Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan nafas kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan
makalah dengan judul : Ulumul Hadits.
Tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW. beserta para Sahabatnya yang merupakan inspirator terbesar dalam segala
keteladanannya.
Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah
Agama Islam Kemuhammadiyahan yaitu Bapak Wahyu Fajar, S.Pi yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini.

Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun seperti kata pepatah “tak ada gading yang tak retak” begitu pun
juga makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi.

Semoga makalah ini memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis khususnya,
dan memberikan banyak manfaat kepada pembaca pada umumnya. Sesuai dengan
sabda Rasullullah SAW. “Sebaik-baik diantara manusia sekalian, ialah
orang yang memberi manfaat kepada orang lain”.

Tangerang, 27 April 2015

Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan.
Sumber dari  pengetahuan tersebut ada dua macam yaitu naqli dan aqli.
Sumber yang bersifat naqli ini merupakan pilar dari sebagian besar ilmu
pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik dalam agamanya secara
khusus, maupun masalah dunia pada umumnya. Dan sumber yang sangat
otentik bagi umat Islam dalam hal ini adalah Alquran dan Hadis Rasulullah
SAW. Allah telah menganugerahkan kepada umat kita para pendahulu yang
selalu menjaga Alquran dan hadis Nabi SAW. Mereka adalah orang-orang
jujur, amanah, dan memegang janji. Sebagian diantara mereka mencurahkan
perhatiannya terhadap Alquran dan ilmunya yaitu  para mufassir. Dan
sebagian lagi memprioritaskan perhatiannya untuk menjaga hadis Nabi dan
ilmunya, mereka adalah para ahli hadis.

Salah satu bentuk nyata para ahli hadis ialah dengan lahirnya istilah Ulumul
Hadits (Ilmu Hadits) yang merupakan salah satu bidang ilmu yang penting di
dalam Islam, terutama dalam mengenal dan memahami hadits-hadits Nabi
SAW. Karena hadits merupakan sumber ajaran dan hukum Islam kedua
setelah dan berdampingan dengan Alquran. Namun  begitu perlu disadari
bahwa hadis-hadis yang dapat dijadikan pedoman dalam perumusan hukum
dan pelaksanaan ibadah serta sebagai sumber ajaran Islam adalah hadis-hadis
yang Maqbul (yang diterima), yaitu hadits sahih dan hadits hasan. Selain
hadits maqbul, terdapat pula hadits Mardud, yaitu hadits yang ditolak serta
tidak sah penggunaannya sebagai dalil hukum atau sumber ajaran Islam.
Bahkan bukan tak mungkin jumlah hadits mardud jauh lebih banyak
jumlahnya daripada hadits yang maqbul.
Untuk itulah umat Islam harus selalu waspada dalam menerima dan
mengamalkan ajaran yang bersumber dari sebuah hadits. Artinya, sebelum
meyakini kebenaran sebuah hadits, perlu dikaji dan diteliti keotentikannya
sehingga tidak terjerumus kepada kesia-siaan. Adapun salah satu cara untuk
membedakan antara hadits yang diterima dengan yang ditolak adalah dengan
mempelajari dan memahami Ulumul Hadits yang memuat segala
permasalahan yang berkaitan dengan hadits.

1.2 Tujuan Pembahasan


- Mengetahui pengertian Ulumul Hadits.
- Mengetahui pokok-pokok yang termaksuk dalam Ulumul Hadits.
- Mengetahui unsur-unsur dalam Ulumul Hadits.
- Mengetahui kedudukan dan kehujjahan hadits dalam Islam.
- Mengetahui fungsi dan hubungan hadits dengan al-Qur’an dan Islam.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ulumul Hadits


Ilmu Hadits atau yang sering diistilahkan dalam bahasa Arab dengan Ulumul
Hadits yang mengandung dua kata, yaitu “ulum” dan “al-Hadits”. Kata ulum
dalam bahasa Arab adalah bentuk  jamak dari “ilm” yang berarti ilmu-ilmu,
sedangkan al-Hadis dari segi bahasa mengandung  beberapa arti, diantaranya
baru, sesuatu yang dibicarakan, sesuatu yang sedikit dan banyak.

