Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

AL-JARH WAL TA’DIL


Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah :
“Studi Hadist”

Dosen Pengampu :
“Drs. Zainal Arifin, M.HI.”

Disusun Oleh :
1. Erna Zuliana
2. Indah Mauludiyah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULA


(STAIM)
NGLAWAK – KERTOSONO – KAB. NGANJUK
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena senantiasa
menganugerahkan segala Rahmat dan Hidayat – Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas dalam penyusunan makalah ini tanpa satupun aral yang menghadang. Dalam makalah
ini, Al-Jarh Wal Ta’dil dibahas lebih rinci sehingga dapat membantu para pembaca untuk
lebih memahami Al-Jarh Wal Ta’dil.
Mudah – mudahan kehadiran makalah ini dapat diterima dan bermanfaat bagi para
pembaca. Saran, kritik, dan koreksi yang bersifat konstruktif dari para pembaca sangat kami
harapkan.

Nglawak, 7 Mei 2018


Penyusun

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................ 1
C. Tujuan dan Manfaat ......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3
A. Pengertian Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil .......................................................................... 3
B. Sighat dan Tingkatan Al-Jarh......................................................................................... 4
C. Sighat dan Tingkatan At-Ta’dil ..................................................................................... 6
D. Prinsip-prinsip penerapan Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil ................................................ 8
BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 14
A. Kesimpulan ..................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu hadits (‘Ulum Al-Hadits), secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadits.
Kata ‘ulum adalah bentuk jamak dari kata ‘ilm(ilmu). Secara etimologis, yakni ilmu
pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul
SAW. dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut ke-dhabit-an dan ke-‘adil-
annya dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya.1
Secara garis besar, ulama hadits mengelompokkan ilmu hadits tersebut ke dalam
dua bidang pokok, yakni ilmu hadits riwayah danilmu hadits dirayah. Ilmu hadits
riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi
SAW., periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian lafazh-lafazhnya. Sedangkan ilmu
hadits dirayah yakni ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang dengannya dapat
diketahui keadaan sanad dan matan.2
Dalam perkembangannya, dari dua bagian itu, muncul beberapa cabang ilmu
hadits yang oleh para ulama disendirikan dalam pengkajiannya, obyek yang dibahas ada
yang berpangkal pada sanad , ada yang pada matan , dan yang berhubungan dengan
keduanya.3
Oleh karena itu, dalam makalah kali ini akan dibahas mengenai salah satu cabang
ilmu hadits yang berpangkal pada sanad yakni ilmu al jarh wa Ta’dil. Kita akan
membahas apa pengertian ilmu tersebut, tingkatan-tingkatan al jarh maupun ta’dil, serta
prinsip-prinsip penerapan ilmu al jarh wa ta’dil.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ilmu Al jarh wa ta’dil?
2. Bagaimana Sighat dan Tingkatan Al-Jarh?
3. Bagaimana Sighat dan Tingkatan At-Ta’dil?
4. Bagaimana Prinsip-prinsip penerapan ilmu al jarh wa ta’dil?

1 Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008).,h.105
2 Ibid. h.109
3 Misbah A.B, Mutiara Ilmu Hadit, (Kediri: Mitra Pesantren,2010).,h.253

1
C. Tujuan dan Manfaat
1. Mengetahui pengertian ilmu Al jarh wa ta’dil.
2. Mengetahui Sighat dan Tingkatan Al-Jarh.
3. Mengetahui Sighat dan Tingkatan At-Ta’dil.
4. Mengetahui Prinsip-prinsip penerapan ilmu al jarh wa ta’dil.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil


Kalimat Al-Jarh wa At-Ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang
terdiri dari dua kata, yaitu al-jarh dan al-adl.4 Jarh menurut bahasa artinya
melukai.5 Ilmu Al-Jarh, yang secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan
kedhabitannya. Para ahli hadist mendefinisikan Al-Jarh dengan:
“Kecacatan para perawi hadist disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak
keadilan atau kedabitan perawi”6
Secara terminologi, al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang
menodai sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yang
mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak
riwayatnya.7
Sedang At-ta’dil, yang secara bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan).8 Berarti
sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus, merupakan lawan dari lacur.
Orang yang adil berarti orang yang diterima kesaksiannya. Ta’dil pada diri seseorang
berarti menilainya positif. Adapun secara terminologi, al-adl berarti orang yang tidak
memiliki sifat yang mencacatkan agama dan keperwiraannya.9
Ulama lain mendefinisikan al-jarh dan at-ta’dil dalam satu definisi, yaitu:
“Ilmu yang membahas tentang para perawi Hadist dari segi yang dapat
menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka,
dengan ungkapan atau lafaz tertentu”.10
Lafazh al-jarh, menurut Muhadisin, ialah sifat seorang rawi yang dapat
mencacatkan keadilan dan kehapalannya. Men-jarh atau mentajrih seorang rawi berarti
menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau
tertolak apa yang diriwayatkannya. Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh
beberapa ahli, ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan suatu materi pembahasan dari cabang

