Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KELOMPOK VII

KRITIK HADIS DI KALANGAN SAHABAT

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manhaj al-Naqd ‘Inda al-
Muhadditsin

Dosen Pengampu: Amien Nur Hakim, LC., S.S.I.

Disusun Oleh:

Muhammad Habibullah

Achmad Soefyan Syabani

DARUS-SUNNAH INTERNATIONAL INSTITUTE FOR HADITH SCIENCES

TANGERANG SELATAN

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan kita rahmat dan
karunia-Nya serta juga telah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dengan segala perbedaan yang
ada di tengah-tengahnya sebagai pemersatu di antaranya. Selawat dan salam tak lupa kita sanjung
sajikan kepada Nabi Muhammad Saw. yang telah membawa kita dari zaman kebodohan menuju ke
zaman yang penuh dengan teknologi ini. Semoga kita senantiasa mendapatkan syafaatnya di hari
kiamat kelak.

Alhamdulillah, berkat izin dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah kami
yang berjudul “Konsep ‘Adalah Menurut Kalangan Muhadditsin”. Makalah ini bertujuan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin Serta nantinya semoga kita dapat
memahami apa yang dimaksud dengan ‘adalah, serta tak lupa dengan penjelasannya.

Kami sebagai penyusun pastinya tidak terlepas dari yang namanya kesalahan, dan
kekurangan. Begitu pula dalam proses penyusunan makalah ini yang tentunya masih banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami memohon maaf atas segala
kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Karena pada dasarnya kami masih tahap pembelajaran
dan masih terus berusaha untuk menjadi lebih baik lagi.

Kami ucapkan terima kasih terkhusus kepada Ust. Amien Nur Hakim, selaku dosen pengampu
mata kuliah Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin dan juga kepada seluruh pihak yang telah
membimbing kami dalam memyusun makalah ini sehingga dapat selesai dengan tepat waktu.
Demikian makalah ini disusun, semoga kita selalu dalam lindungan Allah Swt. dan senantiasa
mendapatkan keberkahan serta Kesehatan dari Allah Swt., Amin Yra.

Tangerang Selatan, 10 September 2023

Penyusun
BAB I

1. Pendahulan

Mayoritas umat Islam berkeyakinan bahwa para sahabat adalah sumber terpercaya dalam
menyampaikan ajaran Islam secara murni dan utuh. Para Sahabat Nabi Muhammad adalah
generasi unggul yang dipercaya membawa obor estafet dakwah dan risalah Islam.1 Mereka para
sahabat rela mengorbankan jiwa dan raganya demi menegakkan agama Allah dan
menyebarluaskannya. Mereka diyakini sebagai sumber agama dalam dua level, yaitu periwayat
materi agama dan sunah mereka adalah hujjah, dan memiliki otoritas hujjah.2 Keyakinan ini di
dukung oleh adanya hadis hadis Nabi Muhammad saw yang menyebut mereka “bagaikan bintang
gemintang” yang akan membawa kita petunjuk Ilahi. Bintang itu yakni adalah sahabat. Namun
problematikanya adalah, siapakah yang termasuk dalam kategori sahabat itu? Apakah semua orang
yang pernah bertemu Nabi Muhammad saw bisa disebut sahabat? Apakah orang yang diusir oleh
Nabi Muhammad SAW termasuk juga kategori sahabat? Dalam hal ini, para ulama berselisih
pendapat tentang definisi sahabat.

Bagi umat Islam, posisi sunnah atau hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-
Qur’an. Oleh karena itu, di samping menggunakan Al-Qur’an, umat Islam juga menggunakan
hadis sebagai sumber rujukan perilaku dalam berbagai kehidupan praksis mereka.2 Hadis bagi
umat Islam merupakan sumber ajaran yang penting, karena di dalamnya terungkap berbagai tradisi
dan aspek kehidupan Rasulullah saw. Muatannya sarat akan berbagai ajaran Islam. Keberadaannya
terus dijaga dan dikembangkan melalui pemahaman sampai sekarang. Dengan keberadaan hadis
itulah umat Islam sampai masa sekarang bisa memahami, merekam, dan melaksanakan tuntutan
ajaran agamanya. Dengan begitu, hadis merupakan khazanah dan warisan yang sangat berharga.
Dalam rentang sejarahnya, telah banyak upaya yang dilakukan untuk menjaga dan memelihara

