Anda di halaman 1dari 20

MEMAHAMI HADITS MUTAWATIR MAKNAWI DALAM PRESPEKTIF ULAMA

DAN DITINJAU DARI SEGI HISTORISNYA

A. Pendahuluan

Dalam kajian keislaman, terdapat dua sumber normatif yang menjadi landasan
argumentasi. Dua sumber tersebut adalah Al-Quran dan hadits. Meskipun hal ini
acapkali disandingkan sebagai bahan rujukan, tetapi pada hakikatnya keduanya sangat
berbeda secara subtansial. Beberapa perbedaannya antara lain. Pertama, Al-Quran
merupkan murni wahyu Tuhan secara total tanpa adanya intervensi Rasulullah,
sedangkan hadits sebagian adalah wahyu dan sebagian lagi berdasarkan kemanusiaan
Nabi.1 Kedua, Al-Quran setelah diwahyukan lansung ditulis oleh para sahabat,
sementara hadits masih menunggu jangka waktu sekitar dua abad setelahnya. 2 Ketiga,
Al-Quran mendapatkan garansi otentisitas langsung dari Tuhan, sehingga kebal
terhadap perubahan (tahrif) dan pemalsuan. Namun hadits tidak demikian, ia sangat
rentan terhadap perubahan dan pemalsuan, dan sudah banyak bukti yang menunjukkan
fenomena tersebut.3 Keempat, Al-Quran ditransmisikan secara mutawatir dari satu
generasi kepada generasi selanjutnya, akan tetapi hadits mayoritas ditransmisikan
secara ahad dan sedikit sekali yang berstatus mutawatir.

1
Meskipun di dalam studi hadits terdapat pertentangan, apakah hadits merupakan wahyu Tuhan ataukah
bukan. Para sarjana muslim terbagi mnjadi tiga kubu pertama, penapat yang mengatakan seluruh hadits
merupakan wahyu Tuhan; kedua, pendapat bahwa hadits bukan wahyu Tuhan; dan ketiga, hanya sebagian
hadits yang merupakan wahyu, sedang kan sebagian yang lain adalah pendapat pribadi Nabi. Pendapat ini
juga dipegang oleh Ibnu Qutaibah (w.276H) , al-Qarafi (w.694H), Syah Waliyullah al-Dihwali (w.1176H),
Yusuf al-Qaradhawi, dan lain sebagainya. Benny Afwadzi, Kritik Hadis Dalam Prespektif Sejarah. Jurnal
Mutawatir, Vol.1.7
2
Memang terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan adanya catatan-catatan dari sahabat tentang hadits-
hadits Nabi, akan tetapi jumlahnya belum massif, dan baru memperoleh perhatian yang signifikan ketika
Khalifah Umar ibn Abdul Aziz memerintahkan untuk menghimpun hadits-hadits yang bertebaran di seluruh
penjuru negeri Islam. Wahidul Anam, Mahmud Abû Rayyah dan Kritisisme Hadis, Jurnal Mutawattir, Vol
6.3
3
Hal ini dapat dibuktikan dengan dua bentuk, yaitu secara normatif dan historis. Secara normatif Allah telah
menegaskan penjagaannya pada Al-Quran (QS. Al-Hijr: 9), sedangkan terkait hadits, Nabi malah
memberikan warning terkait pemalsuan atas namanya lewat hadits populer “Barangsiapa yang berbohong
atas namaku, maka siap-siaplah menempati tempatnya di neraka”. Sementara itu, dalam kacamata historis,
Al-Quran terpelihara dalam hafalan para sahabat dan ditransmisikan secara lafadz pada generasi selanjutnya.
Akan tetapi, hadits hampir semuanya ditransmisikan secara maknawi yang berakibat pada perubahan redaksi;
serta adanya pemalsuan dengan berbagai motif berimplikasi pada merebaknya hadits-hadits palsu. Wahidul
Anam, Mahmud Abû Rayyah dan Kritisisme Hadis, Jurnal Mutawattir, Vol 6.15
Kajian terhadap hadis Nabi Muhammad, atau umat Islam sering menyebutnya
dengan al-Sunnah al-Nabawîyah, merupakan kajian yang seolah tidak ada hentinya,
baik kajian dari aspek materi (matan), maupun kajian dari sisi transmisi (sanad). Hal
ini menunjukkan betapa pentingnya posisi hadis bagi umat Islam. 4 Sudah menjadi
konsensus umat Islam bahwa semua yang berasal dari Nabi Muhammad baik itu
berupa ucapan, perbuatan, maupun ketetapan yang sampai kepada kita dengan sanad
yang sahih, secara qat‘i atau dzanni, menjadi hujah bagi umat Islam.5

Pernyataan ini juga diperkuat oleh al-Baghdâdî yang mengutip pendapat


Makhul bahwa Al-Quran lebih membutuhkan sunnah daripada sunnah membutuhkan
Al-Quran. Ini menunjukkan bahwa betapa otoritatifnya hadits bagi umat Islam dan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan beragama. Studi keilmuan
haidtsm atau lebih dikenal Ilm Mustalah Al-Hadith, tidak muncul seiring dengan
proses kodifikasi hadis. Sebagaimana diketahui dalam sejarah kodifikasi hadis,
perintah kodifikasi secara resmi terjadi pada tahun 101 Hijriah oleh Khalifah ‘Umar.
Perintah itu ia keluarkan sesudah bermusyawarah dengan para ulama dan memperoleh
dukungan dari sebagian besar mereka.6 Dalam suratnya kepada Abu Bakar di
Madinah, ia menulis: “Perhatikanlah apa yang bisa diambil dari hadis Rasulullah, atau
sunah yang lampau, atau hadis Amrah, lalu tulislah. Aku khawatir akan lenyapnya
ilmu seiring dengan meninggalnya para ahli.”7

