Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MODEL RANCANGAN PEMBELAJARAN

Dosen Pengampu:
Misbahul Munir, M.Hum

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Studi Hadits
Disusun Oleh
Angelia Puja Mayzi (2131110)

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM


PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYAIKAH ABDURRAHMAN SIDDIK
BANGKA BELITUNG
2021/2022
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulilah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
Melimpahkan rahmat dan karunia-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Studi hadist, dengan judul:
“MODEL RANCANGAN PEMBELAJARAN”.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan.

Bangka Belitung

Jumat, 10 juni 2022


BAB I
PENDAHULUAN

Secara garis besar ilmu hadits dibagi atas ilmu hadits riwayat dan ilmu hadits dirayat. Jika
ilmu hadits riwayat membahas materi hadis yang menjadi kandungan makna, maka ilmu hadits
dirayat mengambil pembahasan mengenai kaidah-kaidahnya, baik yang berhubungah dengan
sanad atau matan hadits. Kedua pengetahuan tersebut sama-sama penting. Sebab dengan ilmu
yang pertama, setiap muslim yang ingin mengikuti jejak laku dan teladan Rasulullah harus
menguasai ilmu tersebut. Sementara itu dengan menguasai ilmu yang kedua, setiap muslim dan
siapapun yang mempelajari dengan baik akan mendapatkan informasi yang akurat dan akuntabel
tentang hadits Nabi/ Rasulullah saw. Di bawah ini akan dibahas tentang pengertian ilmu hadits,
sejarah yang dilalui, dan cabang-cabang ilmu hadits, terurama ilmu hadits yang berkaitan dengan
kegiataan takhrij dan penelitian sanad hadit Nabi saw.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Makna Istilah Ilmu Hadits Dan Kegunaannya

Banyak macam istilah yang digunakan para ulama untuk menyebut ilmu hadits. Di
antaranya adalah Ilmu Ushul al-Hadits, Ilmu Mushthalah Hadits, Ilmu Mushthalahi ahli al-Atsar,
Ilmu Mushthalahi Ahli al-Hadits. Prof. Dr. Hasbi al-Siddiqi, sebagaimana dikutib Syuhudi Ismail
dan Nur Sulaiman, mengartikan ilmu Hadits sebagai segala pengetahuan yang berhubungan
dengan hadits Nabi. Dari definisi ini, maka cakupan (obyek) ilmu hadits itu sangat luas. Ia tidak
saja menyangkut matan dan sanad hadits, tetapi juga menyangkut setting social-budaya, pilitik
dan social ekonomi yang melingkupi hadits Nabi. Berangkat dari pengertian ini, maka ilmu
hadits bisa mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu itu sendiri. Misalnya
ilmu sosiologi Hadits, Ilmu Pilitik Hadits dan sebagaimnya.

Definisi ini senada dengan pengertian yang dirumuskan oleh Ibnu Hajar al-Atsqalani :

‫معرفة القواعد التى يتوصل بها الى معرفة الراوي والمروي‬

“Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk mengetahui kaadaan para
perawi dan apa yang diriwayatkan(matan hadits)”

Secara garis besar ilmu-ilmu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu hadits riwayat
(riwayah) dan ilmu hadits diroyat (diroyah).

Ilmu hadis riwayah ialah ilmu yang membahas segala perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat-
sifat Nabi Saw. Jadi ilmu ini titik tekannya pada materi hadits itu sendiri. Wilayah dan ruang
lingkup pembahasan Ilmu ini tidak menyinggung apakah hadits itu mutawatir atau ahad, dan juga
tidak mempersoalkan apakan hadits tersebut shaih atau tidak, maqbul atau mardud, tetapi
pembahasannya lebih pada apa saja penuturan yang berasal dari nabi saw. Hal ini dilakukan
kerena ditujukan agar supaya mengetahui apa saja sikap dan prilaku nabi yang dapat dicontoh
dan diteladani. Dengan demikian maka obyek Ilmu hadits Riwayat adalah pribadi Nabi, baik dari
segi perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat Nabi saw. Dintara kitab-kitab yang mebahas
ilmu riwayat adalah kitab Shahih al-Bukhari, shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-
Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwatha’ Malik, Musnad Ahmad, Sunan al-Darimi dan lain se
bagainya.

