Pendahuluan
Manusia terlahir dalam keadaan bodoh tidak tahu suatu apapun, kemudian tuhan menciptakan
indra untuknya, baik indra penglihat, pendengar perasa atau indra-indra lain. Dengan indra-
indra di atas manusia belum ada bedanya dengan hewan, akhirnya tuhan menciptakan akal
sebagai alat untuk berfikir, dengan akal inilah ada perbedaan antara menusia dan hewan.
Namun di sana tuhan juga menciptakan kekuatan-kekuatan internal atau eksternal yang dapat
mempengaruhi keberadaan akal tersebut dalam berfikir, sehingga terkadang bahkan seringkali
mereka melakukan kesalah, karena itu Ilmu Mantiq ada untuk menanggulaginya dengan
meletakkan batas-batas tertentu dalam berfikir, sehingga manusia menjadi terjaga dari
kesalahan tersebut.
Ibnu Sina mengatakan bahwa Mantiq adalah alat untuk berfikir yang dapat mengantarkan kita
untuk mengetahui keabsahan Had atau Qiyas Burhany. Dengan kata lain kalau kita sudah
mengetahui penjabaran sesuatu secara sempurna dengan pelantara Had, maka kita berarti telah
mencapai drajat permulaan ilmu. Dan bila kita mengetahui Qiyas Burhany, berarti kita telah
sampai pada puncak pengetahuan.
• Aristotales. Ilmu Mantiq adalah alat sebuah ilmu. Sementara yang dibahas(al-Maudu’) adalah
ilmu itu sendiri atau bentuk ilmu, yang dikenal dengan Tashawwur Qadim bagi Mantiq.
• Ibnu Sina. Mantiq adalah produk pemikiran yang dapat mengetahui keabsahan had shahih
yang diberi nama penjabaran(Ta’rif) dan keabsahan Qiyas yang diberi nama Burhan.
• Ghazali. Mantiq adalah undang-undang yang dapat membantu kita untuk mengetahui
keabsahan Had dan Qiyas. Dan sebenarnya masih banyak difinisi-difinisi lain. Lihat
kitab”Mi’yaru al-Ulum” karangan al-Ghazaly, “al-Shury Mundzu Aristotales Hatta Ushurina
al-Hadhir karangan Imam Ali al-Nassyar.
Aristotales membagi Mantiqnya menjadi dua bagian juga Mantiq Shoghir(Logica Minor) yang
kita kenal sekarang dengan Mantiq Shoghir al-Dhoyyiq dan Mantiq Kabir(Logica Utens,
Logica Major). Mantiq shoghir adalah Mantiq yang mempelajari tentang peraturan(kaidah-
kaidah) dalam berfikir, sementara Mantiq Kabir adalah Mantiq yang mempelajari kinerja akal
yang mencocoki pengetahuan(Ilmu). Pemikiran ini kemudian diusung oleh Ibnu Sina karena
beliau adalah termasuk ulama’ yang benar-benar memahami mantiqnya Aristotales. Dua
mantiq ini adalah nama lain dua mantiq sebelumnya(Mantiq Shury dan Mady). Pembagian
mantiq ini bisa lebih jelas kita ketahui dengan mempelajari buku-buku Aritotales atau
mempelajari perkembangan mantiq-mantiq sebelum Aristotales, seperti mantiqnya Plato dan
Socrates.
Socrates adalah pengajar pertama filsafat yang berfilasafat selama hidupnya. Beliau lahir di
Athena tahun 469 SM . Dalam mantiqnya beliau berbicara dua Maudu’ Ilmu Mantiq, yaitu
penjabaran(Ta’rif, Qaulu al-Syareh) dan pengusutan(Istiqra’) . Dengan keberadaan beliau
akhirnya bangsa Yunani kembali seperti semula.
