisiplin meriwayatkan secara
harfiah (riwayah bi al-lafzdi), maka uji kualitas komposisi teks matan lebih
ditentukan oleh tingkat kredibilitas perawi dengan sifat kecenderungannya dalam

9
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Penginkar dan Pemalsunya, Cet.I; Jakarta:
Gema Insani Press, 1995.
meriwayatkan.
e. Hasil uji hipotesisi tentang gejala syadz pada matan hadts ternyata
berbanding lurus dengan keberadaan rawi hadits (sanad) yang syadz. Syu’bah bin
al-Hajjaj, seperti dikutip pernyatannya leh Hasyim Abbas, menegaskan:
“Tidak datang padamu hadits (dengan kondisi matan) yang syadz, kecuali
riwayat hadits itu melalui orang yang syadz pula”.
Memang dalam aplikasi kaidah untuk menduga gejala syadz pada matan hadits, harus
dilakukan uji ke-dhabitha-an (tsiqah) perawi yang merupakan bagian dari kegiatan
kritik sanad. Hasil temuan akan memunculkan status berbeda, bila perawi yang
kedapatan menyimpang dalam matan hadits itu sesama orang tsiqah, maka hadits nya
itu distatuskan syadz. Tetapi bila perawi tersebut tidak tsiqah, maka hadits yang
menyimpang itu dikategorikan mungkar. Prosedur pendugaan gejala penyimpangan
(kelainan) adalah dengan memperbandingkan antar teks matan dari perawi yang
berbeda. Bila jelas data kelainan pada teks matan, peneliti tentunya
mengupayakan i’tibar syahid atau i’tibar muttaba’, manakala upaya i’tibar gagal,
otomatis tertutup sudah jalan bagi pencapaian tingkat validitas sanad dan matan hadits
dari gejala syadz.
2. Asas Metodologi Kritik Matan
Memasuki langkah kegiatan penelitian terhadap matan hadits, beberapa hal yang cukup
fundamental penting dikemukakan, yaitu:
a. Objek Forma Penelitian Matan
Aplikasi metodologis penelitian matan hadits bersandar pada
kriteria maqbul (diterima) atau mardud (ditolak) untuk kepentingan melandasi
pemikiran keagamaan (hujjah syar’iyah), bukan bersandar pada kriteria benar
atau salah menurut penilaian keilmuan rasional/empiris. Adapun objek forma
penelitian matan hadits mencakup:
1). Uji ketetapan nisbah (asosiasi) ungkapan matan
2). Uji validitas komposisi dan struktur bahasa pengantar matan atau uji teks
redaksi, serta
3). Uji taraf koherensi konsep ajaran yang terkandung dalam formula matan
hadits.
b. Potensi Bahasa Teks Matan
Asas metodologis dalam pengujian bahasa redaksi matan tekanannya pada
mendeteksi rekayasa kebahasaan yang merusak citra informasi hadits dan
ancaman penyusutan atau penyesatan inti pernyataan aslinya. Jadi tujuan kritik
matan adalah memperoleh data teks yang mempertahankan formula keshahihan
makna dan keutuhan kehendak dengan mengeleminir unsur sisipan, tambahan
yang mengganggu, serta paling minim kesalahan redaksinya.
Berbeda dengan Bustamin dalam bukunya Metodologi Kritik Hadits, mengemukakan
lima langkah yang harus ditempuh dalam rangka mengkritik sebuah matan hadits
yaitu:10
1. Menghimpun hadits-hadits yang terjalin dalam tema yang sama
Yang dimaksud dengan hadits yang terjalin dalam tema yang sama
adalah: Pertama, hadits-hadits yang mempunyai sumber sanad dan matan yang sama,