Sedang Ilmu hadis Dirayat berkisar pada kaidah-kaidah untuk mengetahui kaadaan matan dan
sanad hadits, bagaimana cara-cara penukilan hadis yang dilakukan oleh para ahli hadis,
bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain, tentang sifat-sifat rawi, bagaimana cara
memahami hadits dan sebagainya. Dari dua pokok asasi ini, terbitlah berbagai-bagai berbagai
ilmu hadits, seperti ilmu Rijal al-Hadits, Ilmu Tarih al-Rawi, Ilmu al-Jarhi wa al-Ta’dil, Ilmu
Asbab al-Nuzul, Ilmu Musykilat al-Hadits dan sebagainya.

Adapun kegunaan mempelajari ilmu hadits antara lain :

1. Dapat meneladani akhlak Nabi saw, baik dalam hal ibadah maupun muamalah, secara benar.

2. Menjaga dan memelihara hadits Nabi dari segala kesalahan dan penyimpangan

3. Menjaga kemurnian syariat Islam dari berbagai penyimpangan

4. Melaksanakan Syari’at sesuai dengan sunnah Nabi saw.

5. Mengetahu upaya dan jerih payah para ulama dalam menjaga dan melestarikan hadits Nabi

6. Dapat mengetahui istilah-istilah yang dipergunakan para ulama hadits

7. Mengetahui kriteria yang dipergunakan para ulama dalam mengklasifikasikan kaadaan hadist,
baik dari sisi kuantitas / jumlah sanad maupun dari sisi kualitas sanad dan matannya.

8. Dapat mengetahui periwayatan yang maqbul (diterima) dan yang mardud (tertolak)

9. Dapat melakukan penelitian hadits sesuai dengan kaidah-kaidah dan syarat-syarat yang
disepakati para ulama

10. mampu bersikap kritis dan proporsional terhadap periwayatan hadits Nabi saw.
Banyak sekali jumlah cabang Ilmu Hadits, para Ulama menghitungnya secara beragam, ada
yang menghitungnya secara terperinci dan ada yang menghitungnya secara global. Ibnu ash
Sholah menyebutkan bahwa ada 65 cabang Ilmu Hadits, Imam as Suyuthi mengatakan ada 93
cabang, al Hazimi berkata: “Ilmu Hadits mencakup banyak cabang yang jika dihitung mencapai
seratus dan setiap cabangnya merupakan disiplin ilmu tersendiri. Subhi Sholih hanya
meringkasnya menjadi 6 cabang Ilmu Hadits dalam kitabnya, sementara ada juga yang
meringkasnya menjadi 10 cabang.

Untuk menyimpulkan yang terserak dan disesuaikan dengan keterbatasan waktu dan tenaga
maka dalam makalah ini penulis hanya akan memaparkan 10 cabang Ilmu Hadits, yaitu sebagai
berikut:

1.Ilmu Rijal al Hadits (‫)علم رجال الحديث‬

Ilmu Rijal al Hadits adalah salah satu Ilmu penting dalam cabang Ilmu Hadits, karena Ilmu
Hadits adalah Ilmu yang membahas tentang urusan Sanad dan Matan dan orang-orang yang
dibahas dalam sanad

adalah periwayat hadits serta otomatis menjadi bahasan dalam Ilmu ini, maka tidak aneh
jika para ulama memberikan perhatian yang lebih terhadap cabang Ilmu Hadit ini.

