Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Umat islam mengalami kemajuan pada zaman klasik (650-1250). Dalam sejarah pencuk
kemajuan ini terjadi sekitar tahun 650-1000 M. Pada masa ini telah hidup ulama besar, yang
tidak sdikitpun jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam, filsafat, tasawub,
sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya. Berdasarkan bukti histories ini mengambarkan
bahwa periwayatan dan perkembangan hadits berjalan seiring perkembangan lainnya.
Menatap presfektif keilmuan hadits, sunguhpun ajaran haditstelah ikut mendorong
kemajuan umat islam. Sebab hadits nabi sebagaimana Al-Quran telah memerintahkan beriman
menuntut pengetahuan. Dengan demikian presfektif keilmuan hadits, justru menyebabkan
kemajuan umat islam. Bahkan suatu kenyataan yang tidak luput dari perhatian adalah sebab-
sebab dimana Al-Quran diturunkan. Bertolok dari kenyataan ini, Prof.A. Mukti All
menyebutkan sebagai metode pemahaman terhadap suatu kepercayaan, ajaran atau kejadian
dengan melihatnya sebagai kesatuan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu,
tempat, kebudayaan, golongan dan lingkungan dimana kepercayaan, ajaran dan kejadian itu
muncul. Dalam dunia pengetahuan tentang agama islam, sebenarna bedih metode sosial
historis telah ada pengikutsertaan pengetahuan asbab an-nuzul(sebab-sebab wahyu di
turunkan)untuk memahami Al-Quran , dan asbab al-wurud (sebab-sebab hadits di ucapkan)
untuk memahami al-sunnah.
Meskipun asbab al-Nuzul dan asbab al-wurud terbatas pada peristiwa dan pertayaan yang
mendahului nuzul (turun) Al-Quran dan al-wurud (disampaikannya) hadits, tetapi
kenyataanyajustru tercipta suasna keilmuan pada hadits Nabi SAW. Tak heran jika pada saat
ini muncul berbagai ilmu hadits serta cabang-cabangnya untuk memahami hadits nabi,
sehinggah As-Sunnah sebagai sumber hukum islam yang kedua yang dapat dipahami serta di
amalkan oleh umat islam sesuai dengan yang di maksud oleh Rasulullah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian hadits ?
2. Apa metode-metode pendekatan penelitian hadits ?
3. Apa faedah mempelajari ilmu hadits ?

1
4. Bagaimana sejarah perkembangan ilmu hadits ?
5. Apa cabang-canag ilmu hadits ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian ilmu hadits


Dalam segi bahasa hadits terdiri dari dua kata yaitu ilmu dan hadits. Secara sederhana
ilmu artinya pengetahuan, knowledge dan science. Sedangkan hadits artinya segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik dari perkataan, perbuatan, maupun
persetujuan dari ulama ahli hadits banyak yang memberikan definisi di antaranya ibnu Hajar
Al-Asqalani: Adalah mengetahui kaidah-kaidah yang dijadikan sambungan untuk mengetahui
(keadaan) perawi dan yang diriwayatkan.
Ilmu hadits kemudian terbagi menjadi dua macam yaitu:
a. Ilmu hadits riwayah
Menurut bahasa riwayah dari akar rawa,yarwi, riwayatan yang berarti an-dzikir sama
dengan penyebutan, al-fatl sama dengan pemintalan, seolah-olah dapat dikatakan
periwayatan adalah memindahkan berita ataumenyebut berita dari orang tertentu kepada
orang orang lain dengan ditimbang atau dipintal kebenarannya.
Ilmu hadist riwayah secara istilah menurut pendapat yang terpilih sebagaimana yang
dikemukakan Dr. Shubhi Ash-Shubhi sebagai berikut:
“Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mempelajari periwayatan secara teliti dan berhati-hati
bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik perkataan, persetujuan, perbuatan,
dan maupun sifat serta segalah sesuatu yang disandarkan kepda saghabat dan tabi’in.1
Definisi lain mengatakan:
“Ilmu yang mempelajari segala perkataan kepada Nabi, segala perbuatan beliau, periwaytan,
batas-batasannya, dan ketelitian segala redaksinya.”
Kedua definisi diatas memberi konotasi yang sama yaitu objek pembahasannya adalah
perkataan nabi atau perbuatannya dalam bentuk periwayatan tidak semata-mata datang
sendiri. Objek pembahasa ilmu ini adalah dari nabi baik dari segi perkataan, perbuatan
maunpun tingkah laku maupun persetujuan dan bahkan sifat-sifat beliau yang diriwayatkan
secara teliti dan berhati-hati tanpa membicarakan nilai ahahih atau tidaknya. Tentunya kata

1
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2012), hlm, 78.

