Dosen Pengampu:
Misbahul Munir, M.Hum
Syukur Alhamdulilah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
Melimpahkan rahmat dan karunia-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Studi hadist, dengan judul:
“MODEL RANCANGAN PEMBELAJARAN”.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan.
Bangka Belitung
Secara garis besar ilmu hadits dibagi atas ilmu hadits riwayat dan ilmu hadits dirayat. Jika
ilmu hadits riwayat membahas materi hadis yang menjadi kandungan makna, maka ilmu hadits
dirayat mengambil pembahasan mengenai kaidah-kaidahnya, baik yang berhubungah dengan
sanad atau matan hadits. Kedua pengetahuan tersebut sama-sama penting. Sebab dengan ilmu
yang pertama, setiap muslim yang ingin mengikuti jejak laku dan teladan Rasulullah harus
menguasai ilmu tersebut. Sementara itu dengan menguasai ilmu yang kedua, setiap muslim dan
siapapun yang mempelajari dengan baik akan mendapatkan informasi yang akurat dan akuntabel
tentang hadits Nabi/ Rasulullah saw. Di bawah ini akan dibahas tentang pengertian ilmu hadits,
sejarah yang dilalui, dan cabang-cabang ilmu hadits, terurama ilmu hadits yang berkaitan dengan
kegiataan takhrij dan penelitian sanad hadit Nabi saw.
BAB II
PEMBAHASAN
Banyak macam istilah yang digunakan para ulama untuk menyebut ilmu hadits. Di
antaranya adalah Ilmu Ushul al-Hadits, Ilmu Mushthalah Hadits, Ilmu Mushthalahi ahli al-Atsar,
Ilmu Mushthalahi Ahli al-Hadits. Prof. Dr. Hasbi al-Siddiqi, sebagaimana dikutib Syuhudi Ismail
dan Nur Sulaiman, mengartikan ilmu Hadits sebagai segala pengetahuan yang berhubungan
dengan hadits Nabi. Dari definisi ini, maka cakupan (obyek) ilmu hadits itu sangat luas. Ia tidak
saja menyangkut matan dan sanad hadits, tetapi juga menyangkut setting social-budaya, pilitik
dan social ekonomi yang melingkupi hadits Nabi. Berangkat dari pengertian ini, maka ilmu
hadits bisa mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu itu sendiri. Misalnya
ilmu sosiologi Hadits, Ilmu Pilitik Hadits dan sebagaimnya.
Definisi ini senada dengan pengertian yang dirumuskan oleh Ibnu Hajar al-Atsqalani :
“Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk mengetahui kaadaan para
perawi dan apa yang diriwayatkan(matan hadits)”
Secara garis besar ilmu-ilmu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu hadits riwayat
(riwayah) dan ilmu hadits diroyat (diroyah).
Ilmu hadis riwayah ialah ilmu yang membahas segala perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat-
sifat Nabi Saw. Jadi ilmu ini titik tekannya pada materi hadits itu sendiri. Wilayah dan ruang
lingkup pembahasan Ilmu ini tidak menyinggung apakah hadits itu mutawatir atau ahad, dan juga
tidak mempersoalkan apakan hadits tersebut shaih atau tidak, maqbul atau mardud, tetapi
pembahasannya lebih pada apa saja penuturan yang berasal dari nabi saw. Hal ini dilakukan
kerena ditujukan agar supaya mengetahui apa saja sikap dan prilaku nabi yang dapat dicontoh
dan diteladani. Dengan demikian maka obyek Ilmu hadits Riwayat adalah pribadi Nabi, baik dari
segi perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat Nabi saw. Dintara kitab-kitab yang mebahas
ilmu riwayat adalah kitab Shahih al-Bukhari, shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-
Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwatha’ Malik, Musnad Ahmad, Sunan al-Darimi dan lain se
bagainya.