1
Rohaizan Baru et al., “Disputes Among Religious Scholars On Issues Related To Hadith Of The
Prophet SAW.,” AL-QIYAM International Social Science and Humanities Journal 5, no. 1 (August 10,
2022): 50–60.
2
Ridwan Ridwan and Muhammad Fuad Zain, “God and Human Sovereignty in Islamic Political
Tradition,” Ijtimā`iyya: Journal of Muslim Society Research 5, no. 1 (March 27, 2020): 10–18,
khazanah tersebut dari berbagai upaya distortif dan manipulatif.3 Selain itu, tidak sedikit pula
upaya pencarian makna dan substansinya, baik secara tekstual maupun kontekstual.

Penelitian terhadap hadis Nabi, menurut Syuhudi Ismail, menjadi penting dilakukan oleh
karena enam faktor,3 yaitu: pertama, hadis Nabi sebagai salah satu sumber ajaran Islam; kedua,
tidak semua hadis telah tertulis di zaman Nabi; ketiga, telah terjadi berbagai kasus manipulasi dan
pemalsuan hadis; keempat, proses penghimpunan hadis yang memakan waktu demikian lama;
kelima, jumlah kitab hadis yang demikian banyak, dengan metode penyusunan yang berbeda;
keenam, telah terjadi periwayatan hadis secara makna.

Dari beberapa alasan yang melatarbelakangi pentingnya penelitian hadis, dapat diambil
kesimpulan bahwa faktor pertama berkaitan dengan posisi dan fungsi hadis, sedangkan kelima
faktor yang disebutkan terakhir berkaitan erat dengan historisitas atau perjalanan sejarah hadis
Nabi itu sendiri. Dalam konteks posisi dan fungsi hadis terhadap Al-Qur‟an, penelitian hadis
sangat penting dilakukan karena posisi hadis sebagai sumber hukum mengharuskan umat Islam
berargumentasi pada dalil yang valid atau sahih. Pemahaman dan praktik keberagamaan harus
didasarkan pada dalil-dalil yang berkualitas sahih, tidak bisa didasarkan pada dalil yang
kesahihannya diragukan atau dipertanyakan. Demi mewujudkan hal ini, para pengkaji ilmu hadis
telah berhasil merumuskan sejumlah disiplin ilmu yang berkompeten untuk menilai hadis, baik
dari aspek sanad maupun matan.

Pada dasarnya kritik hadis merupakan kajian yang sudah lama menjadi disiplin keilmuan
dalam Islam. Seluruh aspek dalam kritik hadis telah diuraikan dalam literatur ilmu hadis. Begitu
juga, kajian kritik hadis yang secara khusus menyoroti aspek matan dan pemahamannya
sebenarnya sudah lama dirintis. Oleh karenanya, literatur-literur tentang hal ini banyak ditemukan.
Meskipun demikian, kajian kritik matan dan pemahaman hadis yang didekati secara terdisiplin dan
metodologis bisa dikatakan masih tergolong belum lama dimulai.

2. Rumusan Masalah

a. Bagaiaman Urgensi Kritik Hadis?

3
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 7.
b. Bagaimana Hadis di masa sahabat?
c. Bagaimana Metode kritik hadis di kalangan sahabat?
3. Tujuan
a. Untuk mengetahui urgensi kritik hadis
b. Untuk mengetahui Hadis di masa sahabat
c. Untuk mengetahui metode kritik hadis di kalangan sahabat
BAB II

4. Pembahasan

Sebagai sumber kedua setelah Al-Qur‟an, hadis tak hentihentinya memperoleh perhatian
penting di kalangan umat Islam dari satu generasi ke generasi selanjutnya, sejak masa Rasulullah
saw. sampai saat ini. Perhatian besar terhadap hadis itu merupakan cermin dari kesadaran umat
Islam dalam memaknai titah Allah, untuk mengikuti apa saja yang diajarkan Rasulullah dan
menjauhi apa saja yang dilarang oleh-Nya, dan memaknai titah Rasulullah, untuk tidak
mendustakan hadis-hadisnya, karena takut akan ancaman memperoleh tempat di neraka.

