Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS ILMU HADIS DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU

Disusun guna memenuhi tugas UAS mata kuliah pendidikan Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Erik Sabti Rahmawati MA

Di Susun Oleh:
M. Ekyas Rasikh Zubaier
220201110126
HKI C

HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
KAJIAN ONTOLOGI
a) Pengertian Hadis dan Sunnah
Hadis menurut bahasa, berarti al-Jadid (sesuatu yang baru), al-khabar (berita) yaitu
sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.
Adapun secara terminologi kata hadis ini berdekatan dengan kata sunnah. Ulama
mutaqaddimin membedakan antara sunnah dan hadis, menganggap sunnah sebagai sesuatu
yang diambil dari Nabi Saw. tanpa membatasi waktu. Sementara hadis adalah segala
perkataan, perbuatan atau ketetapan yang disandarkan kepada Nabi Saw. pasca kenabian.
Sedangkan ulama mutaakhirin menganggap bahwa sunnah maupun hadis memiliki
pengertian yang sama, yaitu segala ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi Saw.
Adapun menurut ulama hadis, ada beberapa defenisi antara lain
A. Segala perkataan Nabi SAW. perbuatan dan hal ihwalnya.
B. Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir maupun sifatnya.
C. Segala sesuatu yang disandarkan Nabi Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir
maupun sifatnya
D. Sifat-sifat Nabi yang diriwayatkan oleh para sahabat.
E. Firman Allah selain Alquran yang disampaikan oleh Nabi yang disebut hadis Qudsi.
F. Surat-surat yang dikirimkan Nabi, baik yang dikirim kepada para sahabat yang
bertugas di daerah maupun yang dikirim kepada pihak-pihak di luar islam.

Ulama hadis pada umumnya, menyatakan bahwa “Hadis ialah segala ucapan Nabi, segala
perbuatan beliau, segala taqrir (pengakuan) beliau dan segala keadaan beliau”. Kata “segala
keadaan beliau” termasuk: sejarah hidup beliau yakni waktu kelahiran beliau, keadaan
sebelum dan sesudah beliau diangkat menjadi Rasul dan sebagainya. Ulama Ushul
berpendapat bahwa hadis ialah segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi yang berkaitan
dengan hukum.
Ada perbedaan antara ulama menyangkut definisi sunah disebabkan oleh cara
peninjauannya. Ulama hadis meninjau dari segi pribadi Rasulullah saw. adalah pribadi
teladan dan sehingga segala yang bersangkut paut dengan beliau adalah uswatun hasanah.
Ulama ushul meninjau pribadi Rasulullah sebagai pengatur Undang-undang di samping
Alquran yang menciptakan dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid yang menjelaskan tentang
aturan hidup. Oleh karena itu sunah dibatasi hanya dalam hal-hal yang bersangkutan dengan
hukum saja
Hadis dalam pandangan Syiah, ialah sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada
yang ma’shum yaitu Nabi Saw. dan imam 12, baik itu berupa perkataan, perbuatan, maupun
ketetapan dan dijadikan sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.
b) Aspek Kajiannya
Kajian ini merupakan deskripsi dan sejarah perjalanan sebuahhadis, mulai dari sumbernya
(Nabi SAW) sampai kepada orang yang terakhir meriwayatkannya (mukharrij), serta sejak
penghafalannya hingga pencatatan dan pembukuannya, berikutnya ialah aspek kajiannya:
1) Periwayatan.
2) Pencatatan.
3) Pengkajian sanad-sanadnya.
4) Menguji status setiap hadits apakah Shahih, Hasan, ataupun Dhaif
Disamping itu, dalam kajian ini pun dibahas berkaitan dengan pengertian hadits dan
faedah-faedah yang dapat dipetik darinya
Hadits dapat di artikan sebagai perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), pernyataan (taqrir)
dan sifat, keadaan, himmah dan lain-lain yang diidhafatkan kepada Nabi SAW. Salah satu
ruang lingkup atau objek pembahasan Hadits adalah al-ihwal hadits dalam kriteria qauliyah,
fi’liyah, taqririyah, kauniyah dan hamiyah Nabi itu sendiri.

