Anda di halaman 1dari 13

Ulumul Hadis

(Penelitian ar Rijal Hadis dan Jarh wa Ta’dil)

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah

Ulumul Hadis

Disusun Oleh :

Ahmad Kamal Akil


(80100221052)

Dosen Pembimbing
Prof. Dr. H. Muhammadiyah Amin, M. Ag.
Dr. La Ode Ismail Ahmad, M. Th.I.

PRODI DIRASAH ISLAMIYAH


KONSENTRASI SYARI’AH HUKUM ISLAM
PROGRAM MAGISTER
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2021
BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah dari pembukuan dan penulisan hadis dan ilmu hadis sudah melalui
banyak rangkaian dan fase-fase yang begitu panjang, dimulai dari masa Nabi
Muhammad, kemudian sahabat, masuk ke zaman tabi’in dan setelahnya, sampai
masuk pada titik puncaknya, yaitu pada abad ketiga hijriah. Lika-liku dan
kerasnya perjuangan dan kegigihan dari ahli-ahli hadis dalam menyeleksi dengan
ketat sebuah hadis telah melahirkan macam-macam cara sampai muncul aturan
atau kaidah penelusuran hadis. Kaidah-kaidah ini belakangan berkembang dan
tumbuh menjadi ilmu yang berdiri sendiri, disebut sebagai ilmu hadis.
Pertumbuhan keilmuan yang begitu pesat mencapai titik puncak
keberhasilannya, apalagi berkaitan dengan ilmu hadis lebih banyak mengacu pada
metode dan cara yang dipakai pada abad ketiga tersebut.
Al-Qur’an membimbing supaya seseorang tidak saling mencela dan
menghina orang lain. Namun sebaliknya untuk kepentingan agama dan ummat
yang lebih luas dan lebih besar lagi, maka penelitian hadis dipandang sebagai
salah satu disiplin ilmu, kekurangan ataupun kejelekan setiap pribadi periwayat
mengenai dengan periwayatan hadis yang diriwayatkan sangat perlu disampaikan,
karena penelitian kepada pribadi periwayat mengenai penelitian hadis bukan
hanya difokuskan kepada sesuatu yang baik dan terpuji (ta’dil) saja, bahkan juga
kepada sesuatu yang buruk dan tercela (jarh). Jadi, dasar untuk mengkritik sanad
adalah ilm al-jarh wa al-ta’dil. Disiplin ilmu ini juga digunakan untuk
penyeleksian kualitas-kualitas dari periwayat hadis. Maka, orang-orang yang
berada di sanad merupakan perawi-perawi hadis, mereka itulah yang menjadi
pokok pembahasan di dalam ilmu rijalul hadis.
Ilmu rijalul hadis kemudian menjadi parameter dan dasar dalam penilaian
orang-orang yang berada pada sanad-sanad hadis. Dengan berlandaskan pada
orang-orang yang berada di sanad dari aspek ta’dil dan jarh maka dapat
mengambil kesimpulan dan gambaran tentang kualitas sebuah hadis yang
dipapakarnnya apakah mungkin hadis itu kemudian dapat diterima dan ataupun
ditolak, sebab sudah jelas bahwa rasanya tidak mungkin orang-orang yang
mempunyai integritas tinggi menyampaikan dan memaparkan hal-hal yang tidak
bersumber dari Nabi, maka dari sinilah, yang menjadi landasan utama dari ilmu
rijalul hadis.

B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan tersebut, maka penulis akan memaparkan beberapa pokok
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana yang dimaksud ilmu Rijal al-Hadis dan Ilmu Al-Jarh Wa
Ta’dil?
2. Bagaimana sikap yang diambil kritikus hadis dalam penilaian Rijal al-
Hadis?
3. Kitab-kitab yang menjadi rujukan ilmu Rijal al-Hadis dan Ilmu Al-Jarh
Wa Ta’dil?
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Rijal Hadis

Sebelum dipaparkan pengertian dari ilmu Rijal al-Hadis, diawal akan

diberikan pengertian kata “rijal”. Rijal adalah bentuk jamak dari kata rajul, yang

memiliki arti kaum pria atau laki-laki.1

Subhi al-Shalih mengemukakan definisi Rijal al-Hadis sebagai berikut:

‫علم يعرف به رواة احلديث من حيث أهنم رواة احلديث‬


Artinya:

Ilmu agar mengetahui perawi-perawi hadis berkaitan dengan kapasitasnya

sebagai seorang perawi hadis.2

Sementara itu, Totok Jumantoro juga memaparkan definisi ilmu Rijal al-

Hadis adalah:

‫علم يبحث فيه عن أحوال الرواة سريهم من الصحابة والتابعني و اتباع اتباعهم‬
Artinya:
Suatu cabang ilmu yang di dalamnya membahas tentang keadaan dan

kondisi para perawi hadis, sirah hidup mereka, baik mereka dari kelompok

sahabat, maupun dari kelompok tabi’in dan tabi’it-tabi’in.3

Dari dua definisi tersebut, dapat diambil gambaran bahwa ilmu Rijal al-

Hadis adalah cabang ilmu yang begitu penting dalam mengetahui keadaan-

keadaan para perawi hadis, oleh sebab itu, di dalam cabang ilmu ini juga

1
M. Rasir Ibrahim, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Apollo, t. t), h. 105.
2
Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Ilmu al Malayin,
t.t.), h.110.
3
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Cet.II; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), h. 208.
dijelaskan dan dipaparkan riwayat hidup para perawi, mazhab-mazhab yang

dipegangi dan kondisi perawi-perawi di dalam menerima hadis.

Sebuah hadis terdiri dari matan dan sanad. Sanad tersebut diisi oleh para

perawi hadis, maka dengan sanad itulah mana yang diterima, dan mana yang

tertolak, juga mana yang dapat diamalkan, mana yang tidak. Sanad merupakan

suatu jalan mulia yang bertujuan menetapkan hukum-hukum Islam. Oleh karena

itu, dengan mengetahui dan memahami kondisi perawi-perawi hadis yang menjadi

rangkaian sanad tersebut merupakan separuh dari pengetahuan.4

Periwayat-periwayat hadis dari berbagai penjuru, dimulai dari generasi

sahabat Nabi hingga kepada generasi mukharriyul hadis (periwayat hadis dan

sekaligus juga sebagai penghimpun hadis) sudah tidak dapat ditemui secara fisik

lagi, disebabkan para periwayat tersebut telah wafat. Maka dari itu, agar

mengenali kondisi pribadi setiap dari mereka, baik suatu kelebihan maupun

kekurangan mereka dalam bidang periwayatan hadis, dibutuhkan banyak

informasi dan pengetahuan dari berbagai kitab rujukan karya ulama yang ahli

kritik rijal (periwayat) hadis.5

Pengetahuan dan pemahaman berkaitan tentang berbagai hal yang

memiliki korelasi dengan perawi-perawi hadis, bukan hanya yang berkaitan

dengan sesuatu yang terpuji saja, akan tetapi juga berkaitan dengan suatu yang

tercela juga.6

4
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Cet.IV;
PT. Pustaka Rizki Putra, 1999) h. 132.
5
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi (Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang,
1992), h.72.
6
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi, h. 73
B. Teknik yang digunakan dalam Menetapkan Jarh wa Ta’dil

Ulama-ulama yang ahli dalam bidang kritik hadis telah menentukan dan

menetapkan suatu teori atau teknik supaya penelitian-penelitian terhadap para

periwayat hadis ini dapat menjadi lebih objektif, sebagai berikut:

1. ‫التعديل مقدم على اجلرح‬


Artinya:

at-ta’dil lebih dulu atas al-jarh.7

Jika salah seorang periwayat dinilai baik dan terpuji oleh seorang kritikus

dan dinilai buruk dan tercelah oleh ahli kritikus lainnya, maka yang didahulukan

ialah kritikan yang bersifat pujian tersebut. Sebabnya, bahwa pada dasarnya

periwayat hadis bersifat terpuji. Adapun sifat buruk dan tercela adalah sifat yang

datang belakangan. Maka dari itu, jika sifat dasarnya bertentangan dengan sifat

yang datang belakangan, maka dapat dipastikan yang diutamakan dan

dimenangkan adalah sifat yang diawal yakni sifat dasarnya. Teori ini didukung

oleh an-Nasa’i (w. 915 M/303 H), tetapi umumnya ulama-ulama hadis tidak

menerima teori ini, sebab para kritikus yang memuji periwayat tersebut tidaklah

mengetahui sifat-sifat tercela dari periwayat yang dinilainya, di satu sisi kritikus

yang menyampaikan celaan merupakan ahli kritikus yang sudah memahami dan

mengetahu sifat ketercelaan periwayat-periwayat yang dinilainya.

