Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

SANAD DAN MATAN HADITS

Disusun Oleh:

Liny Mardhiyatirrahmah (NIM. 1401251508)

Rima Aprilia Larasati (NIM. 1401250909)

Mutmainah (NIM. 1401250889)

Norhayati (NIM. 1401250894)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI IAIN ANTASARI BANJARMASIN

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

SEPTEMBER 2014

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sanad dan matan merupakan dua unsur pokok hadits yang harus ada pada
setiap haditst, antara keduanya memiliki kaitan yang sangat erat dan tidak dapat
dipisakan. Suatu berita tentang rasulullah SAW (matan) tanpa ditemukan
rangkaian atau susunan sanadnya, yang demikian tidak dapat disebutkan hadits,
sebaliknya suatu susunan sanad, meskipun bersambung sampai rasul, jika tidak
ada berita yang dibawanya, juga tidak bisa disebut haditst.
Pembicaran dua istilah diatas, sebagai dua unsur pokok haditst, matan dan
sanad diperlukan setelah rasul wafat. Hal ini karna berkaitan dengan perlunya
penelitian terhadap otentisitas isi berita itu sendiri apakah benar sumbernya dari
rasul atau bukan. Upaya ini akan menentukan bagaimana kualitas hadits tersebut,
yang akan dijadikan dasar dalam penetapan syari’at islam.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun masalah-masalah yang akan dijadikan objek pembahasan dari
karya tulis saya adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengertian, sinonim, serta jenis-jenis sanad?


2. Bagaimana pengertian dan macam-macam matan?
3. Bagaimana pengertian rawi hadits?
4. Bagaimana kedudukan sanad dan matan Hadits?
5. Bagaimana penelitian sanad dan matan hadits?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian, sinonim, serta jenis-jenis sanad.
2. Untuk mengetahui pengertian dan macam-macam matan.
3. Untuk mengertahui pengertian rawi hadits.
4. Untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan Hadits.
5. Untuk mengetahui penelitian sanad dan matan hadits.

2
1.4 Manfaat
Makalah ini dibuat agar penulis dan para pembaca bisa lebih mengerti dan
memahami makna dari sanad, matan, dan rawi hadits, beserta macam-macamnya
dan segala yang berhubungan dengan sanad dan matan hadits. Selain itu,
diharapkan kedepannya agar lebih mengetahui apa arti sanad dan matan hadits
dalam diri dan dapat diaplikasikan kehidupan kita.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sanad

2.1.1 Pengertian Sanad


Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu yang
berarti mutamad (sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya
atau yang sah). Dikatakan demikian karena haditst itu bersandar kepadanya dan
dipegangi atas kebenaranya.
Secara temionologis, sanad adalah silsilah orang-orang yang
menghubungkan kepada matan hadits atau jalannya matan, yaitu silsilah para
perawi yang memindahkati (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang
pertama. Silsilah orang ialah susunan atau rangkaian orang-orang yang
meyampaikan materi hadits tersebut sejak disebut pertama sampai kepada Rasul
SAW, yang memuat perbuatan, perkataan, taqrir, dan lainnya merupakan materi
atau matan hadits. Dengan pengertian diatas maka sebutan sanad hanya berlaku
pada serangkaian orang-orang bukan dilihat dari sudut pribadi secara perorangan.
Sedangkan, sebutan untuk pribadi yang menyampaikan hadits dilihat dari sudut
orang perorangannya disebut dengan rawi.
Sedangkan menurut istilah, yakni jalan yang dapat menghubungkan matan
hadist kepada Nabi Muhammad saw, misalkan hadist yang diwirayatkan oleh
Bukhari berikut.
‫ ﺤﺪﺜﻨﺎ ﺃﻴﻮﺐ ﻋﻦ ﺃﺒﻯ ﻘﺎﻼﺒﺔ‬:‫ ﺤﺪﻋﺒﺪﺍﻟﻮ ﻫﺎﺏ ﺍﻟﺸﻗﻓﻯﻘﺎﻞ‬:‫ﺤﺪﺷﻨﺎ ﻤﺤﻣﺪ ﻨﻦﺍﻠﻣﺷﻦ ﻗﺎﻞ‬
‫ ﺃﻦﻴﮑﻮﺃ ﺍﷲ ﻮﺭ ﺴﻮﻠﮫﺃ ﺤﺐ ﺇﻠﻴﮫ‬:‫(ﺜﻼﺚﻤﻦ ﮐﻦﻔﻴﮫ ﻮﺠﺪﺤﻼﻮﺓ ﺍﻹ ﻴﻤﺎﻦ‬:‫ﻋﻦﺍﻨﺲﻋﻦ ﺍﻠﻨﺒﻯ ﺼﻠﻌﻢ‬
)‫ﻤﻣﺎﺴﻮ ﻫﻤﺎ;ﻮ ﺃﻦﻴﺤﺐ ﺍﻟﺮﺃﻻﷲ;ﻮ ﺃﻦ ﻴﮑﻔﺮﮦ ﺃﻦﻴﻌﻮ ﺪﻔﻰ ﺍﻟﮑﻔﺮ ﮐﻤﺎ ﻴﮑﺮﮦ ﺃﻦ ﻴﻘﺬﻒ ﻔﻰﺍﻟﻨﺎﺮ‬
‫ﺮﻮﺍﺍﻟﺑﺨﺤﺎﺮﻯ‬
“telah memberitahukan kepadaku Muhammad bin al-musannah,ujarnya:’abdul-
wahhab as-saqafi telah menyebarkan kepada ku, ujarnya:’telah bercerita kepadaku
ayyub atas pemberitahuan abi kilabah dari anas dari Nabi Muhammad saw,
sabdanya:’tiga perkara, yang barangsiapa mengamalkannya niscaya memperoleh
kelezatan iman’. Yakni:1) Allah dan rasulnya hendaknya lebih dicintai daripada