4
Hadis menurut bahasa berarti sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat.
Hadis juga berarti “berita”, yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang
kepada orang lain. H. Mudasir, ILMU HADIS.(Bandung, CV Pustaka Setia)11
5
Qath’i adalah ketetapan hukum yang sudah pasti yang langsung di tetapkan oleh Allah maupun oleh Nabi
Saw. Sedangkan Dzanni adalah dalil-dalil yang belum pasti penunjukannya terhadap satu masalah. Artinya
ketika ada satu masalah yang memerlukan ketetapan hukum syariat, sedangkan dalil yang ada baik dalam Al-
Quran maupun Sunnah tidak menunjukkan kepastianya, ataupun tidak ada dalil-dalil sama sekali, maka
munculah perbedan mengenai status hukum itu. Khaeruman, Badri. Ulum Al-Hadis.(Bandung, CV. Pustaka
Setia)46
6
Dikatakan “sebagian besar mereka”, karena ada sebaguan ulama yang tetap memperlihatkan ketidak
senangnya terhadap upaya penulisan hadits di hadapan Khalifah. Mereka meriwayatkan dari ‘Abd Allah (106
H) yang pada suatu hari datang kepada ‘Umar. ‘Umar mengudang orang-orang yang telah siap menulis apa
yang dikatakan ‘Ubayd Allah. Ketika ‘Abd Allah berpmitan, ‘Umar berkata: “Kami telah melakukan
sesuatu.” Abd Allâh bertanya: “Apa itu hai putra ‘Abd al-‘Azîz?” Khalifah menjawab: “Aku telah menulis
apa yang engkau katakan.” ‘Ubayd Allâh bertanya: “Mana tulisan itu?” Khalifah menyerahkannya, tetapi
‘Ubayd Allâh membakar catatan itu. Lihat, al-Khat } îb al-Baghdâdî, Taqyîd al-‘Ilm (Beirut: Ih}yâ’ al-
Sunnah al-Nabawîyah, t.th), 45.
7
Wahidul Anam, “Mahmud Abû Rayyah dan Kritisisme Hadis”, Jurnal Mutawattir, Volume 6 No. 1, Juni
2016, hal. 3
Dalam proses dan perkembangan selanjutnya para ulama hadist melakukan
upaya serius berupa penyeleksian terhadap hadist dengan menilai para perawi hadist
dari berbagai thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun dilalui, hadist tidak secara
otomatis selamat dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan dalam penetapan hukum
Islam. Hadist terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang
tingkat kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu
hadist. Para filosof misalnya, sering merujuk pendapat Plato dan Aristoteles dalam
berbagai bentuknya. Tetapi sedikit yang dapat ditemukan dari berbagai pendapat itu
yang struktur transmisinya dapat dipertanggung jawabkan sehingga abash bahwa
pendapat itu betul bersumber dari Plato atau Aristoteles. Kondisi demikian, sekali
sangat berbeda dengan struktur transmisi hadist. Ulama demikian ketat melakukan
seleksi terhadap hadist. Setelah diukur dari sisi bilangan sanad yang menghasilkan
hadist mutawatir dan ahad dengan berbagai pencabangannya.

Eksistensi hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an
tidak dapat diragukan lagi. Namun karena proses transmisi hadis berbeda dengan
proses Al-Qur’an, maka dalam proses penerimaannya tentu mengalami berbagai
persoalan serius yang membedakannya dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an tertransmisi
kepada umat Islam dengan cara mutawatir.8 Selain itu, dari sisi kodifikasi, masa
pengkodifikasian hadist jauh lebih lama setelah Nabi wafat dibandingkan dengan Al-
Qur’an. Hadist dikodifikasi pada awal abad kedua Hijriyah, sedangkan Al-Qur’an
sudah dibukukan pada sekitar tahun 22 Hijriyah. Disinyalir pula, sebelum Nabi wafat,
posisi dan sistematika Al-Qur’an telah tersusun dengan bak. Kondisi ini sangat
berbeda dengan apa yang dialami hadist.

Sudut pandang sangat dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan seseorang.


Latar belakang keilmuan ini menjadi pijakan utama untuk menilai eksistensi sesuatu,
selain konsepsi yang telah tertanam sebelumnya dalam pikiran. Jika latar belakang
keilmuan berbeda, maka sangat memungkinkan hasil pemikiran yang dimnculkan pun
bisa berlainan. Begitu pula dalam mendefinisikan sesuatu. Sehingga bisa dikatakan

8
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan. Atau menurut istilah
adalah apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari
melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad. Idri, STUDI HADIS.(Jakarta, Kencana)130
bahwa definisi yang berbeda akan muncul dari orang yang mempunyai latar
belakangkeilmuan yang tidak sama.

Terkait hal ini menurut mayoritas ahli hadits, hadits merupakan sinonim dari
sunnah.9 Mereka memahaminya sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad,
baik perkataan, perbuatan, ketetapan maupun sifat-sifat beliau. Definisi ini diambil
karena menurut ahli hadits, Nabi dan Imam yang memberi petnjuk dan penuntun yang
memberikan nasihat, yang diberitakan oleh Allah sebagai teladan dan figur umat
Islam.

B. Memaknai Hadits Mutawatir

Dari segi bahasa, mutawatir berarti secara beriringan tanpa diselangi antara
satu sama lain. Adapun dari segi istilah yaitu:

ِ ‫علَى اْل ِك ْذ‬


‫ب‬ ُ ‫ى َر َوا هُ َج ْم ٌح َك ِثي ٌْر يُؤْ َم ُن ت َ َوا‬
َ ‫ط ُؤ ُه ْم‬ ُ ‫ا َ ْل َح ِد ي‬
ْ ‫ْث اْ ل ُمتَ َو ا تِ ُر ُه َو ا لَّ ِذ‬
‫س‬ ُّ ‫سنَ ِد َو َكا نَ ُم ْستَتَد ُ ُه ُم ْال ِح‬
ّ ‫ع ْن ِمثْ ِل ِه ْم اِلَى ا ْنتِ َها ِء ال‬
َ

Artinya:

“Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak
mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan
seterusnya sampai akhir sanas. Dan sanadnya mereka adalah pancaindera.”

Ada juga yang mengatakan:

ُ‫سنَ ِد اِلَى ُم ْن ِت َهاه‬ ِ ‫ع َلى ْال َك ِذ‬


َّ ‫ب َع ْن ِم ْْش ِل ِه ْم ِم ْن اَ َّو ِِل ال‬ ُ ‫َما َر َواهُ َج ْم ٌع ت ُ ِح ْي ُل ْال َعادَة ُ ت َ َوا‬
َ ‫ط ُؤ ُه ْم‬

Artinya:

“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang besar yang menurut adat mustahil
mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Sejak awal sanad sampai akhir
sanad pada setiap tingkat (thabaqat)”

Sementara itu, Nur Ad-Din ‘Atar mendefinisikan:

9
Benny Afwadzi , “Kritik Hadis Dalam Prespektif Sejarah”, Jurnal Mutawattir, Volume 7 No. 1, Juni 2017,
hal. 63
َ‫سنَ ِد َو َكان‬ ِ ‫ع ْن ِم ْْش ِل ِه ْم اِ ْن ِت َه‬
َّ ‫اءال‬ ِ ‫علَى ْال َك ِذ‬
َ ‫ب‬ َ ‫ط ُؤ ُه ْم‬ ْ ‫ا َ لَّذ‬
ُ ‫ِي َر َواه َج ْم ٌع َك ِْشي ٌْر ََل ي ُْم ِك ُن ت َ َوا‬

ُّ ‫ُم ْستَنَد ُ ُه ُم ْال ِح‬


‫س‬

Artinya:

“Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka
untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad didasarkan pancaindra.”