2. ‫اجلرح مقدم على التعديل‬


Artinya:

Al-Jarh lebih dulu atas at-ta’dil.8

Jika seorang periwayat dinilai buruk dan tercela oleh seorang kritikus dan

dinilai baik lagi terpuji oleh kritikus yang lain, maka yang diutamakan adalah

kritikan yang berisi celaan. Sebabnya adalah kritikus yang menyampaikan celaan
7
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi, h. 77.
8
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi, h. 78.
lebih paham dan mengerti sifat dan pribadi periwayat. Pendukung konsep ini

merupakan kalangan dari ulama fiqh, ulama hadis, dan ulama ushul.9

3. ‫الفسر‬ ‫اذا تعارض اجلارح و املعدل فاحلكم للمعدل اال اذا ثبت اجلرح‬
Artinya:

Jika terjadi perbedaan diantara kritikan pujian dan celaan, maka yang harus

diutamakan adalah kritikan yang bersifat pujian, kecuali jika kritikan celaan

disertai penjelasan dan berkaitan tentang sebabnya. 10

Jika seorang periwayat diberi pujian oleh seorang ahli kritikus dan diberi

celaan oleh ahli kritikus lainnya, maka yang diutamakan adalah pujian. Kecuali

ada bukti dan penjelasan mengenai celaan tersebut. Pendukung teori ini adalah

jumhur ulama kritik hadis.

4. ‫اذا كان اجلارح ضعيفا فال يقبل جرحه للثقة‬


Artinya:

Jika kritikus yang memaparkan ketercelaan dan keburukan adalah orang

yang dianggap da’if, maka dapat disimpukan kritikannya kepada orang yang

siqah tertolak.11

Sebabnya adalah orang siqah dikenal memiliki tingkat kehati-hatian dan

kecermatan dibandingkan orang tidak siqah.

5.‫اجلروحني‬ ‫ال يقبل اجلرح اال بعد التثبت خشية االشباه يف‬
9
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, diterjemahkan oleh A.
zarkasyi Chumaidy, Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya (cet.I; Bandung: Gema
Media Pusakatama, 2003), h. 40.
10
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi, h. 78.
11
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi, h. 52
Artinya:

Al-jarh tidak dapat diterima kecuali jika setelah ditentukan (diperiksa secara

cermat dan mendalam) dengan adanya rasa khawatir bahwa akan terjadi

kemiripan tentang seorang yang diberi celaan.12

Maksudnya adalah ketakutan ataupun kekhawatiran jika ada nama

periwayat-periwayat yang sama atau mirip dengan nama dari periwayat yang

lainnya. Harus jelas dan terhindar dari kekeliruan akibat adanya persamaan.

6.‫دنيوية ال يعتد به اجلرح الناشئ عن عداوة‬


Artinya:

Al-jarh yang disampaikan kepada orang-orang yang didalam permusuhan

juga dalam soal duniawi, maka dari itu tidak perlu diperhatikan.13

Jika perseteruan pribadi dalam masalah dan persoalan dunia dapat membuat

lahirnya penilaian yang tidak jujur dan terjadi kekacauan.

C. Metode Penelitian Rijal al-Hadis

Ulama-ulama hadis menjalankan penelitian Rijal al-hadis dengan

menggunakan cara atau metode yang bermacam-macam. Maka dapat

dikelompokkan menjadi dua bentuk metode, yaitu Tarikhur Ruat dan Jarh wat

Ta’dil. Untuk mengetahui gambaran-gambaran berkaitan cara dan metode

penelitian mereka, maka dapat dilihat dari bentuk buku sebagai berikut:

a) Kitab Tarikh ar-Ruwat

12
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, op. Cit., h. 80
13
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, op. Cit., h. 81
Kitab Tarikh al-Ruwat ini diisi dengan sirah para perawi hadis.