Meskipun fokus perhatian terhadap hadis itu berbeda dari masing-masing generasi, yang
selanjutnya menghasilkan berbagai cabang ulum al-Hadis namun secara menyeluruh perhatian
tersebut bermuara pada upaya pemeliharaan otentisitas hadis, sehingga dapat diketahui mana hadis
yang benar-benar dari Nabi dan harus diteladani, serta mana hadis yang bukan berasal dari Nabi.

Di antara warisan berharga yang ditinggalkan dari umat terdahulu dalam upaya pemeliharaan
otentisitas hadis adalah metode penelitian sanad dan matan hadis—selanjutnya dikenal dengan
istilah “kritik hadis” yang tercermin dalam beberapa materi yang berkaitan dengan sanad dan
matan. Misalnya ilm Rijal al-Hadis yang meliputi Tabaqah dan Tarikh al-Ruwat, ilm jarh wa ta’dil,
ilm garib hadis, ilm asbab wurud al-Hadis, Tarikh Mutub, Ilm naskh wa Mansukh, ilm ilal hadis,
ilm al-Mubhamat, ilm al-Tashif wa al-Tahrif, dan lainnya.4

A. Hadis Pada Masa Sahabat

Diringkas dari keempat Khalifah bahwasannya mereka menentukan kebijakan tentang


periwayatan hadis ada 4 bentuk, yaitu: 5 Pertama, Mereka seluruhnya sepakat tentang
pentingnya hati-hati dalam periwayatan hadis. Kedua, kesemuanya melarang untuk

4
Materi-materi tersebut merupakan beberapa ilmu bantu dalam upaya kritik hadis yang tidak
tertutup kemungkinan untuk dikaji dan dilengkapi dengan disiplin ilmu lain (interdisipliner), seperti
arkeologi, sejarah, geografi, dan lainnya.
5
Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), 70
memperbanyak periwayatan hadis, terutama pada masa Khalifah Umar, tujuannya agar supaya
periwayat bersikap selektif dalam meriwayatkan hadis dan supaya mereka perhatian kepada
masyarakat tidak berpaling dari al-Qur’an. Ketiga, pengucapan sumpah ataupun penghadiran
saksi bagi periwayat hadis merupakan salah satu cara untuk meneliti riwayat hadis. Periwayat
merasakan memiliki kredibilitas yang tinggi tidak dibebani kewajiban mengajukan sumpah
ataupun saksi. Keempat, kesemuanya khalifah telah meriwayatkan hadis terkecuali ketiga
khalifah antaranya ialah (Abu Bakar, Umar, Utsman) mereka meriwayatkan hadis melalui
lisannya hanya tinggal satu yaitu Khalifah Ali yang meriwayatkan secara lisan dan tulisan.

B. Metode Kritik Hadis di kalangan Sahabat

Upaya penelitian (kritik) hadis itu penting, mengingat tidak seluruh hadis ditulis pada zaman
Nabi, dan tidak semua yang diriwayatkan para sahabat benar bersumber dari Rasul, dan setiap
yang berasal dari Rasul terekam baik oleh mereka. Di samping itu, hadis Nabi pernah mengalami
pemalsuan-pemalsuan.

