Ulumul Hadis
Disusun Oleh :
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. H. Muhammadiyah Amin, M. Ag.
Dr. La Ode Ismail Ahmad, M. Th.I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah dari pembukuan dan penulisan hadis dan ilmu hadis sudah melalui
banyak rangkaian dan fase-fase yang begitu panjang, dimulai dari masa Nabi
Muhammad, kemudian sahabat, masuk ke zaman tabi’in dan setelahnya, sampai
masuk pada titik puncaknya, yaitu pada abad ketiga hijriah. Lika-liku dan
kerasnya perjuangan dan kegigihan dari ahli-ahli hadis dalam menyeleksi dengan
ketat sebuah hadis telah melahirkan macam-macam cara sampai muncul aturan
atau kaidah penelusuran hadis. Kaidah-kaidah ini belakangan berkembang dan
tumbuh menjadi ilmu yang berdiri sendiri, disebut sebagai ilmu hadis.
Pertumbuhan keilmuan yang begitu pesat mencapai titik puncak
keberhasilannya, apalagi berkaitan dengan ilmu hadis lebih banyak mengacu pada
metode dan cara yang dipakai pada abad ketiga tersebut.
Al-Qur’an membimbing supaya seseorang tidak saling mencela dan
menghina orang lain. Namun sebaliknya untuk kepentingan agama dan ummat
yang lebih luas dan lebih besar lagi, maka penelitian hadis dipandang sebagai
salah satu disiplin ilmu, kekurangan ataupun kejelekan setiap pribadi periwayat
mengenai dengan periwayatan hadis yang diriwayatkan sangat perlu disampaikan,
karena penelitian kepada pribadi periwayat mengenai penelitian hadis bukan
hanya difokuskan kepada sesuatu yang baik dan terpuji (ta’dil) saja, bahkan juga
kepada sesuatu yang buruk dan tercela (jarh). Jadi, dasar untuk mengkritik sanad
adalah ilm al-jarh wa al-ta’dil. Disiplin ilmu ini juga digunakan untuk
penyeleksian kualitas-kualitas dari periwayat hadis. Maka, orang-orang yang
berada di sanad merupakan perawi-perawi hadis, mereka itulah yang menjadi
pokok pembahasan di dalam ilmu rijalul hadis.
Ilmu rijalul hadis kemudian menjadi parameter dan dasar dalam penilaian
orang-orang yang berada pada sanad-sanad hadis. Dengan berlandaskan pada
orang-orang yang berada di sanad dari aspek ta’dil dan jarh maka dapat
mengambil kesimpulan dan gambaran tentang kualitas sebuah hadis yang
dipapakarnnya apakah mungkin hadis itu kemudian dapat diterima dan ataupun
ditolak, sebab sudah jelas bahwa rasanya tidak mungkin orang-orang yang
mempunyai integritas tinggi menyampaikan dan memaparkan hal-hal yang tidak
bersumber dari Nabi, maka dari sinilah, yang menjadi landasan utama dari ilmu
rijalul hadis.
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan tersebut, maka penulis akan memaparkan beberapa pokok
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana yang dimaksud ilmu Rijal al-Hadis dan Ilmu Al-Jarh Wa
Ta’dil?
2. Bagaimana sikap yang diambil kritikus hadis dalam penilaian Rijal al-
Hadis?
3. Kitab-kitab yang menjadi rujukan ilmu Rijal al-Hadis dan Ilmu Al-Jarh
Wa Ta’dil?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Rijal Hadis
diberikan pengertian kata “rijal”. Rijal adalah bentuk jamak dari kata rajul, yang
Sementara itu, Totok Jumantoro juga memaparkan definisi ilmu Rijal al-
Hadis adalah:
علم يبحث فيه عن أحوال الرواة سريهم من الصحابة والتابعني و اتباع اتباعهم
Artinya:
Suatu cabang ilmu yang di dalamnya membahas tentang keadaan dan
kondisi para perawi hadis, sirah hidup mereka, baik mereka dari kelompok
Dari dua definisi tersebut, dapat diambil gambaran bahwa ilmu Rijal al-
Hadis adalah cabang ilmu yang begitu penting dalam mengetahui keadaan-
keadaan para perawi hadis, oleh sebab itu, di dalam cabang ilmu ini juga
1
M. Rasir Ibrahim, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Apollo, t. t), h. 105.
2
Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Ilmu al Malayin,
t.t.), h.110.