3
periwayatan menyangkut siapa yang menjadi perawi dan siapa yang meriwayatkan suatu
berita dan apa isi brita yang diriwayatkan.
Pada pembahasan ilmu hadits riwayah atau penekanan pembahasannya memang matan
diriwayatkan sendiri, karna memang kata dan perbuatan rasul itu adanya pada matan namun
matan ini tidak mungkin muncul dengan sendirinya tanpa ada sanadnya bahkan sebagian
ulama mengatakan bahwa rukun hadits tersendiri dari sanad dan matan.
Pendiri ilmu hadits riwayah adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (w124 H) yaitu
orang pertama melakukan penghimpunan ilmu hadits riwayah secara formal berdsarkan
intruksi Khalifah Umar Bin Abdul Aziz . Adapun kegunaan dan manfaat mempelajari ilmu
hadits riwayah diantaranya sebagai berikut:
a) Memelihara hadits secara berhati-hati dari segala kesalahan dan kekuranan dalam
periwayatan.
b) Memelihara dalam kemurnian Syari’ah Islamiyah karen sunnah atau hadits ialah
sumber hukum islam setelah Al-Qur’an.
c) Menyebar luaskan sunnah kepada seluruh umat islam sehingga sunnah dpat diterima
oleh seluruh umat manusia.
d) Mengikuti dan meneladani akhlak nabi karena tingkah laku dan akhlak beliau secara
terperinci diumat dalam hadits.
e) Melaksanakan hukum-hukum islam serta memelihara etikanya karena seorang tidal
mungkin mampu memelihara hadits sebagai sumber syariat islam tanpa mempelajari
ilmu hadits riwayah ini.2
b. Ilmu hadits dirayah
Ilmu hadits dirayah dari segi bahasa berasal dari kata dard, yadri, daryan, dirayatan,
dirayah, (pengetahuan). Oleh karena itu yang akan dibahas pada sub bab ini ialah sebagai
berikut:
“Ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan, syarat-syaratnya, macam-
macamnya, hukum-hukumnya, keadan para perawi, syarat-syarat mereka, macam-macam
periwayatan, dan hal-hal yang berkaitan dengannya.”
Untuk memperjelas difinisi tersebut perlu dikemukakan secara terperinci:
a) Maksud hakikat periwayatan pada definisi diatas memindahkan berita dan sunnah
atau sesamanya dan menyandarkan kepada orang yang membawa berita atau yang
menyampaikan berita tersebut atau kepada yang lain.

2
Shubhi Ash-Shalih, Ulum Al-Hadist, (Beirut: Dar Al-Ilm li Al-Malayin, 1969) hlm. 107

4
b) Syarat-syarat periwayatan maksudnya kondisi perawi ketika menerima (tahammul)
periwayatan hadits, apakah mengunakan metode as-sama’ (murid mendengar
penyampaian guru), al-qira’ah (murid membaca guru mendengar), al-ijazah (guru
memberi izin murid untuk meriwayatkan haditsnya) dan lain-lain.
c) Macam-macamnya yaitu macam-macam periwayatan apakah bertemu langsung
Wilayah periwayatan hadits dirayah adalah apakah penelitian sanad dan matan
periwayatan yang meriwayatkan dan diriwayatkan bagaimana kondisi dan sifatnya diterima
atau ditolak, shahih dari rasul atau dha’if. Dengan demikian ilmu hadits dirayah berbeda
dengan ilmu hadits riwayah.
Pendiri ilmu hadits dirayah adalah Al-Qadhi abu Muhammad Al-Hasan bin Abdulrahman
bin Khalak Ar-Ramahurmurzi (W.360H). Ilmu hadits diriyah ini mempunyai banyak nama
diantaranya sebagai berikut: Ulum Al-Hdits, Ushul Al-Hadits, Ushul Ar-Riwayah, dan
Muththalah Al-Hadits.3
2. Metode dan Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian sunnah atau hadits, siperlukan kritik, baik yang berkenaan dengan sanad
yang di sebut kritik eksternal (an-naqd ad-al-khariji), dan kritik matan, yang disebut kritik
internal (an-naqd-dakhili atau an-naqd al-bathini). Sanad dan matan inilah yang menjadi
wilyah penelitian bidang hadits. Ada beberapa metode dan pendekatan yang digunakan para
peneliti dalam bidang hadits, antara lain sebagai berikut:
a) Metode Perbandingan (comparative/muqaranah)
Dalam penelitian hadits perlu pennelusuran suatu hadits dari berbagai buku induk hadits
agar mendapat dokumentasi hadits secra utuh, yaitu sanad dan matannya sebagai upaya
pengumpulan data. Kemudian dari hasil penelusyuran tersebut akan di dapatkan sanad yang
berbeda dan terkadang redaksi matanpun juga berbeda, sekalipun maknnya sama. Para ahli
akan mengelolah dan menganalisis dokumentasi hadits tersebut dari berbagai segi dengan
cara membandingkan antara satu dengan yang lain. Di situlah terlihat seorang perawi yang
jenius dan memiliki daya inggat yang kuat periwayatannya sesuai dengan periwayatan perawi
lain yang memiliki kredibilitas yang sama.Berbeda dengan seorang perawi yang lemah,
biasanya periwayatannya bertentangan atau kontra dengan perawi yang kuat. Metode
komperatif ini bisa untuk menilai hadits perawi yang lemah dan perawi yang kuat,
persambungan sanad, adanya cacat, dan lain-llain. Prof. M. Musththafa AL-A’zhmi