Sedang hadis mutawatir menurut terminologi ialah hadis yang diriwayatkan


oleh segolongan rawi banyak, dimana materi hadis tersebut bersifat indrawi, yang
menurut pertimbangan rasio, mereka mustahil melakukan konspirasi kebohongan,
dan adanya segolongan rawi banyak itu terdapat di dalam semua thabaqahnya, jika
terdiri dari beberapa thabaqah.10

Menurut istilah, hadis mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh


sejumlah perawi pada semua thabaqat (generasi) yang menurut akal dan adat
kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta. Hadits mutawatir
menurut Imam an-Nawawi hadits mutawatir adalah hadits yang dinukil oleh sejumlah
orang yang tidak mungkin bersepakat dalam kedustaan, dari orang-orang yang seperti
mereka dan kedua ujung serta pertengahan sanadnya sama, dan mereka mengabarkan
dari sesuatu yang bisa diindera, bukan dari persangkaan. Menurut Dr. Mahmud
Thahan hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan dari sejumlah perawi yang
mustahil menurut kebiasaan sepakatnya mereka di atas kedustaan. Maknanya menurut
Dr. Mahmud Thahan bahwa ia adalah hadits atau khabar yang diriwayatkan –dalam
setiap tingkatan sanadnya- oleh perawi yang banyak yang akal manusia menghukumi
mustahil kalau mereka telah sepakat untuk membuat hadits ini (bukan dari Nabi).

Dalam ilmu Hadist maksudnya ialah hadist yang diriwayatkan dengan banyak
sanad yang berlainan rawi-rawinya serta mustahil mereka itu dapat berkumpul jadi

10
Thabaqah secara bahasa berarti tingkatan dari para perawi hadis adalah sebuah ilmu untuk mengenali,
menggolongkan dan mengidentifikasi seorang perawi, apakah dia masuk kedalam golongan sahabat, tabi’in,
tabi’ut tabi’in, ataupun masa setelahnya. Ilmu ini dimaksudkan agar mempermudah penelitian suatu sanad
hadis, apakah memang seorang perawi berada dalam satu zaman dengan perawi ain, meriwayatkan dari
syaikhnya, masa hidupnya (termasuk tarikh lahir dan wafatnya), atau umur perawi, sehingga dari sini akan
diketahuilah ihwal perawo tersebut, musttashilnya suatu sanad hadis , maupun cacat yang menyertai seoerti
tadlis ataupun irsal. Subhi ash-Shalih, MEMBAHAS ILMU HADIS.(Jakarta, Pustaka Firdaus)110
satu untuk berdusta mengadakan hadist itu.11 Pengertian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa akan terdapat tiga syarat bagi Mutawatir yaitu:

1. Hendaklah banyak sanadnya.

2. Tentu sama banyak rawinya dari permulaan sanad-sanad sampai


akhir sanad-sanad, umpamanya: dipermulaan sanad yang mencatat
50 orang, maka dipertengahan sanadnya, sedikitnya mesti 50 rawi
dan diakhir sanad sahabat yang mendengar dari Nabi SAW pun
sedikitnya mesti 50 orang.

3. Haruslah menurut pertimbangan akal bahwa tidak bias jadi rawi-


rawi itu berkumpul bersama-sama, lalu mereka berdusta
mengatakan itu sabda Nabi kita, maupun berkumpulnya itu dengan
disengaja atau kebetulan.

Hadis mutawatir memberi faedah ilmu dharury,12 tidak terbatas pada jumlah
tertentu, harus diterima bulat-bulat, karena tidak perlu lagi penelitian terhadap
keadaan para perawinya.13 Dalam kandungan hadits mutawatir terdapat suatu
keharusan bagi manusia untuk mengakui kapasitas kebenaran suatu hadist, seperti
halnya seseorang yang telah menyaksikan suatu kejadian dengan mata kepala sendiri.
Semua hadist mutawatir bernilai maqbul (dapat diterima sebagai dasar hukum) dan
tidak perlu lagi di selidiki keadaan perawinya. Hadis mutawatir dalam satu sudut
pandang sendiri memiliki 3 varian yang berbeda-beda. Para ulama mengklasifikasikan
hadits mutawatir menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir lafzi, hadits mtawatir
maknawi, dan hadits mutawatir amali.

11
Kata sanad menurut bahasa adalah sandaram atau sesuatu yang di jadikan sandaran. Dikatakan demikian,
karena setiap hadis selalu nersamdar kepadanya. Adapun tentang arti sanad menurut istilah, terdapat
perbedaan rumusan pengertian. H.Mudasir, ILMU HADIS.(Bandung, CV PUSTAKA SETIA)61
12
Ilmu dharuri, yakni suatu keharusan untuk mnerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberitakan
oleh hadis mutawatir tersebut, hingga membawa pada keyakinan yang qath’i (pasti). H.Mudasir, ILMU
HADIS.(Bandung, CV PUSTAKA SETIA)123
13
Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadis (naqil al-hadis). Antara
rawi dan sanad berbeda. H.Mudasir, ILMU HADIS.(Bandung, CV PUSTAKA SETIA)63
Hadits mutawatir lafzi Lafdzi artinya secara lafadz. Jadi Mutawatir Lafdzi itu
ialah Mutawatir yang lafadz hadistnya sama atau hampir bersamaan atau hadist
mutawatir yang berkaitan dengan lafal perkataan Nabi. Artinya perkataan Nabi yang
diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak. Syaikh Muhammad Anwar al-
Kashmiri menyebutnya juga dengan hadits tawatur al-Isnad”. Mutawatir maknawi
yaitu hadits yang mutawatir maknanya, namun lafazh (teks/redaksinya) berbeda.
Mutawatir amali yakni hadits menerangkan dari perbuatan nabi untuk dilakukan
dalam kehidupan sehari-hari. Misanya hadits yang membahas mengenai sholat. Ibnu
Shalah berpendapat bahwa hadist mutawatir jumlahnya tidak banyak. Pendapat ini
dibantah keras oleh Ibn Hajar, “orang yang mengatakan bahwa hadist mutawatir
jumlahnya sedikit, berarti dia kurang serius mengkaji hadist”.