4
selainnya. 2)kecintaannya kepada seseorang, tak lain karena Allah semata-mata
dan 3) keenggananmya kembali kepada kekufuran, seperti keengganannya
dicampakkan ke neraka’.” (HR. Bukhari)

Berdasarkan pengertian di atas, disebutkan bahwa sanad adalah


jalan matan (thariq al-min). Jalan matan berarti serangkaian orang-orang
yang menyampaikan atau meriwayatkan matan hadits, mulai perawi
pertama sampai yang terakhir.
Bagian di bawah ini adalah sanad Haditst:

‫حﺪّثﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻦ يﻮسﻒ ﻗﺎل ﺃخﺒﺮنﺎ ﻣﺎﻟك ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺷهﺎﺏ ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ جﺒﻴﺮ ﺑﻦ‬
‫ﻣطﻌﻢ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﮫ‬

“Telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah bin Yusuf, dia berkata: Telah
mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair
bin Muth’im dari bapaknya”.

‫سﻤﻌت ﺭسﻮل ﷲ (صﻠﻌﻢ) ﻗﺮﺃ ﻓﻰ ﺍﻟﻤغﺮﺏ‬


‫ﺑﺎﻟطﻮﺭ‬.

“aku mendengar Rasulullah SAW membaca surat Thur ketika Shalat Maghrib”.

2.1.2 Istiad, Musnad, dan Musnid


Selain istilah sanad, terdapat istilah lainnya, seperti al-isnad,
musnad, dan al-musnid. Istilah-istilah tersebut mempunyai kaitan erat
dengan istilah sanad.
Istilah al-Isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembali ke asal),
dan mengangkat. Menurut Ath-Thibi, sebagaimana dikutip al-Qasimi, kata al-
isnad dengan as-sanad mempunyai arti yang hampir sama atau berdekatan.
Ibn Jama'ah, dalam hal ini lebih tegas lagi, menurutnya bahwa ulama muhaditsin
memandang kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama serta
keduanya dapat dipakai secara bergantian.
Berbeda dengan istilah al-isnad, istilah al-musnad mempunyai
beberapa arti: pertama, berarti hadits yang diriwayatkan dan disandarkan atau
disanadkan kepada seseorang yang membawanya, seperti Ibn Syihab az-

5
Zuhri, Malik bin Anas, dan Amarah binti Abd ar-Rahman; kedua, berarti nama
suatu kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan sistem penyusunannya
berdasarkan nama-nama para sahabat perawi hadits, seperti kitab Musnad
Ahmad; ketiga, berarti nama bagi hadits yang memenuhi kriteria marfu'
(disandarkan kepada Nabi saw.) dan muttashil (sanad-nya bersambung sampai
kepada akhirnya).

2.1.3 Jenis-Jenis Sanad Hadits

A. S an ad `Al i y '
Sanad ‘Alit’ adalah sebuah sanad yang jumlah rawinya lebih sedikit
jika dibandingkan dengan sanad lain. Hadits dengan sanad yang jumlah rawinya
sedikit akan tertolak dengan sanad yang sama jika jumlah rawinya lebih
banyak. Sanad Aliy ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu sanad yang mutlak
dan sanad yang nisbi (relatif).
1) Sanad 'aliy yang bersifat mutlak adalah sebuah sanad yang jumlah
rawinya hingga sampai kepada Rasulullah lebih sedikit jika dibandingkan
dengan sanad yang lain. Jika sanad tersebut sahib, sanad itu menempati
tingkatan tertinggi dari jenis sanad aliy.
2) Sanad 'aliy yang bersifat nisbi adalah sebuah sanad yang jumlah rawi di
dalamnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan para imam ahli hadits,
seperti Syu'bah, Al-A'masy, Ibnu Juraij, AtsTsauri, Malik, Asy-Syafi'i,
Bukhari, Muslim, dan sebagainya, meskipun jumlah rawinya setelah mereka
hingga sampai kepada Rasulullah lebih banyak.

Para ulama hadits memberikan perhatian serius terhadap sanad aliy


sehingga mereka membukukan sebagian di antaranya dan menamakannya dengan
ats-tsultsiyyat. Yang dimaksudkan dengan atstsultsiyyat adalah hadits-hadits yang
jumlah rawi dalam sanadnya antara rawi yang menulisnya dengan Rasulullah
berjumlah tiga orang rawi.
Di antara kitab-kitab tersebut adalah Ats-Tsultsiyyat Al-Bukhari karya
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Ats-Tsultsiyyat Ahmad bin Hanbal karya
Imam As-Safarini.

6
B. Sanad Nazil
Sanad nazil adalah sebuah sanad jumlah rawinya lebih banyak jika
dibandingkan dengan sanad yang lain. Hadits dengan sanad yang lebih banyak
akan tertolak dengan sanad yang sama )ika jumlah rawinya lebih sedikit.

