Anda di halaman 1dari 4

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU MANTIQ

Pendahuluan
Manusia terlahir dalam keadaan bodoh tidak tahu suatu apapun, kemudian tuhan menciptakan
indra untuknya, baik indra penglihat, pendengar perasa atau indra-indra lain. Dengan indra-
indra di atas manusia belum ada bedanya dengan hewan, akhirnya tuhan menciptakan akal
sebagai alat untuk berfikir, dengan akal inilah ada perbedaan antara menusia dan hewan.
Namun di sana tuhan juga menciptakan kekuatan-kekuatan internal atau eksternal yang dapat
mempengaruhi keberadaan akal tersebut dalam berfikir, sehingga terkadang bahkan seringkali
mereka melakukan kesalah, karena itu Ilmu Mantiq ada untuk menanggulaginya dengan
meletakkan batas-batas tertentu dalam berfikir, sehingga manusia menjadi terjaga dari
kesalahan tersebut.

Duktur Muhammad Rabi’ al-Jauhary, duktur al-Azhar fakultas Ushuluddin menyebutkan


dalam bukunya”Dhowabitu al-Fikr” bahwa kecendrungan, pengaruh, kebiasaan, taklid dan
kepentingan pribadi seringkali mempengaruhi akal dalam berfikir . Beliau juga menyebutkan
dalam buku tersebut bahwa seandainya manusia hanya dibekali akal saja tanpa adanya
pengaruh-pengaruh di atas, maka Ilmu Mantiq tidak perlu untuk diterapkan.

Ibnu Sina mengatakan bahwa Mantiq adalah alat untuk berfikir yang dapat mengantarkan kita
untuk mengetahui keabsahan Had atau Qiyas Burhany. Dengan kata lain kalau kita sudah
mengetahui penjabaran sesuatu secara sempurna dengan pelantara Had, maka kita berarti telah
mencapai drajat permulaan ilmu. Dan bila kita mengetahui Qiyas Burhany, berarti kita telah
sampai pada puncak pengetahuan.

Definisi Ilmu Mantiq


Mantiq(Bahasa Arab)mempunyai dua sinonim kata, pertama Logic(Bahasa Inggris). Kedua
Laguque(Bahasa Prancis) yang keduanya diambil dari kata”Logos” bahasa Yunani. Adapun
difinisinya ada dua, pertama, difinisi yang meninjau dzat dan pembahasan(Maudu’) Ilmu
Mantiq yang dikenal denganTa’rif Haddy. Yaitu ilmu yang membahas batas-batas dalam
berfikir. Kedua, difinisi yang meninjau hasil dan tujuan ilmu tersebut yang dikenal dengan
Ta’rif Rasmy. Yaitu alat yang berbentuk peraturan yang dapat menjaga kesalahan dalam
berfikir. Di sana juga ada difinisi-difinisi lain meninjau para ulama’nya :

• Aristotales. Ilmu Mantiq adalah alat sebuah ilmu. Sementara yang dibahas(al-Maudu’) adalah
ilmu itu sendiri atau bentuk ilmu, yang dikenal dengan Tashawwur Qadim bagi Mantiq.
• Ibnu Sina. Mantiq adalah produk pemikiran yang dapat mengetahui keabsahan had shahih
yang diberi nama penjabaran(Ta’rif) dan keabsahan Qiyas yang diberi nama Burhan.
• Ghazali. Mantiq adalah undang-undang yang dapat membantu kita untuk mengetahui
keabsahan Had dan Qiyas. Dan sebenarnya masih banyak difinisi-difinisi lain. Lihat
kitab”Mi’yaru al-Ulum” karangan al-Ghazaly, “al-Shury Mundzu Aristotales Hatta Ushurina
al-Hadhir karangan Imam Ali al-Nassyar.

Macam-Macam Ilmu Mantiq


Mantiq apabila ditinjau dari sisi perkembangannya dibagi menjadi dua bagian, pertama, Mantiq
Qadim. Kedua Mantiq Hadits(baru). Mantiq Hadits ini adalah wujud baru bagi Ilmu Mantiq.
Dalam dua mantiq ini banyak sekali perbedaan yang mencolok, seperti Tashowur. Tashowur
kalau dalam Mantiq al-Qadim adalah menjadi pokok yang sangat berharga, berbeda dalam
Mantiq al-Hadits. Contoh lain adalah metode percobaan(Manhaj al-Tajriby) dan
penelitian(Manhaj al-Istiqra’ie) yang menyalahi metode berfikir(Manhaj al-Nadhory) atau
Qiyas
Sementara bila ditinjau dari sisi Tabi’atnya mantiq dibagi dua bagian juga, pertama Mantiq al-
Shury. Kedua Mantiq al-Mady. Dua pembagian ini adalah salah satu masalah terpenting yang
dikaji dalam Ilmu Mantiq. Adapun Maudu’ dari Mantiq al-Shury adalah kaidah-kaidah yang
tidak bertentangan dengan akal pikiran sebagai peletaknya. Kinerja Mantiq ini adalah
menawarkan kaidah-kaidah yang kita butuhkan agar nanti kesimpulan yang kita dapatkan bisa
benar. Sementara yang dibahas(maudu’) dalam Mantiq al-Mady adalah kaidah-kaidah yang
sesuai dengan kenyataan.