Membicarakan tentang dimana dan kapan seorang periwayat dilahirkan

dan dibesarkan, dari mana dan dari siapa ia menerima hadis, siapa-siapa

saja yang pernah mengambil hadis dari diri seorang periwayat. Dan

berikan info mengenai kapan dan dimana periwayat meninggal dunia.

Adapun penulisan kitab Tarikh al-Ruwat, ulama-ulama

menggunakan beberapa metode sebagai berikut:

1. Mengelompokkan para periwayat berdasarkan angakatan-angkatan

tertentu.

2. Menyusun para periwayat berlandaskan tahun.

3. Penyusanan berdasarkan alfabetis.

4. Penyusunan berdasarkan negerinya.

5. Penyusunan berdasarkan nama asli dan kunyah.

b) Kitab jarh wa ta’dil

Sama halnya juga dengan kitab Tarikh al-Ruwat, kitab Al-jarh wa

al-Ta’dil memberikan berita berkaitan kualitas pribadi seorang para

perawi, baik itu dari aspek kapasitas intelektualnya maupun aspek

kepribadian seorang periwayat. Maka dari sini, dapat ditetapkan bahwa

usaha yang dijalankan ulama-ulama hadis dalam mengupayakan segala

kompetensinya untuk melaksanakan penelitian-penelitian kepada rijal al-

hadis bertujuan untuk berkostribusi dalam justifikasi berkaitan dengan

kredibilitas perawi- perawi hadis, dan juga dimaksudkan sebagai usaha

untuk mengenal dan mengetahuai lebih dalam dan lebih rinci keadaan

periwayat-periwayat hadis tersebut. Sehingga mampu menetapkan

diterima atau ditolaknya suatu hadis.

D. Kaidah-Kaidah Jarh wa Ta’dil


Jarh secara etimologi diartikan luka. Kata jarh banyak penggunaannya

dalam bentuk abstrak atau non fisik dan ada juga penggunaannya dalam bentuk

fisik.14

Sedangkan secara terminologi, jarh merupakan penolakan terhadap

periwayat yang daya ingatnya sangat kuat (mutqin’) namun disatu sisi

periwayatan tersebut karena adanya cacat yang membuat cedera atau kepada rawi

yang fasik, rawi pendusta, rawi tadlis, rawi yang syadz, dan seterusnya.15

Jadi, jarh maksudnya mengungkapkan kecacatan seorang periwayat hadis.

Dengan dipaparkan kecacatan tersebut, maka dapat digunakan periwayatannya.

Hal ini merupakan cacat dari segi ‘adalah (ta’dil) dan juga dari aspek kedhabit-an

para periwayat hadis.

Ta’dil secara etimologi memiliki beberapa arti: 1) membersihkan; 2)

menegakkan; 3) membuat seimbang, contohnya orang menjadikan seimbang

dalam penimbangan. Jadi, dengan demikian ta’dil memilik tiga definisi, yaitu al-

taqwin (penegakan) ,al-tazkiyah (pembersihan) dan al-taswiyah (penyamaan atau

penyeimbang).16

Sedangkan secara terminologi, Ta’dil adalah menyampaikan kondisi

periwayat yang telah diterima periwayatannya. Jadi, ini adalah gambaran terhadap

kepribadian dan sifat seorang periwayat yang diterima periwayatannya.17

Sementara itu, definisi ta’dil menurut Hasbi Ash-Siddieqy:

‫وصف الراوي بصفات توجب عدالة يهدم القبول لروايته‬


Artinya :

14
M.Rasir Ibrahim, kamus Arab-Indonesian, h. 28.
15
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h. 28.
16
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h. 29.
17
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h. 29.
Memberikan sifat kepada si perawi dengan kepribadian-kepribadian yang

dilihat orang sebagai suatu yang adil, juga menjadi klimaks penerimaan

periwayatannya.18

Ahli-ahli hadis menentukan kaedah-kaedah al jarh wa ta’dil, sebagai jalan

dan dasar dalam penilaian periwayat dalam hadis. Berikut adalah kaedah-kaedah

jarh dan ta’dil :

1. Berlandaskan terhadap metode-metode periwayatan sebuah hadis, baik

dari segi sah periwayatannya, kondisi perawi, dan kapasitas kepercayaan

mereka. Maka ini disebut Naqdun Kharijiun atau yang dikenal sebagai

kritik dari eksternal hadis (kritik yang tidak termasuk diri hadis).