2.1.4 Tinggi-Rendahnya Rangkaian Sanad (Silsilatu AdzDzahab)

Sebagaimana kita ketahui bahwa suatu hadits sampai kepada umat muslim dan
tertulis dalam kitab hadits, melalui sanad-sanad. Setiap sanad bertemu dengan
rawi yang dijelaskan sandaran menyampaikan berita (sanad yang setingkat lebih
atas) sehingga seluruh sanad itu merupakan suatu rangkaian. Rangkaian sanad itu
berdasarkan perbedaan tingkat kedhabit-an dan keadilan rawi yang dijadikan
sanad-nya, ada yang berderajat tinggi, sedang, dan lemah. Rangkaian
sanad yang berderajat tinggi menjadikan suatu hadits lebih tinggi derajatnya
daripada hadits yang rangkaian sanad-nya sedang atau lemah. Para muhaditsin
membagi tingkatan sanad-nya menjadi sebagai berikut.

a. Ashahhu Al-Asanid (Sanad-sanad yang lebih sahih)


Para ulama seperti Imam An-Nawawi dan Ibnu Ash-Shalah tidak
membenarkan menilai suatu (sanad) hadits dengan ashahhu alasanid, atau
menilai suatu (matan) hadits dengan ashahhu al-asanid, secara mutlak, yakni
tanpa menyandarkan pada hal yang mutlak.
Penilaian ashahhu al-asanid ini hendaklah secara muqayyad. Artinya
dikhususkan kepada sahabat tertentu, misalnya ashahhu alasanid dari Abu
Hurairah r.a. atau dikhususkan kepada penduduk daerah tertentu, misalnya
ashahhu al-asanid dari penduduk Madinah, atau dikhususkan dalam masalah
tertentu, jika hendak menilai matan suatu hadits, misalnya ashahhu al-asanid
dalam bab wudhu atau masalah mengangkat tangan dalam berdoa.
Contoh ashahhu al-asanid yang muqayyad tersebut adalah:
1. Sahabat tertentu, yaitu:
a. Umar Ibnu Al-Khaththab r.a., yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu
Syihab Az-Zuhri dari Salim bin 'Abdullah bin 'Umar, dari ayahnya
('Abdullah bin 'Umar), dari kakeknya ('Umar bin Khaththab).
b. Ibnu Umar r.a. adalah yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' dari

7
Ibnu 'Umar r.a.
c. Abu Hurairah r.a., yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri
dari Ibnu Al-Musayyab dari Abu Hurairah r.a.
2. Penduduk kota tertentu, yaitu:
a. Kota Mekah, yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Uyalnah dari
`Amru bin Dinar dari Jabir bin Abdullah r.a.
b. Kota Madinah, yaitu yang diriwayatkan oleh Ismail bin Abi Hakim
dari Abidah bin Abi Sufyan dari Abu Hurairah r.a.

Contoh ashahhu al-asanid yang mutlak, seperti:


1. Jika menurut Imam Bukhari, yaitu Malik, Nafi', dan Ibnu Umar r.a.
2. Jika menurut Ahmad bin Hanbal, yaitu Az-Zuhri, Salim bin `Abdillah
dan ayahnya ('Abdillah bin 'Umar).
3. Jika menurut Imam An-Nasa'i, yaitu `Ubaidillah Ibnu 'Abbas dan
`Umar bin Khaththab r.a.

b. Ahsanu Al -Asanid
Hadits yang bersanad ashahhu al-asanid lebih rendah derajatnya daripada
yang bersanad ashahhu al-asanid. Ahsanu al-asanid itu antara lain bila hadits
tersebut bersanad:
1. Bahaz bin Hakim dari ayahnya (Hakim bin Mu'awiyah) dari kakeknya
(Mu'awiyah bin Haidah).
2. Amru bin Syu'aib dari ayahnya (Syu'aib bin Muhammad) dari kakeknya
(Muhammad bin Abdillah bin 'Amr bin 'Ash).

c . A d h a fu A l - A s an i d
Rangkaian sanad yang paling rendah derajatnya disebut adhafu al-asanid
atau auha al-asanid. Rangkaian sanad yang adh'afu alasanid, yaitu:
1) Yang muqayyad kepada sahabat:
a. Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
Shadaqah bin Musa dari Abi Ya'qub Farqad bin Ya'qub dari Murrah
Ath-Thayyib dari Abu Bakar r.a.
b. Abu Thalib (Ahli al-Bait) r.a., yaitu hadits yang diriwayatkan oleh 'Amru

8
bin Syamir Al-Ju'fi dari Jabir bin Yazid dari Harits Al-A'war dari 'Ali bin
Abi Thalib r.a.
c. Abu Hurairah r.a., yaitu hadits yang diriwayatkan oleh AsSariyyu bin
Isma'11 dari Dawud bin Yazid dari ayahnya (Yazid) dari Abu Hurairah
r.a.
2) Yang muqayyad kepada penduduk:
a. Kota Yaman, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Hafsh bin `Umar
dari Al-Hakam bin Aban dari `Ikrimah dari Ibnu `Abbas r.a.
b. Kota Mesir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin
Muhammad bin Al-Hajjaj Ibnu Rusydi dari ayahnya dari kakeknya dari
Qurrah bin 'Abdurrahman dari setiap orang yang memberikan hadits
kepadanya.
c. Kota Syam, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Qais
dari Ubaidillah bin Zahr dari 'Ali bin Zaid dari Al Qasim dari Abu
Umamah r.a.

2.1.5 Sanad dan Hubungannya dengan Dokumentasi Hadits


1. Dokumentasi Sanad Hadits
Sebagai salah satu data sejarah yang cukup lama, kitab-kitab hadits
merupakan salah satu dokumen sejarah yang cukup tua. Perjalanan
sejarahnya sudah melewati waktu yang sangat panjang, sejak empat abad
yang lalu. Kitab-kitab tersebut isinya terpelihara secara murni dan diwariskan
dari satu generasi kepada generasi berikutnya secara berkesinambungan.
Salah satu keistimewaan atau keunikan hadits dari dokumen sejarah
lainnya di dunia ialah tertulisnya data orang-orang yang menerima dan
meriwayatkan hadits-hadits tersebut, yang disebut sanad. Dengan
ketelitian, semangat kerja yang tinggi dan profesional, khususnya para penulis
kitab hadits, sanad hadits satu persatu terdokumentasikan secara urut. Hal ini
dapat dilihat pada kitab, AI-Jami’ ash-Shahih karya al-Bukhari dan Muslim.
Mereka menuliskan nama-nama sanad hadits masing-masing, meskipun untuk
hadits-hadits yang memiliki banyak jalan sanad, seperti hadits-hadits
mutawatir dan masyhur. Begitu juga dengan Abu Daud, at-Turmudzi, an-

9
Nasa'i, Ibn Majah, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, ad-Darimi, ad-
Daruquthni, dan al-Hakim, mereka tidak menulis satu hadits pun yang tidak
memiliki sanad-nya secara lengkap, termasuk untuk hadits-hadits yang memiliki
jalan sanad berbilang.