C. Eksistensi Hadits Mutawatir Maknawi


Ibnu Shalah berpendapat bahwa hadist mutawatir jumlahnya tidak banyak.
Pendapat ini dibantah keras oleh Ibn Hajar, “orang yang mengatakan bahwa hadist
mutawatir jumlahnya sedikit, berarti dia kurang serius mengkaji hadist”.

Para ulama kemudian berusaha mengakurkan dua pendapat ini. Apabila yang
dimaksud oleh Ibn Shalah adalah hadist mutawatir lafdzi, maka pendapat itu ada
benarnya, karena keberadaan hadist mutawatir lafdzi realitanya memang tidak banyak.
Ibn Hajar tatkala mengatakan bahwa hadist mutawatir jumlahnya banyak, juga ada
benarnya, jika yang dimaksud adalah hadist mutawatir maknawi atau mutawatir secara
umum.14

D. Seputar Hadits Mutawatir Maknawi

Adapun yang dimaksud dengn hadits mutawatir maknawi adalah:

‫َما تَ َوات َ َر َم ْعنَاهُ د ُ ْونَ لَ ْف ِظ ِه‬

Artinya:

“Hadis yang maknanya mutawatir tetapi lafalnya tidak.”

Ada juga yang mengatakan:

14
Zeid B. Smeer. Ulumum Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis.(Malang, UIN-Malang Press)42
‫صادَ فَ َي ْنت َ ِقلُ ْو َاوقَا ِئ َع‬ ِ ‫علَى ْال َك ِذ‬
ُ ‫ب َو ُوقُ ْو‬
َ ‫عهُ ِم ْن ُه ْم ُم‬ ُ ‫عةٌ َي ْست َ ِح ْي ُل ت َ َوا‬
َ ‫ط ُؤ ُه ْم‬ َ ‫ا َ ْن َي ْن ِق َل َج َما‬
‫ُم ْخت َ ِلفَةً ت َ ْْشت َ ِركُ ُكلَّ ُه َّن ِفى ا َ ْمر‬

Artinya:

“Hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang mustahil sepakat berdusta atau
karena kebetulan. Mereka menukilkan dalam berbagai bentuk, tetapi dalam satu
masalah atau mempunyai titik persamaan.”

Abu Bakar As-Suyuti mendefinisikan sebagai berikut:

ِ ‫علَى ْال َك ِذ‬


‫ب َوقَائِ َع ُم ْخت َ ِلفَةً ت َ ْْشت َ ِركُ فِاَر‬ ُ ‫عةٌ يَ ْستَ ِح ْي ُل تَ َوا‬
َ ‫ط ُؤ ُه ْم‬ َ ‫ا َ ْن يَ ْن ِق َل َج َما‬

Artinya:

“Hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil mereka
sepakat berdusta atas kejadian yang berbeda, tetapi bertemu pada titik persamaan.”

Mutawatir maknawi ialah mutawatir pada ma’na, yaitu beberapa riwayat yang
berlainan, mengandung satu hal atau satu sifat atau satu perbuatan.15 Ringkasnya,
beberapa cerita yang tidak sama, tetapi berisi satu ma’na atau tujuan atau hadist
mutawatir ialah hadist yang menyangkut amal perbuatan nabi, artinya perbuatan nabi
yang diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak lagi. Misalnya,
sembahyang maghrib tiga rakaat.

Keterangan :

1) Satu riwayat menerangkan, bahwa dalam hadlar (negeri sendiri) nabi


sembahyang tiga rakaat.

2) Satu riwayat menunjukkan, bahwa dalam safar nabi sembahyang maghrib tiga
rakaat.

15
Para sahabat berpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan
Rasulullah SAW , diperbolehkan meriwayatkan hadits secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya
periwayatan hadits yang matannya tidak sama dengan yang di dengarnya dari Rasulullah SAW, tetapi isi dan
maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW. H.Mudasir,
ILMU HADIS.(Bandung, CV PUSTAKA SETIA)99
3) Satu riwayat membayangkan bahwa di Mekkah nabi sembahyang maghrib tiga
rakaat.

4) Satu riwayat mengatakan nabi sembahyang maghrib di Madinah tiga rakaat.

5) Satu riwayat mengabarkan, bahwa sahabat sembahyang maghrib tiga rakaat.,


diketahui oleh nabi. Dan lain-lain lagi.

Semua cerita tersebut ceritanya berlainan, tetapi maksudnya satu yakni


menunjukkan dan menetapkan bahwa sembahyang maghrib itu tiga rakaat. Menurut
para ulama, sebuah hadist mutawatir diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi di
setiap generasi sudah cukup bukti sebagai riwayat yang terpercaya atau shahih. Jadi,
tawatur bukanlah bagian “ilm al-isnad” yang menguji watak perawi dan cara
periwayatan hadist, dan mendiskusikan keshahihan hadist atau kelemahannya untuk
diterima atau ditolak. Sebuah hadist mutawatir, menurut para ulama, hanya untuk
dipraktikkan, sedang historisasinya tidak perlu didiskusikan.

Di antaranya lagi ialah hadits-hadits yang menerangkan tentang syafa’at.


Menurut Al-Qadhi ‘Iyadh, bahwa kuantitas hadits-hadits tentang syafa’at ini mencapai
tingkat mutawatir, sebagaimana hadits-hadits mengenai mengusap kasut dan sepatu.
Menurut Ibnu Abdi Al-Bar, hadits tentang hal ini diriwayatkan oleh tujuh puluh orang
sahabat, karenanya hadits ini mencapai tingkat mustafidh dan mutawatir.