2. Berkaitan dengan hadis itu sendiri, baik itu dari segi keshahihan makna

atau tidak dan jalan-jalan yang ditempuh dalam menentukan shahih atau

tidaknya, maka ini adalah Naqdun Dakhiliyun atau kritik yang merupakan

dzat dari hadis itu sendiri.19

Kaitannya dengan kondisi periwayat-periwayat hadis, para ahli hadis

sudah menyusun rangkaian peringkat-peringkat periwayat dipandang dari kualitas

sifat dan pribadinya dan kemampuan intelektual periwayat. Ahli-ahli hadis dalam

hal ini tidak bersepakat atas jumlah peringkat yang ditetapkan untuk al-jarh wa

at-ta’dil; sebagian ada yang membagi menjadi empat tingkatan peringkat; yang

lain membagi menjadi lima peringkat; dan sebagian ulama lainnya membagi enam

peringkat.20

E. Tingkatan Jarh wa Ta’dil

18
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 327.
19
TM. Hasbi Ash shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 328
20
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Cet.I; Jakarta: Renaisan,
2005), h. 96.
Rawi-rawi yang meriwayatkan sebuah hadis tidaklah semuanya berada

pada satu derajat dari aspek kedhabitan dan keadilan. Mereka ada yang memiliki

hafalan sempurna (mutqin), ada pula yang tidak kuat hafalannya dan

ketepatannya, dan bahkan ada juga yang sering salah dan lupa.

Oleh sebab itu, ulama-ulama menentukan peringkat jarh dan ta’dil. Dan

lafal-lafal yang ditunjukkan pada setiap tingkatan atau peringkat, dan kemudian

peringkat ta’dil disusun menjadi enam tingkatan, dan begitu juga peringkat jarh

disusun menjadi enam pula.21 Hal ini jelas dan ditegaskan juga oleh al-Sakhawi

dengan menyusun peringkat al-jarh dan al-ta’dil menjadi enam peringkat atau

tingkatan.22

Maka inilah, tartib peringkat al-jarh dan al-ta’dil dengan memakai bentuk

genap atau berpasangan dengan bertingkat dimulai dari al-ta’dil yang paling kuat

hingga yang paling lemah, dan dimulai juga dari al-jarh yang paling lemah hingga

yang paling kuat.

DAFTAR PUSTAKA

21
Syaikh Manna’ AL-Qaththan, Mabahis, fi Ulumil Hadis, diterjemahkan oleh Mifdhol
Abdurrahman dengan judul Pengantar Studi Ilmu Hadis (cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005),
h. 85.
22
Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, h. 60.
Ahmad, A. (2005). Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi. Cet.I Jakarta:

Renaisan.

Al- Qaththan, S. M. (2005). Mabahis fi Ulumil Hadus, diterjemahkan oleh

Mifdhol Abdurahman dengan judul Pengantar Studi Ilmu Hadis. Cet. I

Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Al-Shalih, S. (t.t). Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu. Beirut: Dar al-Ilmu al

Malayin.

Andullatif, A. M. (2003). Ilmu Jarh wa Ta'dil, diterjemahkan oleh A. Zarkasyi

Chumaidy, Kredibiltas Para Perawi dan Pengimplementasiannya. Cet. I

Bandung: Gema Media Pustakatama.

Ibrahim, M. R. (t.t). Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Apollo.

Ismail, M. S. (1992). Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang.

Jumantoro, T. (2002, Cet. II). Kamus Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Shiddieqy, T. M. (1999). Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Cet.IV: PT. Pustaka

Rizki Putra.

Anda mungkin juga menyukai