4 Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadist, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 157
5 Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 1982), h. 445
6 Mudasir. Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia), 2010, cet. Ke-V, h. 50
7 Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Op.cit., h. 157
8 Munzier Suparta, Ilmu Hadis , (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), h.31
9 Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Op.cit., h. 158
10 Munzier Suparta, Op.cit., h.32

3
ilmu hadist yang membahas cacat atau adilnya seorang yang meriwayatkan hadist yang
berpengaruh besar terhadap klasifikasi hadisnya.11
Ilmu jarh wa ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang kritik adanya aib (cacat)
atau memberikan pujian pujian adil kepada seorang rawi.
Dr. 'Ajjaj al-Khathib mendefinisikannya sebagai berikut :
‫ث قَبُو ِّل ِّر َوايَ ِّت ِّهم أَو َر ِّدهَا‬ ُّ ‫ث فِّي أَح َوا ِّل‬
ُ ‫الر َواةِّ ِّمن َحي‬ ُ ‫ه َُو ال ِّعل ُم الَّذِّي يَب َح‬
“Adalah suatu ilmu yang membahas perihal para rawi dari segi-segi diterima
atau ditolak periwayatannya.”12

B. Sighat dan Tingkatan Al-Jarh


Jarh yang terdapat dalam kitab-kitab Rijalil-Hadist dan sebagainya, dibagi
menjadi 3 macam:
1. Jarh yang tidak beralasan
2. Jarh yang tidak diterangkan apa yang menyebabkan si rawi tercela. Dengan ringkas
boleh dikatakan: Jarh yang tidak diterangkan sebabnya.
3. Jarh yang disebut sebabnya.13
Yang pertama ini adalah: “jarh yang tidak beralasan”.
Tiap-tiap jarh yang ditujukan kepada seorang rawi, hendaklah ada alasannya, dari
perbuatan atau omongan si rawi, atau dari jalan lain.
Ulama yang menjarh seorang rawi dengan tidak menyebut alasannya, tentu bagi
ulama itu ada alasannya sendiri. Alasan yang menyebabkan ia menjarh seorang rawi,
belum tentu jadi alasan bagi orang lain, karena ada banyak orang menjarh rawi, tetapi
sebenarnya apa yang mereka tunjukkan itu bukan jarh.
Oleh sebab yang tersebut itu semua, maka jarh yang tidak disebut alasannya,
masih gelap bagi kita. Jadi jarh yang tidak disebut alasannya, atau jarh yang masih gelap,
belum dapat diterima dan dianggap untuk melemahkan si rawi.
Kritikus hadits ternama , Ibnu Abi Hatim dalam kitabnya “al jarh wa
ta’dil” awalnya hanya membagi tingkatan jarh dan ta’dil ini masing-masing kedalam 4
(empat) tingkatan , beliau sertakan pula penjelasan hukum dari masing-masing tingkatan
itu. Kemudian para ulama hadits setelah beliau, menambahkan 2 (dua) tingkatan lagi
sehingga menjadi 6 (enam) tingkatan.

11 Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Op.cit., h. 158


12 http://myquran.com/forum/showthread.php/8191-JARH-WA-TA-DIL-%28Men-cacat-kan-
dan-meng-adil-kan-rawi%29
13 Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 1982), h. 447

