Disusun Oleh:
SEPTEMBER 2014
1
BAB I
PENDAHULUAN
Sanad dan matan merupakan dua unsur pokok hadits yang harus ada pada
setiap haditst, antara keduanya memiliki kaitan yang sangat erat dan tidak dapat
dipisakan. Suatu berita tentang rasulullah SAW (matan) tanpa ditemukan
rangkaian atau susunan sanadnya, yang demikian tidak dapat disebutkan hadits,
sebaliknya suatu susunan sanad, meskipun bersambung sampai rasul, jika tidak
ada berita yang dibawanya, juga tidak bisa disebut haditst.
Pembicaran dua istilah diatas, sebagai dua unsur pokok haditst, matan dan
sanad diperlukan setelah rasul wafat. Hal ini karna berkaitan dengan perlunya
penelitian terhadap otentisitas isi berita itu sendiri apakah benar sumbernya dari
rasul atau bukan. Upaya ini akan menentukan bagaimana kualitas hadits tersebut,
yang akan dijadikan dasar dalam penetapan syari’at islam.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian, sinonim, serta jenis-jenis sanad.
2. Untuk mengetahui pengertian dan macam-macam matan.
3. Untuk mengertahui pengertian rawi hadits.
4. Untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan Hadits.
5. Untuk mengetahui penelitian sanad dan matan hadits.
2
1.4 Manfaat
Makalah ini dibuat agar penulis dan para pembaca bisa lebih mengerti dan
memahami makna dari sanad, matan, dan rawi hadits, beserta macam-macamnya
dan segala yang berhubungan dengan sanad dan matan hadits. Selain itu,
diharapkan kedepannya agar lebih mengetahui apa arti sanad dan matan hadits
dalam diri dan dapat diaplikasikan kehidupan kita.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sanad
4
selainnya. 2)kecintaannya kepada seseorang, tak lain karena Allah semata-mata
dan 3) keenggananmya kembali kepada kekufuran, seperti keengganannya
dicampakkan ke neraka’.” (HR. Bukhari)
حﺪّثﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻦ يﻮسﻒ ﻗﺎل ﺃخﺒﺮنﺎ ﻣﺎﻟك ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺷهﺎﺏ ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ جﺒﻴﺮ ﺑﻦ
ﻣطﻌﻢ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﮫ
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah bin Yusuf, dia berkata: Telah
mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair
bin Muth’im dari bapaknya”.
“aku mendengar Rasulullah SAW membaca surat Thur ketika Shalat Maghrib”.
5
Zuhri, Malik bin Anas, dan Amarah binti Abd ar-Rahman; kedua, berarti nama
suatu kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan sistem penyusunannya
berdasarkan nama-nama para sahabat perawi hadits, seperti kitab Musnad
Ahmad; ketiga, berarti nama bagi hadits yang memenuhi kriteria marfu'
(disandarkan kepada Nabi saw.) dan muttashil (sanad-nya bersambung sampai
kepada akhirnya).
A. S an ad `Al i y '
Sanad ‘Alit’ adalah sebuah sanad yang jumlah rawinya lebih sedikit
jika dibandingkan dengan sanad lain. Hadits dengan sanad yang jumlah rawinya
sedikit akan tertolak dengan sanad yang sama jika jumlah rawinya lebih
banyak. Sanad Aliy ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu sanad yang mutlak
dan sanad yang nisbi (relatif).
1) Sanad 'aliy yang bersifat mutlak adalah sebuah sanad yang jumlah
rawinya hingga sampai kepada Rasulullah lebih sedikit jika dibandingkan
dengan sanad yang lain. Jika sanad tersebut sahib, sanad itu menempati
tingkatan tertinggi dari jenis sanad aliy.
2) Sanad 'aliy yang bersifat nisbi adalah sebuah sanad yang jumlah rawi di
dalamnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan para imam ahli hadits,
seperti Syu'bah, Al-A'masy, Ibnu Juraij, AtsTsauri, Malik, Asy-Syafi'i,
Bukhari, Muslim, dan sebagainya, meskipun jumlah rawinya setelah mereka
hingga sampai kepada Rasulullah lebih banyak.
6
B. Sanad Nazil
Sanad nazil adalah sebuah sanad jumlah rawinya lebih banyak jika
dibandingkan dengan sanad yang lain. Hadits dengan sanad yang lebih banyak
akan tertolak dengan sanad yang sama )ika jumlah rawinya lebih sedikit.