Sedangkan menurut istilah Ulama Hadits adalah “apa yang disandarkan


kepada Nabi SAW baik  berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah
beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya”. Sedangkan menurut ahli
ushul fiqh, hadis adalah “perkataan, perbuatan, dan  penetapan yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW setelah kenabian”. Adapun sebelum
kenabian tidak dianggap sebagai hadits, karena yang dimaksud dengan hadits
adalah mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya. Dan ini tidak dapat
dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian. Adapun gabungan
kata ulum dan al-Hadits ini melahirkan istilah yang selanjutnya dijadikan
sebagai suatu disiplin ilmu, yaitu Ulumul Hadits yang memiliki pengertian
“ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi SAW”.

Kata al-Hadits adalah kata mufrad, yang jamaknya adalah al-ahadits dan
dasarnya adalah tahdits artinya pembicaraan. Dari sisi bahasa, kata hadits
memiliki beberapa arti, diantaranya adalah :
1. Al-jadid, artinya yang baru, lawan katanya adalah al-qadim yang artinya
yang lama, dalam arti ini menunjukan adanya waktu dekat dan singkat.
2. Al-thariq artinya jalan, (jalan yang ditempuh).
3. Al-khabar, artinya berita.
4. Al-sunah, artinya perjalanan.
2.2 Pokok-pokok dalam Ulumul Hadits
Secara garis besar, ulama hadis mengelompokkan ilmu hadits ke dalam dua
bidang pokok, yakni ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah.
1. Ilmu Hadis Riwayah
Menurut bahasa, riwayah dari akar kata rawa, yarwi, riwayatan, yang
berarti an-nagln : memidahkan dan penukilan, adz-dzikir : penyebutan,
dan ad-fatl : pemintalan. Periwayatan adalah memindahkan berita atau
menyebutkan berita dari orang tertentu kepada orang lain dengan
dipertimbangkan/dipintal kebenarannya. Dalam bahasa Indonesia sering
disebut riwayat dalam arti memindahkan berita dari sumber berita kepada
orang lain. Ilmu Hadis Riwayah, secara istilah sebagaimana yang
dikemukakan Dr. Shubhi Ash-Shalih :
Ilmu Hadits Riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang periwayatan
secara teliti dan  berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan maupun sifat
serta segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat tabi‟in.

Definisi lain mengatakan : Ilmu yang mempelajari tentang segala


perkataan kepada Nabi, segala perbuatan beliau,  periwayatannya, batas-
batasannya, dan ketelitian segala redaksinya. Kedua definisi di atas
memberi konotasi makna yang sama, yaitu objek pembahasannya adalah
perkataan Nabi atau perbuatannya dalam bentuk periwayatan tidak semata-
mata datang sendiri. Di sini berarti fokusnya pada matan atau isi berita
hadis yang disandarkan kepada Nabi atau juga disandarkan kepada sahabat
dan tabi‟in. oleh karena itu, Ilmu ini disebut riwayah, karena semata-mata
hanya meriwayatkan apa yang disandarkan kepada Nabi. Ilmu Hadis
Riwayah ini sudah ada sejak periode Rasulullah SAW, bersamaan dengan
dimulainya periwayatan hadis itu sendiri. Sebagaimana diketahui, para
sahabat menaruh  perhatian tinggi terhadap hadis Nabi Muhammad SAW.
Mereka berupaya mendapatkannya dengan menghadiri majelis Rasulullah
SAW dan mendengar serta menyimak pesan atau nasehat yang
disampaikan Nabi Muhammad SAW. Mereka juga memerhatikan dengan
seksama apa yang dilakukan Rasulullah SAW, baik dalam beribadah
maupun aktivitas social, serta akhlak Nabi SAW sehari-hari. Semua itu
mereka  pahami dengan baik dan mereka pelihara melalui hapalan mereka.
Selanjutnya, mereka menyampaikannya dengan sangat hati-hati kepada
sahabat lain atau tabi‟in. para tabi‟in pun melakukan hal yang sama,
memahami hadis, memeliharanya, dan menyampaikannya kepada tabi‟in
lain atau tabiat-tabiin (generasi sesudah tabi‟in).