Sedang Ilmu hadis Dirayat berkisar pada kaidah-kaidah untuk mengetahui kaadaan matan dan
sanad hadits, bagaimana cara-cara penukilan hadis yang dilakukan oleh para ahli hadis,
bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain, tentang sifat-sifat rawi, bagaimana cara
memahami hadits dan sebagainya. Dari dua pokok asasi ini, terbitlah berbagai-bagai berbagai
ilmu hadits, seperti ilmu Rijal al-Hadits, Ilmu Tarih al-Rawi, Ilmu al-Jarhi wa al-Ta’dil, Ilmu
Asbab al-Nuzul, Ilmu Musykilat al-Hadits dan sebagainya.
1. Dapat meneladani akhlak Nabi saw, baik dalam hal ibadah maupun muamalah, secara benar.
2. Menjaga dan memelihara hadits Nabi dari segala kesalahan dan penyimpangan
5. Mengetahu upaya dan jerih payah para ulama dalam menjaga dan melestarikan hadits Nabi
7. Mengetahui kriteria yang dipergunakan para ulama dalam mengklasifikasikan kaadaan hadist,
baik dari sisi kuantitas / jumlah sanad maupun dari sisi kualitas sanad dan matannya.
8. Dapat mengetahui periwayatan yang maqbul (diterima) dan yang mardud (tertolak)
9. Dapat melakukan penelitian hadits sesuai dengan kaidah-kaidah dan syarat-syarat yang
disepakati para ulama
10. mampu bersikap kritis dan proporsional terhadap periwayatan hadits Nabi saw.
Banyak sekali jumlah cabang Ilmu Hadits, para Ulama menghitungnya secara beragam, ada
yang menghitungnya secara terperinci dan ada yang menghitungnya secara global. Ibnu ash
Sholah menyebutkan bahwa ada 65 cabang Ilmu Hadits, Imam as Suyuthi mengatakan ada 93
cabang, al Hazimi berkata: “Ilmu Hadits mencakup banyak cabang yang jika dihitung mencapai
seratus dan setiap cabangnya merupakan disiplin ilmu tersendiri. Subhi Sholih hanya
meringkasnya menjadi 6 cabang Ilmu Hadits dalam kitabnya, sementara ada juga yang
meringkasnya menjadi 10 cabang.
Untuk menyimpulkan yang terserak dan disesuaikan dengan keterbatasan waktu dan tenaga
maka dalam makalah ini penulis hanya akan memaparkan 10 cabang Ilmu Hadits, yaitu sebagai
berikut:
Ilmu Rijal al Hadits adalah salah satu Ilmu penting dalam cabang Ilmu Hadits, karena Ilmu
Hadits adalah Ilmu yang membahas tentang urusan Sanad dan Matan dan orang-orang yang
dibahas dalam sanad
adalah periwayat hadits serta otomatis menjadi bahasan dalam Ilmu ini, maka tidak aneh
jika para ulama memberikan perhatian yang lebih terhadap cabang Ilmu Hadit ini.
Adapun Ilmu Rijalul Hadits dibagi menjadi dua, Ilmu Tawarikh ar Ruwah dan Ilmu al
Jarh wa at Ta’dil. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Ilmu Tawarikhur Ruwah adalah:
Ilmu yang mempelajari waktu yang membatasi kelahiran, wafat, peristiwa/ kejadian dan
lain-lainnya.
Jadi, Ilmu Tawarikur Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang hal keadaan perawi
Hadits dan biografinya dari segi kelahiran dan kewafatan mereka, siapa guru-gurunya atau dari
mana mereka menerima Sunnah dan siapa murid-muridnya, atau kepada siap mereka
menyampaikan periwayatan Hadits, baik dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in.
Para Ulama generasi awal menyebut cabang Ilmu ini dengan berbagai sebutan,
diantaranya; Ilmu at Tarikh, Tarikh ar Ruwah, Wafayat ar Ruwah, dan lainnya. Akan tetapi
kebanyakan pengarang kitab setelah abad ke 5 Hijriyah menyebutkannya dalam arangan mereka
dengan sebutan at Tawarikh wal Wafayat.