Sebagaimana kita ketahui bahwa suatu hadits sampai kepada umat muslim dan
tertulis dalam kitab hadits, melalui sanad-sanad. Setiap sanad bertemu dengan
rawi yang dijelaskan sandaran menyampaikan berita (sanad yang setingkat lebih
atas) sehingga seluruh sanad itu merupakan suatu rangkaian. Rangkaian sanad itu
berdasarkan perbedaan tingkat kedhabit-an dan keadilan rawi yang dijadikan
sanad-nya, ada yang berderajat tinggi, sedang, dan lemah. Rangkaian
sanad yang berderajat tinggi menjadikan suatu hadits lebih tinggi derajatnya
daripada hadits yang rangkaian sanad-nya sedang atau lemah. Para muhaditsin
membagi tingkatan sanad-nya menjadi sebagai berikut.
7
Ibnu 'Umar r.a.
c. Abu Hurairah r.a., yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri
dari Ibnu Al-Musayyab dari Abu Hurairah r.a.
2. Penduduk kota tertentu, yaitu:
a. Kota Mekah, yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Uyalnah dari
`Amru bin Dinar dari Jabir bin Abdullah r.a.
b. Kota Madinah, yaitu yang diriwayatkan oleh Ismail bin Abi Hakim
dari Abidah bin Abi Sufyan dari Abu Hurairah r.a.
b. Ahsanu Al -Asanid
Hadits yang bersanad ashahhu al-asanid lebih rendah derajatnya daripada
yang bersanad ashahhu al-asanid. Ahsanu al-asanid itu antara lain bila hadits
tersebut bersanad:
1. Bahaz bin Hakim dari ayahnya (Hakim bin Mu'awiyah) dari kakeknya
(Mu'awiyah bin Haidah).
2. Amru bin Syu'aib dari ayahnya (Syu'aib bin Muhammad) dari kakeknya
(Muhammad bin Abdillah bin 'Amr bin 'Ash).
c . A d h a fu A l - A s an i d
Rangkaian sanad yang paling rendah derajatnya disebut adhafu al-asanid
atau auha al-asanid. Rangkaian sanad yang adh'afu alasanid, yaitu:
1) Yang muqayyad kepada sahabat:
a. Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
Shadaqah bin Musa dari Abi Ya'qub Farqad bin Ya'qub dari Murrah
Ath-Thayyib dari Abu Bakar r.a.
b. Abu Thalib (Ahli al-Bait) r.a., yaitu hadits yang diriwayatkan oleh 'Amru
8
bin Syamir Al-Ju'fi dari Jabir bin Yazid dari Harits Al-A'war dari 'Ali bin
Abi Thalib r.a.
c. Abu Hurairah r.a., yaitu hadits yang diriwayatkan oleh AsSariyyu bin
Isma'11 dari Dawud bin Yazid dari ayahnya (Yazid) dari Abu Hurairah
r.a.
2) Yang muqayyad kepada penduduk:
a. Kota Yaman, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Hafsh bin `Umar
dari Al-Hakam bin Aban dari `Ikrimah dari Ibnu `Abbas r.a.
b. Kota Mesir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin
Muhammad bin Al-Hajjaj Ibnu Rusydi dari ayahnya dari kakeknya dari
Qurrah bin 'Abdurrahman dari setiap orang yang memberikan hadits
kepadanya.
c. Kota Syam, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Qais
dari Ubaidillah bin Zahr dari 'Ali bin Zaid dari Al Qasim dari Abu
Umamah r.a.
9
Nasa'i, Ibn Majah, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, ad-Darimi, ad-
Daruquthni, dan al-Hakim, mereka tidak menulis satu hadits pun yang tidak
memiliki sanad-nya secara lengkap, termasuk untuk hadits-hadits yang memiliki
jalan sanad berbilang.