2. Ilmu Hadits Dirayah


Dari segi bahasa kata dirayah berasal dari kata dara, yadri, daryan,
dirayatan/dirayah : pengetahuan. Sedangkan secara istilah yaitu ilmu yang
mempelajari tentang hakikat periwayatan, syarat-syaratnya, macam-
macamnya, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat
mereka, macam-macam  periwayatan, dan hal-hal yang berkaitan
dengannya. Wilayah Ilmu Hadits Dirayah adalah penelitian sanad dan
matan, periwayatan, yang meriwayatkan dan yang diriwayatkan,
bagaimana kondisi dan sifat-sifatnya, diterima atau ditolak, shahih dari
Rasul atau dha‟if. Ilmu Hadis Dirayah mempunyai nama-nama lain,
seperti : Ulum Al-Hadits, Ushul Al- Hadits, Ushul Ar-Riwayah dan
Mushthalah Al-Hadits. Masing-masing nama tersebut mempunyai filsafat
makna yang berdekatan antara satu dengan yang lain. Ilmu Hadis Dirayah
artinya secara sederhana pengetahuan (dirayah) tentang hadits, baik
berkaitan sanad maupun matan.

2.3 Unsur-unsur Ulumul Hadits


1. Sanad
Menurut bahasa, kata ‫ند‬AAAAA‫س‬ (sanad) mengandung kesamaan arti
kata ‫طريق‬ (thariq) yaitu jalan atau sandaran. Sedangkan menurut istilah
hadis, sanad ialah jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadits.
Dalam bidang ilmu hadits sanad itu merupakan neraca untuk menimbang
shahih atau dhaifnya. Andai kata salah seorang dalam sanad ada yang fasik
atau yang tertuduh dusta atau jika setiap para pembawa berita dalam mata
rantai sanad tidak bertemu langsung (muttashil), maka hadits tersebut
dhaif sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Demikian sebaliknya jika para
pembawa hadits tersebut orang-orang yang cakap dan cukup persyaratan,
yakni adil, takwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri (muru’ah), dan
memilikimdaya ingat yang kredibel, sanadnya bersambung dari satu
periwayat ke periwayat lain sampai pada sumber berita pertama, maka
haditsnya dinilai shahih.
Tidak layak naik ke loteng atau atap rumah kecuali dengan tangga.
Maksud tangga adalah sanad, jadi seseorang tidak akan mungkin sampai
kepada Rasulullah dalam periwayatan hadits melainkan harus melalui
sanad. Pernyataan di atas memberikan petunjuk, bahwa apabila sanad
suatu hadits benar-benar dapat di pertanggung jawabkan keshahihannya,
maka hadits itu pada umumnya berkualitas shahih dan tidak ada alasan
untuk menolaknya. Studi sanad khusus hanya dimiliki umat Muhammad,
umat-umat terdahulu sekalipun dalam penghimpunan kitab suci mereka
dan juga tidak ditulis pada masa Nabi nya tidak disertai sanad. Padahal
ditulis setelah ratusan tahun dari masa Nabi nya. Kitab suci mereka ditulis
berdasarkan ingatan beberapa generasi yang dinisbatkan pada Nabi Isa
yang tidak di sertai dengan sanad.

2. Matan
Kata matan menurut bahasa berarti: keras, kuat, suatu yang nampak dan
yang asli. Dalam perkembangan karya penulisan ada matan dan syarah.
Matan disini di maksudkan karya atau karangan asal seseorang yang pada
umumnya menggunakan bahasa yang universal, padat, dan singkat.
Dimaksudkan dalam konteks hadits, hadits sebagai matan kemudian
diberikan syarah atau penjelasan yang luas oleh para ulama, misalnya
Shahih Bukhari disyarahkan oleh Al-Asqolani dengan nama Fath al-Bari’
dan lain-lain.