2. Peranan Sanad dalam Dokumentasi Hadits


Peranan sanad pada dasarnya terbagi pada dua, yaitu untuk
pengamanan atau pemeliharaan matan hadits, dan untuk penelitian
kualitas hadits satu per satu secara terperinci. Peranannya akan dijelaskan
tersendiri pada bagian selanjutnya.
Sanad hadits, dilihat dari sudut rangkai an at au silsil ahn ya,
terbagi kepada beberapa thabagah atau tingkatan. Tingkatan tersebut
menunjukkan urutan generasi demi generasi, yang antara satu dengan lainnya
bertautan atau bersambung.
Hadits-hadits Rasul saw. yang berada sepenuhnya di tangan mereka,
diterima dan disampaikan melalui dua cara, yaitu dengan cara lisan dan
dengan cara tulisan. Cara yang pertama merupakan cara yang utama
ditempuh oleh para ulama ahli hadits dalam kepastiannya sebagai sanad hadits.
Hal ini karena dalam tradisi sastra pra-Islam, masyarakat Arab telah terbiasa
dengan budaya hafal, yang dilakukannya sejak nenek moyang mereka.
Dengan kegiatan ini, maka tradisi lama yang cukup positif itu menjadi tetap
terpelihara dan dimanfaatkan untuk pemeliharaan ajaran agama.
Upaya mengembangkan daya hafal ini semakin efektif dengan
ditunjang oleh potensi, yaitu kuatnya daya hafal yang mereka miliki dan semangat
kerja yang termotifasi oleh keimanan, ketakwaan, dan tanggung jawab terhadap
terpeliharanya syariat Islam.
Cara yang kedua (cara tulisan), pada awal Islam, kurang ber -
kembang, jika dibanding masa-masa tabi’in atba' tabi’in. Hal ini karena
sebagaimana telah dibahas pada pembahasan yang lalu (Bab IIA), ada beberapa
faktor yang berkaitan dengan terbatasnya fasilitas penunjang, di samping
adanya prioritas untuk lebih mengefektifkan penyebaran Al-Qur’an. Namun
demikian, kegiatan tulis menulis berjalan dengan baik, yang turut mendukung
upaya pemeliharaan hadits. Di kalangan para sahabat, sebagaimana telah

10
disebutkan di atas ialah Abdullah bin Amr bin al-'ash, Jabir bin Abdillah, Abu
Hurairah, Abu Syah, Abu Bakar ashShiddiq, Ibn Abbas, Abu Ayyub al-Anshari,
Abu Musa al-Asy'ari, dan Anas bin Malik. Di kalangan para tabi’in besar,
tercatat nama-nama, antara lain Ikrimah, Umar bin Abd al-Aziz, Amarah binti abd
ar-Rahman, al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar, Muhammad bin Ali bin Abi
Thalib, dan Muhammad bin Abi Kabsyah al-Anshari. Kemudian pada kalangan
tabi’in kecil, tercatat nama-nama, antara lain Ibrahim bin Jarir, Ismail bin Abi
Khalid al-Ahmasi, Ayyub bin abi Tamimah as-Sakhytani, Tsabit bin Aslam, Al-
Ahmasi, Ayyub bin Abi Sulaiman, Zaid bin Aslam, dan Zaid bin Rafi
(Muhammad Musthafa al-A’zhami, Lt.: 92-324).
Tulisan-tulisan mereka ada yang berbentuk Surat yang dikirim kepada
yang lain, yang di dalamnya berisi nasihat atau pesan Rasul saw., seperti
yang dilakukan oleh Asid Hudhair al-Anshari kepada Marwan tentang peradilan
terhadap pencuri atau yang dilakukan oleh Jarir bin abdillah kepada Mu'awiyah
tentang sebuah hadits yang berbunyi: "Man lam yarham an-na'sa la
yarhamullahu Allah 'Azza wa Jalla (siapa yang tidak menyayangi manusia, ia
tidak akan menyayangi Allah). Ada yang berupa catatan pribadi semata, yang
pada saatnya akan diriwayatkan kepada yang lain atau murid-muridnya, baik
melalui qirah atau. imla' (dibacakan atau didekatkan di depan muridnya), ijazah
(memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits kepada yang lain),
al-muktaba (menuliskan hadits yang diberikan kepada muridnya), dan beberapa
cara lainnya (As-Suuthi, t.t.: 214-222).
Gambaran di atas menunjukkan bahwa sanad memegang peranan
yang menentukan terhadap kelangsungan dan terpeliharanya hadits, yang
berarti merupakan kontribusi besar bagi kelangsungan Islam dan umatnya. Tanga
usaha mereka, umat Islam akan menghadapi kesulitan dalam mempelajari sumber
ajaran yang kedua ini.