Adapun Ilmu Rijalul Hadits dibagi menjadi dua, Ilmu Tawarikh ar Ruwah dan Ilmu al
Jarh wa at Ta’dil. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Ilmu Tawarikhur Ruwah adalah:

‫التعريف بالوقت الذي تضبط باألحوال من المواليد والوفيات والوقائع وغيرها‬

Ilmu yang mempelajari waktu yang membatasi kelahiran, wafat, peristiwa/ kejadian dan
lain-lainnya.

Jadi, Ilmu Tawarikur Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang hal keadaan perawi
Hadits dan biografinya dari segi kelahiran dan kewafatan mereka, siapa guru-gurunya atau dari
mana mereka menerima Sunnah dan siapa murid-muridnya, atau kepada siap mereka
menyampaikan periwayatan Hadits, baik dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in.

Para Ulama generasi awal menyebut cabang Ilmu ini dengan berbagai sebutan,
diantaranya; Ilmu at Tarikh, Tarikh ar Ruwah, Wafayat ar Ruwah, dan lainnya. Akan tetapi
kebanyakan pengarang kitab setelah abad ke 5 Hijriyah menyebutkannya dalam arangan mereka
dengan sebutan at Tawarikh wal Wafayat.

Ilmu ini berkembang seiring perkembangan periwayatan hadits dalam Islam, para ulama
memberi perhatian pada Ilmu ini untuk mengetahui orang-orang yang meriwayatkan hadits,
mereka menanyakan kepada para periwayat tentang umur, tempat tinggal, cara mendapatkan
hadits dari guru mereka, sebagaimana mereka juga menanyakan tentang diri para periwayat itu
sendiri. Ini merupakan hak bagi para ulama untuk memperhatikannya demi mengetahui
kebenaran klaim dari para periwayat tentang pendengaran hadits dari guru mereka dan
mengetahui kesinambungan sanad atau terputusnya serta membedakan yang mursal dari yang
marfu’.

Tujuan Ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung tidaknya sanad suatu hadits.
Maksud persambungan sanad adalah pertemuan langsung apakah perawi berita itu bertemu
langsung dengan gurunya atau pembawa berita ataukah tidak, atau hanya pengakuannya saja.
Semua itu dapat dideteksi melalui ilmu ini. Muttashilnya sanand ini nantinya dijadikan salahsatu
syarat kesahihan hadits dari segi sanad

Ilmu ini adalah senjata yang terbaik bagi para ulama dalam menghadapai para
pembohong, Imam Sufyan ats Tsauri berkata: “ketika ada sebagian perawi yang berbohong
maka kami menggunakan Imu ini untuk menghadapi mereka”.