KAJIAN EPISTIMOLOGI
Metode untuk memperoleh ilmu hadits ini secara substansial juga dibagi menjadi dua
menurut pembagian ilmu hadits yang pertama tadi. Ilmu hadits riwayah diperoleh dengan
menggunakan metode hafalan karena sifatnya adalah menjaga agar nuqilan dari Nabi tidak
berubah. Sedangkan ilmu dirayah hadits cara memperolehnya adalah dengan melakukan
penelitian sanad hadits dan matan hadits.
Sanad hadits diteliti dalam segi muttasil atau bersambung dan ke-tsiqahannya juga
kedhabitannya. Hal ini dilakukan dengan cara melihat sejarah Islam dan melihat biografi
perawi dalam buku-buku Tabaqat atau Tarikh. Sedangkan dalam segi matan dengan
melakukan penelitian matan dengan cara meneliti dan menganalisis apakah dalam matan
tersebut terdapat illat dan syadz. Hal itu dapat dilakukan dengan cara membandingkan
dengan kaidah bahasa Arab, dengan menggunakan ilmu nahwu, sharaf dan balaghah.
Dengan ini dapat ditentukan apakah hadis tersebut diterima atau tidak untuk dijadikan
pedoman. Maka dengan hal ini dapat juga dibuktikan bahwa ilmu hadits mempunyai metode
tersendiri dan merupakan ilmu yang berdiri sendiri. Bahkan validitas ilmu ini sudah tidak
diragukan lagi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri.
Dari metode kritik sanad atau penelitian sanad dan matan yang dilakukan di atas, maka
ilmu ini akan memunculkan cabang-cabang ilmu, seperti ilmu jarh wa al-ta’dil, ilmu rijal al-
hadis dan lain sebagainya. Namun semua itu masih dalam naungan ilmu hadis.
Pada periwayatan Hadits harus terdapat empat unsur yakni:
a. Rawi ialah subjek periwayatan, rawi atau orang yang menyampaikan atau
menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengarnya atau diterima dari
seseorang (gurunya).
b. Sanad atau thariq ialah jalan menghubungkan matan Hadits kepada Nabi
Muhammad SAW. Sanad ialah sandaran hadits, yakni referensi atau sumber yang
memberitahukan Hadits, yakni rangkaian para rawi keseluruhan yang
meriwayatkan Hadits.
c. Matan menurut bahasa antara lain punggung jalan (muka jalan), tanah keras yang
tinggi, tujuan akhir atau tujuan puncak (al-mumatanah) karena matan adalah
tujuan puncak sanad, pembelah (mengeluarkan hadis dari hafalan-hafalan
mereka), pembalut yaitu memperkuat matan dengan cara menyebut sanad supaya
kuat keberadaannya. Matan adalah materi berita, yakni lafazh (teks) Haditsnya,
berupa perkataan, perbuatan atau taqrir, baik yang dii dhafahkan kepada Nabi
SAW, sahabat atau tabi’in, yang letaknya suatu Hadits pada penghujung sanad.
d. Rijalul Hadits ialah tokoh-tokoh terkemuka periwayat hadits yang di akui ke
absahannya dalam bidang hadits. Dengan demikian untuk mengetahui seseorang
di sebut sebagai rijalul hadits ditentukan oleh ilmu rijalul hadits
Jalan untuk menerima hadis itu ada 8 macam, yaitu:
a. as-sama’ atau mendengar lafazh Syaikh.
Gambarannya: seorang guru membaca dan murid mendengarkan, baik guru membaca dari
hafalannya atau tulisannya, dan baik murid mendengar dan menulis apa yang didengarnya,
atau mendengar saja dan tidak menulis.
b. al-qira’ah,atau membaca kepada syeikh.
Yakni suatu cara penerimaan hadits dengan cara seseorang membacakan hadits di
hadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan, maupun orang lain sedang sang guru
mendengarkan atau menyimaknya, baik sang guru hafal ataupun tidak dan dia memegang
kitabnya atau mengetahui tulisannya dan dia tergolong tsiqah.
c. Al-Ijazah
Yakni seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatan hadits atau
kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun sang murid tidak membacaan
kepada gurunya atau tida mendengar bacaan gurunya.
d. al-Munawalah
Yakni seorang guru memberikan sebuah materi tertulis kepada seseorang untuk
meriwayatkannya.
e. al-Kitabah
Yaitu seorang Syekh menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis riwayatnya
kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ.
f. al-I’lam
Yakni memberikan informasi kepada seseorang bahwa ia memberikan izin untuk
meriwayatkan hadits tertentu
g. al-Washiyyah
Yaitu seorang Syeikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan,
sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi.
h. al-wijadah
Yakni seorang memperoleh hadits orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadits
dengan tidak melalui cara as-sama’, al-Ijazah atau al-Munawalah.