2.2 Matan
Pembahasan tentang matan merupakan kajian yang tidak kalah
pentingnya dengan pembahasan dan kajian terhadap sanad. Penelitian
tentang matan bertujuan untuk mengetahui kebenaran penisbatan teks

11
kepada penuturnya. Di sisi lain, penelitian ini dapat juga digunakan untuk
mengetahui keotentikan redaksi teks tersebut. Oleh sebab itu, para ahli
hadits banyak meneliti teks dari spek yang berbeda -beda, di ant aran ya
peneneliti an tent ang kebenaran peni sbatan t eks kepada penut urn ya,
pem bahasan ntang substansi teks, dan penelitian tentang perbandingan antara
berapa teks.
Dalam pembahasan ini, terdapat macam -macam hadits yang
berkaitan dengan matan. Selain itu, kita akan menyinggung tentang
hadits qudsi, serta perbedaannya dengan al -Qur'an an hadits nabawi.
Sub-sub bahasan ini terasa penting untuk membahas karena semuanya
berkaitan dengan teks dan sumbernya berasal dari asal yang sama yaitu
wahyu, sekalipun ada sisi tertentu yang membedakan ketiga jenis teks
di atas. Namun belum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita
mendefinisikan lebih dahulu makna istilah matan.

2.2.1 Pengertian Matan Hadits

Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti ma shaluba wa


irtafa’amin al-aradhi (tanah yang meninggi). Secara temonologis, istilah matan
memiliki beberapa definisi, yang mana maknanya sama yaitu materi atau lafazh
hadits itu sendiri. Definisi matan dari sisi bahasa bermakna 'punggung jalan' atau
‘gundukan', bisa juga bermakna 'isi atau muatan'. lbarat tangga, akhir dari
anak tangga berujung pada t eks i t u s end i ri a dal a h r ed ak si a t a u uc ap a n
ya n g dituiturkan oleh si pengucap. Pengucap atau penutur teks itu bisa
abi, sahabat, atau bisa juga tabi’in.
Sedangkan matan menurut istilah ilmu hadis, yaitu sebagai berikut.

‫ﻤﺎ ﺍﻨﺘﮭﻰ ﺍﻟﻴﻪ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﻤﻥ ﺍﻟﮑﻟﻢ ﻔﮭﻮ ﻨﻔﺲ ﺍﻟﺤﺪﻴﺚ ﺍﻟﺬﻱ ﺬﮐﺮ ﺍﻻ ﺀﺴﻨﺎﺪﻟﻪ‬
“perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda nabi saw yang disebut
sesudah habis disebutkan sanadnya.”

12
Contoh:
‘dari Muhammad yang diterima dari abu salamah yang diterima dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullahsaw bersabda :” saandainya tidak akan memberatkan
terhadap umatmu, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak (menggosok gigi)
niscaya aku melakukan shalat.”(HR. Turmizi).

Pada salah satu definisi yang sangat sederhana disebutkan bahwa matan
ialah ujung atau tujuan sanad . Berdasarkan definisi di atas memberi pengertian
bahwa apa yang tertulis setelah (penulisan) silsilah sanad adalah matan hadits.
Pada definisi lain seperti yang dikatakan ath-thibi mendifinisikan dengan: ”lafazh-
lafazh hadits yang didalamnya megandung makna-makna tertentu”. Jadi, dari
pegertian diatas semua, dapat kita simpulkan bahwa yang disebut matan ialah
materi atau lafazh hadits itu sendiri, yang penulisannya ditempatkan setelah sanad
dan sebelum rawi.
Agar lebih memperjelas dan memudahkan untuk membedakan mana yang
matan dan mana yang sanad, maka perhatikan haditst berikut:

‫حﺪّثﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻦ يﻮسﻒ ﻗﺎل ﺃخﺒﺮنﺎ ﻣﺎﻟك ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺷهﺎﺏ ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ جﺒﻴﺮ ﺑﻦ‬
‫ (ﺭوﺍه‬.‫ سﻤﻌت ﺭسﻮل ﷲ (صﻠﻌﻢ) ﻗﺮﺃ ﻓﻰ ﺍﻟﻤغﺮﺏ ﺑﺎﻟطﻮﺭ‬:‫ﻣطﻌﻢ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﮫ ﻗﺎل‬
‫)ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ‬

“Telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah bin Yusuf, dia berkata: Telah
mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair
bin Muth’im dari bapaknya berkata: “aku mendengar Rasulullah SAW membaca
surat Thur ketika Shalat Maghrib”. (HR. Bukhari).

2.2.2 Macam-macam Matan


Setelah kita mengetahui makna matan, langkah berikutnya kita
akan berbicara tentang macam-macam matan yang bersumber dari wahyu.
Ada al-Qur'an hadits qudsi, dan hadits nabawi, yaitu :
1. AL-Qur'an
Al-Qur'an adalah kalam Allah yang diturunkan secara
bertahap melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sa w.

13
dengan periwayatan yang mutawatir, terdapat dalam mushhot dan
dimulai dari surat al-Fatihah dan berakhir pada surat an-Nas.
2. Hadits Qudsi
Hadits qudsi adalah kalam yang maknanya dari Allah do;
lafadnya dari Nabi saw. Atau dengan ibarat lain, kalam yang I
dinisbatkan kepada Nabi dan maknanya bersumber dari Allah.
Hadits qudsi sering diistilahkan dengan hadits ilahi nisb,t
kepada i1ali, atau hadits robbani nisbat kepada Rabb. Penisbatan iio
mengindikasikan adanya makna kemuliaan, karena disandark.m
kepada kesucian 'Allah (ijadasatidiali).
Dalam istilah ini, sebenarnya terdapat dua sisi lafaz
'hadits' dan qudsi. Lafad hadits kembali kepada Nabi dan lafi,
qudsi kembali kepada Allah. Penggabungan dua kata ini karell
dalam hadits qudsi terdapat perpaduan antara lafad yang i1i
bersumber dari Nabi dan makna yang bersumber dari Allah.
Gambaran bentuk ungkapan dari sebuah makna sepc il yang
terdapat dalam hadits qudsi sebenarnya banyak didapatk,i
contohnya dalam al-Qur'an. Misalnya saat Allah menceritakan
ucapan-ucapan para Nabi terdahulu, atau dialog mereka dengan
kaumnya. Dialog itu kemudian diceritakan kembali oleh Al lah
dalam al-Qur'an dengan menggunakan bahasa Arab, dan teks Al-
Qur'an saat mengungkapkan isi dialog tersebut tidak persis sep erti
teks dialog yang sebenarnya tapi sebatas makna dan substansi yang
terjadi dalam diolog saat itu.