4
Tingkatan Al-jarh:
1. Tingkatan Pertama
Yakni penilaian yang menunjukkan keterlaluan dalam berdusta , dan ini
merupakan tingkatan paling buruk, seperti bila periwayat hadits disifati dengan ‫"فُ َل ا ن‬
" ‫ِّس‬ ‫النَّا‬ ُ‫ب‬ َ ‫كذ‬ ‫أ‬ (Fulan orang yang paling pembohong) atau
ِّ ‫( " اِّلَي ِّه ال ُمنتَ َهى فِّي ال َك ِّذ‬ia adalah puncak kedustaan) atau " ‫ب‬
"‫ب‬ ِّ ‫( " ه َُو ُركنُ ال َك ِّذ‬dia adalah
rukun kedustaan) , dan sebagainya.
2. Tingkatan Kedua
Yakni penilaian yang menunjukkan seorang perowi berdusta atau memalsu hadits
dan sebagainya, seperti "‫( " فُ َل ا ن َكذَّاب‬Fulan tukang bohong), atau ‫" دَ َّجا‬
"‫(ل‬dajjal/pembohong), atau " ‫"وضَّاع‬
َ (pemalsu hadits), atau dengan redaksi ‫" َيك ِّذ‬
" ُ‫( ب‬dia berbohong), atau "‫ض ُع‬
َ َ‫( "ي‬dia memalsukan hadits).
3. Tingkatan Ketiga
Yakni penilaian yang menunjukkan tuduhan pembohong atau pemalsu hadits
ِّ ‫( " فُ َل ن ُمتَّ َهم بِّا ل َك ِّذ‬Fulan dituduh berdusta), atau " ِّ‫( " ُمت َّ َهم بِّا َلو ضع‬dituduh
seperti " ‫ب‬
memalsukan hadits), atau " ‫( "يَس ُر ُق ال َح ِّد يث‬mencuri hadits) atau " ‫سا قِّط‬ َ " (gugur) atau "
َ ‫( " َلي‬bukan orang yang tsiqoh).
" ‫( َمت ُرو ك‬ditinggalkan), atau " ‫س ِّب ِّثقَة‬
4. Tingkatan Keempat
Yakni penilaian yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis
َ ‫( " فُ َل ن‬Fulan lemah sekali)
haditsnya , seperti bila perowi disifati dengan " ‫ض ِّعيف ِّجد‬
atau " ُ‫( " َل يُكتَبُ َح ِّد يثُه‬tidak dapat ditulis haditsnya) atau " ُ‫الر َوا يَةُ َعنه‬
ِّ ‫( " َل ت َ ِّح ُّل‬tidak
halal periwayatan darinya).
5. Tingkatan Kelima
Yakni penilaian yang menunjukkan secara tegas bahwa seorang perowi tidak
dapat dijadikan hujjah, atau dinilai lemah , atau buruk hafalan dan yang serupa,
seperti " ‫(" فُ َل ن َل يُحت َ ُّج بِّ ِّه‬Fulan tidak bisa dibuat hujjah), atau " ‫س بِّ َق ِّو ي‬
َ ‫( " لَي‬tidak kuat),
َ " (para ulama melemahkannya), atau " ‫( " لَهُ َمنَا َمنَا ِّكير‬padanya banyak
ُ ‫ضعَّفُو‬
atau " ‫ف‬
pengingkaran), dan yang semisal.
6. Tingkatan Keenam
Yakni penilaian yang menunjukkan adanya kelemahan, lunak atau rendah
seperti apabila seorang perowi disifati dengan" ‫ث‬ ِّ ‫( " فُ َل ن لَ ِّينُ ال َح ِّد ي‬Fulan lemah
haditsnya) , atau " ‫(" فِّي ِّه َمقَا ل‬dirinya diperbincangkan) , atau " ‫ضعف‬ َ ‫( " فِّي ِّه‬padanya ada
kelemahan) dan yang semisal.

5
Ini merupakan bentuk jarb yang paling ringan, Ibnu Abi Hatim berkata : “ Apabila
para ulama menilai seseorang dengan”Layinnul Hadist” ( hadisnya lemah ), maka ia
termasuk orang yang masih bisa ditulis hadistnya dan dapat digunakan sebagaiI’tibar”.
Sementara ad Daroquthni – salah satu tokoh yang menyusun tingkatan ini mengatakan : “
Jika seseorang dinyatakab “ layyin “ maka ia bukan termasuk perowi gugur yang harus
ditinggalkan hadistnya, melainkan ia dinilai cacat dengan sesuatu yang tidak sampai
menggurkan sifat ‘adilnya”
Catatan.
 Untuk empat tingkatan pertama ( No. 1- 4 ), hukum hadis yang mereka riwayatkan
tidak dapat dijadikan hujjah, tidak boleh di tulis dan tidak dianggap sama sekali.
 Sedangkan untuk tingkatan kelima dan keenam, hadis – hadis yang diriwayatkan oleh
perowi yang tergabung dalam tingkatan itu, juga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah,
akan tetapi boleh ditulis untuk sekedar dibuat I’tibar.
C. Sighat dan Tingkatan At-Ta’dil
1. Tingkat pertama
Yakni penilaian dengan menggunakan bentuk superlatif ( mubalaghoh ) dalam
pen-tsiqqo-annya, atau ungkapan yang menggunakan wazan af’alan, seperti jika
seseorang perowi disifati dengan " ‫ ( " فُ َل ن اِّ لَي ِّه ال ُمنت َ َهى فِّي التَثَبُّت‬Fulan, kepadanyalah
puncak keteguhan ), atau " ‫ ( " فُ َل ن أَوثَ ُق النَّا ِّس‬Fulan ialah manusia paling terpercaya
) atau
ُ َ‫ ( " أ ضب‬manusia paling kuat hafalan dan ingatannya )atau ‫س َلهُ ن َِّظير‬
" ‫ط النَّا ِّس‬ َ ‫" لَي‬
" ( ia tidak ada tandingannya ), dan yang semisal. Ini merupakan bentuk pen- ta’dil-
an yang berderajat paling tinggi.
2. Tingkatan kedua
Yakni penilaian dengan menyebut sifat yang menguatkan ketsiqqoh-annya, ke-
‘adil-annya, atau ketetapan periwayatan, baik dengan menggunakan lafadz atau
makana, seperti " ‫ ( " فُ َل ن ثِّقَة ثِّقَة‬Fulan orang yang sangat terpercaya ) atau " ‫( " ثِّقَة ثَبَت‬
terparcaya lagi teguh ), atau " ‫ ( " ِّثقَة َحا ِّفظ‬terpercaya lagi hafizh ), dan sebagainya.
3. Tingkatan ketiga
Yakin penilaian dengan menunjukkan adanya siafat tsiqoh tanpa disertai dengan
penguatan seperti diatas, misalnya " ‫ ( " فُ َل ن ثِّقَة‬Fulan orang terpercaya ) atau " ‫( " ثَ َبت‬
teguh ) atau " ‫ ( " َحا فِّظ‬hafizh ) atau" ‫ ( " ُح َّجة‬hujjah ), dan yang serupa.