10
disebutkan di atas ialah Abdullah bin Amr bin al-'ash, Jabir bin Abdillah, Abu
Hurairah, Abu Syah, Abu Bakar ashShiddiq, Ibn Abbas, Abu Ayyub al-Anshari,
Abu Musa al-Asy'ari, dan Anas bin Malik. Di kalangan para tabi’in besar,
tercatat nama-nama, antara lain Ikrimah, Umar bin Abd al-Aziz, Amarah binti abd
ar-Rahman, al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar, Muhammad bin Ali bin Abi
Thalib, dan Muhammad bin Abi Kabsyah al-Anshari. Kemudian pada kalangan
tabi’in kecil, tercatat nama-nama, antara lain Ibrahim bin Jarir, Ismail bin Abi
Khalid al-Ahmasi, Ayyub bin abi Tamimah as-Sakhytani, Tsabit bin Aslam, Al-
Ahmasi, Ayyub bin Abi Sulaiman, Zaid bin Aslam, dan Zaid bin Rafi
(Muhammad Musthafa al-A’zhami, Lt.: 92-324).
Tulisan-tulisan mereka ada yang berbentuk Surat yang dikirim kepada
yang lain, yang di dalamnya berisi nasihat atau pesan Rasul saw., seperti
yang dilakukan oleh Asid Hudhair al-Anshari kepada Marwan tentang peradilan
terhadap pencuri atau yang dilakukan oleh Jarir bin abdillah kepada Mu'awiyah
tentang sebuah hadits yang berbunyi: "Man lam yarham an-na'sa la
yarhamullahu Allah 'Azza wa Jalla (siapa yang tidak menyayangi manusia, ia
tidak akan menyayangi Allah). Ada yang berupa catatan pribadi semata, yang
pada saatnya akan diriwayatkan kepada yang lain atau murid-muridnya, baik
melalui qirah atau. imla' (dibacakan atau didekatkan di depan muridnya), ijazah
(memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits kepada yang lain),
al-muktaba (menuliskan hadits yang diberikan kepada muridnya), dan beberapa
cara lainnya (As-Suuthi, t.t.: 214-222).
Gambaran di atas menunjukkan bahwa sanad memegang peranan
yang menentukan terhadap kelangsungan dan terpeliharanya hadits, yang
berarti merupakan kontribusi besar bagi kelangsungan Islam dan umatnya. Tanga
usaha mereka, umat Islam akan menghadapi kesulitan dalam mempelajari sumber
ajaran yang kedua ini.
2.2 Matan
Pembahasan tentang matan merupakan kajian yang tidak kalah
pentingnya dengan pembahasan dan kajian terhadap sanad. Penelitian
tentang matan bertujuan untuk mengetahui kebenaran penisbatan teks
11
kepada penuturnya. Di sisi lain, penelitian ini dapat juga digunakan untuk
mengetahui keotentikan redaksi teks tersebut. Oleh sebab itu, para ahli
hadits banyak meneliti teks dari spek yang berbeda -beda, di ant aran ya
peneneliti an tent ang kebenaran peni sbatan t eks kepada penut urn ya,
pem bahasan ntang substansi teks, dan penelitian tentang perbandingan antara
berapa teks.
Dalam pembahasan ini, terdapat macam -macam hadits yang
berkaitan dengan matan. Selain itu, kita akan menyinggung tentang
hadits qudsi, serta perbedaannya dengan al -Qur'an an hadits nabawi.
Sub-sub bahasan ini terasa penting untuk membahas karena semuanya
berkaitan dengan teks dan sumbernya berasal dari asal yang sama yaitu
wahyu, sekalipun ada sisi tertentu yang membedakan ketiga jenis teks
di atas. Namun belum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita
mendefinisikan lebih dahulu makna istilah matan.
ﻤﺎ ﺍﻨﺘﮭﻰ ﺍﻟﻴﻪ ﺍﻟﺴﻨﺪ ﻤﻥ ﺍﻟﮑﻟﻢ ﻔﮭﻮ ﻨﻔﺲ ﺍﻟﺤﺪﻴﺚ ﺍﻟﺬﻱ ﺬﮐﺮ ﺍﻻ ﺀﺴﻨﺎﺪﻟﻪ
“perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda nabi saw yang disebut
sesudah habis disebutkan sanadnya.”
12
Contoh:
‘dari Muhammad yang diterima dari abu salamah yang diterima dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullahsaw bersabda :” saandainya tidak akan memberatkan
terhadap umatmu, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak (menggosok gigi)
niscaya aku melakukan shalat.”(HR. Turmizi).