Dalam literatur Arab, kata kritik digunakan dengan kata “naqd”. Kata naqd memiliki
pengertian yang menunjukkan kearah penelitian, analisis, pengecekan, dan pembedaan.
Sedangkan kata kritik itu sendiri berasal dari bahasa latin yang berarti menghakimi, membanding,
menimbang. Dari pengertian kebahasaan tersebut, maka kata kritik (naqd) dapat diartikan sebagai
upaya yang sungguh-sungguh dalam membedakan antara yang benar (autentik) dan yang salah
(tiruan/palsu).6

Jika melihat pengertian diatas, bahwa kritik hadits berarti sebuah upaya untuk membedakan
antara mana hadits yang benar dan yang salah, maka praktik tersebut sesungguhnya telah dimulai

6
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis; Versi Muhaddisin dan Fuqaha, (Yogyakarta: TERAS, 2004),
hlm. 9
pada masa Nabi masih hidup. Meskipun secara praktiknya hanya dengan pergi menemui Nabi
untuk mengkonfirmasi kebenaran hadits yang diterimanya tersebut.7

Sesungguhnya, pada tahap ini merupakan upaya penelitian terhadapan status sebuah hadits
yang diterima oleh para shahabat. Upaya ini dilakukan dengan tujuan agar kaum muslimin merasa
tenteram dalam menjalankan sunnah-sunnah dari Nabi Saw. Berikut ini beberapa contoh metode
yang diterapkan oleh para shahabat dalam upaya kritik hadits Nabi Saw;

1. Abū Bakr al-Shiddīq.


Pada periode shahabat menurut pengamatan al-Ĥakim (w.405H) dan al-Dzahabi (w.748H)
adalah Abū Bakr Al-Shiddīq (w.13H) sebagai tokoh perintis pemberlakuan uji kebenaran
informasi hadits.38 Dalam upaya meneliti keautentikan datangnya sebuah hadits, Abū Bakar
berupaya mengadakan cek ulang dengan jalan membandingkan hadits yang diterimanya
dengan sumber lainnya guna mendapatkan kebenaran. Metode ini terlihat dalam hadits yang
menerangkan kasus pembagian 1/6 harta pusaka kepada nenek pada masa Khalifah Abū Bakr
al-Shiddīq, yaitu:
Telah menceritakan kepada kami al-Qa'naby, dari Mālik dari Ibnu Syihāb, dari Utsmān bin
Isĥaq bin Kharasyah, dari Qabīshah bin Dzuaib, bahwa ia berkata; telah datang seorang
nenek kepada Abū Bakr al-Shiddīq, ia bertanya kepadanya mengenai warisannya. Kemudian
ia berkata; engkau tidak mendapatkan sesuatupun dalam kitab Allah Ta'ala, dan aku tidak
mengetahui sesuatu untukmu dalam sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Kembalilah
hingga aku bertanya kepada orang-orang. Kemudian Abū Bakar bertanya kepada orang-
orang, lalu al-Mughīrah bin Syu'bah berkata; aku menyaksikan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam telah memberikan kepadanya seperenam. Kemudian Abū Bakr berkata; apakah ada
orang (yang menyaksikan) selainmu? Kemudian Muhammad bin Maslamah berdiri dan
berkata seperti apa yang dikatakan al-Mughīrah bin Syu'bāh. Lalu Abū Bakr menerapkannya.”
(H.R. Abū Daud).8

7
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis; Versi Muhaddisin dan Fuqaha, (Yogyakarta: TERAS,
2004), hlm. 23