3
M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) hlm, 4-5.

5
mengatakan, bahwa sejauh menyangkut keritik nash atau dokumen terdapat banyak metode,
tetapi hampir semua metode itu dimasukkan kedalam kategori perbandingan (cross
reference).4
Dengan memperbandingkan antara satu hadits dalam beberapa sanad dari berbagai
sumber buku induk dpat ditemukan keotentikan sebuah hadits dan dapat dikethui perawi
mana yang menyimpang.
b) Metode kualitatif deskriptif
Penelitian hadits tergolong penelitian kualitatif sehingga metode analisisnya adalah
deskriptif analisis, yaitu dilakukan utuk menjelaskan semua komponen tersebut, baik yang
berkaitan dengan sanad atau matan. Ace Suryadi dan A.R. Tilaar menjelaskan bahwa tujuan
pendekatan deskriptif ini adalah mengemukakan penafsiran yang benar secara ilmiah
mengenai gejala kemasyarakatan agar diperoleh kesepajkatan umum.5 Dalam penelitian
hadits pada umumnya pendekatan ini digunakan dalam menjelaskan beografi seorang perawi
hadits, mulai dari lahir dan wafatnya, tempat tinggal, pendidikan, sifat-sifat keadilan dan
kecacatan, daya ingat dan hafalan yang dimiliki, dan lain-lain termasuk tentang isi kandungan
matan hadits.
c) Normatif
Pendekatan normatif secara khusus dapat digunakan untuk menganalisis data
dokumentasi hadist yang berkaitan dengan kritik internal (ad-dakhili), yaitu kritik matan.
Tolok ukurnya adalah tidak bertentangan Al-Quran, hadits yang lebih kuat, akal sehat, indra,
sejarah dan susunan bahasa. Pendekatan normatif atau pendekatan preskriptif juga dapat
digunakan dalam rangkah pemecahan suatu masalah (problem solving), yaitu dengan
menawarkan norma-norma, kaidah-kaidah, dan resep-resep dalam demensi rasionalitas dan
moralitas, aqli dan naqli sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama ilmu hadits.
d) Pendekatan Historis
Pendekatan historis atau kesejarahan digunakan dalam ruang kritik eksternal yaitu Sanad
karena sunnah merupakan fakta sejarah yang berkaitan dengan segala sesutu yang berkaitan
dengn perkataan, perbuatan, sifat, dan pengakuan Nabi SAW. Para ahli hadits berpendapat
bahwa study matan hadits atau ilmu hadits riwayah tidak berarti, jika tidak disertai dengan
ilmu hadits Dirayah yaitu analisis kesejarahan terhadap perkataan dan perbuatan Rasulullah
SAW bahkan sifat-sifat dan kedaan para transmitter (perawi) hdits dan matannya.
4
M. Musthafa Al-A’zhami, Studies in Hadist Metodhelogy and Literature, (Jakarta: Pustaka Hidayah,
1992) hlm, 86.
5
Ace Suryadi dan A.R Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan, (Bandung: Rosdakarya, 1994) hlm, 46.

6
Demikian juga Prof. Dr. Thaha Ad-Dassuqi Hubaysyi (Guru Besar Ilmu Hadits di
Universitas Al-Azhar Mesir) berpendapat bahwa nalaisis historis atau sejara merupakan
keharusan bagi para peneliti dan transmitter hadits, karena tugas transmitter adalah
menyampaikan informsi dari berbagai generasi, sedangkan tugas peneliti adalah memeriksa
sifat dan kondisi para transmitter tersebut. Hadits nabi adalah sejarah hidup Nabi yang benar-
benar terjadi, bukan angan-angan logis yang menetapkan ada atau tidaknya suatu perkara dan
yang memerlukan ekspremen.
Pendekatan historis mutlak digunakan Dalam penelitian hadits atau sunnah karena hadits
itu sendiri adalah merupakan dokumentasi sejarah, baik sanadd yang terjadi atau para
transmitter dari generasi ke generasi maupun isi hadits itu sendiri. Sartono Kartodirdjpo
menekankan bahwa apabila suaru penelitian masyarakat mengambil prespektif atau orientasi
histiris, maka bahan dokomenter mempunyai arti metodologis yang sangat penting.
Keempat metode dan pendekatan diatas sangat di perlukan dalam penelitian hadits secara
empiris sehingga dapat menemukan pemahaman yang benar terhadap hadits tersebut, nnbaik
kedudukannya sebagai sumber ilmu pengetahuan dan kemajuan.
3. Faedah Mempelajari Ilmu Hadits
Banyak sekali faedah dan manfaat yang diperoleh dalam mempelajari ilmu hadits, tetapi
yang sangat urgen di antaranya sebagai berikut:
1) Mengetahui istilah-istilah yang disepakati ulama hadits dalam penelitian hadits.
Demikian juga dapat mengenal nilai-nilai dan kreteria hadits; mana hadits dan mana
yang bukan hadits.
2) Mengetahui kaidah-kaidah yang disepakati para ulama dalam menilai, menyaring
(filtresasi) dan mengkelasifikasikan kedalam beberapa macam, baik dari segi
kuantitas maupun kualitas sanad dan matan hadits sehingga dapat menyimpulkan
mana hadits yang di terima dan aman hadits yang di tolak.
3) Mengetahui usaha-usaha dan jerih payah yang di tempu para ulama dalam menerima
dan menyampaikan periwayatan hadits, kemudian menghimpun dan
mengodifikasikannya ke dalam berbagai kitab hadits.
4) Mengenal tokoh-tokoh ilmu hadits, baik dirayah maupun riwayah yang mempunyai
peran penting dalam perkembangan pemeliharaan hadits sebagai sumber syari’ah
Islamiyah sehingga hadits terpelihara dari pemalsuan tangan-tangan kotor yang tidak
bertangung jawab. Seandainya trjadi hal tersebut, merekapun dapat mengungkap dan
meluruskan yang sebenarnya.

7
5) Mengetahui hadits yang shahih,hasan, dha’if, muttashil, mursal, munaquthi, mu’dhal,
maqlub, masyhur, grahib, aziz mutawatir, dan lain-lain.
Demikian pentingnya ilmu hadits untuk dipelajari bagi semua umat islam, terutama bagi
yang inggin mempelajari ilmu agama secara dalam sehingga tidak goyah dalam menghadapi
iman yang meragukan otentisitas hadits.
4. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
Sesuai dengan perkembangan hadits, ilmu hadits selalu mengiringinya sejak masa
Rasulullah sekalipun beliau dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Pada masa Nabi masa
hidup di tengah –tengah sahabat hadits tidak ada persoalan karena jika mengahadapi suatu
masalah dan skeptis dalam suatu masalah mereka langsung bertemu dengan beliau dan
mengecek kebenarannya. Pemalsuan hadits pun tidak pernah terjadi menurut pendapat para
hadits.
Adapun pernyataan Ahmad Amin bahwa dimungkinkan terjadi adanya pada masa nabi
masih hidup hanya dugaan belakang, tidak disertai bukti dan memang tidak ada bukti yang
mendukungnya. Sekalipun pada masa nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadits Rasulullah,
tetapi para penelitian hadits memperhatikan adanya dasar-dasar dalam Al-Quran dan hadits
Rasululah. Misalnya anjura pemeriksaan berita yang datang dan perlunya kesaksian yang
adil. Firman Allah SWT dalam surah Al-Hujrat:6.