Karena perhatian para ulama pada Ilmu ini sangat besar maka terkumpullah banyak kitab-
kitab yang membahas tentang hal ihwal periwayat hadits. Orang yang mempekenalkan ilmu ini
adalah al Bukhori (256 H) kemudian Ibnu Sa’ad dalam kitab Thobaqot-nya (230 H), lalu pada
tahun ke 7 Hijriyah Izzuddin bin Atsir (630 H) mengumpulkan dalam kitab Usud al Al Ghobah fi
Ma’rifah as Shohabah akan tetapi di dalamnya masaih tercampur dengan sebagian nama yang
bukan Shahabat. Maka setelah itu Ibnu Hajar al Atsqolani (852H) mengarang kitab Al Ishobah fi
Tamyiz as Shohabah yang kemudian diringkas oleh salahsatu muridnya, yaitu as Suyuthi (911 H)
dalam kitabnya ‘Ain al Ishobah
2.Ilmu Jarh wa at Ta’dil (‫)علم الجرح والتعديل‬
Secara bahasa Jarh (‫رح‬hh‫ )الج‬adalah mashdar dari kalimat‫رح‬hh‫رح – يج‬hh‫ ج‬yang berarti luka/
mengalirkan darah, dan ta’dil (h‫ )التعديل‬berasal dari ‫ العدل‬yang berarti apa yang terdapat dalam diri
yang menyebabkannya menjadi lurus/ baik.
Dan menurut Istilah, di dalam kitabnya, Dr.Shubhi as Sholih mendefiniskan Ilmu Jarh wa
at Ta’dil sebagai berikut:
‫علم يبحث عن الرواة من حيث ما ورد في شأنهم مما يشينهم أو يزكيهم بألفاظ مخصوصة‬
“ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang datang dari keadaan
mereka, dari apa yang mencela mereka, atau memuji mereka dengan menggunakan kata-kata
khusus”.
Jadi ilmu ini membahas tentang nilai cacat (‫ )الجرح‬atau adilnya(‫ )التعديل‬seorang perawi
dengan ungkapan kata-kata tertentu dan memiliki hierarki tertentu.
Kaidah Syara’ menunjukkan bahwa syariah harus dijaga, dan menjelaskan keadaan
perawi adalah jalan yang tepat untuk menjaga Sunnah yang merupakan salahsatu komponen
dalam Syariah.
Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui sifat atau nilai keadilan, kecacatan dan atau ke-
dhobit-an (kekuatan daya ingat) seorang perawi hadits. Jika sifatnya adil dan dhobit maka
haditsnya dapat diterima dan jika cacat, tidak ada keadilan dank e-dhobit-an maka haditsnya
tertolak.
Para ulama hadits, fiqh dan ushul berijma’ bahwa syarat dari diterima tidaknya hadits dari
seseorang adalah bahwa orang tersebut haruslah adil dan dhobit.
Adil artinya dia harus muslim, berakal, baligh dan bersih dari kefasikan serta hal yang
mencoreng kehormatannya.
Dhobit artinya dia benar-benar hafal apa yang dihafalnya, baik itu melalui hafalan atau
kitab dan mengerti makna yang dihafalanya. Atau dengan kata lain hafalannya tidak menyalahi
hafalan Tsiqot, bagus, tidak salah, tidak lupa, dan tidak banyak keragu-raguan.
Adapun al ‘Adalah (‫ )العدالة‬dapat ditetapkan pada diri seorang perawi dengan salahsatu dari
2 cara, yaitu;
Pertama, at Tanshihsh (‫ )التنصيص‬adanya petunjuk atau nash dari salahsatu ulama ilmu
Jarh wat Ta’dil yang menyatakan keadilan seseorang.
Kedua, al Istifadhoh wa asy Syuhroh (‫ )االستفاضة و الشهرة‬yaitu terkenalnya seorang perawi
di kalangan ulama dengan keadilannya dan bahkan dipuji karena hal tersebut.
Ibnu ‘Adi (365 H) dalam kitabnya Mukaddimah Al Kamil menjelaskan nilai keadilan
para ahli haditssejak masa sahabat. Diantara sahabat yang menyebutkan sifat dan keadaan para
perawi hadits adalah Ibnu Abbas, Ubadah bin Shomit, dan Anas bin Malik. Dan diantara tabi’in
adalah Asy Sya’bi, Ibnu Sirin, dan Sa’ad bin al Musayyab, sedikit sekali diantara mereka yang
digolongkan cacat (‫ )الترجيح‬dalam keadilan.
Pada abad ke 2 Hijriyah mulailah terdapat perawi hadits yang dhoif. Pada masa akhir
tabi’in , yaitu sekitar tahun 150 H, bangkitlah para ulama untuk mengungkap para perawi yang
adil (‫ديل‬hh‫ )التع‬dan cacat (‫ترجيح‬hh‫ )ال‬, diantara mereka adalah Yahya bin Sa’id al Qothan dan
Abdurrahman al Mahdi.
Kitab-kitab yang membahas tentang ilmu ini diantaranya adalahThobaqot ibnu Sa’ad
(230 H) yang terdiri dari 15 jilid, Tawarikh Tsalatsah dan Tarikh al Kabir oleh Al Bukhori (256
H), al Jarhu wat Ta’dil karya ibnu Hatim dan lain-lain.