Yang di sebut dengan matan hadits, ialah pembicaraan (kalam) atau materi
berita yang diover oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda
Rasulullah saw, sahabat atau tabi’in. Baik isi pembicaraan itu tentang
perbuatan Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak di sanggah oleh
Nabi, Misalnya, Al-Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw
bersabda,”Penghulu syuhada adalah Hamzah dan orang yang berdiri
dihadapan penguasa untuk menasehatinya lantas ia dibunuh karenanya”.
Pernyataan demikian merupakan matan (isi dari sebuah hadits) yang
diriwayatkan oleh Imam Malik. Contoh lain, Imam Bukhari dan Imam
Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,”Masyarakat itu
berserikat dalam tiga barang: air, padang gembalaan, dan api”. Sabda
Rasul tersebut merupakan matan hadits yang diriwayatkan oleh kedua
perawi hadits tersebut.

3. Rawi
Rawi adalah orang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa
yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (guru). Bentuk
jamaknya ruwah dan perbuatannya menyampaikan hadis tersebut
dinamakan me-rawi (meriwayatkan hadits). Seorang penyusun atau
pengarang, bila hendak menguatkan suatu hadtis yang ditakhrijkan dari
suatu kitab hadis pada umumnya membubuhkan nama rawi (terakhirnya)
yakni salah satunya Imam Muslim, Imam Bukhari, Abu Daud, Ibnu
Majah, dan lain sebagainya. Ini berarti bahwa rawi yang terkhir bagi kita
semisal Bukhari dan Muslim, kendatipun jarak kita dan beliau sangat jauh
dan tidak segenerasi, namun demikian kita dapat menemui dan menguji
kitab beliau, hal ini merupakan sanad yang kuat bagi kita bersama. Untuk
menghemat mencantumkan nama-nama rawi yang banyak jumlahnya,
penyusun kitab hadits, biasanya tidak mencantumkan nama-nama para
perawi secara keseluruhan, melainkan hanya merumuskan dengan
bilangan yang menunjukan banyak atau sedikitnya rawi hadis pada akhir
matnul haditsnya. Misalnya rumusan yang diciptakan oleh Ibnu Isma’il as-
Shan’any dalam kitab Subulus-Salam:
a. Akhrajahus-Sab’ah: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu
Dawud, Turmidzi, An-Nasa’iy, dan Ibnu Majah.
b. Akhrajahus-Sittah: diriwayatkan oleh enam rawi, yakni tujuh rawi
diatas kecuali Imam Ahmad.
c. Akhrajahul-Khamsah: diriwayatkan oleh lima orang rawi, yakni tujuh
rawi diatas, di kurangi Buklhari dan Muslim. Rumusan ini dapat
diganti dengan istilah Akhrajahul-Arba’ah wa Ahmad.
d. Akhrajahul-Arba’ah: Ashabus-Sunan yang empat yakni Abu Dawud,
At-Turmidzi, An-Nasa’iy, dan Ibnu Majah.
e. Akhrajus-Tsalatsah: diriwayatkan oleh tiga orang rawi yakni Abu
Dawud, At-turmidzi, dan An-Nasa’iy.
f. Akhrajahus-Syaikhain: diriwayatkan dua imam hadis yakni Bukhari
dan Muslim.
g. Akhrajahul-Jama’ah: diriwayatkan oleh rawi-rawi hadis yang banyak
jumlahnya.
h. Muttafakun ‘Alaih: diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Imam
Ahmad (rumusan yang diciptakan oleh Mansur Ali Nashif).

