Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

Sebelum masuk pada pembahasan pengertian istihsan, perlu di jelaskan


terlebih dahulu pengertian kata yang membentuknya, istihsani – yastahsinuu -
istihsana, artinya menganggap sesuatu lebih baik adanya sesuatu itu lebih baik,
atau mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih baik untuk di
ikuti.

Adapun menurut istilah syara’ sebagaimana didefinisikan oleh Abdul


Wahhab Khallaf, Istihsan ialah “Berpindahnya seorang mujtahid dari qiyas jadi
(jelas) kepada qiyas khafi (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum
pengecualian dikarenakan adanya dalil yang membenarkanya.1

Ada dua kelompok pendapat ulama tentang istihsan sebagai symber


hukum, yaitu kelompok yang menerima dan kelompok yang menolak.

a. Mahzab Hanafi, Maliki, dan mazhab Hambali adalah kelompok yang


menerima istihsan sebagai sumber hukum. Dengan demikian, mereka
menggunakan istihsan dan ijtihadnya. Dasar yang meereka gunakan
adalah al-Qur’an dan Hadis Nabi.
1. Al-Qur’an surat al-Zumar/39 ayat 18:
Artinya: Orang yang mendengarkan perkataaan lalu mengikuti apa
yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi
Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
Bagi mereka para pendukung istihsan, ayat di atas berisi pujian kepada
orang-orang yang mengikuti perkataan (pendapat) yang baik. Mengikuti istihsan
berarti mengikuti sesuatu yang baik, oleh karena itu istihsan dapat di jadikan
landasan hukum..

1
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt.)
hlm. 79.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Istihsan

Dilihat dari segi kebahasan istihsan berarti “menganggap baik suatu hal”.
Sedangkan menurut istilah ulama’ usul fiqih istihsan dapat diartikan
“meninggalkan qiyas yang nyata (jali) untuk menjalankan qiyas yang tidak nyata
(khafi), atau berpindah dari hukum kulli dan kepada hukum istisna (pengecualian)
karena ada dalil yang menurut logika memperbolehkannya. Atau denga redaksi
lain dapat dikatakan bahwa istihsan itu adalah berpindah dari hukum yang telah
ditetapkan pada suatu kasus tertentu berdasarkan qiyas yang nyata, kepada hukum
lain untuk kasus yang sama berdasarkan qiyas yang tidak nyata (samar), karena
ada dalil syara’ yang mengharuskan untuk melakukan hal tersebut.

Pada qiyas terdapat dua kasus. Kasus pertama belum pernah ditetapkan
hukumnya karena tidak ada nash yang secara tegas dapat dijadikan dasar hukum.
Untuk menetapkan hukumnya dicari kasus yang mempunyai kekuatan hukum
berdasarkan nash dan mempunyai persamaan illat dengan kasusu pertama. Atas
dasar persamaan illat ini ditetapkan hukum kausu pertama sama dengan kasus
kedua.

Adapun pada istihsan hanya ada satu kasus, dan kasus itu telah ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash. Kemudian, nash lain yang mengharuskan untuk
meninggalkan hukum yang telah ditetapkan tadi dan pindah ke hukum lain, sekali
pun hukum yang pertama berdasarkan dalil yang nyata (kuat) dan hukum yang
kedua berdasarkan dalil yang samar-samar.

Begitu juga bila didapatkan suatu dalil kulli (umum) yang menetapkan
suatu hukum, lalu didapatkan dalil lain yang mengecualian suatu hukum dari dalil
kulli tersebut, maka ditetapkan hukum lain yang berbeda dengan hukum yang
ditetapkan dalil kulli tersebut.

2
Dengan kata lain yang dicari seorang mujtahid dalam qiyas adalah
persamaan illat dua kasus, sedangkan yang dicari pada istihsan adalah dalil mana
yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari suatu kasus atau
peristiwa tertentu.

Dari uraian di atas maka untuk membentuk istihsan dapat ditempuh


melalui tiga macam cara:

a. Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas jali kepada yang dikehendaki
oleh qiyas khafi. Dalam hal ini mujtahid tidak menggunakan qiyas jali
dalam menetapkan hukumnya, tetapi menggunakan qiyas khafi (samar).
Karena menurut perhitungan, cara itulah yang paling kuat (tepat).
Contohnya, dalam kasus mewakafkan tanah yang terdapat di dalamnya
jalan dan sumber air minum. Maka dengan semata mewakafkan tanah itu
sudah meliputi jalan dan sumber air minum itu atau belum? Kalau
mujtahid menggunakan pendekatan qiyas yang biasa (qiyas jali), maka
jalan dan sumber air tidak termasuk kedalam wakaf tersebut karena hal itu
di qiyas kan dengan jual beli dan illatnya hanya melepaskan kepemilikan
hak milik tanah. Jika mujatahid beralih dari qiyas jali dengan menempuh
pendekatan lain yang menyamakannya dengan sewa menyewa, maka jalan
dan sumber air tersebut masuk kepada tanah yang di wakafkan, meskipun
tidak disebut dalam akad wakaf. Pendekatan seperti ini juga menggunakan
qiyas namun dari segi kekuatan illatnya dianggap lemah sehingga
dinamakan qiyas khafi (samar). Mujtahid lebih cenderung menempuh cara
ini karena pengaruhnya dalam mewujudkan kemudahan di pandang lebih
tinggi. Pendekatan seperti ini disebut dengan istihsan atau istihsan qiyas.
Contoh lainnya hukum air yang dijilat oleh burung buas (seperti elang dan
gagak). Nash syara’ tidak menyebutkan hukumnya. Cara biasa yang
digunakan oleh ulama’ adalah dengan memakai qiyas dengan demikian air
bekas jilatan burung buas tidak bersih karena diqiyaskan dengan daging
binatang buas. Karena ada persamaan illat, yaitu dalilnya haram untuk
dimakan, maka liurnya pun dianggap tidak bersih. Maka air jilatan burung