3.Ilmu ‘Ilal al Hadits(‫)علم علل الحديث‬


Dalam bahasa al ‘Illah diartikan al Marodh (‫ المرض‬: ‫ )العلة‬yang artinya penyakit. Dalam
istilah ilmu hadits ilmu Ilal al Hadits adalah:
‫سبب خفي يقدح في الحديث مع ظهور السالمة منه‬
“suatu sebab tersembunyi yang menyebabkan cacat pada hadits, sementara lahirnya
tidak tampak penyebab tersebut”.
Ilmu Ilal al Hadits adalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang samar yang membuat
kecacatan keshahihan hadits, seperti me-washal-kan hadits yang munqothi’, atau memasukkan
suatu hadits ke hadits yang lain. Ilmu ini adalah salahsatu cabang ilmu hadits yang utama, karena
tidak dapat terungkap kecuali oleh para ulama yang memiliki kelimuan yang sempurna tentang
tingkatan perawi dan memiliki indra yang kuat tentang matan dan sanad.
Adapun tempat biasanya terdapat ‘Illah pada suatu hadits adalah: Pertama, Sanad,
disinilah biasanya yang banyak terdapat ‘Illah, terkadang ‘illah tersebut mempengaruhi alur
sanad hadits saja seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid at Thonafisi dari Sufyan
ats Tsauri dari Amru bin Dinar dari ibnu Umar dari Rosulullah SAW (‫ار‬hhh‫ان بالخي‬hhh‫)البيع‬.
Sesungguhnya Ya’ala salah dalam menyebutkan Amru bin Dinar, karena para pengikut Sufyan
meriwayatkan hadits ini dari Abdullah bin Dinar, bukan Amru bin Dinar.
Dan terkadang juga mempengaruhi matan hadits, seperti hadits yang diriwayatkan oleh
Musa bin ‘Uqbah dari Suhail bin Abi Sholih dari Ayahnya dari Abu Huroiroh dari Rasulullah
tentang hadits (siapa yang duduk dalam suatu majlis yang banyak keributannya lalu membaca
subhanakallahumma…maka akan diampuni atas apa yang terjadi di dalam majlis tersebut).
Imam Hakim an Naisaburi meriwayatkan bahwa Imam Muslim mendatangi Imam Bukhori dan
menanyakan tentang hadits ini, ia berkata: aku tidak menemukan dalam bab ini kecuali hadits ini,
akan tetapi kondisinya Ma’lul (ada ‘Illah di dalamnya) yang dikabarkan oleh Musa bin Ismail
dari Wahib dari Sahal dari Aun bin Abdullah bahwa perkataan dalam hadits diatas adalah
perkataan Aun bin Abdullah bukan perkataan Nabi Muhammad SAW, inilah yang lebih utama
karena Musa bin Uqbah tidak disebutkan pernah mendengar dari Suhail bin Abi Sholih.
Kedua, Matan, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibrahim bin Thohhan dari Abu
Hurairoh tentang hadits hendaknya mencuci tangan setelah bangun tidur. Abu Hatim ar Razi
berkata: kalimat (hendaklah ia menciduk air dengan menggunakan tangan kanan…dst)
merupakan perkataan Ibrahim bin Thohhan yang tercampur dengan hadits tersebut.
Ketiga, Matan dan Sanad secara bersamaan, seperti hadits yang diriwayatkan oleh
Baqiyah dari Yunus dari Zuhri dari Salim dari ibnu Umar dari Rosulullah SAW (barangsiapa
yang sempat untuk melakukan rukuk bersama imam pada sholat jumat dan lainnya maka ia
mendapatkan satu rokaat). Abu Hatim ar Razi berkata: ini kesalahan pada Matan dan Sanad,
yaitu dari Zuhri dari Abi Salamah dari Abi Huroiroh dari Rosulullah SAW (barangsiapa yang
sempat melakukan rukuk bersama imam maka ia mendapatkan satu rokaat), adapun kalimat
(sholat jumat) maka itu bukan bagian dari hadits, jadi kesalahan terletak pada Sanad dan Matan.