Gelar Rawi Hadits


Para imam ahli hadits mendapat berbagai gelar sesuai keahlian dibidang
ilmu hadits yang dimilikinya, termasuk kemampuannya menghafal ribuan
hadits. Gelar yang di maksud adalah sebagai berikut :
a. Amirul Mukminin fil Hadits.
Gelar ini diberikan kepada khalifah setelah khalifah Abu Bakar As-
Shidiq. Mereka yang memperoleh gelar ini antara lain Syu’bah Ibnu
al-Halaj, Sofyan ats-Tsauri, Ishak Ibnu Rahawaih, Ahmad Ibnu
Hambal, Bukhari ad-Daruqutni, dan Muslim.
b. Al-Hakim.
Yaitu gelar keahlian bagi imam-imam hadits yang menguasai seluruh
hadits yang marwiyah (diriwayatkan), baik matan, maupun sanadnya
dan mengetahui ta’dil (terpuji) dan tajrih (tercela)-nya rawi-rawi. Setiap
rawi di ketahui sejarah hidupnya, perjalanannya, guru-guru, dan sifat-
sifatnya yang dapat diterima maupun di tolak. Beliau harus dapat
menghafal hadits lebih dari 300.000 hadits beserta sanadnya. Yang
dapat belar ini antara lain Imam Syafi’i dan Imam Malik.
c. Al-Hujjah.
Yaitu gelar para imam ahli hadits yang mampu menghafal 300.000
hadits baik matan, sanad, maupun ikhwal biografi para perawinya
termasuk tentang keadilan dan cacat yang dimilikinya. Diantara mereka
adalah Hisyam bion Urwah (wafat 146 H), Muhamad bin al-Walid
(wafat 149 H) dan Muhamad Abdullah bin Amr (wafat 242 H).
d. Al-Hafidz.
Merupakan gelar yang di berikan kepada ahli hadits yang dapat
menshahihkan sanad dan matan hadits serta dapat menunjukan
keadilan maupun cacat perawinya. Al-Hafidz mampu menghafal
100.000 hadits. Di antaranya adalah Al-Iraqiy, Syarafuddin ad-
Dimyathi, Ibnu Hajar al-Asqolani dan Ibnu Daqiqil id.
e. Al-Muhadditsin.
Ada yang berpendapat bahwa Al-Muhadits sama dengan Al-Hafidz
namun belakangan, Al-Muhaddis diberikan kepada orang yang mampu
mengetahui sanad, illat, nama rawi, tinggi rendahnya derajat hadits dan
memahami kutubus-Sittah, musnad Imam Ahmad, Sunan Baihaqi,
Mu’jam Thabrani. Ia juga mampu menghafal 1.000 hadits di antaranya
adalah Atha’ bin Abi Ribah (wafat 115 H) dan Imam Az-Zabidi (ulama
yang meringkas kitab Bukhari-Muslim).
f. Al-Musnid.
Yakni gelar keahlian bagi orang yang meriwayatkan hadits beserta
sanadnya baik menguasai ilmunya atau tidak. Al-Musnad juga di sebut
dengan At-Thalib, Al-Mubtadi’ dan Ar-Rawi.

2.4 Kedudukan dan Kehujjahan Hadits dalam Islam

Seluruh umat islam, tanpa kecuali telah sepakat bahwa hadits merupakan salah
satu sumber ajaran islam. Ia menempati kedudukannya yang sangat penting
setelah al-Qur’an. Kewajiban mengikuti hadits bagi umat islam sama wajibnya
dengan mengikuti Al Qur’an. Hal ini karena hadits mubayyin (penjelasan)
terhadap al-Qur’an. Tanpa memahami dan menguasai hadits siapa pun tidak
bisa memahami al-Qur’an. Sebaliknya siapapun tidak akan bisa memahami
hadits tanpa memahami al-Qur’an karena al-Qur’an merupakan dasar hukum
pertama, yang didalamnya berisi garis besar syariat, dan hadits merupakan
dasar hukum kedua yang didalamnya berisi penjabaran dan penjelasan al-
Qur’an. Dengan demikian antara hadits dan al-Qur’an memiliki kaitan yang
sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan
sendiri-sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, kedudukan hadits dalam islam tidak dapat diragukan
karena terdapat penegasan yang banyak, baik didalam al-Qur’an maupun
dalam hadits nabi Muhammad SAW, Jumhur Ulama menyatakan bahwa al-
Hadits menempati urutan kedua dalam Islam setelah al-Qur’an. Dalam al-
Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk taat kepada
Allah dan Rasul-Nya. Hal tersebut dapat kita lihat dari beberapa firman Allah
sebagai berikut :