6
4. Tingkatan keempat
Yakin penilaian menunjukan adanya sifat ‘adil tanpa adanya isyarat ketelitian
atau kekuatan hafalan, seperti bila periwayatan hadist disifati dengan " ‫صد ُوق‬
َ " ( jujur
) atau
" ُ‫ ( " َم َحلُّه‬ia tempatnya kejujuran ) atau " ‫ ( " َمأ ُمون‬dipercaya ), atau " ‫س بِّ ِّه‬
َ ‫( " آل بَأ‬
tidak mengapa dengannya ).
Istilah “ La ba’sa bihi “ masuk dalam tingkatan ini menurut selain Ibnu Ma’in. sebab
jika Ibnu Ma’in menilai seseorang perowi dengan “ La ba”as bihi” maka yang
dimaksudkann ialah perowari itu tsiqqoh. Ini karena, beliau dikenal sebagai ulama
yang sangat ketat dalam menilai ( mutasyaddid ), sehingga lafadz yang biasa saja bila
ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ke-tsiqqoh-an perowari tersebut.
5. Tingkatan kelima
Yakin penilaian yang tidak menunjukan pe-tsiqqoh-an ataupun celaan ( tajrih ),
seperti " ‫ ( " فُ َل ن شَيخ‬Fulan seorang syaikh ) atau " ‫س‬
ُ ‫ ( " َر َوى َعنهُ النَا‬orang – oaring
meriwayatkan hadis darinya ) dan yang semisal.
6. Tingkatan keenam
Yakin penilaian yang mendekati dengan celaan ( jarh ), seperti " ‫ث‬
ِّ ‫صا ِّل ُح ال َحدِّي‬
َ "(
yang baik hadisnya ) atau " ُ‫ ( " يُكتَبُ َحدِّيثَه‬ditulis hadisnya ) dan yang semisal.
Catatan.
 Untuk tiga tingkatan pertama ( No. 1,2 dan 3 ) hukumnya dapat dibuat sebagai hujjah,
meskipun sebagaian diantaranya lebih kuat dari yang lain, yakin tingkatan pertama
tentu lebih kuat dari yang kedua, begitupula tingkatan kedua lebih kuat dari yang
ketiga.
 Untuk tingkatan keempat dan kelima tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadis dari
mereka boleh ditulis, dan diuji ke-dhobith-an mereka dengan membandingkan hadis-
hadismereka dengan hadis para periwayat tsiqqoh lain. Bila hadis mereka di dapati
semua, maka bisa dijadihkan hujjah, dan jika tidak sesuai maka ditolak.
 Sedangkan untuk tingkat keenam, tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadis mereka bisa
dituli untuk dijadikan pertimbangan, bukan untuk pengujian karena mereka tidak
dhobith.