3. Hadits Nabawi
S ebagaim ana t el ah di si nggung di awal pem baha son
bahwa hadits adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi
Muhammad saw. baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan atau
sifat psikis dan fisik. Dalam pembahasan ini , yang di lihat sebatas
siapa menuturkan teks tersebut, dan tidak melihat bagaimana
kualitas lafadnya. Hadits ditinjau dari aspek penuturnya dapat dibedakan
menjadi tiga bagian: marfu’, mauquf, dan maqthu'.

14
a. Marfu'
Definisi marfu' adalah hadits yang dinisbatkan kepada
Nabi saw berupa ucapan, perbuatan, persetujuan atau sifat, baik
madnya bersambung maupun tidak. Sedangkan, yang
menisbatkan kepada Nabi bisa sahabat atau juga kita. Selama
ada ungkapan 'Nabi b e r s a b d a ' a t a u ' N a b i m e l a k u k a n i n i
d a n i t u ' m a k a d a p a t dinamakan dengan marfu'.
b. Mau q u f
Definisi hadits mauquf adalah ucapan atau perbuatan yang
dinisbatkan kepada sahabat. Jika terdapat sebuah teks dan
Penuturnya seorang sahabat maka diistilahkan dengan mauquf, Imik
bersambung sanadnya maupun tidak. Jika bersambung maka dinamakan
mauquf muttashil, dan jika tidak maka dinamakan mauquf
munqathi.
c. Maqthu'
Definisi hadits maqthu' adalah ucapan atau perbuatan yang
dinisbatkan kepada tabi’in. Jika terdapat sebuah teks dan penuturnya
seorang tabi’in maka diistilahkan dengan maqthu’ baik bersambung
sanadnya maupun tidak.

Terkait dengan matan atau redaksi, yang perlu dicermati dalam memahami
hadits, yaitu:
1. Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi
Muhammad atau bukan,
2. Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain
yang lebih kuat sanad-nya (apakah ada yang melemahkan atau yang
menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al -Qur’an
(apakah ada yang bertolak belakang).

2.3 Rawi Hadits


Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau
memberikan hadits. Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua
istilah yang hampir sama. Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap thabaqah

15
atau tingkatannya juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi
adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Begitu juga,
setiap rawi pada tiap-tiap thabaqah-nya merupakan sanad bagi thabaqah
berikutnya.
Contoh:
‫ﻋﻦ ﺍﻢﺍﻟﻤﺆ ﻤﻨﻴﻦﻋﺎﺜﺸﺔ ﺮﻀﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﮭﺎ ﻘﺎﻠﺕﻘﺎﺮ ﺴﻮ ﻠﺎ ﷲ ﺼﻠﻌﻢ ﻤﻦ ﺍﺤﺪﺙﻔﻲ ﺍﻤﺭﻨﺎ ﮬﺬ‬
﴾‫﴿ﻤﮅﻔﻖﻋﻟﻴﻪ‬.‫ﺍﻤﺎﻠﻴﺲ ﻤﻨﻪ ﻓﮭﻢﻭﺮﺪﱞ‬

‘Warta dari umul mukminin,’aisyah ra, ujurnya:’rasulallah saw telah


bersabda:’barang siapa yang mengada-adakan suatu yang bukan termasuk dalam
urusan (agama) ku, maka ia tertolak’.”

Akan tetapi, yang membedakan antara kedua istilah di at as, jika


dilihat lebih lanjut, adalah dalam dua hal, yaitu:
1. Dalam hal pembukuan hadits. Orang yang menerima hadits-
hadits, kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin,
disebut dengan rawi. Dengan demi ki an, raw i dapat di sebut
mudaww in (orang yan g membukukan dan menghimpun
hadits). Adapun orang-orang yang menerima hadits dan
hanya menyampaikannya kepada orang lain, tanpa
membukukannya, disebut sanad hadits. Berkaitan dengan ini,
dapat dikatakan bahwa setiap sanad adalah rawi pada tiap-
tiap thabaqah-nya, tetapi tidak setiap rawi disebut sanad hadits
sebab ada rawi yang membukukan hadits.
2. Dalam penyebutan silsilah hadits, untuk sanad, yang disebut
sanad pertama adalah orang yang l an gsu ng m en yam p ai kan
hadi t s t ersebut kepada peneri m an ya , sedangkan para rawi,
yang disebut rawi pertama, adalah para sahabat Rasul SAW. Dengan
demikian, penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan
sebaliknya. Artinya, rawi . pertama, adalah sanad terakhir, dan sanad
pertama, adalah rawi terakhir.