a.   Surat Annisa ayat 59

‫ئ فـردوه‬AA‫يآايــها الـذين امنوآ اطيعواهللا واطيعواالـرسول واولي األمر منــكم فإن تنــازعـتم فى ش‬
‫ك خــير واحــسن تأويـــال‬AA‫ ذل‬,‫وم األخــر‬AA‫الى هللا والرســول ان كـــنتم تؤمـنون بــاهلل والي‬
)      : ‫(النساء‬
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan
Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah-
Nya). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian,
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

b. Surat Annisa Ayat 69


‫ومن يطــع هللا والرســول فأولئــك مع الذى انــعم هللا عليــهم من النبـــيين والصديـــقين الشــهدآء‬
‫والصلحـــين وحســن اولئــــك رفيــــــقا‬
(‫النســـاء‬:     )
Artinya :
Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya) mereka itu akan
bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-
nabi, para Shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang
shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

2.5 Fungsi dan Hubungan Hadits dengan al-Qur’an dan Islam


2.5.1 Fungsi Hadits terhadap al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan Alloh. Kitab
Al-Qur’an adalah sebagai penyempurna dari kita-kitab Alloh yang
pernah diturunkan sebelumnya.

Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan


merupakan rujukan umat Islam dalam memahami syariat. Pada tahun
1958 salah seorang sarjana barat yang telah mengadakan penelitian dan
penyelidikan secara ilmiah tentang Al-Qur’an mengatan bahwa :
“Pokok-pokok ajaran Al-Qur’an begitu dinamis serta langgeng abadi,
sehingga tidak ada di dunia ini suatu kitab suci yang lebih dari 12 abad
lamanya, tetapi murni dalam teksnya”. (Drs. Achmad Syauki, Sulita
Bandung, 1985 : 33).
Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an meliputi tiga fungsi pokok, yaitu :
1. Menguatkan dan menegaskan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an.
2. Menguraikan dan merincikan yang global (mujmal), mengkaitkan
yang mutlak dan mentakhsiskan yang umum (‘am), Tafsil, Takyid,
dan Takhsis berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki al-Qur’an.
Rasululloh mempunyai tugas menjelaskan Al-Qur’an sebagaimana
firman Alloh SWT dalam QS. An-Nahl ayat 44 :
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”(QS. An-Nahl : 44
3. Menetapkan dan mengadakan hukum yang tidak disebutkan dalam
al-Qur’an. Hukum yang terjadi adalah merupakan produk
Hadits/Sunnah yang tidak ditunjukan oleh Al-Qur’an. Contohnya
seperti larangan memadu perempuan dengan bibinya dari pihak ibu,
haram memakan burung yang berkuku tajam, haram memakai cincin
emas dan kain sutra bagi laki-laki.
2.5.2 Hubungan Hadits dengan al-Qur’an
Al-Qur’an dan hadits sebagai pedoman hidup, sumber dan hukum-
hukum dan ajaran islam, antara satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-Qur’an sebagai
sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat
umum dan global. Oleh karena itu kehadiran hadis, sebagai sumber
ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi al-Qur’an
tersebut. Hal ini sesuai firman Allah SWT.
Artinya : Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami
turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka  dan supaya mereka
memikirkan (QS. Al-Nahl: 44).
Allah SWT menurunkan al-Qur’an bagi umat manusia, agar al-Qur’an
ini dapat dipahami oleh manusia, maka Rasulallah SAW. diperintahkan
untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya
kepada mereka melaluai hadis-hadisnya.
Dimasa Rasulallah SAW. masih hidup, para sahabat mengambil hukum-
hukum Islam (syariat) dari al-Qur’an yang mereka terima dan dijelaskan
oleh Rasulallah SAW.
Dalam hubungan dengan al-Qur’an, hadis berfungsi sebagai penafsir,
pensyarah, dan penjelas dari ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Apabila