7
D. Prinsip-prinsip penerapan Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Penulis mencantumkan sebuah penelitian hadis dengan metode tematik di mana
salah satu sub temanya tentang Tawassul melalui do’a Orang Shaleh
Ada 1 riwayat hadis yang tergolong dalam masalah ini dan hanya 1 mukharrij
saja, yaitu ; Bukhariy. Dan sudah jelas bahwa tak terdapat syahid atau mutabi’, ini dapat
dilihat pada skema berikut :
GAMBAR SKEMA
Hadis tentang Bertawassul Kepada Allah Melalui Do’a dari Orang Shaleh
D : 59 H ‫عمر ابن خطاب‬

‫ان‬

D: 106 H ‫انس بن مالك‬

‫عن‬

D: 125 H ‫ثمامة بن عبد هللا بن أنس‬

‫عن‬

D: 162 H ‫عبد هللا بن المثنى‬

‫حدثني‬

D: 221 H ‫محمد بن عبد هللا األنصاري‬

‫حدثنا‬

D: 221 H ‫الحسن بن محمد‬

‫حدثنا‬
‫البخاري‬
194 – 256 H

Cat.: Hadis ini mauquf dari Umar Ibn Khattab

Pada gambar tersebut di atas, tercantum seluruh jalur sanad mengenai masalah
ini. Dan tampak jelas dilihat bahwa hanya ada 1 orang sahabat saja yang merupakan
periwayat pertama hadis-hadis tersebut, dia adalah Umar Ib Khattab, dan pada tingkat

8
kedua dan seterusnya tidak terlihat ada dari jalur lain yang menerimanya, ini berarti
hadis-hadis mengenai masalah ini tak terdapat syahid, mutabi’ untuk mendukung hadis
ini.
Masing-masing perawi mempunyai cara penerimaan hadis yang ditandai dengan
lambang Sigat al-Tahammul. Adapun Sigat al-Tahammul yang digunakan pada masing-
masing perawi adalah ; Haddasana, Haddasaniy, ‘An, anna, dan Kana.
Maka yang diteliti langsung dalam kritik sanad ini ialah sanad Bukhariy melalui
jalur al-Hasan Ibn Muhammad. Kritik dilakukan secara berurutan mulai dari mukharrij
hadis.
a. Bukhariy
a) Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirat Ibn
Bardizbat Ibn al-Ahnaf al-Jufiy, Abu Abdullah Al-Bukhariy (194-256 M).
b) Gurunya cukup banyak antar lain, Ubayd Allah Ibn Musa, Muhammad Ibn
Abdullah al-Anshariy, Qutaybah Ibn sa'id. Muridnya antara lain, al-Turmuziy,
Muslim, dan Al-Nasa'iy.
c) Al-Bukhariy adalah seorang ahli hadis yang jarang tandingannya. Perhatiannya
terhadap hadis nabi dimulai sejak umur di bawah sepuluh tahun. Pada usia enam
belas tahun, al-Bukhariy telah berhasil menghafal kitab hadis karya ulama
terkemuka pada saat itu seperti Ibn al-Mubarak dan Wakii, ia adalah periwayat
hadis yang cerdas, wara dan tekun beribadah. Pengembaraan beliau sempat
bertemu sejumlah besar guru di bidang hadis dan menghafal sebanyak 100.000
hadis sahih dan 200.000 yang tidak sahih.
Selain itu, al-Bukhariy juga dikenal sebagai penulis produktif di bidang
hadis. Salah satu karyanya yang termasyhur adalah al-jami' al-sahih. Kitab ini di
susun dalam jangka waktu enam belas tahun. Setiap hadis yang ada di dalamnya
benar-benar diseleksi dan diteliti sehingga di dalam kitab tersebut hanya memuat
hadis-hadis sahih. Untuk setiap hadis yang diseleksi, al-Bukhariy selalu
melaksanakan salat istikharah sebelum dimasukkan ke dalam kitabnya.
Di samping itu, al-Bukhariy adalah periwayat sekaligus mukharrij al-
hadis yang memiliki kualitas pribadi (sifat adil) dan kafasitas inteleqtualnya (sifat
dabitnya), terbukti dari pernyataan kritikus hadis tentang dirinya :
 Muhammad Ibn Abi Hatim (w. 327 H) berkata bahwa saya pernah mendengar
Hisyam Ibn Ismail dan seorang lainnya membicarakan al-Bukhariy. Keduanya
berkata bahwa kami berbeda dengan dia dalam pendengaran, dia adalah
9
seorang yang tidak menulis hingga waktu yang telah ditentukan. Kami berkata
kepadanya, kenapa engkau tidak menulis ?, al-Bukhariy menjawab : engkau
berdua lebih banyak hadismu daripada saya, lalu kami keluarkan hadis kami,
tetapi ia menambah 125 hadis yang dihafalnya, kemudian ia berkata : apakah
engkau melihat saya menyia-nyiakan waktu?, kamim menjawab kami tahu
bahwa tidak ada yang melebihi dia diantara kami.
 Ibn Hibban menyebut al-Bukhariy pada peringkat keempat dalam kitab al-
siqat.
 Qutaibah Ibn Sa'id (148-240 H), saya telah berjumpa dengan ahli hadis, ahli
ra'yi, Ahli Fiqih, Ahli Ibadah dan orang zuhud, namun saya belum pernah
bertemu dengan orang seperti Muhammad Ibn Isma'il. Al-Turmuziy (209-279
H): Allah telah menjadikan al-Bukhariy perhiasan bagi umat dan saya
menyebut riwayat yang berasal dari al-Bukhariy dalam kitab al-jami'. Saya
tidak melihat orang yang mengetahui 'ilal dan rijal al-hadis yang melebihi al-
Bukhariy.
 Al-Asqalaniy (773-852 H) menyatakan seandainya pujian dan sanjungan
masih terbuka bagi generasi setelah al-Bukhariy, niscaya kertas akan habis,
karena dia bagaikan laut yang tidak berpantai.