3
buas dianggap tidak bersih. Jika menggunakan istihsan (qiyas khafi) maka
hukum air yang bekas jilatan burung itu bersih. Dalam hal ini karena
burung buas tidak di qiyas kan kepada binatang buas tapi di qiyas kan
kepada burung biasa. Air yang diminum oleh burung biasa hukumnya
bersih karena burung itu minum dengan paruhnya, sehiingga air tidak
bersentuhan dengan air liur yang melekat di lidahnya keadaan seperti ini
juga berlaku pada burung buas. Meskipun dagingnya haram dimakan,
namun daging burung itu hanya menyatu dalam iar liurnya yang tidak
bersentuhan dengan air. Burung minum dengan paruhnya sedangkan paruh
ini bersih maka air yang dijilatnya juga bersih.
b. Beralih dari apa yang dituntut oelh nash yang umum kepada hukum yang
bersifat khusus. Artinya bahwa nash yang bersifat umum yang dapat
menetapkan hukum suatu masalah dalam keadaan tertentu, hukumnya
tidak dapat diterapkan, karena adanya sebab.maka berlaku lah dalil yang
khusus, contohnya: penerapan sanksi hukum terhadap pencuri.menurut
ketentuan umum, al-Qur’an menghukuminya dengan potong tangan sesuai
dengan ayat berikut ini.yang artinya: “laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya...(QS.al-
Maidah/5:38)
Berdasarkan ayat tersebut tangan pencuri harus dipotong. Namun bila
pencurian ini dilakukan pada masa paceklik atau kelaparan, maka hukum
potong tangan ini tidak berlaku kepada pencuri sebagaimana yang pernah
dilakukan oleh Ummar bin Khattab. Dalam kondisi tersebut berlaku
hukum khusus. Beralihnya hukum umum kepada hukum khusus ini
disebut dengan istihsan.
c. Beralih dari tuntunan hukum kulli kepada tuntunan yang dikehendaki oleh
hukum pengecualian karena adanya maslahah. Hal ini dapat ditempuh
melalui:
1. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan urf
(kebiasaan). Contohnya ucapan yang berlaku pada sumpah. Bila orang
bersumpah tidak akan makan daging tapi ternyata kemudian ia makan

4
ikan, maka ia dinyatakan tidak melanggar meskipun ikan dalam al-
Qur’an termasuk daging, karena dalam urf (kebiasaan), yang berlaku
dalam ucapan sehari-hari bahwa ikan ini tidak termasuk daging.
2. Meninggalkan dalil yang biasa digunakan dan beramal dengan cara
lain karena ada faktor kemaslahatan. Contoh, tanggung jawab mitra
dari tukang yang memperbaiki barang. Bila barang yang diperbaikinya
itu rusak ditanganya. Berdasarkan qiyas, ia tidak wajib menggantinya
karena kerusakan itu terjadi ketika ia membantu pekerja. Namun
berdasarkan pendekatan istihsan ia wajib manggantinya demi
terwujudnya kemashlahatan yaitu memelihara dan menjamin harta
orang lain.
3. Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindari kesulitan
dan memberikan kemudahan kepada umat. Contohnya, adanya
kelebihan sedikit dalam menukar sesuatu dalam ukuran yang banyak.
Tindakan ini dibenarkan meskipun menurut ketentuan yang berlaku
kalau menukar itu harus tepat(pas).

2.2 Kehujahan Istihsan

Seperti yang di jelaskan di pendahuluan sebelumnya, ada dua kelompok


yang menerima dan menolak istihsan.

a. Mahzab Hanafi, Maliki, dan Mazhab Hambali adalah kelompok yang


menerima istihsan sebagai sumber hukum. Dengan demikian, mereka
menggunakan istihsan di dalam ijtihadnya. Dasar yang mereka gunakan
adalah al-Qur’an dan Hadist Nabi.