KAJIAN AKSIOLOGI
Ilmu hadis ini dalam penerapannya terikat nilai. Karena ilmu ini menyeleksi para perawi
yang meriwayatkan hadits dengan ketat dan tepat. Sedangkan kegunaan ilmu ini banyak
sekali. Antara lain: tanpa adanya ilmu hadits ini, maka umat Islam tidak mempunyai
pegangan untuk memfilter hadits yang akan dijadikan rujukan hukum, maka akibatnya hadits
dhoif dan palsu juga masuk atau dijadikan rujukan. Sehingga kevalidan hukum Islam akan
menjadi tidak valid, karena rujukan yang dipakai tidak memenuhi standar.
Dengan ilmu hadits ini kita dapat menyeleksi hadits yang kita terima sehingga, hadits
yang kita terima tidak ada yang palsu dan dapat kita gunakan sebagai acuan amal kita. Maka
amal kita akan mendapatkan nilai tersendiri.
Apabila tidak ada ilmu hadits maka fungsi hadits sebagai penjelas al-Qur’an akan menjadi
bias, karena semua hadits akan masuk sebagai penjelas al-Qur’an termasuk hadits palsu yang
biasanya hanya untuk kepentingan politik tertentu atau golongan tertentu, dan hal itu akan
merusak pemahaman terhadap al-Qur’an. Fungsi hadits sebagai penguat-pun juga tidak dapat
dijalankan apabila tidak diketahui mana hadits yang benar-benar orisinil dari Nabi.
Ulama’ memerhatikan validitas kebenaran bertingkat-tingkat dengan mempertimbangkan
jumlah manusia, yang membawa kebenaran. Secara umum hadis dapat dibagi menjadi
beberapa jenis sesuai dengan perspektif yang digunakan.Pada pembahasan ini klasifikasi
hadis ada dua yaitu berdasarkan kuantitas dan kualitas.
a. Hadis berdasarkan kuantitas
1. Hadis Mutawatir
Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak sejak awal sanad sampai akhirnya, yang
menurut kebiasaan mustahil mereka bersepakat untuk berdusta. sebuah hadis dikatakan hadis
mutawatir jika memenuhi beberapa persyaratan, yakni:
a. Diriwayatkan oleh banyak periwayat
b. Adanya keyakinan bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta.
c. Adanya jumlah periwayat yang sama (keseimbangan) pada tiap-tiap jalur sanad
d. Berdasarkan tanggapan panca indera.
2. Hadis Ahad
hadis ahad ialah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir. Para ulama
membagi hadis ahad menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Hadis Masyhur (sesuatu yang sudah tersebar atau popular)
b. Hadis ‘Aziz (yang mulia, yang jarang, yang kuat)
c. Hadis gharib(yang sulit dipahami)

b. Hadis berdasarkan kualitas


1. Hadis Shahih
Hadis Shahih adalah hadis yang sah, hadis yang sehat, atau hadis yang selamat dan
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dan tidak terdapat
kejanggalan dan cacat.
2. Hadis Hasan
Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang adil
tetapi kurang sedikit dhabit, tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan dan tidak juga
terdapat cacat.
3. Hadis Dhaif
hadis dhaif adalah hadis yang tidak memenuhi salah satu atau semua persyaratan
hadis shahih dan hadis hasan. Para ulama memperbolehkan untuk meriwayatkan hadis dhaif
dengan dua syarat:
a) tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah,
b) tidak menjelaskan hukum syara’ seperti hala dan haram, tetapi berkaitan dengan
mau’idzah, targhib wa tarhib, kisah-kisah dan lain-lain

Fungsi Hadis
Sebagai seorang muslim keberadaan hadis merupakan hal yang tidak terbantahkan
lagi. Hadis menjadi salah satu sumber rujukan umat islam dalam melakukan berbagai
kegiatan dalam kehidupannya baik yang bersifat agamis maupun amalan-amalan sehari-hari.
Namun perlu dijelaskan bahwa kedudukan atau posisi Hadis merupakan sumber hukum
setelah Alquran yang wajib untuk dipedomani. Banyak ayat yang memberi pengakuan bahwa
hadis atau sunnah Rasul merupakan dalil dan sumber hukum kedua setelah Alquran. Dengan
demikian apa yang menjadi hadis maupun sunnah beliau merupakan interpretasi dan
penjelasan ayat-ayat sehingga menjadi rujukan kedua apabila ayat Alquran tidak menjelaskan
dengan rinci suatu persoalan.
Nabi Muahammad saw. mempunyai tugas dan peran yang sangat signifan dalam
kehidupan umat manusia. Beliau menjadi rasul atau utusan Allah swt. untuk menyampaikan
dan menjelaskan ajaran-ajaran-Nya yang termuat dalam Alquran kepada umat manusia.

Anda mungkin juga menyukai