ٍ‫ما ِب َج َهالَة‬
ً ‫يبوا َق ْو‬
ُ ‫ص‬ ٍْ َ‫اسقٍ ِب َنبَإٍ َف َتبَ َّي ُنوا أ‬
ِ ‫ن ُت‬ ِ ‫م َف‬
ٍْ ‫اء ُك‬
َ ‫ن َج‬
ٍْ ‫آم ُنوا ِإ‬ ٍَ ‫يٍَا أَيُّ َها ا َّل ِذ‬
َ ‫ين‬
ٍ‫ين‬
َ ‫م َنا ِد ِم‬
ٍْ ‫ما َف َع ْل ُت‬
َ ٍ‫ص ِب ُحوا َعلَى‬
ْ ‫َف ُت‬
Artinya:Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita maka periksalah dengan teliti agar kamu dapat menimpahkan suatu musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan kaum menyesal atas
perbuatannya itui.
Ayat di atas menunjukkan pemberitahuan dan pemeriksaan orang fasik tidak akan
diterima tetapi muslim mengatakan sekalipun pemberitahuan dan persaksian tidak sama
pentingya tetapi dalam beberapa hal mempunyai arti yang sama. Tidak semua berita yang
dibawah seseorang dapat diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa isi berita
tersebut. Jika pembawanya orang jujur, adil, dan dapat dipercaya maka akan diterima dan
sebaliknya jika orangnya tidak adil, tidak jujur, haditsnya tidak diterima karena akan
menimpahkan musibah pada orang lain yang menyebbkan penyesalan dan merugikan.

8
Setelah Rasulullah meninggal kondisi sahabat Sngatlah berhati-hati dalam meriwayatkan
hadits karena konsentrasi mereka kepada Al-Quran yang baru dimodifikasikan pada masa
Abu bakar tahap awal dan masa Usman adalah tahap kedua. Masa ini di kenal dengan masa
taqlil ar-riwayah (pembatasan periwayatan) para sahabat tidak meriwayatkan hadits kecuali
disertai dengan saksi dan bersumpah bahwa hadits yang diriwyatkan benar-benar dari
Rasulullah SAW.
Akan tetapi setelah terjadi konflik fisik (fitnah) antara elite politik yaitu antara pendukung
Ali dan Mu’awiyah dan umat terpecah menjadi beberapa sekte: syi’ah, khawarij, dan jumhur
muslimin. Setelah itu mulailah terjadi pemalsuan hadits (hadits maudhu) dari masing-masing
sekte dalam rangka mencari dukungan politik ms yang lebih luas. Perkembangan ilmu hadits
semakin pesat ketika ahli hadits kuat atau tidak bagaimana metode penerimaan dan
penyampaian hadits yang kontra bersifat menghapus atau kompromi, kalimat hadits sulit
dipahami dan lain-lain. Akan tetapi aktifitas seperti itu dalam perkembngannya berjalan
secara lisan dari mulut kemulut dan tidak tertulis.
Ketika pada pertengahan adab kedua hijiyah sampai abad ketiga hijriyah, ilmu hadits
mulai ditulis dan di kodifikasikan dalam bentuk yang sederhana belum terpisah dari ilmu-
ilmu lain, belum berdiri sendiri, masih campur dengan ilmu-ilmu lain atau berbagai buku atau
berdiri secara terpisah. Misalnya ilmu hadits bercampur dengan ilmu ushul fiqh, serta dalam
kitab Al-Risalah yang di tulis oleh Asy-Syafi’i, atau campur dengan fiqh seperti kitab Al-
Umm dan solusi hadis-hadis yang kontra dengan diberi nama ikhtilaf Al-Hadits karya Asy-
Syafi’i (w.204 H).
Sesuai dengan pesatnya perkembangan kodifikasi hadits yang di sebut pada masa
kejayaan atau keemasan hadits, yaitu pada abad ke tiga Hijriyah, perkembangan penulisan
ilmu hadits juga pesat, karena perkembangan keduanya secara periringan. Namun, penulisan
ilmu hadits masih terpisah, belum menyatu dan menjadi ilmu berdiri sendiri, ia masih dalam
bentuk bab-bab saja. Mushthafa As-Sib a’i mengatakan orang pertama kali menulis ilmu
hadits adalah Ali bin Al-Madani, syaikhnya Al-Bukhari, Muslim, dan At-Tirmizi. Dr. Ahmad
Umar Hasyim juga menyatakan bahwa orang pertama menulis ilmu hadits adalah Ali bin Al-
Madini dan permasalahannya sebagaimana yang ditulis oleh Al-Bukhari dan muslim. Di
antara kitab-kitab ilmu hadits pada abad ini adalah kitab Mukhtalif Al-Hadits, yaitu ikhtilaf
Al-Hadits karya Ali bin Al- Madini, dan Ta’wil Mukhtalif Al-Hadits karya ibnu Qutaibah (w.
276 H). Kedua kitab tersebut ditulis untuk menjawab tantangan dari serangan kelompok
teolog yang sedang berkembang pada masa itu, terutama dari golongan Mu’tazila dan ahli
bid’ah.