disimpulkan tentang fungsi hadis dalam hubungan dengan al-Qur’an
adalah sebagai berikut :
1. Bayan Taqrir
Bayan at-taqrir atau disebut juga dengan bayan at-ta’kid dan bayan
al-itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini adalah menetapkan dan
memperkuat apa yang telah diterangkan dalam al-Qur’an. Fungsi
hadis ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Suatu contoh
hadis yang diriwayatkan Muslim Ibnu Umar, yang berbunyi sebagai
berikut :
)‫ص ُموْ ا َوِإ َذا َرَأ ْيتُ ُموْ هُ فَـَأ ْف ِطرُوْ ا (رواه مسلم‬
ُ َ‫فَِإ َذا َرَأ ْيتُ ُم ْال ِهـالَ َل ف‬
Artinya : Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka puasalah,
juga apabila melihat (ra’yu) itu maka berbukalah. (HR. Muslim)
Hadis ini datang men-taqrir ayat Al-Qur’an di bawah ini:
Maka barang siapa mempersaksikan pada waktu itu bulan,
hendaklah ia berpuasa. (QS. Al-Baqarah: 185)
2. Bayan at-Tafsir
Bayan at-tafsir adalah bahwa kehadiran hadis berfungsi untuk
memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang
masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan/batasan
(taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan
mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
bersifat umum.
Diantara contoh bayan at-tafsir mujmal adalah seperti hadits yang
menerangkan ke-mujmalan-an ayat-ayat tentang perintah Allah
SWT. untuk mengerjakan sholat, puasa, zakat, dan haji. Ayat-ayat al-
Qur’an yang menjelaskan tentang masalah ibadah tersebut masih
bersifat global atau secara garis besarnya saja. Contohnya, kita
diperintahkan shalat, namun al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana
cara shalat, tidak menerangkan rukun-rukunnya dan kapan waktu
pelaksanaannya. Semua ayat tentang kewajiban shalat tersebut
dijelaskan oleh Nabi SAW. dengan sabdanya :
َ ‫صلُّوْ ا َك َما َرَأ ْيتُ ُمنِي ُأ‬
)‫ (رواه البخارى‬ ‫صلِّي‬ َ
Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR. Bukhari)
Sebagaimana hadis tersebut, Rasulallah memberikan tata cara shalat
yang sempurna. Bukan hanya itu, beliau melengkapi dengan
berbagai kegiatan yang dapat menambah pahala ibadah shalat.
Hadits ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam
al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang
memerintahkan sholat adalah :
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta
orang-orang yang ruku’. (QS. Al-Baqarah 43)
3. Bayan at-Tasri
Yang dimaksud dengan bayan At-Tasri’ adalah mewujudkan suatu
hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an atau
dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja. Bayan ini
disebut juga dengan zaid ‘ala al-kitab al-karim. Hadits Rasulallah
SAW dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi’li maupun taqriri)
berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai
persoalan yang muncul, yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Ia
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para
sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan menunjukan
bimbingan dan menjelaskan duduk persoalannya.
Hadits-hadits Rasulallah SAW. yang termasuk ke dalam kelompok
ini, diantaranya hadits tentang masalah perkawinan (nikah). Allah
menghalalkan persetubuhan dengan jalan nikah, dan mengharamkan
lantaran zina. Maka bagaimanakah persetubuhan itu terjadi sesudah
nikah yang menyalahi syarat? Maka Rasulallah bersabda :
‫ت بِ َغي ِْر ِإ ْذ ِن َولِيِّهَا فَنِ َك ُحهَا با َ ِط ٌل فَِإ ْن َد َخ َل بِهَا فَلَهَا ْال َم ْه ُر بِ َما ا ْستَ َح َل ِم ْنهَا‬
ْ ‫اَيُّ َما ا ْم َرَأ ٍة نَ َك َح‬
(‫)رواه ابوا داود والترمذى‬
Siapa saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal,
maka kalau sudah terjadi persetubuhan dengannya maka dia berhak
menerima mahar lantaran persetujuan itu. (HR. Abu Daud dan At-
Turmuzi)