Tidak seorangpun dari ahli kritik hadis yang mencela pribadi al-Bukhariy.
Pujian-pujian yang diberikan kepadanya adalah berperingkat tertinggi. Jadi
pengakuan bahwa ia telah menerima hadis dari al-Hasan Ibn Muhammad dengan
metode al-sama' diyakini kebenarannya. Itu berarti, antara keduanya terjadi
persambungan sanad.

b. Al-Hasan Ibn Muhammad


a) Nama lengkapnya adalah al-Hasan Ibn Muhammad Ibn al-sabbah al-Za’faraniy
Abu Aliy al-Bagdadiy, wafat pada hari senin Rabi’il Awwal tahun 259 H ada juga
yang mengatakan 260 H data ini menunjukkan dari segi usia mereka
memungkinkan untuk bisa bertemu.
b) Beliau pernah berguru kepada Muhammad Ibn Abdullah al-Ansariy dan
murdinya seperti Jama’ah termasuk di dalamnya al-Bukhariy, sebagaimana yang
tercantum dalam sanad hadis di atas dan menjadi bukti bahwa antara Bukhari dan

10
beliau terjadi ketersambungan sanad dari segi guru dan murid dalam proses
penerimaan hadis Nabi.
c) Al-Nasaiy mengatakan bahwa beliau itu siqah dan Ibn Hibban menyebutnya
dalam kitab al-siqah, Ibn Hatim mengatakan bahwa dia menerima hadis darinya
dan ia itu siqah dan ayah Ibn Hatim mengataka saduq, begitu juga dengan al-
Syafi’iy bahwa dia itu siqah ma’mun.

Tidak seorangpun dari ahli kritik hadis yang mencela pribadi al-Hasan Ibn
Muhammad. Pujian-pujian yang diberikan kepadanya adalah berperingkat tertinggi.
Jadi pengakuan bahwa ia telah menerima hadis dari Muhammad Ibn Abdullah al-
Ansariy dengan metode al-sama' diyakini kebenarannya. Itu berarti, antara keduanya
terjadi persambungan sanad.

c. Muhammad Ibn Abdullah al-Ansariy


a) Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Abdullah Ibn al-Musanna Ibn Abdullah
Ibn Anas Ibn Matik al-Ansariy al-Qadiy, Imam di Basrah.Ya’qub Ibn Sufyan
berkata bawha beliau wafat di Basrah pada tahun 294 H.
b) Gurunya antara lain pernah belajar kepada bapaknya yaitu Abdullah Ibn al-
Musanna dan muridnya antara lain al-Hasan Ibn Muhammad al-
Za’faraniysebagaimana dalam sanad hadis dan menjadi bukti bahwa sanad antara
Muhammad Ibn Abdullah dan bapaknya Abdullah Ibn al-Musanna pernah terjadi
hubungan murid dan guru.
c) Abdurrahman bertanya kepada ayahnya tentang beliau bahwa daia adalah saduq
dan siqah. Al-Nasaiy mengatakan bahwa laisa bih ba’sun, Abu Hatim
mengatakan Saduq, dan Ibn Hayyan menyebutnya dalam al-siat
Tidak seorangpun dari ahli kritik hadis yang mencela pribadi Muhammad Ibn
Abdullah Ibn al-Musanna. Pujian-pujian yang diberikan kepadanya adalah
berperingkat tertinggi. Jadi pengakuan bahwa ia telah menerima hadis dari
Bapaknya Abdullah Ibn al-Musanna al-Ansariy dengan metode al-sama' diyakini
kebenarannya. Itu berarti, antara keduanya terjadi persambungan sanad.
d. Abiy; dia adalah ayahnya yaitu Abdullah Ibn al-Musanna al-Ansariy
a) Nama lengkapnya adalah Abdullah Ibn al-Musanna Ibn Abdullah Ibn Anas Ibn
Malik al-Ansariy, panggilannya adalah Abu al-Musanna.