Kemudian misi Socrates tersebut diteruskan oleh muridnya, Plato. Beliau juga lahir di Athena
tahun 327-347 SM. Beliau datang untuk memperjelas keberadaan dua pembahasan(Maudu’)
Ilmu Mantiq, (Istiqra’ dan Ta’rif) yang dibawa oleh Socrates guru beliau, namun beliau
menambahkan dua pembahasan lain dari pembahasan Ilmu Mantiq, yaitu al-Qismah al-Aqliyah
dan al-Qismah al-Manthiqiyah .
Syair ini berbicara tentang mantiq yaitu penjabaran akan Insan. Manusia adalah hayawan yang
berfikir. Syair ini berbicara tentang Fasl dan keistimewaannya.
Kemudian dalam perkembangannya Mantiq ini diambil alih oleh Umat Islam, yaitu di masa-
masa penaklukan sebagai kebutuhan untuk membentengi Aqidah Islam dan melawan cercaan
terhadap pondasi islam dari kaum Majusi, Yahudi, Nashoro yang juga menggunakan Mantiq
dan Falsafah untuk mempertahankan keyakinannya.
Di awal-awal masa kekhalifahan Abbasiyah Ilmu Mantiq itu diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab, namun masih tercampur dengan sekat-sekat filsafat Yunani sehingga menghawatirkan
bila dikonsumsi orang awam, baru setelah kedatangan al-Ghazali sekat-sekat Yunani dalam
mantiq tersebut akhirnya dibersihkan, yaitu di abad ke 5 H yang beliau tuangkan dalam
kitabnya”Mi’yaru al-Ulum”. Karena itu tidak ada alasan bagi para ulama’ untuk
mengharamkan mempelajari Ilmu Mantiq.
Terkait dengan hukum Ilmu Mantiq ada dua sisi yang perlu diperhatika, Aqidah dan bahasa.
Seperti yang penulis jelaskan sebelumnya bahwa pada awal-awal Mantiq itu tercampur dengan
filsafat sehingga ulama’ berselisih pendapat tengtang hukum mempelajarinya yang mana
perselisihan tersebut nantinya kembali pada dua sisi di atas, Aqidah dan Bahasa:
1. Wajib mempelajarinya dengan alasan tidak adanya perbedaan antara Mantiq dan Islam dan
sebagai kebutuhan untuk membentengi akidah islam. Pendapat ini adalah pendapat para filusuf
islam, seperti al-Kindy, al-Faraby, Ibnu Sina dan filusuf–filusf islam lainnya.
2. Haram mempelajarinya, karena pokok-pokok dalam manteq menyalahi poko-pokok islam.
Di antara ulama’-ulama’ islam yang mengingkari keberadaan Ilmu Mantiq adalah Ibnu
Qutaibah dalam karangannya”Muqaddimatu Adabi al-Katib” dan Ibnu Atsir.
3. Boleh mempelajarinya, tapi husus bagi sesorang yang sudah kuat akidahnya.
Tiga perbedaan hukum mempelajari Ilmu Mantiq di atas bila kita cermati, kembali pada sisi
yang berhubungan dengan akidah. Di sana juga ada perbedaan lain namun meninjau bahasa.
Disebutkan bahwa imam Syafi’ie sangat mengingkari keberadaan Ilmu Mantiq dengan
berlandaskan ilmu tersebut bersandar pada bahasa Yunani yang kebanyakan menyalahi pokok-
pokok dalam Bahasa Arab, karena itu tidak mungkin memberlakukan ilmu mantiq tersebut
dalam dalam islam.
Referensi :
1. Tajdidu Ilmu al-Mantiq Fi Syarhi al-Khubashy al al-Tahdzib, cet, 3
2. Duktur Muhammad Rabi’ al-Jauhary, Dhowabitu al-Fikr, cet,5
3. Tajdidu Ilmu al-Mantiq Fi Syarhi al-Khubashy al al-Tahdzib, cet, 3
4. Al-Ghazali, Mi’yaru al-Ulum
5. Duktur Ali al-Nassyar, al-Shury Mundzu Aristotales Hatta Ushurina al-Hadhir
6. Al-Tadzhib ala Tahdzibi al-Mantiq, muqarrar fakultas ushuluddin, termin pertama