Di antara contoh-contoh hadits mutawatir maknawi lainnya adalah seperti


hadits-hadits mengenai mengangkat tangan dalam berdoa. Hadits tentang hal ini
diriwayatkan dari Nabi kebih kurang ada seratus hadits, dimana masing-masing dalam
hadits itu tersirat makna Rasulullah saw mengangkat tangannya sewaktu berdoa.
Imam Al-Suyuthi mengatakan, bahwa hadits-hadits ini telah dihimpun dalam satu juz
namun dalam pembahasan masalah yang berbeda-beda. Setiap masalah secara
kuantitatif tidak mencapai tingkat mutawatir, namun dari yang tersirat dalam hadits-
hadits tersebut ditinjau dari sisi terhimpunnya hadits-hadits, hal itu bisa mencapai
tingkat mutawatir maknawi.16

E. Tinjauan Ulama Mengenai Hadits Mutawatir Maknawi

16
Alawi, Muhammad, Ilmu Ushul Hadis.(Yogyakarta, Pustaka Pelajar)91
a Nur ad-Din Atar berpendapat bahwa hadits mutawatir maknawi adalah hadits
yang diriwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka
untuk berdusta walaupun berbeda-beda tetapi memiliki satu makna yang sama.
b Habsy Al-Sidiqie mendefinisikan hadits mutawatir maknawi adalah hadits yang
berlainan bunyi atau berbeda-beda pendapat tetapi memiliki satu makna atau
tujuan yang sama.

F. Argumen Hadits Mutawatir Maknawi

Hadist mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut, memberikan informasi


yang pasti akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak dibenarkan seseorang
mengingkari hadist mutawatir, bahkan para ulama menghukumi kufur bagi orang yang
mengingkari hadist mutawatir. Mengingkari hadist mutawatir sama dengan
mendustakan informasi yang jelas dan pasti bersumber dari Rasulullah.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa penerimaan hadist mutawatir tidak


membutuhkan proses seperti hadist ahad. Cukup dengan bersandar pada jumlah, yang
dengan jumlah tersebut dapat diyakini kebenaran khabar yang dibawa. Seperti buku
sejarah yang menginformasikan bahwa ada sahabat nabi yang bernama Umar bin
Khattab, sekalipun kita belum pernah melihatnya namun kita tetap yakin bahwa info
tersebut benar.

Khabar atau hadits mutawatir maknawi menghasilkan al -‘ilm adh-dhari, yaitu


pengetahuan yang mengharuskan manusia untuk membenarkannya secara pasti.17 Hal
ini sebagaimana seseorang yang melihat sesuatu dengan mata kepalanya sendiri, tak
mungkin ia meragukan kebenaran apa yang dilihatnya tersebut. Atas dasar ini, seluruh
hadits mutawatir maknawi diterima tetapi masih memiliki arti atau makna yang sama
tanpa perlu penelitian lebih lanjut tentang keadaan masing-masing perawinya, ini
berbeda dengan hadits ahad yang hanya menghasilkan al-‘ilm an-nazhri, yaitu
pengetahuan yang didapatkan dari penelitian dan istidlal. Untuk mengetahui sebuah

17
Khabar sama maknanya dengan hadis, yakni segala berita yang disampaikan oleh seseorag kepada orang
lain. Sedang pengertian khabar menurut istilah, antara satu ulama dengan ukama lainnya berbeda pendapat.
Ulama lain mengatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW disebut hadits. Ada
juga yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dan lebih luas Daripada khabar, sehingga tiap hadits dapat
dikatakan khabar tetapi tidak setiap khabar dikatakan hadits. Al-Maliki, Muhammad Alawi, Ilmu Ushul
Hadits.(Yogyakarta. Pustaka Pelajar)4
hadits ahad diterima atau tertolak diperlukan penelitian terhadap keadaan rawi-
rawinya.

Berbeda dengan hadits ahad dan shahih, pada hadits mutawatir maknawi tidak
disyaratkan adanya persambungan sanad (ittishal al-sanad), keadilan dan ke-dhabith-
an periwayat, keterlepasan dari syadz dan illat. Hal ini dikarenakan dilihat dari segi
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh hadits mutawatir maknawi,
beberapa persyaratan atau kriteria tersebut sudah termasuk di dalamnya.
Ketersambungan sanad, misalnya, pasti terjadi pada hadits mutawatir maknawi sebab
diriwayatkan oleh banyak periwayat pada setiap thabaqah-nya. Persyaratan ‘adil dan
dhabith tidak diperlukan karena berita disampaikan oleh banyak periwayat, sehingga
tidak mungkin mereka berdusta dapat dipastikan kebenarannya. Demikian pula,
karena banyaknya jalur sanad pada hadits mutawatir maknawi, maka kemungkinan
terjadinya illat dan syadz juga dapat dihindari.

G. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir Maknawi

Mengenai syarat-syarat hadits mutawatir maknawi, terdapat perbedaan


pendapat di kalangan ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin.18 Ulama mutaqaddimin
tidak menbicarakan syarat bagi hadits mutawatir maknawi. Menurut mereka, khabar
mutawatir maknawi yang sedemikian sifatnya, tidak termasuk dalam pembahasan
ilmu isnad al-hadis,19 sebab ilmu ini membicarakan sahih atau tidaknya suatu hadits,
diamalkan atau tidaknya suatu hadits dan juga membicarakan adil dan tidaknya rawi,
sedangkan hadits mutawatir maknawi tidak membicarakan masalah-masalah tersebut.

Apabila suatu hadits telah diketahui statusnya sebagai hadits mutawatir


maknawi, maka wajib diyakini kebenarannya, diamalkan kandungannya, dan tidak
boleh ada keraguan serta bagi orang yang mengingkarinya dihukum kafir sekalipun di
antara perawinya adalah orang kafir. Sedangkan menurut ulama mutaakhirin adalah

18
Ulama mutaqaddimin adalah para ulama yang hidup pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriah yang telah
menghimpun hadits-hadits Nabi SAW. Mutaakhirin adalah para ulama hadits yang hidup pada abad ke-4
Hijriah dan seterusnya. H.Mudasir, ILMU HADIS.(Bandung, CV PUSTAKA SETIA)191
19
Kata Al-Isnad berarti menyadarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal), dan mengangkat. Maksudnya
ialah menyadarkan hadits kepada orang yang mengatakannya. Isnad diartikan sama dengan sanad, suatu
proses penggunaan bentuk mashdar dengan arti bentuk maf’ul, seperti kata “khalq”, diartikan dengan
mahluk. Oleh karena itu, para muhadisin menggunakan kata sanad dan isnad dengan satu makna.
ahli ushul, suatu hadits dapat ditetapkan sebagai hadits mutawatir maknawi apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ini.

1. Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi


Hadits mutawatir maknawi harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak bersepakat untuk berdusta.
Menegenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menetapkan
jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Menurut ulama yang tidak
mengisyaratkan jumlah tertentu, mereka menegaskan bahwa yang penting dengan
jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang
diberitakan dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan menurut
ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai
jumlahnya.
Al-Qadi Al-Baqillani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir
maknawi sekurang-kurangnya 5 orang. Ia mengqiyaskan dengan jumlah Nabi
yang mendapat gelar Ulul Azmi.20 Sementara itu, Astikhary menetapkan bahwa
jumlah paling baik minimal 10 orang, sebab jumlah itu merupakan awal bilangan
paling banyak.
Ulama lain menentukan 12 orang, berdasarkan firman Allah SWT dalam
surat Al-Maidah ayat 12:

... ‫ َو َب َع ْْشنَا ِم ْن ُه ُم اثْ َن ْي ِعْش ََرنَ ِق ْيبًأ‬...


Artinya:
“... dan telah kami angkat di antara dua belas orang pemimpin...”
Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang sesuai firman
Allah SWT dalam surat Al-Anfal ayar 65 yang berbunyi:

َ َ‫ ا ِْن َي ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِع ْْش ُر ْون‬...


... ‫صابِ ُر ْونَ َي ْغ ِلب ُْوا َما َءتَي ِْن‬
Artinya:
“... jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kami, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus musuh...”

20
Ulul Azmi adalah sebuah gelar khusus bagi golongan Nabi pilihan yang mempunyai ketabahan luar biasa
dalam menyebarkan ajaran tauhid. Lima Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi, yakni Nabi Nuh, Nabi
Ibrahim, Nabi Musa Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW. Suparta, Munier. Ilmu Hadis.(Jakarta, Rajawali
Press)72
Ada juga yang mengatakan bahwa jumlah perawi yang diperlukan dalam
hadits mutawatir maknawi minimal 40 orang, berdasarkan firman Allah SWT
dalam surat Al-Anfal ayat 64:

َ‫َّللاُ َو َم ِن اتَّبَ َع َك ِمنَ ا ْل ُمؤْ ِم ِنيْن‬ ُّ ‫يَا اَيُّ َها النَّ ِب‬
َّ ‫ى َح ْسب َُك‬
Artinya:
“Wahai Nabi, cukuplah Allah menjadi pelindung bagimu dan orang-orang
mukmin yang mengikutimu (menjadi penolongmu).”
Pada saat ayat ini diturunkan, jumlah orang Islam baru mencapai 40 orang.
Hal ini sesuai dengan hadits riwayat Ath-Thabarani dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu
Abbas, ia mengatakan bahwa telah ada orang yang masuk Islam bersama
Rasulullah SAW sebanyak 33 laki-laki dan 6 orang perempuan. Kemudian Umar
masuk Islam, maka jadilah 40 orang Islam. Selain pendapat tersebut, ada juga
yang menetapkan jumlah perawi dalam hadits mutawatir maknawi sebannyak 70,
sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-A’raf ayat 155:

...‫س ْب ِع ْينَ َر ُج ًًل ِل ِم ْيقَاتِنَا‬


َ ُ‫سى قَ ْو َمه‬ ْ ‫َو‬
َ َ ‫اخت‬
َ ‫ار ُم ْو‬
Artinya:
“Dan Nabi Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat
dari Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan...”
Penentuan jumlah tertentu sebagaimana disebutkan di atas sebetulnya
bukan merupakan hal yang prinsip sebab persoalan pokok yang dijadikan ukuran
bukan terbatas pada jumlah, tetapi diukur pada tercapainya Ilmu Daruri.21
Sekalipun jumlah perawinya tidak banyak asalkan telah memberikan keyakinan
bahwa berita yang disampaikan itu benar, maka dapat dimasukkan sebagai hadits
mutawatir maknawi.
2. Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat (lapisan) pertama dan
thabaqat berikutnya.
Jumlah perawi hadits mutawatir maknawi antara thabaqat dengan thabaqat
lainnya harus seimbang. Dengan demikian, bila suatu hadits diriwayatkan oleh
dua puluh orang sahabat, kemudian diterima oleh sepuluh tabi’in, tidak dapat

21
Ilmu Daruri adalah pengetahuan yang sewajarnya karena sudah jelas dan tidak diperlukan alasan atau akli.
Suyadi, M. Solahudin dan Agus. Ulumul Hadis.(Bandung, Pustaka Setia)18
digolongkan sebagai hadits mutawatir maknawi, sebab jumlah perawinya tidak
seimbang antara thabaqat pertama dengan thabaqat seterusnya.
3. Sandaran beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata yang
digunakan dalam meriwayatkan sebuah hadist, seperti kata: ‫( سمعنا‬kami telah
mendengar), ‫( رأينا‬kami telah melihat), ‫( لمسنا‬kami telah menyentuh) dan lain
sebagainya. Adapun jika sandaran beritanya adalah akal semata, seperti:
renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil
istinbath dari dalil yang lain dan pendapat tentang alam semesta yang bersifat
huduuts (baru), maka hadist tersebut tidak dinamakan mutawatir.
4. Secara rasional dan menurut kebasaan (adat), para perawi-perawi tersebut
mustahil sepakat untuk berdusta.
Bila suatu hadits telah memenuhi syarat-syarat tersebut, maka tergolong hadits
mutawatir maknawi, dan benar/pasti (qat’i) berasal dari Nabi SAW. Para rawi hadits
mutawatir maknawi tidak harus memenuhi kriteria rawi hadits sahih dan hasan, yakni
adil dan dhabit22, melainkan yang menjadi ukuran adalah segi kuantitasnya (jumlah
rawi) yang secara rasional mustahil mereka bersepakat untuk dusta. Oleh karenanya
seandainya penduduk suatu negeri kafir semuanya dan mereka bercerita bahwa
mereka telah menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri suatu kebakaran besar
atau banjir besar, maka dapatlah diyakini kebenaran mereka.

H. Representatif Hadits Mutawatir Makawi

Representatif hadits mutawatir maknawi ialah seperti hadis yang menerangkan


tentang danau Nabi saw di akhirat. Hadits yang menerangkan hal ini diriwayatkan
oleh lebih dari lima puluh sahabat, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Baihaqi
dalam kitabnya Al-Ba’tsu wa Al-Nusyur. Bahkan Imam Al-Dhiya’ Al- Maqdiri telah
menghimpun hadits-hadits tersebut dalam kitab Al-Jam’u.

Di antaranya lagi ialah hadits-hadits yang menerangkan tentang syafa’at.