Ilmu ini berkembang seiring perkembangan periwayatan hadits dalam Islam, para ulama
memberi perhatian pada Ilmu ini untuk mengetahui orang-orang yang meriwayatkan hadits,
mereka menanyakan kepada para periwayat tentang umur, tempat tinggal, cara mendapatkan
hadits dari guru mereka, sebagaimana mereka juga menanyakan tentang diri para periwayat itu
sendiri. Ini merupakan hak bagi para ulama untuk memperhatikannya demi mengetahui
kebenaran klaim dari para periwayat tentang pendengaran hadits dari guru mereka dan
mengetahui kesinambungan sanad atau terputusnya serta membedakan yang mursal dari yang
marfu’.
Tujuan Ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung tidaknya sanad suatu hadits.
Maksud persambungan sanad adalah pertemuan langsung apakah perawi berita itu bertemu
langsung dengan gurunya atau pembawa berita ataukah tidak, atau hanya pengakuannya saja.
Semua itu dapat dideteksi melalui ilmu ini. Muttashilnya sanand ini nantinya dijadikan salahsatu
syarat kesahihan hadits dari segi sanad
Ilmu ini adalah senjata yang terbaik bagi para ulama dalam menghadapai para
pembohong, Imam Sufyan ats Tsauri berkata: “ketika ada sebagian perawi yang berbohong
maka kami menggunakan Imu ini untuk menghadapi mereka”.
Karena perhatian para ulama pada Ilmu ini sangat besar maka terkumpullah banyak kitab-
kitab yang membahas tentang hal ihwal periwayat hadits. Orang yang mempekenalkan ilmu ini
adalah al Bukhori (256 H) kemudian Ibnu Sa’ad dalam kitab Thobaqot-nya (230 H), lalu pada
tahun ke 7 Hijriyah Izzuddin bin Atsir (630 H) mengumpulkan dalam kitab Usud al Al Ghobah fi
Ma’rifah as Shohabah akan tetapi di dalamnya masaih tercampur dengan sebagian nama yang
bukan Shahabat. Maka setelah itu Ibnu Hajar al Atsqolani (852H) mengarang kitab Al Ishobah fi
Tamyiz as Shohabah yang kemudian diringkas oleh salahsatu muridnya, yaitu as Suyuthi (911 H)
dalam kitabnya ‘Ain al Ishobah
2.Ilmu Jarh wa at Ta’dil ()علم الجرح والتعديل
Secara bahasa Jarh (رحhh )الجadalah mashdar dari kalimatرحhhرح – يجhh جyang berarti luka/
mengalirkan darah, dan ta’dil (h )التعديلberasal dari العدلyang berarti apa yang terdapat dalam diri
yang menyebabkannya menjadi lurus/ baik.
Dan menurut Istilah, di dalam kitabnya, Dr.Shubhi as Sholih mendefiniskan Ilmu Jarh wa
at Ta’dil sebagai berikut:
علم يبحث عن الرواة من حيث ما ورد في شأنهم مما يشينهم أو يزكيهم بألفاظ مخصوصة
“ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang datang dari keadaan
mereka, dari apa yang mencela mereka, atau memuji mereka dengan menggunakan kata-kata
khusus”.
Jadi ilmu ini membahas tentang nilai cacat ( )الجرحatau adilnya( )التعديلseorang perawi
dengan ungkapan kata-kata tertentu dan memiliki hierarki tertentu.
Kaidah Syara’ menunjukkan bahwa syariah harus dijaga, dan menjelaskan keadaan
perawi adalah jalan yang tepat untuk menjaga Sunnah yang merupakan salahsatu komponen
dalam Syariah.
Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui sifat atau nilai keadilan, kecacatan dan atau ke-
dhobit-an (kekuatan daya ingat) seorang perawi hadits. Jika sifatnya adil dan dhobit maka
haditsnya dapat diterima dan jika cacat, tidak ada keadilan dank e-dhobit-an maka haditsnya
tertolak.
Para ulama hadits, fiqh dan ushul berijma’ bahwa syarat dari diterima tidaknya hadits dari
seseorang adalah bahwa orang tersebut haruslah adil dan dhobit.