8
Imam Abū Daud; Kitab : Waris; Bab : Penjelasan tentang nenek (No. Hadist : 2894.)
Dalam hadits tersebut terlihat sikap penolakan Khalifah Abū Bakr al-Shiddīq terhadap
pemberitaan yang disampaikan oleh Mughīrah bin Syu'bah bahwa Rasulullah Saw telah
membagikan 1/6 (seperenam) harta pusaka kepada nenek yang menjadi ahli warisnya. Sang
Khalifah baru berkenan menerima pemberitaan tersebut setelah datang kesaksian Muĥammad
bin Maslamah al-Anshari yang mendukung kebenaran hadits dari Mughīrah.
2. Umar bin al-Khaththab.
Selanjutnya, metode yang sama juga telah dipraktikkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab
ketika berdebat dengan Abū Musā al-Asy‟ari terkait masalah tatacara mengucapkan salam saat
bertamu.
Telah menceritakan kepadaku Abū al-Thāhir, (dia berkata) telah mengabarkan kepadaku
'Abdullah bin Wahb, (dia berkata) 'Amru bin al-Ĥārits telah menceritakan kepadaku dari
Bukair bin Al Asyaj bahwa Busr bin Sa'id telah menceritakan kepadanya bahwa dia (Busr bin
Sa'id) mendengar Abū Sa'id al-Khudry berkata; Suatu ketika kami sedang berada di Majlis
Ubay bin Ka'ab, tiba-tiba Abū Musā al-Asy'ary datang dalam keadaan marah, lalu beliau
berdiri seraya berkata; Demi Allah, apakah di antara kalian ada yang pernah mendengar
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang berbunyi: "Meminta izin itu hanya tiga
kali, apabila di izinkan, kalian boleh masuk, jika setelah tiga kali tidak ada jawaban, maka
pulanglah." Ubay berkata; memang ada apa dengan hadits tersebut? Abū Musa menjawab;
'Kemarin aku telah meminta izin kepada „Umar sebanyak tiga kali, namun tidak ada jawaban,
maka akupun pulang kembali. Lalu pada hari ini aku mendatanginya lagi dan aku kabarkan
kepadanya bahwa aku telah menemuinya kemarin dan sudah aku ucapkan salam sebanyak
tiga kali, namun tidak ada jawaban akhirnya aku pulang kembali. Dan „Umar menjawab;
kami telah mendengarmu, yang pada waktu itu kami memang sedang sibuk hingga tidak
sempat mengizinkanmu, tetapi kenapa kamu tidak menungguku sampai aku mengizinkanmu?
Abū Musā menjawab; Aku meminta izin sebagaimana yang telah aku dengar dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam. Lalu „Umar berkata; Demi Allah, aku akan menghukum kamu
hingga kamu mendatangkan saksi ke hadapanku mengenai hadits itu. Kemudian Ubay bin
Ka'ab berkata; Demi Allah, tidak akan ada yang menjadi saksi atasmu kecuali orang yang
paling muda di antara kami. Berdirilah wahai Abū Sa'id! lalu akupun berdiri hingga aku
menemui Umar, dan aku katakan kepadanya; Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda mengenai Hadits tersebut. (H.R. Muslim).9
3. Ali bin Abī Thālib.
Ali bin Abī Thālib tidak jauh beda dengan Abū Bakr dan „Umar. Jika mereka menggunakan
metode tathabbut (verifikasi ), maka Ali menggunakan metode istihlaf / tahlif (sumpah).
Tentunya metode ini hanya ia pakai ketika mendapatkan hadis dari beberapa sahabat atau tabiin
yang diduga ada kemungkinan salah pada hafalannya, lebih-lebih setelah terjadinya fitnah
kubra, seperti pernyataan Ali bin Abi Thālib dalam hadits Muslim berikut ini:
Telah menceritakan kepada kami Wakī‟, (dia berkata) Telah menceritakan kepada kami
Mis'ar dan Sufyān dari Utsmān bin al-Mughīrah al-Tsaqafiy dari Alī bin Rab'ah al-Wālibiy
dari Asmā' bin al-Ĥakam al-Fazāry dari Ali, dia berkata; jika aku mendengar sebuah hadits
dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka Allah memberiku manfaat dari padanya
menurut yang dikehendak-Nya. dan jika ada orang lain yang menceritakannya kepadaku,
maka aku memintanya untuk bersumpah, apabila dia telah bersumpah kepadaku maka aku
membenarkannya. sesungguhnya Abū Bakr Telah menceritakan kepadaku, dan benarlah
bahwa Abū Bakr telah mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "tidaklah
seorang lelaki berbuat dosa kemudian dia berwudlu dan membaguskan wudlunya, -Mis'ar
berkata; -" kemudian dia shalat, sedangkan sufyan berkata" kemudian dia shalat dua rakaat
dan memohon ampun kepada Allah kecuali pasti Allah akan mengampuni dosanya". (HR.
Ahmad).10
Metode khas yang dimiliki Ali ini nampaknya tidak bersifat universal. Terbukti beliau tidak
pernah menerapkannya kepada Abū Bakr sebab Ali telah meyakini kejujuran Abū Bakr yang
berarti Ali meyakini kejujurannya, maka Ali tidak mungkin menyumpahnya.
Keyakinan Ali pada Abū Bakr mungkin karena kejujuran Abū Bakr sudah mendapat legitimasi
langsung dari Rasulullah Saw. atau mungkin karena Abū Bakr tidak pernah meriwayatkan
hadits bil ma'na tapi selalu meriwayatkan hadits bil lafdz, oleh karena itulah hadis yang di
riwayat Abū Bakr tidak banyak.