Istihsan dapat di jadikan sumber hukum bagi pertama ini di dasari juga oleh
alasan logis:

1. Istihsan pada hakikatnya bukan sumber hukum yang mandiri. Karena


dalam penetapan hukum yang berdasar istihsan harus ada faktor-faktor

5
yang memenagkannya sebagai dalil yang dapat membenarkannya atau
dengan jalan istihlah. Dengan demikian maka hati mereka menjadi
tentram.
2. Istihsan itu hanyalah istidlal (berdalil) dengan qiyas khafi yang menang
atas qiyas jali atau berhujah dengan maslahah mursalah (kepentingan
umum), atas pengecualian bagian hukum kulli. Semua itu adalah istidlal
yang di benarkaan.2
b. Imam Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i (w.204 H) seorang pendiri mazhab
Syafi’i adalah kelompok yang menolak keberadaan istihsan sebagai
sumber hukum, dengan ungkapannya yang jelas dia mengemukakan:
“man astahsana faqod syaro’a”
Artinya: “Siapa yang beristihsan maka ia membuat hukum baru”.3
Dasar yang di gunakan oleh imam syafi’i untuk menolak istihsan didasari
oleh beberapa ayat al-Qur’an berikut ini:
1. Surat al-An’am/6 ayat 38:
Artinya: ....tiadalah kami alpakan sesuatu pun dalam Al-kitab
kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (QS. Al-
An’am/6;38)
2. Surat al-Nahl/ 16 ayat 44:
Artinya: keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab, dan kami
turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah di turunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan.
3. Surat al-Ma’idah/ 5 ayat 49:
Artinya: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka,
supaya mereka tidak memalimgkam kamu dari sebagian apa yang
telah di turunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum
2
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt.)
hlm. 83.
3
Ibid., hlm. 83.

6
yang telah di turunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesumgguhmya
Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka di
sebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnnya
kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.

Berlandaskan kepada tiga ayat di atas, Imam Syafi’i berkesimpulan


bahwa istihsan tidak diperlukan. Karena menurutnya al-Qur’an dan hadis sebagai
penjelas al-Qur’an telah di anggap sebagai sumber hukum sempurna dan lengkap
untuk menjadi rujukan penetapan hukum, sehingga tidak perlu menggunakan
istihsan yang cenderung mengikuti kesimpulan pribadi yang dapat di pengaruhi
oleh hawa nafsu. Menurut Wahbah Zuhaili sebagaimana dikutip oleh Satria
Effendi, bahwa penolakan keras Imam Syafi’i dimaksud adalah terhadap istihsan
yang didasarkan oleh hawa nafsu semata yang tanpa di dasari oleh syara’ yang di
praktikkan di Irak bukan istihsan yang sudah di rumuskan secara definitif oleh
penganutnya yang tidak di dasari oleh hawa nafsu tetapi mentarjih salah satu dari
dua dalil yang bertentangan karena di pandang lebih menjangkau tujuan
pembentukan hukum.

7
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Istihsan berasal dari kata istihsani – yastahsinuu - istihsana, artinya


menganggap sesuatu lebih baik adanya sesuatu itu lebih baik, atau mengikuti
sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih baik untuk di ikuti.

Adapun menurut istilah syara’ sebagaimana didefinisikan oleh Abdul


Wahhab Khallaf, Istihsan ialah “Berpindahnya seorang mujtahid dari qiyas jadi
(jelas) kepada qiyas khafi (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum
pengecualian dikarenakan adanya dalil yang membenarkanya.

pada istihsan hanya ada satu kasus, dan kasus itu telah ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash. Kemudian, nash lain yang mengharuskan untuk
meninggalkan hukum yang telah ditetapkan tadi dan pindah ke hukum lain, sekali
pun hukum yang pertama berdasarkan dalil yang nyata (kuat) dan hukum yang
kedua berdasarkan dalil yang samar-samar.

Mahzab Hanafi, Maliki, dan Mazhab Hambali adalah kelompok yang


menerima istihsan sebagai sumber hukum. Dengan demikian, mereka
menggunakan istihsan di dalam ijtihadnya. Dasar yang mereka gunakan adalah al-
Qur’an dan Hadist Nabi.

Imam Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i (w.204 H) seorang pendiri mazhab


Syafi’i adalah kelompok yang menolak keberadaan istihsan sebagai sumber
hukum, dengan ungkapannya yang jelas dia mengemukakan: “man astahsana
faqod syaro’a” Artinya: “Siapa yang beristihsan maka ia membuat hukum
baru”.

8
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahra, Muhammad. Ushul Fiqih. Beirut: Daar al-Fikr al-Araby, 1958.

Abd. Wahhab, Tajuddin bin Ali al-Subki. Jam’u al-Jawami’I fi Ushul al-
Fiqih, Beirut; Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2002, Cet. Ke-2.

Effendi, Satria M. Zein. Ushul Fiqih. Jakarta: Sa’adiyah Putra, 1983. As-
Sullam. Bukit Tinggi, 1958.

Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqih. Mesir: Maktabah al-Da’wah al-
Islamiyah, tt.

Syariffudin, Amir. Ushul Fiqih Jilid 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Qorib, Ahmad. Ushul Fiqih 2. Jakarta: PT Nimas Multima, 1997.

Zaidan, Abdul Karim. Al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh. Beirut: Muassasatal-


Risalah 1985.

Anda mungkin juga menyukai