9
Di antara ulama ada yang menulis ilmu hadits pada mukadimah bukunya seperti imam
muslim dalam shahih-nya dan At-Tirmidzi pada akhir kitab jami’-nya. Di antara mereka Al-
Bukhari menulis tiga tarikh, yaitu At-Tarrikh Al-Kabir,At-Tarikh Al-Awsath dan At-Tarikh
Ash-Shaghir, muslim menulis Thabaqat At-Tabi’in dan Al-‘Ilal, At-Tirmidzi menulis Al-
Asma’ wa Al-Kuna dan kitab At-Tawarikh, dan Muhammad bin sa’ad menulis Ath-Thabaqat
Al-Kubra. Dan diantara mereka ada yang menulis secara khusus tentang periwayatan yang
lemah seperti Adh-Dhu’afa yang ditulis oleh Al-Bukhari dan Ad-Dhu’afa ditulis oleh An-
Nasa’i dan lain-lain.
Banyak sekali kitab-kitab ilmu hadits yang ditulis para ulama abad ke-3 Hijriyah ini,
namun buku-buku tersebut belum berdiri sendiri sebagai ilmu hadits, ia hanya terdiri dari
bab-bab saja. Ringkasannya, kitab-kitab tersebut mengenai Al-Jarh wa At-Ta’dil, Ma’rifat
Ash-shahabah, Tarikh Ar-Ruwah,Ma’rifat Al-Asma’ wa Al-kuna wa Al-Alqab, Tawil Musykil
Al-Hadits, Ma’rifat An-Nasikh wa Al-Mansukh, Ma’rifat Gharib Al-Hadits, dan Ma’rihat
‘IlalAl-Hadits.
Perkembangan ilmu dits mencapai puncak kematangan dan berdirui sendiri pada abad ke-
4 H yang merupakan penggabungan dan penyempurmaan berbagi ilmu yang berkembang
pada abad-abad sebelumnya secara terpisah dan berserakan. Al-Qadhi Abu Muhammad Al-
Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (w360 H) adalah orang yang pertama
kali memunculkan ilmu hadits yang paripurna dan berdiri sendiri dalam karyanya Al-
Muhaddits Al-Fashil bain Ar-Rawi wa Al-Wa’i. Akan tetapi, tentunya tidak mencankup
keseluruhan Permasalahan ilmu, kemudian diikuti oleh Al-Hakim Abu Abdullah An-
Naisaburi (w450 H) yang menulis Marifah Ulum Al-Hadits tetapi kurang sistematik, Al-
Khathib Abu Bakar Al-Baghdadi (w.364 H) yang menulis Al-Jami li Adab Asy-Syaikh wa As-
Sami’ dan kemudian diikuti oleh penulis-penulis lain, diantaranya sebagai beriku:
1) Al-kifayah fi’Ilmi Ar-Riwayah dan Al-jami’li Akhlaq Ar-Rawinwa Adab As-sami’,
oleh Al-Khathib Al-Baghdadi (w.364 H).
2) Al-Mustakhraj’ala Marifah Ulum Al-Hadits, tidulis oleh Al-Ashbahani (w.430
H),pelengkap kitab Al-Hakim.
3) Al-Ilma’ala Ma’rifah Ushul AR-Riwayah wa Taqyid As-sama’, oleh Al-Qadhi ‘Iyadh
bin musa Al-Yahshubi (w.544 H).
4) Ulum Al-Hadits, oleh Abu Amr Utsman bin Abdurrahman Asy-Syahruzuri yang
dikenal Ibnu Ash-Shalah (w.643).
5) Nazhm Ad-Durar fi’ilmi Al-Atsar, oleh zainuddin Abdurrahim bin Al-Husain Al-Iraqi
(w.806).

10
6) Nukhbat Al-Fikar fi Mushthalah Ahl-Atsar, oleh Ibnu Hajar Al-Aqalani (w.852).
7) Fath Al-Mughits fi syarh Alifah Al-Hadits, oleh As-Sakhawi (w.902 H).
8) Al-Mazhumah Al-Baiquniyyah, oleh Umar bin Muhammad Al-Baiquni (w.1080 H).
9) Qawa’id At-Tahdits, oleh Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi (w.1332 H).
Ringksan perkembangan pembukaan ilmu hadits:
1) Masa Nabi Muhammad SAW, Karakter telah ada dasar-dasar ilmu hadits, Indikator
Qs. Al-Hujurat (49):6 dan Qs.Al-Baqarah (2):282.
2) Masa sahabat, Karakter timbul secara lisan secara eksplisit, Indikator Periwayatan
harus disertai saksi, bersumpah, dan sanad.
3) Masa tabi’in, Karakter telah timbul secara tertulis, tetapi belumterpisah dengan ilmu
yang lain, Indikator ilmu hadits bergabung dengan ilmu fiqh dan ushul fiqh, seperti
Al-Umum dan Ar-Risalah.
4) Masa Tabi’ Tabi’in, karakter berdiri sendiri sebagai ilmu hadits, Indikator, Telah
muncul kitab-kitab ilmu hadits, seperti At-Tarikh Al-Kabir li Al-Bukhari, Thabaqat
At-Tabi’in, dan Al-Ilal karya muslim, Kitab Al-Asma wa Al-Kuna dan kitab At-
Tawarikh karya At-Tirmizi.
5) Masa setelah Tabi’Tabiin (abad ke-4 H) Karakter Berdiri sendiri sebagai ilmu hadits,
Indikator, ilmu hadits pertama Al-Muhaddits Al- Fashil Bayn Ar-Rawi wa Al-wa’i
karya Ar-Rahmahurmuzi.
5. Cabang-cabang Ilmu Hadits
Banyak sekali cabang-cabang ilmu hadits para ulamamenghitungnya secara beragam.
Ibnu SH-Shalah menghitungnya 60 cabang, bahkan ada yang menghitungnya hanya 6 hingga
10 cabang, tergantung kepentingan penghitung itu sendiri. Ada yang menghitungnya secara
terperinci dan ada pula yang menghitungnya secara global saja. Jika di hitung 6 cabang
adalah Ilmu tarikh Ar-ruwah, Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, Ilmu Grarb Al-Hadits, Ilmu
Mukhtalif Al-Hadits wa Musykilatuh, Ilmu Nasikh Mansukh, dan ilmu Ilal Al-Hadits. Jika
yang berpendapat 10 cabang, maka sebagaimana pembagian penulisan pada buku ini.
Cabang-cabang imu hadits yang terpenting, baik dilihat dari segi sanad atau matan dapat
dibagi menjadi beberapa macam, yaitu sebagaimana berikut:
1) ‘Ilmu Rijal Al-Hadits
Ilmu Rijal Al-Hadits dibagi menjadi dua, yaitu ‘Ilmu Tawarikh Ar-Rawahdan ‘Ilmu
Al-Jarh wa At-Tad’dil. Secara sederhana dapat dikatakan bahawa ‘Ilmu Tawarikh Ar-
Ruwahadalah ilmu yang mempelajari waktu yang membatasi keadaan kelahiran, wafat,
peristiwa/kejadian, dan lain-lain.