Rasulallah melarang perkawinan antara laki-laki dengan perempuan
yang sepersusuan, karena mereka dianggap senasab, dengan
sabdanya :
ِ ‫ضا َع ِة َما َح َر َم ِمنَ النَّ َس‬
)‫ (متفق عليه‬  ‫ب‬ َ ‫ِإ َّن هللاَ َح َر َم ِمنَ ال َّر‬
Sesungguhnya Allah mengharamkan pernikahan karena sepersusuan
sebagaimana halnya Allah telah mengharamkan karena
senasab. (Mutafaq’alaih)
4. Bayan Nasakh
Ketiga bayan yang pertama yang telah diuraikan di atas disepakati
oleh para ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga ada sedikit
perbedaan yang terutama menyangkut definisinya saja.
Untuk bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang
sangat tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadis
sebagai nasikh terhadap sebagian hukum Al-Qur’an dan ada juga
yang menolaknya.
Kata nasakh secara bahasa
berarti ibthal (membatalkan), izalah(menghilangkan), tahwil (memin
dahkan), dan taghyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan an-
nasakh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga
diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menta’rifkan.
Termasuk perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirin dengan
ulamamutaqadimin. Menurut pendapat yang dipegang dari
ulama mutaqadimin bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil
syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas,
karena telah berakhir masa berlakunya serta tidak bisa diamalkan
lagi, dan syari’ (pembuat syari’at) menurunkan ayat tersebut tidak
diberlakukan untuk selama-lamanya.
Jadi, intinya ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus
ketentuan yang datang terdahulu, karena yang terakhir dipandang
lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya.
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama ialah hadis
yang berbunyi :
‫ث‬ ِ ‫صيَّةَ لِ َو‬
ٍ ‫ار‬ ِ ‫الَ َو‬
Tidak ada wasiat bagi ahli waris.
Hadis ini menurut mereka menasakh isi firman Allah SWT :
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-
Baqarah 180)
BAB 3
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
- Ilmu Hadits adalah ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Nabi
SAW. Perintis pertama Ilmu Hadits adalah Al Qadi Abu Muhammad Ar-
Ramahurmuzy. Pada mulanya, Ilmu Hadits merupakan beberapa ilmu
yang masing-masing berdiri sendiri, ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat
parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadits, karena masing-masing
membicarakan tentang hadits dan para perawinya. Akan tetapi pada masa
berikutnya ilmu-ilmu itu digabungkan dan dijadikan satu serta tetap
menggunakan nama Ulumul Hadits.
- Kata al-Hadits adalah kata mufrad, yang jamaknya adalah al-ahadits dan
dasarnya adalah tahdits artinya pembicaraan. Dari sisi bahasa, kata hadits
memiliki beberapa arti, diantaranya adalah :
1. Al-jadid, artinya yang baru, lawan katanya adalah al-qadim yang
artinya yang lama, dalam arti ini menunjukan adanya waktu dekat dan
singkat.
2. Al-thariq artinya jalan, (jalan yang ditempuh).
3. Al-khabar, artinya berita.
4. Al-sunah, artinya perjalanan.
- Unsur-unsur Ulumul Hadits meliputi :
1. Sanad
Dalam bidang ilmu hadits sanad itu merupakan neraca untuk
menimbang shahih atau dhaifnya.
2. Matan
Matan dimaksud adalah karya atau karangan asal seseorang yang pada
umumnya menggunakan bahasa yang universal, padat, dan singkat.
Dimaksudkan dalam konteks hadits, hadits sebagai matan kemudian
diberikan syarah atau penjelasan yang luas oleh para ulama, misalnya
Shahih Bukhari disyarahkan oleh Al-Asqolani dengan nama Fath al-
Bari’ dan lain-lain.
3. Rawi
Rawi adalah orang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab
apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (guru). 

Anda mungkin juga menyukai