Aristotales membagi Mantiqnya menjadi dua bagian juga Mantiq Shoghir(Logica Minor) yang
kita kenal sekarang dengan Mantiq Shoghir al-Dhoyyiq dan Mantiq Kabir(Logica Utens,
Logica Major). Mantiq shoghir adalah Mantiq yang mempelajari tentang peraturan(kaidah-
kaidah) dalam berfikir, sementara Mantiq Kabir adalah Mantiq yang mempelajari kinerja akal
yang mencocoki pengetahuan(Ilmu). Pemikiran ini kemudian diusung oleh Ibnu Sina karena
beliau adalah termasuk ulama’ yang benar-benar memahami mantiqnya Aristotales. Dua
mantiq ini adalah nama lain dua mantiq sebelumnya(Mantiq Shury dan Mady). Pembagian
mantiq ini bisa lebih jelas kita ketahui dengan mempelajari buku-buku Aritotales atau
mempelajari perkembangan mantiq-mantiq sebelum Aristotales, seperti mantiqnya Plato dan
Socrates.

Perkembangan Ilmu Mantiq


Kaum shopisme(al-Sufsatho’iyun) berpandangan bahwa paca indra alat tunggal yang dapat
mengetahu segala sesuatu, sementara akal tidak. Kebenaran segala sesuatu adalah kebanaran
yang dianggap indra benar, menyalahi indra berarti meninggalkan kebenaran dan tak akan
pernah menemukan kebenaran. Untuk menyebarkan pandangannya tersebut mereka
menggunakan kata-kata yang tersusun rapi Cuma mengandung racun yang menyesatkan.
Mereka benar-benar meresahkan masyarakat pada saat itu, masyarakat Yunani. Namun
langkah mereka dicegat oleh Socrates.

Socrates adalah pengajar pertama filsafat yang berfilasafat selama hidupnya. Beliau lahir di
Athena tahun 469 SM . Dalam mantiqnya beliau berbicara dua Maudu’ Ilmu Mantiq, yaitu
penjabaran(Ta’rif, Qaulu al-Syareh) dan pengusutan(Istiqra’) . Dengan keberadaan beliau
akhirnya bangsa Yunani kembali seperti semula.

Kemudian misi Socrates tersebut diteruskan oleh muridnya, Plato. Beliau juga lahir di Athena
tahun 327-347 SM. Beliau datang untuk memperjelas keberadaan dua pembahasan(Maudu’)
Ilmu Mantiq, (Istiqra’ dan Ta’rif) yang dibawa oleh Socrates guru beliau, namun beliau
menambahkan dua pembahasan lain dari pembahasan Ilmu Mantiq, yaitu al-Qismah al-Aqliyah
dan al-Qismah al-Manthiqiyah .

Kemudian di tahun 384 SM di Athena juga datanglah Aristotales. Beliau dikenal


sebagai”Saikhul Islam”, karena beliau adalah orang pertama yang menyusun dan membukukan
Ilmu Mantiq di abad ke empat sebelum kelahiran Isa AS. Dalam bermantiq beliau terpengaruh
oleh orang-orang sebelum beliau(Socrates dan Plato). Bukunya tentang mantiq terdiri dari
delapan bagian yaitu: Categori(membahas tentang genus dan bagian-bagiannya),
Hermeneutika(tentang proposisi), Sylogisme(tentang Qiyas), Demonstrasi(tentang Qiyas yang
menyimpulkan keyakinan), Dialektika(ilmu debat), Sofistika(Qiyas yang menyesatkan),
Retorika(seni agitasi masa) dan Poetica(seni menyusun kata-kata puitis).
Mantiq Dalam Islam
Sebelum kemunculan Islam orang Arab tidak mengenal Ilmu Mantiq, walaupun kaidah-kaidah
Mantiq tersebut bisa kita temukan dalam Syaiir-syair mereka dalam bentuk yang berbeda,
seperti syair Zuhair Bin Abi Salma :
‫لسان الفتى نصف ونصف فؤاده * فلم يبق اال صورة اللحم والدم‬
Lisan dari seorang pemuda adalah salah satu bagian yang ada dalam dirinya, sementara bagian
yang lain adalah hatinya *
maka tidak ada yang tersisa kecuali sebentuk daging dan darah

Syair ini berbicara tentang mantiq yaitu penjabaran akan Insan. Manusia adalah hayawan yang
berfikir. Syair ini berbicara tentang Fasl dan keistimewaannya.