11
b) Guru beliau adalah pamannya sendiri, ia adalah Samamah Ibn Abdullah Ibn Anas
dan muridnya adalah anaknya sendiri ialah Muhammad Ibn Abdullah, 14 dan ini
membuktikan ketersambungan sanad antara Abdullah Ibn al-Musanna dengan
anaknya sendiri yaitu Muhammad Ibn Abdullah dalam melakukan periwayatan
hadis, sebagaimana yang tercantum dalam sanad hadis.
c) Yahya Ibn Ma’in mengatakan orangnya Saleh, dan Abu Zar’ah pun mengatakan
demikian, dan Turmudziy pun mengtakan siqah hanya saja beliau mendapat
celaan dari beberapa Ulama juga seperti al-Nasaiy mengatakan bahwa beliau
bukan rawi yang kuat, seperti halnya dengan Ibn Hibban menyebutnya di dalam
kitabnya bahwa terkadang beliau itu memiliki kesalahan, dan Abu Daud juga
tidak mengeluarkan hadisnya, dan al-Sajiy mengatakan bahwa beliau itu memiliki
lemah, dan meskipun al-Daruqutniy pernah mengatakan siqah tapi beliau juga
mengatakan lemah. 15
Ulama kritik hadis berimbang antara yang mencela pribadi Abdullah Ibn al-
Musanna dan yang memujinya. Di antara ulama yang mencela beliau seperti; al-
Nasaiy, Ibn Hibban, Abu Daud, al-Sajiy, al-Daruqutniy, kesemua dari mereka adalah
perawi yang ulama yang diakui kreadibilitasnya dalam mentajrih, dalam hal ini
celaan itu menjadi bahan pertimbangan bagi penulis, Jadi pengakuan bahwa ia telah
menerima hadis dari Samamah diragukan oleh penulis.
Dengan demikian, penulis menganggap bahwa Abdullah Ibn al-Musanna
termasuk perawi yang tidak dabit dan membuat hadisnya turun dari kesahihan.
e. Samamah Ibn Abdullah Ibn Anas
a) Nama lengkapnya adalah Samamah Ibn Abdullah Ibn Anas Ibn Malik al-Ansariy
al-Basriy,
b) Beliau meriwayatkan dari Anas Ibn Matik dan muridnya yaitu keponakannya
sendiri ialah Abdullah Ibn Musanna, sebagaimana yang tercantum dalam hadis
dan menjadi bukti data ketersambungan sanad antara mereka.
c) Ahmad Ibn Hanbal mengatakan bahwa dia itu siqah dan begitu pula dengan al-
Nasaiy, Abu Ahmad Ibn ‘Adiy bahwa benar ia menerima hadis dari Anas,
Tidak seorangpun dari ahli kritik hadis yang mencela pribadi Samamah Ibn
Abdullah Ibn Anas. Pujian-pujian yang diberikan kepadanya adalah berperingkat

14 Mahmud Ibn Ahmad, Maghani al-Akhyar Fi ..,, ibid, juga Al-'Asqalaniy, Tahzib al-Tahzib,
ibid. dan juga , Yusuf Ibn al-Zakkiy al-Muziy, Tahzib- al-Kamal, ibid.
15 Lihat, al-'Asqalaniy, Tahzib al-Tahzib, ibid. juga, Yusuf Ibn al-Zakkiy al-Muziy, Tahzib- al-
Kamal, op.cit., juz 16, h. 26.