16
2.4 Kedudukan Sanad dan Matan Hadits

Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting karena hadits yang


diperoleh/diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya.
Dengan sanad suatu periwayatan hadits, dapat diketahui hadits yang
dapat diterima atau ditolak dan hadits yang sahih atau tidak sahih,
u n t u k d i a m a l k a n . S a n a d m e r u p a k a n j a l a n ya n g m u l i a u n t u k
menetapkan hukum-hukum Islam.
Para ahli hadits sangat berhati-hati dalam menerima suatu hadits,
kecuali apabila mengenal dari siapa perawi hadits tersebut menerima
hadits tersebut dan sumber yang disebutkan benar -benar dapat
dipercaya. Pada umumnya, riwayat dari golongan sahabat tidak
disyaratkan untuk diterima periwayatannya. Akan tetapi, mereka pun
sangat hati-hati dalam menerima hadits.
Pada masa Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., periwayatan hadits
diawasi secara hati-hati dan suatu hadits tidak akan diterima jika tidak
disaksikan kebenarannya oleh seorang lain. Ali bin Abu Thalib tidak
menerima hadits sebelum orang yang meriwayatkannya disumpah.
Meminta seorang saksi kepada pe rawi bukanlah merupakan
keharusan dan hanya merupakan jalan untuk menguatkan hati dalam
menerima hadits. jika dipandang tak perlu meminta saksi atau sumpah para
perawi, mereka pun menerima periwayatannya.
Adapun meminta seseorang saksi atau menyuruh perawi untuk
bersum pah unt uk m em benarkan ri wa ya t n ya , t i dak di pandang
sebagai suatu undang-undang umum tentang diterima atau
tidaknya periwayatan hadits. Hal yang diperlukan dalam menerima
ha di t s ad al ah a d an ya k ep e r ca ya a n pe nuh k ep ad a p e r aw i . j i ka
sewaktu-waktu ragu tentang riwayatnya, barulah didatangkan saksi atau
keterangan.
Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting karena hadits yang
diperoleh atau diriwayatkan akan mengikuti yang meriwayatkannya.
Dengan sanad suatu periwayatan hadits, dapat diketahui mana yanc,
dapat diterima atau ditolak dan mana hadits yang sahib atau tidak,

17
u n t u k d i a m a l k a n . S a n a d m e r u p a k a n j a l a n ya n g m u l i a u n t u k
menetapkan hukum-hukum Islam.
Perhatian terhadap sanad di masa sahabat, yaitu dengan menghapal
sanad-sanad itu dan mereka mempunyai daya ingat yano, luar biasa. Dengan
adanya perhatian mereka, terpeliharalah sunnah Rasul dari tangan-tangan ahli
bid'ah dan para pendusta. Karenanya pula, imam-imam hadits berusaha pergi dan
melawat ke berbagai kota untuk memperoleh sanad yang terdekat dengan
Rasul yang dilakukan sanad 'ali.
Ibn Hazm mengatakan bahwa nukilan orang kepercayaan dari orang yang
dipercaya hingga sampai kepada Nabi SAW. dengan bersambung-sambung para
perawinya adalah suatu keistimewaan dari Allah, khususnya kepada orang-orang
Islam. Memerhatikan sanad riwayat adalah suatu keistimewaan dari ketentuan-
ketentuan umat Islam. Dengan adanya sanad inilah, para imam ahli hadits dapat
membedakan hadits yang sahib dan hadits yang dhaif dengan cara melihat para
perawi hadits tersebut. Jika tidak ada sanad, niscaya Islam sekarang akan
sama seperti pada zaman sebelumnya karena pada zaman sebelumnya
tidak ada sanad sehingga perkataan nabi-nabi mereka dan orang-orang saleh di
antara mereka tidak dapat dibedakan. Adapun Islam yang sekarang telah berumur
1400 tahun lebih masih dapat dibedakan antara perkataan Rasulullah SAW. dan
perkataan sahabat.

2.5 Peneli tian Sanad dan Matan Hadits


2.5.1 Perlunya Penelitian Sanad Matan Hadits
Penelitian terhadap sanad dan matan hadits (sebagai dua unsur pokok
hadits) bukan karena hadits itu diragukan otentisitasnya. Hadits secara
kuli merupakan sumber ajaran setelah Alquran yang keseluruhannya.
Penelitian ini dilakukan untuk menyaring unsur-unsur luar yang masuk ke
dalam hadits, yang sesuai dengan penelitian terhadap kedua unsur
hadits di atas, agar hadits-hadits Rasul saw. dapat terhindar dari segala
yang mengotorinya.
Faktor yang paling utama perlunya dilakukan penelitian ini, ada
dua hal, yaitu karena beredarnya hadits palsu (hadits maudhu) pada

18
kalangan masyarakat dan hadits tidak ditulis secara resmi pada masa
Rasul saw. (berbeda dengan Alquran), sehingga penulisan dilakukan
hanya bersifat individu (tersebar di tengah pribadi para sahabat) dan
tidak menyeluruh.
Dengan berdirinya hadits maudhu' ke dalam kehidupan
keagamaan masyarakat dimaksudkan untuk merusak agama, cukup
mengganggu nilai kemurnian hadits dan dapat meresahkan
mas yarakat. Apal agi jika maknanya benar-benar bertentangan
dengan sanad-sanad lain dan mengacaukan pemahaman serta kaidah
masyarakat.
Tenggang waktu pembukuan hadits dari masa penulisan individu
kepada penulisan secara resmi yang agak lama, bagi kalangan orang-orang
yang ingin mengaburkan ajaran agama, juga cukup memiliki peluang untuk
merealisasikan keinginannya. Apalagi masih banyaknya hadits-hadits yang
belum ditulis (yang masih berada pada hafalan para ulama).