9
Imam Muslim di Shahihnya di kitab: Adab; bab : Minta izin (No. Hadist : 34.)
10
Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya bab: musnad Abū Bakr al-Siddīq (No.
Hadits: 2)
4. Aisyah Ummu al- Mu‟minin.
telah menceritakan kepada kami Aĥmad bin Manī' berkata; telah menceritakan kepada kami
Husyaim berkata; (dia berkata) telah mengabarkan kepada kami Yūnus bin Ubaid dan
Manshūr bin Zādzān dari Ĥumaid bin Hilāl dari „Abdullah bin al-Shāmit ia berkata; "Aku
mendengar Abū Dzar berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika
seorang laki-laki shalat sedang di depannya tidak ada pelana atau sekedup yang dipasang di
atas hewan tunggangan, maka shalat akan rusak dengan melintasnya anjing hitam, wanita
atau keledai." Maka aku pun bertanya kepada Abū Dzar, "Kenapa harus hitam dan tidak
merah atau putih?" ia menjawab, "Wahai saudaraku, engkau telah bertanya kepadaku dengan
sesuatu yang pernah aku tanyakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau
bersabda: "Anjing hitam adalah setan." (HR. Tirmidzi).
Mendengar hadits ini, „Aisyah mengingkarinya dan menolaknya seraya berkata: “betapa kalian
menyerupakan kami (kaum wanita) dengan keledai dan anjing?” Lalu ia meriwayatkan hadits
fi'liyyah Rasulullah Saw. yang berbunyi : “Demi Allah, sungguh Rasulullah pernah shalat di
depanku, kala itu aku berada di atas ranjang, jarak antara beliau dan ranjang hanya selebar
tubuh, maka aku merasa tidak nyaman dan aku merasa jika aku tetap duduk diranjang (HR.
MUSLIM).11
Metode kritik yang dipakai A'isyah dalam kasus ini adalah menggAbūngkan antara naqli dan
aqli (qiyas).
5. Abū Hurairah.
Selanjutnya sikap Abū Ĥurairah dalam menyakinkan keraguan ibn „Umar kepada „Aisyah
tentang kevaliditasan hadits masalah pahala shalat jenazah yang ia riwayatkan:
Telah menceritakan kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepada kami Ya'lā bin Athā
dari al-Walīd bin 'Abdurrahman al-Jurasyi dari Ibnu „Umar radliallahu 'anhu, bahwa ia
pernah melewati Abū Ĥurairah yang sedang menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: "Barangsiapa mengikuti jenazah dan

11
Imam Muslim Kitab : Shalat Bab : Berbaring melintang di hadapan orang yang sedang
shalat (No. Hadist : 270)
menshalatkannya maka ia akan memperoleh pahala satu qirath, jika ia ikut menyaksikan
penguburannya maka ia akan memperoleh pahala dua qīrath. Dan satu qīrāth itu lebih besar
dari gunung Uhud." Lalu Ibnu „Umar berkata kepada Abū Hurairah, "Wahai Abū Hurairah,
benarkah hadits yang kau sampaikan dari Rasul itu? cobalah cek kembali!" Abū Hurairah lalu
berdiri menghampiri Ibnu „Umar dan mengajaknya menemui '„Aisyah, lalu ia berkata,
"Wahai Ummul Mukminin, aku bersumpah atasmu dengan nama Allah, apakah kamu pernah
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Barangsiapa mengikuti
jenazah dan menshalatkannya maka ia akan memperoleh pahala satu qirath, jika ia ikut
menyaksikan penguburannya maka ia akan memperoleh pahala dua qirath? ' „Aisyah
menjawab, "Ya." Abū Hurairah lalu berkata, "Sungguh, aku tidak disibukkan dengan bercocok
tanam dan berjualan di pasar untuk mendengar hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Aku selalu minta kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam suatu kalimat untuk ia
ajarkan kepadaku, dan makanan untuk ia berikan kepadaku." Ibnu „Umar lalu berkata kepada
Abū Hurairah, "Wahai Abū Hurairah, di antara kami kamu adalah orang yang paling sering
bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan yang paling tahu tentang hadits beliau."
(H.R. Ahmad).