Menurut Al-Qadhi ‘Iyadh, bahwa kuantitas hadits-hadits tentang syafa’at ini mencapai

22
Adil (dalam periwayatan) adalah orang yang melaksanakan segala perintah agama dan meninggalkan
semua yang dilarangnya, senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan dosa kecil, dan senantiasa memelihara
perbuatan yang dapat menodai muruah. Dhabit adalah teringat/terbangkitnya perawi ketika ia mendengar
hadits dan memahami apa yang di dengarnya serta di hapalnya sejak ia menerima sampai menyampaikannya.
. H.Mudasir, ILMU HADIS.(Bandung, CV PUSTAKA SETIA)198
tingkat mutawatir, sebagaimana hadits-hadits mengenai mengusap kasut dan sepatu.
Menurut Ibnu Abdi Al-Bar, hadits tentang hal ini diriwayatkan oleh tujuh puluh orang
sahabat, karenanya hadits ini mencapai tingkat mustafidh dan mutawatir.

Di antara contoh-contoh hadits mutawatir maknawi lainnya adalah seperti


hadits-hadits mengenai mengangkat tangan dalam berdoa. Hadits tentang hal ini
diriwayatkan dari Nabi kebih kurang ada seratus hadits, dimana masing-masing dalam
hadits itu tersirat makna Rasulullah saw mengangkat tangannya sewaktu berdoa.
Imam Al-Suyuthi mengatakan, bahwa hadits-hadits ini telah dihimpun dalam satu juz
namun dalam pembahasan masalah yang berbeda-beda. Setiap masalah secara
kuantitatif tidak mencapai tingkat mutawatir, namun dari yang tersirat dalam hadits-
hadits tersebut ditinjau dari sisi terhimpunnya hadits-hadits, hal itu bisa mencapai
tingkat mutawatir maknawi.23 Hadits mmengenai mengangkat tangan ketika berdoa,
antara lain:

Semua hadits tersebut yang mencapai derajat mutawatir maknawi menunjukan


bahwa termasuk adab berdoa adalah mengangkat tangan, bahkan juga termasuk hal-
hal yang bisa membuat do’a tersebut dikabulkan oleh Allah Swt.

Berikut ini beberapa contoh hadits mutawatir maknawi tentang mengangkat


tangan pada waktu berdoa minta hujan, yaitu:

َ ‫ض ِا ْب‬
‫ط ْي ِه‬ َ ‫سلَّ َم يَدَي ْيهُ َحتَّى ُر ِؤ‬
َ ‫ي َبيَا‬ َ ُ‫صلَّى ا ّّلل‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫َما َر فَ َح َر‬
ّ ‫س ْو ُِل‬
‫اء‬ ِ ْ ‫عا ْن ِه ِاَلّ ِفى‬
ِ َ‫اَل ْس ِت ْسق‬ َ ُ ‫ْش ْىء ِم ْن د‬
َ ‫ِب‬

‫٭متفق عليه٭‬

Artinya:

“Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi
sehingga terlihat ketiaknya yang putih pada waktu berdoa memohon hujan.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

23
Periwayatan terhadap suatu hadits yang redaksinya tidak persis sama dengan yang diterima dari Rasulullah
SAW, tetapi mengandung pengertian dan isi yang sama. H.Mudasir, ILMU HADIS.(Bandung, CV
PUSTAKA SETIA)197
َ َ‫ اِذ‬: ‫سلَّ َم‬
‫ارفَ َح َيدَ ْي ِه ِفى‬ َ ُ‫صلَّى ا َّّلل‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫س ْو ُِل ا َّّلل‬ُ ‫ َكا نَ َر‬: ‫ب‬ ِ ‫َطا‬ َّ ‫ع َم ُرا ب ُْن اْلخ‬ ُ ‫قَا َِل‬
ُ‫س َح َب ِه َما َو ْج َهه‬ ُّ ‫عا ِءلَ ْم َي ُح‬
َ ‫ط ُه َما َحتَّى َي ْم‬ َ ُّ‫الد‬

‫٭رواه الترمذى٭‬

Artinya:

“Umar bin Khattab berkata, “Rasulullah bila telah mengangkat kedua tangannya pada
waktu berdoa, belum menurunkan keduanya sebelum menyapukan kedua tangannya
itu ke mukanya.”

(HR. Tirmizi)

‫َلك ْال ِع َيا ُِل َهلَ َك النَّا‬


َ ‫ت اْل َما ِش َيةُ ه‬
ِ ‫َّللا َهلَ َك‬ ٌّ ‫ اَتَى َر ُج ٌل ا َ ع َْرا ِب‬: ‫َس‬
ُ ‫ َيا َر‬: ‫ى فَقَا َِل‬
ِ َّ ‫س ْو َِل‬ ٌ ‫قَا َِل اَن‬
‫َس‬ ُ ‫س ْو ِِل اللَّل ِه َي ْد‬
ٌ ‫ع ْونَ قَا َِل ان‬ ُ ّ‫ع ْو َو َرفَ َع الَن‬
ُ ‫اس ا َ ْي ِد َي ُه ْم َم َع َر‬ ُ ‫َّللا َيدَ ْي ِه َي ْد‬ ُ ‫س فَ َر فَ َع َر‬
ِ ‫س ْو ُِل ه‬ ُ
‫َامنَ ْال َمس ِْج ِد َحتَّى َم ِط ْرنَا‬ِ ‫فَ َما خ ََر ْجن‬

‫٭رواه البخارى٭‬

Artinya:

“Anas berkata, “Seorang Arab pedesaan (pegunungan) datang dan berkata (kepada
Rasulullah), “Wahai Rasulullah, telah binasa binatang ternak, keluarga, dan banyak
manusia (lantaran dilanda kekeringan),” maka Rasulullah mengangkat tangannya
seraya berdoa (memohon hujan), dan orang-orang pun mengangkat tangan mereka,
(ikut) berdoa bersama Rasulullah Anas berkata: Hujan turun sebelum kami keluar dari
masjid.”