11
Jadi, ‘Ilmu Tawarikh Ar-Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang hal keadaan
para perawi hadits dan biografinya dari segi kelahiran dan kewafatan mereka, siapa guru-
gurunya atau dari siapa mereka menerimah sunnah dan siapa murid-murid, atau kepada siapa
mereka menyampaikan periwayatan hadits, baik dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan tabi’
tabi’in.
Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung (muttasihil) atau tidaknya
Sanad suatu hadits. Maksud persambungan sanad adalah pertemuan langsung apakah perawi
berita itu bertemu langsung dengan gurunya ataukah tidak, atau hanya pengakuan saja.
Semua itu dapat didektesi melalui ilmu ini. Muttashil sanad ini nanti di jadikan suatu
keberhasilan suatu hadits dari segi sanad.
Pertama kali orang yang sibuk memperkenalkan ilmu ini secara ringkas adalah Al-
Bukhari (w.256 H) kemudian muhammad bin Sa’ad (w.230 H) dalam Thabaqatnya.
Berikutnya, Izzuddin bin Al-Atsir (w.630 H) menulis Usud Al-Ghabah fi Asma Ash-
Shahabah, Ibnu Hajar Al-Asqalani (w.852 H) yang menulis Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-
Shahabah, kemudian diringkas oleh As-Suyuthi (w.911 H) dalam bukunya yang bernama
‘Ayn-Al-Ishabah, dan Al-Wafayat karya Ibnu Zabir Muhammad bin Abdullah Ar-Rubi (w.379
H).
2) ‘Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Dr. Subhi Ash-Shalih memberikan definisi ‘Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, adalah ilmu
yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang datang dari keadaan mereka, dari apa
yang mencela mereka, atau yang memuji mereka dengan menggunakan kata-kata khusus.
Jadi, Ilmu ini membahas tentang nilai cacat (al-jarh) atau adilnya (at-ta’dil) seorang
perawi dengan mengunakan ungkapan kata-kata tertentu dan memiliki hieraki tertentu. Nilai
kadar cacat seorang perawi dituangkangkan dalam berbagai buku Al-jarh wa At-Ta’dil
berdasarkan hasil observasi dan pengamatan penelitian seorang yang telah tahu persis tentang
persoalan ini yang berdasarkan fakta dan data yang akurat.
Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui sifat atau nilai keadilan, kecacatan dan atau
ke-dhabith-an (kekuatan daya ingat ) seorang perawi hadits. Jika sifatnya adil dan dhabith-an
maka hadisnya dapat diterima sebagai hadits yang shahih dan jika cacat, tidak ada keadilan
dan ke-dhabith-an maka haditsnya tertolak.
Ibnu Adi (w.365 H) dalam mukadimah Al-Kamil menjelaskan nilai keadilan para ahli
hadits sejak masa sahabat. Di antara sahabat yang menyebutkan sifat dan keadaan para
perawi hadits adalah Ibnu Abbas, Ubadah bin Shamit, dan Anas bin Malik. Dan di antara
tabi’in adalah Asy-Sya’bi, Ibnu Sirin, dan Sa’ad bin Al-Musayyab, sedikit sekali di antara