Pemberlakuan metode kritik eksternal (sanad) hadits seperti yang dipraktikkan oleh sejumlah
tokoh shahabat diatas lebih orientasikan sebagai peletakan disiplin bagaimana prosedur
penerimaan setiap informasi yang diasosiasikan kepada Nabi Saw harus ditegakkan, dan umat
Islam tidak boleh ceroboh dalam mempercayai dan menerima setiap hadits yang dinisbahkan
kepada Nabi Saw. Pola perujukan silang yang berlandaskan asas muqāranah atau perbandingan
antar riwayat dari sesama shahabat tersebut merupakan praktik i‟tibar guna mendapatkan data
syāhid al-ĥadits ( Periwayatan hadits yang serupa dalam segi matannya dengan hadits lain, baik
dalam bentuk struktur kalimatnya atau maknanya saja, oleh shahabat lain yang dapat disejajarkan
sebagai riwayat pendukung.)12
Dengan cara meminta agar shahabat yang menjadi perawi hadits tersebut mampu
mendatangkan shahabat lainnya sebagai persaksian sekaligus pendukung (syāhid al-hadits) atas

12
M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang,
1988), hlm. 53
kebenaran hadits yang disampaikan. Langkah metodologis ini memberikan gambaran bahwa di
kalangan shahabat sudah terlihat upaya selektif dalam menerima hadits. Mereka tidak bersedia
menerima hdits kecuali dibuktikan minimal 2 saksi yang sama-sama menerima hadits dari Nabi
Saw.
Akan tetapi norma kritik seperti di atas tidak mutlak diberlakukan, sebab dalam batas tidak ada
keraguan pada subtansi matan maka sikap shahabat menerima periwayatan tunggal tanpa
menuntut dukungan kesaksian. Misalnya:
1. Ali bin Abi Thālib segera mempercayai hadits Nabi tentang shalat Taubah yang disampaikan
oleh Abū Bakr al-Shiddīq.
2. Khalifah „Umar bin al-Khaththab menerima saran Abdurahmān bin „Awf perihal petunjuk
Nabi Saw.dalam mengatasi wabah penyakit yang melanda daerah pemusatan angkatan
perang Islam.
3. Utsmān bin Affān menerima pemberitaan Fura‟iah binti Malik perihal mantan istri ber‟iddah
karena kematian suami di rumah duka.13

Selain menerapkan kaidah muqāranah antar riwayat seperti contoh tersebut diatas, tradisi kritik
esensi matan hadits di kalangan shahabat juga berlaku kaidah ardh atau Mu‟aradhah. Namun
skala penerapan metode ini belum pesat bila dibandingkan periode setelahnya. Metode „ardh atau
Mu‟aradhah intinya adalah pencocokan konsep yang menjadi muatan pokok setiap matan hadits,
agar tetap terpelihara kebertautan dan keselarasan antar konsep dengan hadits lain dan dengan dalil
syari‟at yang lain.langkah pencocokan itu juga dilakukan dengan petunjuk aksplisit al-Qur‟an
(zhāhir al-Qurān), pengetahuan kesejarahan masa Nabi (sīrah nabawiyah) dan penalaran akal
sehat.14

13
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis; Versi Muhaddisin dan Fuqaha, (Yogyakarta:
TERAS, 2004), hlm. 28
14
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis; Versi Muhaddisin dan Fuqaha, (Yogyakarta:
TERAS, 2004), hlm. 30
BAB III

C. Kesimpulan

Dalam makalah ini, kita membahas tentang metode kritik terhadap hadis masa sahabat Nabi.
Mayoritas umat Islam meyakini bahwa para sahabat adalah sumber terpercaya dalam
menyampaikan ajaran Islam, namun masih ada keraguan terkait siapa yang termasuk dalam
kategori sahabat.