10
Bustamin, A.Salam Metodologi Kritik Matan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004).
baik riwayat bi al-lafzh maupun melalui riwayat bi al-ma’na. Kedua, hadits-hadits
mengandung makna yang sama, baik sejalan maupun bertolak belakang, Ketiga, hadits-
hadits yang memiliki tema yang sama, seperti tema aqidah, ibadah, dan lainnya. Hadits
yang pantas dibandingkan adalah hadits yang sederajat
kualitas sanad dan matannya. Perbedaan lafad pada matan hadits yang semakna ialah
karena dalam periwayatan secara makna (al-riwayah bi al-ma’na). Menurut
muhadditsin, perbedaan lafazh yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, dapat
ditoleransi asalkan sanad dan matannya sama-sama sahih.
2. Meneliti matan hadits dengan pendekatan hadits
Sekiranya kandungan suatu matan hadits bertentangan dengan matan hadits
lainnya, menurut Muhadditsin perlu diadakan pengecekan secara cermat. Sebab, Nabi
Muhammad SAW tidak mungkin melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
perkataan yang lain, demikian pula dengan al-Qur’an. Pada dasarnya,
kandungan matan hadits tidak ada yang bertentangan, baik dengan hadits maupun
dengan al-Qur’an.
Hadits yang pada akhirnya bertentangan dapat diselesaikan melalui pendekatan
ilmu mukhtalifu al-hadits. Imam Syafi’i mengemukakan empat jalan keluar:
Pertama, mengandung makna universal (mujmal) dan lainnya terperinci
(mufassal), kedua, mengandung makna umum (am) dan lainnya
khusus, ketiga, mengandung makna penghapus (al-nasikh) dan lainnya dihapus
(mansukh), keempat, kedua-duanya mungkin dapat diamalkan. Untuk menyatukan
suatu hadits yang bertentangan dengan hadits lainnya, diperlukan pengkajian yang
mendalam guna menyeleksi hadits yang bermakna universal dari yang khusus, hadits
yang naskh dari yang mansukh.
3. Meneliti matan hadits dengan pendekatan al-Qur’an
Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa al-Qur’an adalah sebagai
sumber pertama atau utama dalam Islam untuk melaksanakan berbagai ajaran, baik
yang ushul maupun yang furu’, maka al-Qur’an haruslah berfungsi sebagai penentu
hadits yang dapat diterima dan bukan sebaliknya. Hadits yang tidak sejalan dengan al-
Qur’an haruslah ditinggalkan sekalipun sanadnya sahih. Cara yang ditempuh mereka
untuk meloloskan matan hadits yang kelihatannya bertentangan dengan teks al-Qur’an
adalah dengan menta’wil atau menerapkan ilmu mukhtalif al-hadits. Oleh karena itu,
kita akan kesulitan menemukan hadits yang dipertentangkan dengan al-Qur’an dalam
buku-buku hadits atau hadits sahih dari segi sanad dan matannya dibatalkan karena
bertentangan dengan al-Qur’an.
4. Meneliti matan hadits dengan pendekatan bahasa
Pendekatan bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadits tertuju pada beberapa
obyek: Pertama, struktur bahasa, artinya apakah susunan kata dalam matan hadits yang
menjadi obyek penelitian sesuai dengan kaedah bahasa Arab. Kedua, kata-kata yang
terdapat dalam matan hadits, apakah menggunakan kata-kata yang lumrah
dipergunakan bangsa Arab pada masa Nabi Muhammad atau menggunakan kata-kata
baru, yang muncul dan dipergunakan dalam literatur Arab
Modern? Ketiga, matan hadits tersebut menggambarkan bahasa kenabian. Keempat,
menelusuri makna kata-kata yang terdapat dalam matan hadits, dan apakah makna kata
tersebut ketika diucapkan oleh nabi Muhammad sama makna dengan yang dipahami
oleh pembaca atau peneliti.
5. Meneliti matan hadits dengan pendekatan sejarah
Salah satu langkah yang ditempuh para muhadditsin untuk penelitian matan hadits
adalah mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu hadits (asbab al-
wurud haditsi). Langkah ini mempermudah memahami kandungan
hadits. Fungsi asbab al-wurud hadits ada tiga. Pertama, menjelaskan makna
hadits. Kedua, mengetahui kedudukan Rasulullah pada saat kemunculan hadits apakah
sebagai rasul, sebagai pemimpin masyarakat, atau sebagai manusia biasa. Ketiga,
mengetahui situasi dan kondisi masyarakat saat hadits itu disampaikan.