4.Ilmu Gharib al Hadits(‫)علم غريب الحديث‬


Ilmu Ghorib al Hadits adalah:
‫ من الفهم لقلة استعمالها‬h‫ما وقع في متن الحديث من لفظة غامضة بعيدة‬
“ilmu yang mempelajari makna matan hadits dari lafal yang sulit dan asing bagi
kebanyakan orang, karena tidak umum dipakai dalam bahasa arab”.
Semasa Rosulullah SAW hidup tentunya hadits-hadits beliau tidaklah sukar dipahami
oleh orang arab di masa itu, Rosulullah SAW merupakan orang yang paling fasih berbahasa arab
jika ada perkataan beliau yang belum dipahami oleh para sahabat mereka akan bertanya
kepadanya secara langsung.
Setelah beliau wafat dan Islam dipeluk oleh banyak orang yang bukan arab sangatlah
mungkin ada beberapa atau banyak dari kosakata bahasa arab yang sukar dipahami oleh mereka.
Disinilah peran para ulama hadits dan bahasa yang membantu untuk menjelaskan kosakata yang
sukar dipahami orang dalam mempermudah belajar agama
Misalnya hadits tentang sholat: Sholatlah berdiri dan barangsiapa yang tidak mampu
berdiri hendaklah duduk dan jika tidak mampu duduk, hendaklah tiduran di atas lambung. Tidur
diatas lambung termasuk Ghorib karena masih sulit atau kurang jelas dipahami. Maksud hadits
sholat di atas lambung apakah lambung kanan atau kiri? Kemudian dijelaskan oleh perkataan Ali
RA maka atas lambung kanan.
Pertama kali yang menulis dalam ilmu ini adalah Abul Hasan bin An Nadhr bin Syamil al
Mazni (203 H) yang merupakan salahsatu Syekh Imam Ishaq bin Ruhawaih dan Imam al
Bukhori

5.Ilmu Mukhtalif al Hadits (‫)علم مختلف الحديث‬


Di dalam kitabnya, Dr.Mahmud Ath Thohhan menjelaskan secara sederhana tentang
Mukhtalaf al Hadits:
‫هو الحديث المقبول المعارض بمثله مع امكان الجمع بينهما‬
“hadits maqbul kontradiksi dengan sesamanya serta memungkinkan dikompromikan
antara keduanya”.
Ilmu Mukhtalaf al Hadits adalah ilmu yang membahas hadits-hadits yang lahirnya terjadi
kontradiksi akan tetapi dapat dikompromikan, baik dengan cara pembatasan (‫ )التقييد‬yang
muthlaq, mengkhususkan yang umum (‫ )تخصيص العام‬atau dengan lainnya. Ilmu ini disebut juga
Talfiq al Hadits.
Tujuan ilmu ini adalah mengetahui hadits mana saja yang kontra dengan yang lain dan
bagaimana pemecahnnya atau langkah-langkah apa yang dilakukan para ulam dalam menyikapi
hadits tersebut.

Untuk mengkompromikan hadits yang kontradiksi ada beberapa tahapan:

1.Jika memungkinkan disatukan antara dua hadits tersebut maka wajib untuk diamalkan.
2.Jika tidak mungkin disatukan maka:
- Jika diketahui salah satunya Nasikh dan satunya Mansukh maka Nasikh didahulukan
atas Mansukh.
- Jika tidak diketahui Nasikh atau Mansukh-nya maka dilakukan Tarjih (pemilihan yang
lebih kuat dari yang lainnya).
- Jika tidak bisa di-tarjih maka berhenti untuk mengamalkannya sampai diketahui factor
penguat salahsatu hadits dari lainnya