Pada salah satu definisi yang sangat sederhana disebutkan bahwa matan
ialah ujung atau tujuan sanad . Berdasarkan definisi di atas memberi pengertian
bahwa apa yang tertulis setelah (penulisan) silsilah sanad adalah matan hadits.
Pada definisi lain seperti yang dikatakan ath-thibi mendifinisikan dengan: ”lafazh-
lafazh hadits yang didalamnya megandung makna-makna tertentu”. Jadi, dari
pegertian diatas semua, dapat kita simpulkan bahwa yang disebut matan ialah
materi atau lafazh hadits itu sendiri, yang penulisannya ditempatkan setelah sanad
dan sebelum rawi.
Agar lebih memperjelas dan memudahkan untuk membedakan mana yang
matan dan mana yang sanad, maka perhatikan haditst berikut:
حﺪّثﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻦ يﻮسﻒ ﻗﺎل ﺃخﺒﺮنﺎ ﻣﺎﻟك ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺷهﺎﺏ ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ جﺒﻴﺮ ﺑﻦ
(ﺭوﺍه. سﻤﻌت ﺭسﻮل ﷲ (صﻠﻌﻢ) ﻗﺮﺃ ﻓﻰ ﺍﻟﻤغﺮﺏ ﺑﺎﻟطﻮﺭ:ﻣطﻌﻢ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﮫ ﻗﺎل
)ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah bin Yusuf, dia berkata: Telah
mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair
bin Muth’im dari bapaknya berkata: “aku mendengar Rasulullah SAW membaca
surat Thur ketika Shalat Maghrib”. (HR. Bukhari).
13
dengan periwayatan yang mutawatir, terdapat dalam mushhot dan
dimulai dari surat al-Fatihah dan berakhir pada surat an-Nas.
2. Hadits Qudsi
Hadits qudsi adalah kalam yang maknanya dari Allah do;
lafadnya dari Nabi saw. Atau dengan ibarat lain, kalam yang I
dinisbatkan kepada Nabi dan maknanya bersumber dari Allah.
Hadits qudsi sering diistilahkan dengan hadits ilahi nisb,t
kepada i1ali, atau hadits robbani nisbat kepada Rabb. Penisbatan iio
mengindikasikan adanya makna kemuliaan, karena disandark.m
kepada kesucian 'Allah (ijadasatidiali).
Dalam istilah ini, sebenarnya terdapat dua sisi lafaz
'hadits' dan qudsi. Lafad hadits kembali kepada Nabi dan lafi,
qudsi kembali kepada Allah. Penggabungan dua kata ini karell
dalam hadits qudsi terdapat perpaduan antara lafad yang i1i
bersumber dari Nabi dan makna yang bersumber dari Allah.
Gambaran bentuk ungkapan dari sebuah makna sepc il yang
terdapat dalam hadits qudsi sebenarnya banyak didapatk,i
contohnya dalam al-Qur'an. Misalnya saat Allah menceritakan
ucapan-ucapan para Nabi terdahulu, atau dialog mereka dengan
kaumnya. Dialog itu kemudian diceritakan kembali oleh Al lah
dalam al-Qur'an dengan menggunakan bahasa Arab, dan teks Al-
Qur'an saat mengungkapkan isi dialog tersebut tidak persis sep erti
teks dialog yang sebenarnya tapi sebatas makna dan substansi yang
terjadi dalam diolog saat itu.
3. Hadits Nabawi
S ebagaim ana t el ah di si nggung di awal pem baha son
bahwa hadits adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi
Muhammad saw. baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan atau
sifat psikis dan fisik. Dalam pembahasan ini , yang di lihat sebatas
siapa menuturkan teks tersebut, dan tidak melihat bagaimana
kualitas lafadnya. Hadits ditinjau dari aspek penuturnya dapat dibedakan
menjadi tiga bagian: marfu’, mauquf, dan maqthu'.