Kita juga memahami bahwa hadis merupakan sumber ajaran kedua setelah Al-Qur'an dalam
Islam, dan pentingnya penelitian hadis karena berbagai faktor seperti pemalsuan, penghimpunan
yang lama, banyaknya kitab hadis, dan periwayatan makna. Dalam pembahasan, kita melihat
bahwa para sahabat seperti Abu Bakr, Umar, Ali, Aisyah, dan Abu Hurairah memiliki metode
kritik tersendiri dalam menilai hadis-hadis yang mereka terima. Mereka menggunakan berbagai
metode seperti verifikasi, sumpah, perbandingan, dan pencocokan konsep untuk memastikan
kebenaran hadis yang mereka sampaikan.

Dalam kesimpulan, metode kritik terhadap hadis masa sahabat adalah bagian penting dalam
menjaga keotentikan ajaran Islam. Para sahabat menggunakan berbagai pendekatan untuk
memastikan keabsahan hadis sebelum mereka meneruskannya ke generasi berikutnya. Ini
merupakan warisan berharga dalam tradisi Islam yang telah berkontribusi pada pemeliharaan dan
pemahaman agama Islam hingga saat ini.

D. Saran

Kami selaku penulis makalah pastilah mengakui masih banyak kesalahan atau kekeliruan baik
dalam pembahasan, tata bahasa, kalimat atau lainnya. Kami sudah mengerjakan dan melampirkan
dengan sepenuh hati dan sebisa kami yang sudah kami cari agar dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini. Oleh sebab itu, kami sangat berharap kepada para pembaca untuk memberikan saran
serta kritik untuk kami, agar kedepannya kami memperbaiki penulisan ini.
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Rohaizan Baru et al., “Disputes Among Religious Scholars On Issues Related To Hadith Of The
Prophet SAW.,” AL-QIYAM International Social Science and Humanities Journal 5, no. 1 (August
10, 2022): 50–60.

Ridwan Ridwan and Muhammad Fuad Zain, “God and Human Sovereignty in Islamic Political
Tradition,” Ijtimā`iyya: Journal of Muslim Society Research 5, no. 1 (March 27, 2020): 10–18,

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 7.

Materi-materi tersebut merupakan beberapa ilmu bantu dalam upaya kritik hadis yang tidak
tertutup kemungkinan untuk dikaji dan dilengkapi dengan disiplin ilmu lain (interdisipliner),
seperti arkeologi, sejarah, geografi, dan lainnya.

Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), 70

Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis; Versi Muhaddisin dan Fuqaha, (Yogyakarta: TERAS, 2004),
hlm. 9

Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis; Versi Muhaddisin dan Fuqaha, (Yogyakarta: TERAS, 2004),
hlm. 23

Imam Abū Daud; Kitab : Waris; Bab : Penjelasan tentang nenek (No. Hadist : 2894.)

Imam Muslim di Shahihnya di kitab: Adab; bab : Minta izin (No. Hadist : 34.)

Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya bab: musnad Abū Bakr al-Siddīq (No. Hadits: 2)

Imam Muslim Kitab : Shalat Bab : Berbaring melintang di hadapan orang yang sedang shalat
(No. Hadist : 270)

M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm.
53
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis; Versi Muhaddisin dan Fuqaha, (Yogyakarta: TERAS, 2004),
hlm. 28

Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis; Versi Muhaddisin dan Fuqaha, (Yogyakarta: TERAS, 2004),
hlm. 30

Anda mungkin juga menyukai