12
tertinggi. Jadi pengakuan bahwa ia telah menerima hadis dari Anas Ibn Malik
diyakini kebenarannya. Itu berarti, antara keduanya terjadi persambungan sanad.
f. Anas Ibn Malik; beliau termasuk sahabat sekaligus murid Rasulullah. Dan gurunya
selain Rasulullah adalah belajar dari Umar Ibn Khattab, dan muridnya antara lain
cucunya ialah Samamah Ibn Abdullah Ibn Anas. Ini berarti ketersambungan sanad
antara Samamah dan Anas dapat dipercaya. Dan pernyataan Anas katau ia menerima
hadis tersebut dari Umar tak dipertanyakan lagi.
g. Umar Ibn al-Khattab
a) Nama lengkapnya adalah Umar Ibn Khattab Ibn Nufail Abdul ‘Uzza Ibn Riya Ibn
Abdullah Ibn Qart Ibn Razzah Ibn ‘Adiy Ibn Ka’ab al-Qurasiy al-‘Aduwiy,
masyhur, Amir al-Mukminin. Wafat pada tahun 58 H atau 59 H
b) Gurunya adalah Nabi Saw sekaligus adalah sahabat Nabi, dan Muridnya seperti
Anas Ibn Matik
Beliau termasuk salah seorang sahabat nabi dan terkenal dengan nama Amir al-
Mukminin, yang tidak lagi dipertanyakan akan kepribadian beliau.
Setelah meneliti sanad dari Bukhariy melalui jalur al-Hasan Ibn Muhammad
ternyata telah ditemukan seorang perawi yang bernama Abdullah Ibn al-Musanna
memiliki lemah seperti yang dikatakan oleh al-Nasaiy, Abu Daud, Ibn Hibban, , al-Sajiy,
al-Daruqutniy, kesemua dari mereka adalah perawi yang ulama yang diakui
kepribadiannya,
Dengan demikian, penulis menganggap bahwa salah satu dari perawi hadis ini
kurang dabit, dia ialah Abdullah Ibn al-Musanna dan sampai sekarang penulis masih
belum yakin akan hasil temuan ini dan butuh kajian lebih lanjut.
Akan tetapi, jika hendak menempuh perbandingan riwayat dengan jalur lain
maka hadis tersebut tidak ditemukan jalur lain yang meriwayatkannya kecuali hanya dari
al-Hasan Ibn Muhammad melalui jalur Umar ibn Khattab, dalam artian hadis ini hanya
sendirian.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ilmu jarh wa ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang kritik adanya aib (cacat) atau
memberikan pujian pujian adil kepada seorang rawi. Jarh yang terdapat dalam kitab-kitab
Rijalil-Hadist dan sebagainya, dibagi menjadi 3 macam:
1. Jarh yang tidak beralasan
2. Jarh yang tidak diterangkan apa yang menyebabkan si rawi tercela. Dengan ringkas
boleh dikatakan: Jarh yang tidak diterangkan sebabnya.
3. Jarh yang disebut sebabnya.
Kritikus hadits ternama , Ibnu Abi Hatim dalam kitabnya “al jarh wa ta’dil” awalnya
hanya membagi tingkatan jarh dan ta’dil ini masing-masing kedalam 4 (empat) tingkatan ,
beliau sertakan pula penjelasan hukum dari masing-masing tingkatan itu. Kemudian para
ulama hadits setelah beliau, menambahkan 2 (dua) tingkatan lagi sehingga menjadi 6
(enam) tingkatan.
Sighat dan Tingkatan At-Ta’dil :
1. Tingkat pertama
Yakni penilaian dengan menggunakan bentuk superlatif ( mubalaghoh ) dalam
pen-tsiqqo-annya, atau ungkapan yang menggunakan wazan af’alan, Ini
merupakan bentuk pen- ta’dil-an yang berderajat paling tinggi.
2. Tingkatan kedua
Yakni penilaian dengan menyebut sifat yang menguatkan ketsiqqoh-annya, ke-
‘adil-annya, atau ketetapan periwayatan, baik dengan menggunakan lafadz atau
makana.
3. Tingkatan ketiga
Yakin penilaian dengan menunjukkan adanya siafat tsiqoh tanpa disertai dengan
penguatan
4. Tingkatan keempat
Yakin penilaian menunjukan adanya sifat ‘adil tanpa adanya isyarat ketelitian
atau kekuatan hafalan,
5. Tingkatan kelima
Yakin penilaian yang tidak menunjukan pe-tsiqqoh-an ataupun celaan ( tajrih ),

14
6. Tingkatan keenam
Yakin penilaian yang mendekati dengan celaan ( jarh ), seperti " ‫ث‬ ِ ‫صا ِل ُح ْال َح ِد ْي‬
َ "(
yang baik hadisnya ) atau " ُ‫ (" يُ ْكتَبُ َح ِد ْيثَه‬ditulis hadisnya ) dan yang semisal.

15
DAFTAR PUSTAKA

Hassan, Qadir. 1982. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: Diponegoro.

Misbah A.B. 2010. Mutiara Ilmu Hadits. Kediri: Mitra Pesantren.

Mudasir, 2010. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia.

Solahudin, 2008. Agus dan Agus Suyadi. Ulumul Hadist. Bandung: Pustaka Setia.

Suparta, Munzier. 2001. Ilmu Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.


http://myquran.com/forum/showthread.php/8191-JARH-WA-TA-DIL-%28Men-cacat-kan-
dan-meng-adil-kan-rawi%29
Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 1982), h. 447
Mahmud Ibn Ahmad, Maghani al-Akhyar
al-'Asqalaniy, Tahzib al-Tahzib

16

Anda mungkin juga menyukai