12
mereka yang digolongkan cacat (tajrih) dalam keadilan. Pada abad kedua Hijriyah, mulailah
terdapat Para perawi yang dha’if. Pada masa akhir tabi’in, yaitu sekitar pada tahun 150 H,
bangkitlah para ulama untuk mengungkap para perawi yang adil (Ta’dil) dan yang cacat (
tajrih),di antara mereka adalah yahya bin Sa’id Al-Qathan dan Abdurrahman Al-Mahdi.
3) ‘ilmu ‘Ilal Al-Hadits
Dalam bahasa al-‘illah diartikan al-marad = penyakit. Dalam istilah ilmu hadits adalah
suatu sebab tersembunyi yang membuat cact pada hadits, sementara lahirnya tidak tampak
adanya cacat tersebut.
‘Ilmu hadits adalah ilmu yang membahas tentang sebab-sebab yang samar yang
membuat kecacatan keshahihan hadits, seperti me-wasshal-kan hadis yang munqathu dan me-
marfu-kan hadits yang mawquf, memassukkan suatu hadits ke hadits yang lain. Ilmu ini
adalah salah satu dari Ulum Al-Hadits yang paling utama, karena ‘Ilal Al-Hadits ini tidak
dapat terungkap kecuali oleh para ulama yang memiliki keilmuan yang sempurnah tentang
tingkatan para perawi dan memiliki indra yang kuat tentang matan dan sanad.
Tujuan mempelajari ini adalah untuk mengetagui siapa di antara periwayat hadits
yang terdapat ‘illal, Ibnu Abi Hatim (w.227 H) dengan karyanya ‘Ilal Al-Hadits, Ad-
Daruquthni (w.375 H) dengan karyanya Al-‘Ilal Al-Waridah fi Al-Ahadits, Ahmad bin
Hanbal dengan karyanya Al-‘Ilal wa Ma’rifat Ar-Rijal, At-Tirmidzi dengan karyanya Al-‘Ilal
Al-Kabir dan Al-‘Ilal Ash-Shaghir, dan lain-lain.
4) ‘Ilmu Gharib Al-Hadits
‘Ilmu gharib adalah ilmu yang mempelajari makna matan hadits dari lafal yang dan
asing bagi kebanyakan manusia, karena tidak umum di pakai orang arab.
Misalnya, hadits tentang shalat: shalatlah berdiri dan barang siapa yang tidak
mampu berdiri hendaklah duduk dan jika tidak mampu duduk, hendaklah tiduran diatas
lambung. Tidur di atas lambung termasuk gharib karena masih sulit atau kurang dapat
dipahami. Maksud hadits shalat di atas lambung apakah lambung yang sebelah kanan atau
sebelah kiri. Kemudian di jelaskan dengan perkataan Ali maka atas lambung kanan.
Tujuan mempelajari ilmu ini untuk mengetahui mana kata-kata dalam hadits yang
tergolong gharib dan bagaimana metode para ulama memberikan interpretasi kalimat gharib
dalam hadits tersebut. Apakah melalui perbandingan beberapa sanad dalam hadits yang sama
atau melalui jalan lain.
Pertama kali yang menulis ilmu ini adalah Abu Ubaidah Ma’mar Bin Al-Mutsanna
Al-Bashri (w.210 H), kemudian Abu Al-Hasan bin Syumail Al-Mazani (w.204 H), Abu
Ubaid Al-Qasim bin salam (w.223 H), Ibnu Qutaibah (w.276 H), kemudian Az-Zamakhsyari

13
(w.606 H) dengan karyanya An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits wa Al-Atsar yang diringkas
oleh As-Suyuthi (w.911 H) dengan nama Ad-Durr An-Natsir Talkhish Nihayah Ibnu Al-
Atsir.
5) ‘Ilmu Mukhtalif Al-Hadits
Dr.Muhammad Ath-Thahan menjelaskan secara sederhana bahwa Mukhtalif AL-
Hadits adalah makhbul kontradiksi dengan sesamanya serta memungkinkan dikompromikan
antara keduanya.
Ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah ilmu yang membahas hadits-hadits yang lahirnya
terjadi kontradiksi akan tetapi dapat dikompromikan, baik dengan cara di taqyid
(pembatasan) yang mutlak, thakhshish al-‘am (pengkhususan yang umum), atau dengan yang
lain. Ilmu ini juga disebut Ilmu Talfiq Al-Hadits. Misalnya penulisan hadis pada masa awal
perkembangan islam sebagaimana pada bab sebelumnya, ada hadis yang melarang penulisan
hadis dan ada pula hadis yang berisi perintah menulis hadits, dan lain sebagainya. Jika terjadi
seperti di atas, maka langkah penyelesaian dikompromikan (al-jam’u wa at-tawfiq) yaitu
dengan cara takhsish al-‘amm (mengkhususkan yang umum) nasikh mansukh, dan lain-lain.
Tujuan ilmu ini mengetahui hadits mana saja yang kontra satu dengan yang lain dan
bagaimana pemecahannya atau langkah-langkah apa yang dilakukan para ulama dalam
menyikapi hadits-hadits yang kontra tersebut.
Pertama kali yang menulis Ilmu Mukhtalif Al-Hadits ini adalah Asy-Syafi’i (w.204 H)
dengan karyanya ikhtilaf Al-Hadits, Ibnu Qutaibah (w.276 H) dengan karyanya Ta’wil
Mukhtalif Al-Hadits, Ath-Thahawi dengan karyanya Musykil Al-Atsar dan lain-lain.
6) ‘Ilmu Nasikh wa Mansukh
Menurut ulama ushul fiqh, nasakh adalah pembatalan hukum syara’ oleh syari’
(pembuat syariat) dengan dalil syara’ yang datang kemudian.
Menurut ahli hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang menaskh
dan yang menasakh.
Ilmu Nasikh wa Mansukh membahas hadits-hadits yang kontradiktif yang tidak
mungkin dikompromikan, maka slah satunya yang datangnya belakangan sebgai nasikh dan
yang lain datangnya duluan sebgai mansyukh. Misalnya transaksi nikah kontra (mut’ah)
pernah diperbolehkan dalam satu pertempuran berbulan-bulan, kemudian belakangan
dilarang Rasululah SAW. Demikian juga masalah ziarah kubur dan membekam.
Tujuan mempelajari ilmu ini untuk mengetahui salah satu proses hukum yang
dihasilkan dari hadits dalam bentuk nasikh mansukh dan mengapa terjadi nasikh mansukh.