(HR. Bukhari)

Ketiga hadits tersebut diatas, berbeda redaksi dan perincian maknanya, tetapi
mengandung pengertian umum yang sama, yakni Rasulullah mengangkat kedua
tangannya pada waktu berdoa.
I. Komtribusi Keilmuan (Contribution to Knowledge)

Pembahasan tentang hadits mutawatir maknawi memberikan kesan yang


sangat signifikan dalam penerapan kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan betapa
pentinya mutawatir maknawi dalam kajian ilmu hadits tertutama berkaitan dengan
para perawi hadits yang tidak diperbolehkan untuk berdusta. Berkaitan dengan hadits
mutawatir maknawi, ada beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai kontribusi, baik
secara teoritis maupun praktis, yaitu:

1. Toritis:

a. Memberikan penilaian terhadap para perawi hadits dengan tidak


diperbolehkannya untuk berdusta

b. Memberikan informasi seputar hadits-hadits mutawatir dan para


perawinya

c. Menjelaskan tentang kejujuran para perawi hadits mutawatir maknawi

2. Praktis:

a. Melihat kondisi personal dengan mengedepankan pada prinsip kejujuran

b. Mampu memberikan penjelasan tentang hadits mutawatir dari berbagai


aspek

c. Mampu menerapkan dan contoh atau perilaku yang dapat diterapakan


dalam kehidupan dari hadits mutawatir maknawi.

J. Analisa Konsep (Concept Analysis)

Ilmu memperlajari hadits sangat penting dan berperan dalam ajaran agama
Islam, terutama berkaitan dengan meletakkan hadits pada posisi sebenarnya. Hal ini
cukuplah beralasan karena posisi hadits dalam ajaran Islam menempati posisi kedua
setelah Al-Quran. Secara hirarki, apabila hukum ataupun ajaran Islam yang tidak
terdapat dalam Al-Quran, maka rujukan berikutnya adalah hadits Nabi. Hadits
memiliki peran penting dalam hukum agama Islam, karena jika suatu hukum yang
tidak terdapat dalam Al-Quran maka hukum yang digunakan adalah hadits.

Dengan adanya hadits mutawatir maknawi adalah sebagai piranti untuk


mendapatkan penjelasan yang konferhendif tentang hadits Nabi melalui penelusuran
terhadap para perawi hadits sebagai pembawa warta dan sabda kenabian. Semakin
pembawa warta tidak memiliki kapabilitas dalam intelektualitas dan integritas, maka
akan menambah deretan panjang tentang penilaian sebuah hadits. Selain hadits yang
diriwayatkan mempunyai kualitas da’if, juga para perawi tidak diakui sebagai perawi
yang thiqah yang ujungnya hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah.

Studi kritik hadits pada umumnya terbagi menjadi dua, yaitu kritik sanad dan
matan. Terkait istilah kritik sanad dan matan, terdapat perbedaan yang signifikan
antara dua kaidah ulama klasik dan ulama modern. Ulama klasik mengatakan bahwa
setiap sanad yang valid, pasti matannya valid, begitu juga sebaliknya. Sementara
ulama hadits modern memiliki kaidah yang yang berbunyi keshahihan atau kelemahan
sanad tidak mempengaruhi keshahihan atau kelemahan matan, begitu pula tidak
sebaliknya. Kaidah kritik versi ulama modern ini bukanlah plagiat atau membenarkan
apa yang sering dikatakan oleh para orientalis belakangan ini, sebab kaidah ini telah
dicetuskan oleh khalaf (setelah masa fitnah) lantaran banyaknya aksi pemalsuan hadits
pada masa fitnah yang dipelopori oleh beberapa orang.

Melihat fenomena sejarah kelam hadits yang pernah dilalui umat Islam, maka
dirasa penting memisahkan antara keshahihan sanad dan matan. Sebab itulah ulama
hadis melakukan kajian kritik yang komprehensif baik dari sisi matan hadits maupun
sanad dengan tidak meniadakan hubungan erat antara keduanya. Terutama pada hadits
mutawatir maknawi mengetahui keshahihan sanad dan matan sangat diperlukan, selain
itu kualitas perawi hadits juga diteliti sebelum meriwayatkan hadits mutaatir maknawi,
karena hadits mutawatir maknawi melarang para perawinya untuk melakukan
kebohongan.

K. Penutup

Sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Quran, keaslian dan keontetikan


hadits selalu menjadi sorotan sepanjang masa. Hal ini tidak lain karena mayoritas
keotentikan hadits tidak absolut. Oleh karena itu, sebuah keniscayaan apabila
penelitian dan studi kritis terhadap hadits baik itu sanad maupun matan tidak akan
pernah berhenti, baik itu dari kalangan muslim atau non muslim. Bahkan kegiatan
kritik dan upaya purifikasi hadits telah ada sejak zaman sahabat baik ketika masih
adanya Rasulullah di tengah-tengah mereka maupun setelah meninggal dunia. Studi
kritik hadits telah membudaya di awal masa Islam dan diteruskan oleh generasi ke
generasi setelahnya.

Akhirnya, segala bentuk usaha dan semangat telah dilakukan demi


mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi diri sendiri ataupun orang lain.
Diharapkan segala bentuk ilmu pengetahuan yang diperoleh baik secara langsung dan
tidak langsung dapat diterima dengan baik, bermanfaat untuk semuanya, dan dapat
dipastikan kebenarannya agar tidak salah arah dalam mengejar cita-cita dan berproses
mendapatkan ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA

H. Mudasir. ILMU HADIS. Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1999.

Suryadilaga, Alfatih. Ulumul Hadis. Yogyakarta: Penerbit Teras, 2010.

Al-Maliki, Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016.

Ahmad,Muhammad dan Mudzakir. Ulumul Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.

Muslim, Moh. Akib. Ilmu Mustalahul Hadis. Kediri: STAIN Kediri Press, 2010.

Ash-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu Hadis. Jakarta: Tim Pustaka Firdaus,1995.

Khaeruman, Badri. Ulum Al-Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Press, 2014.

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: AMZAH, 2008.

Suyadi, M. Solahudin dan Agus. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2008.

Idri. STUDI HADIS. Jakarta: Kencana.2010.

Zeid, B. Smeer. Ulumum Hadits Pengantar Studi Hadits Praktis, Malang: UIN-Malang
Press, 2007.

Nuruddin. Ulumul hadits, Bandung: Remaja Rosdakarya ,2012.

Benny Afwadzi, “Kritik Hadis Dalam Prespektif Sejarah”, Jurnal Mutawattir, Volume
7 No. 1, Juni 2017.

Wahidul Anam, “Mahmud Abû Rayyah dan Kritisisme Hadis”, Jurnal Mutawattir,
Volume 6 No. 1, Juni 2016.

http://nurulhusnayusuf-makalahku.blogspot.co.id/2011/04/hadist-mutawatir-dan-
ahad.html

https://www.alsofwah.or.id/cetakhadits.php?id=266

https://konsultasisyariah.com/9964-angkat-tangan-ketika-berdoa.html

Anda mungkin juga menyukai