3
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Cet.II; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), h. 208.
dijelaskan dan dipaparkan riwayat hidup para perawi, mazhab-mazhab yang
Sebuah hadis terdiri dari matan dan sanad. Sanad tersebut diisi oleh para
perawi hadis, maka dengan sanad itulah mana yang diterima, dan mana yang
tertolak, juga mana yang dapat diamalkan, mana yang tidak. Sanad merupakan
suatu jalan mulia yang bertujuan menetapkan hukum-hukum Islam. Oleh karena
itu, dengan mengetahui dan memahami kondisi perawi-perawi hadis yang menjadi
sahabat Nabi hingga kepada generasi mukharriyul hadis (periwayat hadis dan
sekaligus juga sebagai penghimpun hadis) sudah tidak dapat ditemui secara fisik
lagi, disebabkan para periwayat tersebut telah wafat. Maka dari itu, agar
mengenali kondisi pribadi setiap dari mereka, baik suatu kelebihan maupun
informasi dan pengetahuan dari berbagai kitab rujukan karya ulama yang ahli
dengan sesuatu yang terpuji saja, akan tetapi juga berkaitan dengan suatu yang
tercela juga.6
4
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Cet.IV;
PT. Pustaka Rizki Putra, 1999) h. 132.
5
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi (Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang,
1992), h.72.
6
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi, h. 73
B. Teknik yang digunakan dalam Menetapkan Jarh wa Ta’dil
Ulama-ulama yang ahli dalam bidang kritik hadis telah menentukan dan
Jika salah seorang periwayat dinilai baik dan terpuji oleh seorang kritikus
dan dinilai buruk dan tercelah oleh ahli kritikus lainnya, maka yang didahulukan
ialah kritikan yang bersifat pujian tersebut. Sebabnya, bahwa pada dasarnya
periwayat hadis bersifat terpuji. Adapun sifat buruk dan tercela adalah sifat yang
datang belakangan. Maka dari itu, jika sifat dasarnya bertentangan dengan sifat
dimenangkan adalah sifat yang diawal yakni sifat dasarnya. Teori ini didukung
oleh an-Nasa’i (w. 915 M/303 H), tetapi umumnya ulama-ulama hadis tidak
menerima teori ini, sebab para kritikus yang memuji periwayat tersebut tidaklah
mengetahui sifat-sifat tercela dari periwayat yang dinilainya, di satu sisi kritikus
yang menyampaikan celaan merupakan ahli kritikus yang sudah memahami dan
Jika seorang periwayat dinilai buruk dan tercela oleh seorang kritikus dan
dinilai baik lagi terpuji oleh kritikus yang lain, maka yang diutamakan adalah
kritikan yang berisi celaan. Sebabnya adalah kritikus yang menyampaikan celaan
7
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi, h. 77.
8
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi, h. 78.
lebih paham dan mengerti sifat dan pribadi periwayat. Pendukung konsep ini
merupakan kalangan dari ulama fiqh, ulama hadis, dan ulama ushul.9
3. الفسر اذا تعارض اجلارح و املعدل فاحلكم للمعدل اال اذا ثبت اجلرح
Artinya:
Jika terjadi perbedaan diantara kritikan pujian dan celaan, maka yang harus
diutamakan adalah kritikan yang bersifat pujian, kecuali jika kritikan celaan
Jika seorang periwayat diberi pujian oleh seorang ahli kritikus dan diberi
celaan oleh ahli kritikus lainnya, maka yang diutamakan adalah pujian. Kecuali
ada bukti dan penjelasan mengenai celaan tersebut. Pendukung teori ini adalah
yang dianggap da’if, maka dapat disimpukan kritikannya kepada orang yang
siqah tertolak.11
5.اجلروحني ال يقبل اجلرح اال بعد التثبت خشية االشباه يف
9
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, diterjemahkan oleh A.
zarkasyi Chumaidy, Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya (cet.I; Bandung: Gema
Media Pusakatama, 2003), h. 40.
10
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi, h. 78.