14
Pertama kali yang menulis Nasikh Al- Hadits wa Mansukhuhu adalah Ahmad bin
Ishak Ad-Dinari (w.318 H), Muhammad bin Bahr Al-Ashbahani (w.322 H), Hibatullah bin
Salamah (w.410 H), Muhammad bin Musa Al-Hamizi (w.584 H), dan Ibnu Al-Jauzi (w.597
H). Buku-buku Nasikh Mansukh yang tenar, antara lain: Al-I’tibar fi An-Nasikh wa Al-
Masukh min Al-Atsarkarya Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimi, An-Nasikh wa Al-
Masukh karya imam Ahmad, dan Tajrid Al-Ahdits Al-Masukhah karyah Ibnu Al-Jauzi.
7) ‘Ilmu Fann Al-Mubhamat
Ilmu fann Al- Mubhamat adalah ilmu yang membicarakan tentang seorang yang
samar dalam matan atau sanad.
Misalnya dalam hadits banyak didapatkan hanya disebutkan seorang laki-laki
bertanya kepada Rasululah, demikian juga dalam sanad di sebutkan dari seorang laki-laki
meriwayatkan, dan seterusnya. Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan nama-nama para perawi
yang belum disebutkan oleh Shahih Al-Bukhari dalam kitabnya Hidayat As-Sari
Muqaddimah Fath Al-Bari..
Tujuan ilmu ini mengetahui siapa sebenarnya nama-nama atau identitas orang-orang
yang disebutkan dalam matan atau sanad hadits yang masih samar-samar atau tersembunyi.
Di antara yang menyusun ilmu ini adalah Al-Khathib Al-Baghadi yang kemudian
diringkas dan dibersihkan oleh An-Nawawi dalam hukumnya Al-Isyarat ila Bayadi Asma Al-
Mubhamat. Waliyuddin Al-Iraqi dengan karyanya Al-Mustafad min Mubhamat Al-MATN
WA Al-Ishanad, dan lain-lain.
8) ‘Ilmu Abab Wurud Al-Hadits
Menurut istilah Asbab Al-WurudnAl-Hadits adalah ilmu yang menerangkan sebab-
sebab datangnya hadits dan beberapa munasabanya(latar belakang).
Ilmu Asbab Warud Al-Hadits adalah ilmu yang menjelaskan sebab-sebab datangnya
hadits, latar belakang, dan waktu terjadinya.Misalanya, datangnya suatu hadits karena nabi di
tanya oleh seorang sahabat tentang suatu masalah yang di anggap sulit baginya. Ilmu ini
sngat penting makna yang terkandung oleh matan hadits secara konteksual seperti halnya
Ilmu asbab Nuzul Al-Quran (sebab-sebab turunya Al-Quran)bagi pemahaman Al-Quran.
Tujuan mengetahui ilmu ini untuk mengetahui sebab-sebab dan latar belakang
munculnya suatu hadits, sehingga dpat mendukung dalam pengkajian makna hadits yang di
kehendaki.
Ulama pertama menyusun ilmu ini adalah Abu Hafsh Umar Bin Muhammad bin Raja
Al-Ukrabi (w.309 H) Ibnu Hamzah Al-Huzaini (w.1120 H) yang menulis Al-Bayan wa At-

15
Ta’rif, As-Suyuthi(w.911 H) yang menulis Asbab Wurud Al-Hadits atau Al-Luma’fi Asbab
Wurud Al-Hadits, dan lain sebagainya.
9) ‘Ilmu Tashhif wa Tahrif
Ilmu Tashhif wa Tahrif adalah ilmu yang membahas hadits-hadits yang di ubah
titiknya (mushahhaf) atau di ubah bentuknya (muharraf).
Misalnya kata:
Tujuannya, mengetahui kata-kata atau nama yang salah dalam sanad atau matan
hadits dan bagaimana sesungguhnya yang benar sehingga tidak terjadi kealahan terus
menerus dalam penungkilan dan mengetahui derajat kualitas kecerdasan dan ke-dhabith-an
seorang perawi.
Di antara kitab yang membicarakan tentang ilmu ini adalah kitab Ad-Dar Quthni
(w.385 H) At-Tashhif li Ad-Daruquthi, dan kitab Tashhifat Al-Muhadditsin yang di tulis oleh
Abu Ahmad Al-Aksari (w.283 H), Ishlah Khatha’ Al-Muhadditsin yang di tulis oleh Al-
Khathabi, dan lain-lain.
10) ‘Ilmu Mushthalah Al-Hadits
‘Ilmu Mushthalah Al-Hadits adalah ilmu yang membahas tentang pengertian istilah-
istilah ahli hadits dan yang dikenal di antara mereka.
Maksudnya ilmu ini membicarakan pengertian istilah-istilah yang dipergunakan ahli
hadits dlam penelitian dan di sepakati mereka, sehingga menjadi populer di tengah-tengah
mereka. Misalnya, sanad, matan, mukharrij, mutawatir ahad, shahih dha’if dan lain-lain.
Tujuannya, untuk memudahkan para pengkaji dan peneliti hadits dalam mempelajari
dan resit hadits, karena para pengkaji dan peneliti tidak akan dapat melakukan kegiatannya
dengan mudah tanpa mengetahui istilah-istilah yang telah di sepakati oleh para ulama.
Di antara ulama yang pertama menulis ilmu ini adalah Abu Muhammad Ar-
Rahmahurmuzi (w360 H) yang menulis Al-Muhaddits Al-Fashil Bayn Ar-Rawi wa Al-Wa’i,
kemudian di ikuti oleh yang lain seperti Al-Hakim An-Naisaburi (w.430 H) yang menulis
Ma’rifat Ulum Al-Hadits, dan Abu Nu’aim Al-Ashbahani (w.430 H) Al-Mustakhraj ala
ma’rifat Ulum Al-Hadits.

16

Anda mungkin juga menyukai