2.5.2 Penelitian Para Ulama tentang Sanad dan Matan Hadits


Penelitian hadits, baik terhadap sanad maupun matan-nya mengalami
evolusi, dari bentuknya yang sangat sederhana sampai terciptanya
seperangkat kaidah secara lengkap sebagai salah satu disiplin dalam ilmu
agama, yang dikenal dengan ilmu hadits. Evolusi itu terjadi sejak awal abad
pertentangan hijraih secara bertahap sampai lahirnya kriteria kesahihan hadits
dan munculnya kitab-kitab produk mereka.
Setelah wafat Rasulullah saw., pada khalifah, terutama Abu Bakar
Jan Umar, sangat berhati-hati terhadap periwayatan hadits, dengan
alasan karena khawatir terjadinya kesalahan dalam menerima atau
meriwayatkan hadits. Karena alasan ini, sehingga jika ada sua tu
hadits yang baru, khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib,
selalu meminta sumpah kepada pembawa hadits yang disampaikan
lepadanya (Ajjaj al-Khatib, U.: 115-116). Tentu saja bukan hanya
sumpah, melainkan ditunjang oleh keseriusan melihat dan memahami
kandungannya. Ini gambaran dari upaya para ulama kurun sahabat

19
dalam mengadakan penelitian hadits.
Pada kurun tabi’in, penelitian dilakukan dengan mengacu
kepada beberapa ketentuan bahwa hadits dapat diterima jika diriwayatkan
oleh orang yang tsiqah, baik akhlaknya, dan dikenal memiliki pengetahuan
dalam bidang hadits. Sebaliknya, hadits tidak bisa diterima jika perawinya
tidak tsiqah (Syuhudi Ismail, 1988: 369-371), 2), suka berdusta dan
mengikuti hawa nafsu, tidak memahami hadits yang diriwayatkannya, dan
orang yang ditolak kesaksiannya.
Asy-Syafi'i dalam merumuskan kaidah untuk penelitian hadits ini
lebih maju dari yang dikemukakannya di atas, ia berhasil mengajukan
pedoman dalam melakukan penelitian yang mencakup sanad dan matan
hadits. Dalam ar-Risalah-nya, ia mengemukakan hadits ahad diriwayatkan
o1eh perawi yang dapat dipercaya pengalaman agamanya, dikenal jujur
dalam menyampaikan berita, memahami dengan baik hadits yang
diriwayatkannya, memahami perubahan makna hadits jika terjadi
perubahan lafal, mampu meriwayatkan hadits secara lafal, terpeliharanya
periwayatan, baik dilakukan melalui hafalan maupun tulisan, jika
hadits itu diriwayatkan juga oleh perawi lain, maka bunyinya tidak
berbeda, dan tidak ada unsur tadlis (menyembunyikan kecacatan) dalam
periwayatan dan silsilah sanad-nya harus bersambung (Muhammad bin Idris
asy-Syafi'i, 1979: 369-106).
Penelitian sanad dan matan untuk keperluan hadits, ini berlanjut
sampai pada pertengahan abad kelima hijriah, yaitu masa al -Hakim
(312-405 H) dan al-Baihaqi (384-458 H ). Untuk selanjutnya, penelitian ini
diarahkan untuk keperluan penyempurnaan dan penganekaragaman sistem
penulisan hadits.
Munculnya buku-buku atau kitab-kitab dalam masalah ibadah,
akidah, dan akhlak yang menggunakan dalil-dalil hadits dewasa ini dengan
tidak menyertakan sumber rujukan dan keterangan tentang kualitas hadits-
hadits tersebut. Dengan demikian, meskipun sifat dan sasarannya lebih
terbatas, tetapi kajian-kajian berikutnya, seperti dengan melakukan takhrij al-
hadits, merupakan solusi yang perlu terus dikembangkan.

20
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan

Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan :


a. Sanad dan matan merupakan dua unsur pokok hadits yang harus ada pada
setiap hadits.
b. Sanad,matan,dan rawi memiliki kaitan sama dalam kesahihan satu hadits.
c. Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting, karena hadits yang
diperoleh/diriwaytkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya.
Dengan sanad suatu periwayatan hadits dapat diketahui mana yang dapat
diterima atau ditolak dan mana hadits yang sahih atau tidak, untuk
diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-
hukum Islam.

3.2 Saran
Mungkin inilah yang diwacanakan pada penulisan ini meskipun
penulisan ini jauh dari sempurna minimal para pembaca dapat
mengimplementasikan tulisan ini. Selain itu, makalah ini masih banyak
memiliki kesalahan dari segi penulisan, sumber materi, dan lainnya,
karena penulis juga merupakan manusia yang adalah tempat salah dan
dosa: dalam hadits “al insanu minal khotto’ wannisa’”, dan para juga
butuh saran serta kritik agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang
lebih baik daripada masa sebelumnya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Mahmud, dkk. 1984. Ilmu Musthalah Hadits. Jakarta: PT. Hidayakarya
Agung.
B Smeer, Zeid. 2008. Ulumul Hadis: Pengantar Studi Praktis Hadis. Malang:
UIN Malang Press.
Mudasir. 1999. Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadis. Bogor: Ghalia Indonesia.
Solahudin, Agus, dkk. 2011. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.

http://alfiahkhoiriasyir.blogspot.com/2013/05/makalah-pengertian-sanad-dan-
matan.html
Diunduh pada tanggal 18 September 2014 pukul 16.53 WITA.

http://hadis-hadis.blogspot.com/2008/04/perngertian-sanad-matan-rawidan-
rijalul.html
Diunduh pada tanggal 22 September 2014 pukul 00.22 WITA.

http://halaqohtdj.blogspot.com/2012/06/arti-dari-sanad-dan-matan-dalam-
hadits.html

Diunduh pada tanggal 19 September 2014 pukul 17.31 WITA.

http://sumberpiji.wordpress.com/2011/11/16/pengertian-matan-sanad-isnad-
musnad-dan-rawi-haditst/
Diunduh pada tanggal 19 September 2014 pukul 17.39 WITA.

22

Anda mungkin juga menyukai