11
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi, h. 52
Artinya:
Al-jarh tidak dapat diterima kecuali jika setelah ditentukan (diperiksa secara
cermat dan mendalam) dengan adanya rasa khawatir bahwa akan terjadi
periwayat-periwayat yang sama atau mirip dengan nama dari periwayat yang
lainnya. Harus jelas dan terhindar dari kekeliruan akibat adanya persamaan.
juga dalam soal duniawi, maka dari itu tidak perlu diperhatikan.13
Jika perseteruan pribadi dalam masalah dan persoalan dunia dapat membuat
dikelompokkan menjadi dua bentuk metode, yaitu Tarikhur Ruat dan Jarh wat
penelitian mereka, maka dapat dilihat dari bentuk buku sebagai berikut:
12
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, op. Cit., h. 80
13
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, op. Cit., h. 81
Kitab Tarikh al-Ruwat ini diisi dengan sirah para perawi hadis.
dan dibesarkan, dari mana dan dari siapa ia menerima hadis, siapa-siapa
saja yang pernah mengambil hadis dari diri seorang periwayat. Dan
tertentu.
untuk mengenal dan mengetahuai lebih dalam dan lebih rinci keadaan
dalam bentuk abstrak atau non fisik dan ada juga penggunaannya dalam bentuk
fisik.14
periwayat yang daya ingatnya sangat kuat (mutqin’) namun disatu sisi
periwayatan tersebut karena adanya cacat yang membuat cedera atau kepada rawi
yang fasik, rawi pendusta, rawi tadlis, rawi yang syadz, dan seterusnya.15
Hal ini merupakan cacat dari segi ‘adalah (ta’dil) dan juga dari aspek kedhabit-an
dalam penimbangan. Jadi, dengan demikian ta’dil memilik tiga definisi, yaitu al-
penyeimbang).16
periwayat yang telah diterima periwayatannya. Jadi, ini adalah gambaran terhadap
14
M.Rasir Ibrahim, kamus Arab-Indonesian, h. 28.
15
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h. 28.
16
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h. 29.
17
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h. 29.
Memberikan sifat kepada si perawi dengan kepribadian-kepribadian yang
dilihat orang sebagai suatu yang adil, juga menjadi klimaks penerimaan
periwayatannya.18
dan dasar dalam penilaian periwayat dalam hadis. Berikut adalah kaedah-kaedah
mereka. Maka ini disebut Naqdun Kharijiun atau yang dikenal sebagai
kritik dari eksternal hadis (kritik yang tidak termasuk diri hadis).
2. Berkaitan dengan hadis itu sendiri, baik itu dari segi keshahihan makna
atau tidak dan jalan-jalan yang ditempuh dalam menentukan shahih atau
tidaknya, maka ini adalah Naqdun Dakhiliyun atau kritik yang merupakan
sifat dan pribadinya dan kemampuan intelektual periwayat. Ahli-ahli hadis dalam
hal ini tidak bersepakat atas jumlah peringkat yang ditetapkan untuk al-jarh wa
at-ta’dil; sebagian ada yang membagi menjadi empat tingkatan peringkat; yang
lain membagi menjadi lima peringkat; dan sebagian ulama lainnya membagi enam
peringkat.20
18
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 327.
19
TM. Hasbi Ash shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 328
20
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Cet.I; Jakarta: Renaisan,
2005), h. 96.
Rawi-rawi yang meriwayatkan sebuah hadis tidaklah semuanya berada
pada satu derajat dari aspek kedhabitan dan keadilan. Mereka ada yang memiliki
hafalan sempurna (mutqin), ada pula yang tidak kuat hafalannya dan
ketepatannya, dan bahkan ada juga yang sering salah dan lupa.
Oleh sebab itu, ulama-ulama menentukan peringkat jarh dan ta’dil. Dan
lafal-lafal yang ditunjukkan pada setiap tingkatan atau peringkat, dan kemudian
peringkat ta’dil disusun menjadi enam tingkatan, dan begitu juga peringkat jarh
disusun menjadi enam pula.21 Hal ini jelas dan ditegaskan juga oleh al-Sakhawi
dengan menyusun peringkat al-jarh dan al-ta’dil menjadi enam peringkat atau
tingkatan.22
Maka inilah, tartib peringkat al-jarh dan al-ta’dil dengan memakai bentuk
genap atau berpasangan dengan bertingkat dimulai dari al-ta’dil yang paling kuat
hingga yang paling lemah, dan dimulai juga dari al-jarh yang paling lemah hingga
DAFTAR PUSTAKA
21
Syaikh Manna’ AL-Qaththan, Mabahis, fi Ulumil Hadis, diterjemahkan oleh Mifdhol
Abdurrahman dengan judul Pengantar Studi Ilmu Hadis (cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005),
h. 85.
22
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h. 60.
Ahmad, A. (2005). Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi. Cet.I Jakarta:
Renaisan.
Malayin.
Jumantoro, T. (2002, Cet. II). Kamus Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Shiddieqy, T. M. (1999). Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Cet.IV: PT. Pustaka
Rizki Putra.