6.Ilmu Nasikh wa Mansukh(‫)علم ناسخ و منسوخ‬


Menurut ulama Ushul Fiqh, Nasakh adalah:
‫رفع الشارع حكما شرعيا بدليل شرعي متراخ عنه‬
“pembatalah hokum syara’ oleh syari’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian”.
Ilmu Nasikh dan Mansukh menurut Ahli Hadits adalah:
‫علم يبحث فيه عن الناسخ والمنسوخ من األحاديث‬
“ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang menasakh dan dinasakh”
Ilmu Nasakh dan Mansukh membahas hadits-hadits yang kontradiktif yang tidak
mungkin dikompromikan, maka salah satunya yang datang belakangan sebagai Nasikh dan yang
lain datangnya terlebih dahulu sebagai Mansukh.
Bagaimana diketahui Nasakh dan Mansukh?
Nasikh dapat diketahui dengan salahsatu dari hal berikut:
Penjelasan langsung dari Rosulullah SAW, seperti hadits tentang ziarah kubur.
Perkataan sahabat, seperti hadits :
Jabir bin Abdullah (‫)كان آخر األمرين من رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ترك الوضوء مما مست النار‬
Sejarah, seperti hadits tentang (‫ )افطر الحاجم والمحجوم‬yang dinasakh oleh hadits ibnu Abbas
bahwa Rosulullah SAW (‫ )احتجم وهو محرم صائم‬yang terjadi ketika haji wada’.
Ijma’, seperti hadits (‫اقتلوه‬hh‫)من شرب الخمر فاجلدوه فإن عاد في الرابعة ف‬, imam Nawawi berkata:
“Ijma’ menyatakan bahwa hadits ini dinasakh”.

7.Ilmu Fann al Mubhamat (‫)علم فنّ المبهمات‬


Ilmu Fann al Mubhamat:
‫علم يعرف به المبهم الذي وقع في المتن أو في السند‬
“ilmu yang membahas tentang seseorang yang samar namanya dalam matan atau
sanad”.
Misalnya dalam hadits banyak didapatkan hanya disebutkan seorang laki-laki bertanya
kepada Rosulullah SAW, demikian juga dalam sanad disebutkan seorang laki-laki meriwayatkan,
dan seterusnya. Ibnu Hajar al Atsqolani menjelaskan nama-nama para perawi yang belum
disebutkan oleh Shohih Al Bukhori dalam kitabnya Hidayat as Sari Muqoddimah Fath al Bari.
Tujuan ilmu ini adalah mengetahui siapa sebenarnya nama-nama atau identitas orang-
orang yang disebutkan dalam matan atau sanad hadits yang masih samar atau tersembunyi.
Diantara yang menyusun ilmu ini adalah al Khotib al Baghdadi yang kemudian diringkas
dan dibersihkan oleh an Nawawi dalam kitabnya al Isyarat ila Bayani Asma al Mubhamat.