Kemudian dalam perkembangannya Mantiq ini diambil alih oleh Umat Islam, yaitu di masa-
masa penaklukan sebagai kebutuhan untuk membentengi Aqidah Islam dan melawan cercaan
terhadap pondasi islam dari kaum Majusi, Yahudi, Nashoro yang juga menggunakan Mantiq
dan Falsafah untuk mempertahankan keyakinannya.
Di awal-awal masa kekhalifahan Abbasiyah Ilmu Mantiq itu diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab, namun masih tercampur dengan sekat-sekat filsafat Yunani sehingga menghawatirkan
bila dikonsumsi orang awam, baru setelah kedatangan al-Ghazali sekat-sekat Yunani dalam
mantiq tersebut akhirnya dibersihkan, yaitu di abad ke 5 H yang beliau tuangkan dalam
kitabnya”Mi’yaru al-Ulum”. Karena itu tidak ada alasan bagi para ulama’ untuk
mengharamkan mempelajari Ilmu Mantiq.

Terkait dengan hukum Ilmu Mantiq ada dua sisi yang perlu diperhatika, Aqidah dan bahasa.
Seperti yang penulis jelaskan sebelumnya bahwa pada awal-awal Mantiq itu tercampur dengan
filsafat sehingga ulama’ berselisih pendapat tengtang hukum mempelajarinya yang mana
perselisihan tersebut nantinya kembali pada dua sisi di atas, Aqidah dan Bahasa:

1. Wajib mempelajarinya dengan alasan tidak adanya perbedaan antara Mantiq dan Islam dan
sebagai kebutuhan untuk membentengi akidah islam. Pendapat ini adalah pendapat para filusuf
islam, seperti al-Kindy, al-Faraby, Ibnu Sina dan filusuf–filusf islam lainnya.
2. Haram mempelajarinya, karena pokok-pokok dalam manteq menyalahi poko-pokok islam.
Di antara ulama’-ulama’ islam yang mengingkari keberadaan Ilmu Mantiq adalah Ibnu
Qutaibah dalam karangannya”Muqaddimatu Adabi al-Katib” dan Ibnu Atsir.
3. Boleh mempelajarinya, tapi husus bagi sesorang yang sudah kuat akidahnya.

Tiga perbedaan hukum mempelajari Ilmu Mantiq di atas bila kita cermati, kembali pada sisi
yang berhubungan dengan akidah. Di sana juga ada perbedaan lain namun meninjau bahasa.
Disebutkan bahwa imam Syafi’ie sangat mengingkari keberadaan Ilmu Mantiq dengan
berlandaskan ilmu tersebut bersandar pada bahasa Yunani yang kebanyakan menyalahi pokok-
pokok dalam Bahasa Arab, karena itu tidak mungkin memberlakukan ilmu mantiq tersebut
dalam dalam islam.

Faidah Mempelajari Ilmu Mantiq


Dari uraian di atas jelas bagi kita akan urgensitas Ilmu Mantiq tersebut sebagai satu bidang
ilmu yang menawarkan batas-batas dan peraturan dalam berfikir, sehingg pemikiran kita dapat
terjaga dari kesalahan. Dan sangat penting rasanya penulis sebutkan Faidah-faidah yang dapat
kita rasakan sebab mempelajari ilmu tersebut, yaitu sebagai berikut :
• Membantu kita untuk mengetahui esesnsi pemikiran kita dan tabi’at akal kita.
• Membantu kita menjahui kesalahan dalam berfikir kalau kaidah-kaidah mantiq ini benar-
benar diterapkan.
• Membantu untuk konsisten dalam kebenaran dan menjahui kesalahan berfikir dan
mengungkap kesalahan akan apa yang kita pikirkan.
• Tidak fanatik dalam berpendapat.
• Tidak tunduk pada kecendrungan dan hawa nafsu.
• Menolak syubhat dari pendebat.
• Dapat mengetahui keabsahan sebuah dalil.
Demikianlah uraian sejarah singkat perkembangan Ilmu Mantiq, semuga bermemfaat dan
menjadi tambahan wawasan kita semua amin yarabbal alamin.

Referensi :
1. Tajdidu Ilmu al-Mantiq Fi Syarhi al-Khubashy al al-Tahdzib, cet, 3
2. Duktur Muhammad Rabi’ al-Jauhary, Dhowabitu al-Fikr, cet,5
3. Tajdidu Ilmu al-Mantiq Fi Syarhi al-Khubashy al al-Tahdzib, cet, 3
4. Al-Ghazali, Mi’yaru al-Ulum
5. Duktur Ali al-Nassyar, al-Shury Mundzu Aristotales Hatta Ushurina al-Hadhir
6. Al-Tadzhib ala Tahdzibi al-Mantiq, muqarrar fakultas ushuluddin, termin pertama

Anda mungkin juga menyukai