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut: Kritik matan hadits adalah kegiatan yang mempunyai cara-cara sistimatis
dalam mengkaji dan menelusuri kebenaran suatu hadits, sehingga ditemukan status
hadits sahih dan tidak sahih dari segi matannya, juga dimaksudkan sebagai pengecekan
kembali kebenaran sumber hadits yang disandarkan kepada Nabi atau tidak dan
kegiatan kritk matan memang sudah ada sejak zaman Nabi masih hidup.
Metodologi kritik matan bersandar pada kriteria hadits yang diterima (maqbul,
yakni yang shahih dan hasan), atau matan tidak janggal (syadz) dan tidak memiliki
cacat (illat). Untuk itu metodologi yang digunakan atau dikembangkan
untuk kritik matan adalah metode perbandingan dengan menggunakan pendekatan
rasional. Metode tersebut, terutama perbandingannya, telah berkembang sejak masa
sahabat. Dalam menentukan otentitas hadits, mereka melakukan studi perbandingan
dengan al-Qur’an, sebagai sumber yang lebih tinggi, perbandingan dengan hadits yang
lain mahfuzh, juga dengan kenyataan sejarah. Bila terjadi pertentangan, maka hadits
yang bersangkutan dicoba untuk ditakwil atau ditakhsish, sesuai sifat dan tingkat
pertentangan, sehingga dikompromikan satu dengan yang lain. Tetapi jika tetap tidak
bisa, maka dilakukan tarjih dengan mengamalkan yang lebih kuat.
Metodologi kritik matan hadits (kaidah mayor dan kaidah minor) adalah:
Kaidah mayor bagi kesahihan matan hadits adalah 1). Terhindar dari syuzuz dan 2).
Terhindar dari ‘illat. Syuzuz dan ‘illat selain terjadi pada sanad juga terjadi pada
matan hadits. Kaidah minor bagi matan yang terhindar dari syuzuz adalah:
Matan hadits bersangkutan tidak menyendiri, matan hadits itu tidak bertentangan
dengan hadits yang lebih kuat, matan hadits itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an,
dan matan hadits itu tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah. Kaedah
minor yang tidak mengandung ‘illat adalah: Matan hadits tidak
mengandung idraj (sisipan), matan hadits tidak mengandung ziyadah (tambahan),
matan hadits tidakmengandung maqlub (pergantian lafaz atau kalimat), tidak
terjadi idhthirab (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan), serta tidak terjadi
kerancuan lafaz dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadits itu.
Langkah-langkah dalam melakukan kritik matan hadits adalah:
a. Menghimpun hadits-hadits yang terjalin dalam tema yang sama.
b. Penelitian matan hadits dengan pendekatan hadits sahih.
c. Penelitian matan hadits dengan pendekatan al-Qur’an.
d. Penelitian matan hadits dengan pendekatan bahasa.
e. Penelitian matan dengan pendekatan sejarah.
DAFTAR RUJUKAN

Abbas, Hasjim. 2004. Kritik Matan Hadits. Yogyakarta: Teras.


Abdurrahman, Maman. Teori Hadits. 2015. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Darmiati, Muhammad Yahya, Andi Darussalam “Hadis-Hadis tentang Puasa ‘Asyura
(Suatu Kajian Living Sunnah di Kecamatan Bola Kabupaten Wajo)” Jurnal
Diskursus Islam Volume 06 Nomor 2, Agustus 2018: hlm. 261
Ismail, M.Syuhudi.1995. Hadits Nabi Menurut Pembela, Penginkar dan
Pemalsunya, Cet.I. Jakarta: Gema Insani Press.
Nur,M.Qodirun dan Ahmad Musyafiq. 2004. Metodologi Kritik Matan Hadits. Jakarta:
Gaya Media Pratama
Soetari, Endang. 1997. Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Press.
Suparta, Munzier. 2002. Ilmu Hadits. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Yasmanta, Ali dan Ratnawati, “Studi Kritik Matan Hadits: Kajian Teoritis dan
Aplikatif Untuk Menguji Keshahihan Matan Hadits,” Al-Bukhari: Jurnal Ilmu
Hadits, Vol. 2, no. 2 (2019): hlm. 217.
AlkadriSambas, http://alkadri-sambas.blogspot.co.id/2013/10/metodologi-kritik-matan.

Anda mungkin juga menyukai