8.Ilmu Asbab Wurud al Hadits(‫)علم أسباب ورود الحديث‬


Menurut istilah ilmu Asbabul Wurud adalah:
‫علم يعرف به أسباب ورود الحديث ومناسبته‬
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab datangnya hadits dan beberapa munasabah nya
(latar belakang)”.
Ilmu ini menjelaskan tentang sebab-sebab datangnya hadits, latar belakang, dan waktu
terjadinya. Misalnya, datangnya suatu hadits karena Nabi ditanya oleh seorang sahabat tentang
suatu masalah yang dianggap sulit baginya. Ilmu ini sangat penting untuk memahami makna
yang terkandung dalam matan hadits secara kontekstual seperti ilmu Asbabun Nuzul Al Qur’an
bagi pemahaman Al Qur’an.
9.Ilmu Tashhif wa Tahrif(‫)علم تصحيف وتحريف‬
Ilmu Tashhif dan Tahrif adalah:
‫علم يعرف به ما صحف من األحاديث وما حرّف منه‬
“ilmu yang membahas hadits-hadits yang diubah titiknya (mushohhaf) atau diubah
bentuknya (muharraf)”.
Misalnya:
ِ ‫ ابْنُ ُم َر‬ditulis ‫ ابْنُ ُم َرا ِج ْم‬dan ‫ اِحْ تَ َج َر‬ditulis ‫اِحْ تَ َج َم‬
‫اح ْم‬
Tujuannya, mengetahui kata-kata atau nama-nama yang salah dalam sanad atau matan
hadits dan bagaimana sesungguhnya yang benar sehingga tidak terjadi kesalahan terus menerus
dalam penukilan dan mengetahui derajat kualitas kecerdasan dan ke-dhobit-an seorang perawi.
Diantara kitab yang membicarakan ilmu ini adalah at Tashhif li ad Daruqutni karangan
Imam Dar Quthni (385 H).
10. Ilmu Mushtholah al Hadits(‫)علم مصطلح الحديث‬
Ilmu Mushtholah al Hadits adalah:
‫علم يبحث فيه ع ّما اصطلح عليه المح ّدثون وتعارفوه فيما بينهم‬
“ilmu yang membahas tentang pengertian istilah-istilah ahli hadits dan yang dikenal
diantara mereka”.
Maksudnya, ilmu ini membicarakan pengertian istilah-istilah yang dipergunakan ahli
hadits dalam penelitian hadits dan disepakati mereka, sehingga menjadi popular di tengah-tengah
mereka. Misalnya sanad, matan, mukhorrij, mutawatir ahad, shohih dhoif, dan lain-lainnya.
Tujuannya, untuk memudahkan parapengkaji dan peneliti hadits dalam mempelajari dan
riset hadits, karena para pengkaji dan peneliti tidak akan dapat melakukan kegiatannya dengan
mudah tanpa mengetahui istilah-istilah yang telah disepakati oleh para ulama.
Diantara ulama yang pertama menulis ilmu ini adalah Abu Muhammad Ar Ramahurmuzi
(360 H) yang menulis Al Muhaddits al Fashil bain ar Rawi wa al Wa’I, kemudian diikuti oleh
yang lainnya seperti Al Hakim An Naisaburi (430 H) yang menulis Ma’rifat Ulum al Hadits, dan
lainnya.
BAB III

PENUTUP

Demikian cabang-cabang Ilmu hadits, masing-masing berdiri sendiri dengan bahasan


yang sangat luas dan dengan pembagian yang sangat banyak sebagaimana yang telah
disampiakan oleh para ulama.

Jika ditelaah dari sekian cabang hadits yang telah ditulis, ada yang pembahasannya
berkaitan dengan sanad, dan ada pula yang berkaitan dengan matan, serta ada pula yang
berkaitan dengan keduanya, sanad dan matan.

Semuanya sangat diperlukan dalam penelitian dan kajian ilmu hadits, baik dalam
menentukan kualitas suatu hadits atau dalam memahami kajian makna hadits.
‫‪DAFTAR PUSTAKA‬‬

‫‪Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2013).‬‬

‫محمد عجاج الخطيب‪ ،‬أصول الحديث علومه ومصطلحه‪ ،‬دار الفكر‪1972 ،‬‬

‫محمود الطحان‪ ،‬تيسير مصطلح الحديث‪ ،‬اإلسكندرية‪-‬مصر‪ ،‬مركز الهدى الدراسات‪ 1415 ،‬هـ‬

‫صبحي صالح‪ ،‬علوم الحديث ومصطلحه‪ ،‬دار العلم للماليين‪ ،‬بيروت‪-‬لبنان‪ ،2009 ،‬ص ‪111‬‬

‫مصطفى سعيد الخان و بادع السيد اللحام‪ ،‬اإليضاح في علوم الحديث واالصطالح‪ ،‬دار الكالم الطيب‪ ,‬دمشق ‪2004‬‬

Anda mungkin juga menyukai