Adil artinya dia harus muslim, berakal, baligh dan bersih dari kefasikan serta hal yang
mencoreng kehormatannya.
Dhobit artinya dia benar-benar hafal apa yang dihafalnya, baik itu melalui hafalan atau
kitab dan mengerti makna yang dihafalanya. Atau dengan kata lain hafalannya tidak menyalahi
hafalan Tsiqot, bagus, tidak salah, tidak lupa, dan tidak banyak keragu-raguan.
Adapun al ‘Adalah ( )العدالةdapat ditetapkan pada diri seorang perawi dengan salahsatu dari
2 cara, yaitu;
Pertama, at Tanshihsh ( )التنصيصadanya petunjuk atau nash dari salahsatu ulama ilmu
Jarh wat Ta’dil yang menyatakan keadilan seseorang.
Kedua, al Istifadhoh wa asy Syuhroh ( )االستفاضة و الشهرةyaitu terkenalnya seorang perawi
di kalangan ulama dengan keadilannya dan bahkan dipuji karena hal tersebut.
Ibnu ‘Adi (365 H) dalam kitabnya Mukaddimah Al Kamil menjelaskan nilai keadilan
para ahli haditssejak masa sahabat. Diantara sahabat yang menyebutkan sifat dan keadaan para
perawi hadits adalah Ibnu Abbas, Ubadah bin Shomit, dan Anas bin Malik. Dan diantara tabi’in
adalah Asy Sya’bi, Ibnu Sirin, dan Sa’ad bin al Musayyab, sedikit sekali diantara mereka yang
digolongkan cacat ( )الترجيحdalam keadilan.
Pada abad ke 2 Hijriyah mulailah terdapat perawi hadits yang dhoif. Pada masa akhir
tabi’in , yaitu sekitar tahun 150 H, bangkitlah para ulama untuk mengungkap para perawi yang
adil (ديلhh )التعdan cacat (ترجيحhh )ال, diantara mereka adalah Yahya bin Sa’id al Qothan dan
Abdurrahman al Mahdi.
Kitab-kitab yang membahas tentang ilmu ini diantaranya adalahThobaqot ibnu Sa’ad
(230 H) yang terdiri dari 15 jilid, Tawarikh Tsalatsah dan Tarikh al Kabir oleh Al Bukhori (256
H), al Jarhu wat Ta’dil karya ibnu Hatim dan lain-lain.
1.Jika memungkinkan disatukan antara dua hadits tersebut maka wajib untuk diamalkan.
2.Jika tidak mungkin disatukan maka:
- Jika diketahui salah satunya Nasikh dan satunya Mansukh maka Nasikh didahulukan
atas Mansukh.
- Jika tidak diketahui Nasikh atau Mansukh-nya maka dilakukan Tarjih (pemilihan yang
lebih kuat dari yang lainnya).
- Jika tidak bisa di-tarjih maka berhenti untuk mengamalkannya sampai diketahui factor
penguat salahsatu hadits dari lainnya
PENUTUP
Jika ditelaah dari sekian cabang hadits yang telah ditulis, ada yang pembahasannya
berkaitan dengan sanad, dan ada pula yang berkaitan dengan matan, serta ada pula yang
berkaitan dengan keduanya, sanad dan matan.
Semuanya sangat diperlukan dalam penelitian dan kajian ilmu hadits, baik dalam
menentukan kualitas suatu hadits atau dalam memahami kajian makna hadits.
DAFTAR PUSTAKA
محمد عجاج الخطيب ،أصول الحديث علومه ومصطلحه ،دار الفكر1972 ،
محمود الطحان ،تيسير مصطلح الحديث ،اإلسكندرية-مصر ،مركز الهدى الدراسات 1415 ،هـ
صبحي صالح ،علوم الحديث ومصطلحه ،دار العلم للماليين ،بيروت-لبنان ،2009 ،ص 111
مصطفى سعيد الخان و بادع السيد اللحام ،اإليضاح في علوم الحديث واالصطالح ،دار الكالم الطيب ,دمشق 2004