14
a. Marfu'
Definisi marfu' adalah hadits yang dinisbatkan kepada
Nabi saw berupa ucapan, perbuatan, persetujuan atau sifat, baik
madnya bersambung maupun tidak. Sedangkan, yang
menisbatkan kepada Nabi bisa sahabat atau juga kita. Selama
ada ungkapan 'Nabi b e r s a b d a ' a t a u ' N a b i m e l a k u k a n i n i
d a n i t u ' m a k a d a p a t dinamakan dengan marfu'.
b. Mau q u f
Definisi hadits mauquf adalah ucapan atau perbuatan yang
dinisbatkan kepada sahabat. Jika terdapat sebuah teks dan
Penuturnya seorang sahabat maka diistilahkan dengan mauquf, Imik
bersambung sanadnya maupun tidak. Jika bersambung maka dinamakan
mauquf muttashil, dan jika tidak maka dinamakan mauquf
munqathi.
c. Maqthu'
Definisi hadits maqthu' adalah ucapan atau perbuatan yang
dinisbatkan kepada tabi’in. Jika terdapat sebuah teks dan penuturnya
seorang tabi’in maka diistilahkan dengan maqthu’ baik bersambung
sanadnya maupun tidak.
Terkait dengan matan atau redaksi, yang perlu dicermati dalam memahami
hadits, yaitu:
1. Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi
Muhammad atau bukan,
2. Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain
yang lebih kuat sanad-nya (apakah ada yang melemahkan atau yang
menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al -Qur’an
(apakah ada yang bertolak belakang).
15
atau tingkatannya juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi
adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Begitu juga,
setiap rawi pada tiap-tiap thabaqah-nya merupakan sanad bagi thabaqah
berikutnya.
Contoh:
ﻋﻦ ﺍﻢﺍﻟﻤﺆ ﻤﻨﻴﻦﻋﺎﺜﺸﺔ ﺮﻀﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﮭﺎ ﻘﺎﻠﺕﻘﺎﺮ ﺴﻮ ﻠﺎ ﷲ ﺼﻠﻌﻢ ﻤﻦ ﺍﺤﺪﺙﻔﻲ ﺍﻤﺭﻨﺎ ﮬﺬ
﴾﴿ﻤﮅﻔﻖﻋﻟﻴﻪ.ﺍﻤﺎﻠﻴﺲ ﻤﻨﻪ ﻓﮭﻢﻭﺮﺪﱞ
16
2.4 Kedudukan Sanad dan Matan Hadits
17
u n t u k d i a m a l k a n . S a n a d m e r u p a k a n j a l a n ya n g m u l i a u n t u k
menetapkan hukum-hukum Islam.
Perhatian terhadap sanad di masa sahabat, yaitu dengan menghapal
sanad-sanad itu dan mereka mempunyai daya ingat yano, luar biasa. Dengan
adanya perhatian mereka, terpeliharalah sunnah Rasul dari tangan-tangan ahli
bid'ah dan para pendusta. Karenanya pula, imam-imam hadits berusaha pergi dan
melawat ke berbagai kota untuk memperoleh sanad yang terdekat dengan
Rasul yang dilakukan sanad 'ali.
Ibn Hazm mengatakan bahwa nukilan orang kepercayaan dari orang yang
dipercaya hingga sampai kepada Nabi SAW. dengan bersambung-sambung para
perawinya adalah suatu keistimewaan dari Allah, khususnya kepada orang-orang
Islam. Memerhatikan sanad riwayat adalah suatu keistimewaan dari ketentuan-
ketentuan umat Islam. Dengan adanya sanad inilah, para imam ahli hadits dapat
membedakan hadits yang sahib dan hadits yang dhaif dengan cara melihat para
perawi hadits tersebut. Jika tidak ada sanad, niscaya Islam sekarang akan
sama seperti pada zaman sebelumnya karena pada zaman sebelumnya
tidak ada sanad sehingga perkataan nabi-nabi mereka dan orang-orang saleh di
antara mereka tidak dapat dibedakan. Adapun Islam yang sekarang telah berumur
1400 tahun lebih masih dapat dibedakan antara perkataan Rasulullah SAW. dan
perkataan sahabat.
18
kalangan masyarakat dan hadits tidak ditulis secara resmi pada masa
Rasul saw. (berbeda dengan Alquran), sehingga penulisan dilakukan
hanya bersifat individu (tersebar di tengah pribadi para sahabat) dan
tidak menyeluruh.
Dengan berdirinya hadits maudhu' ke dalam kehidupan
keagamaan masyarakat dimaksudkan untuk merusak agama, cukup
mengganggu nilai kemurnian hadits dan dapat meresahkan
mas yarakat. Apal agi jika maknanya benar-benar bertentangan
dengan sanad-sanad lain dan mengacaukan pemahaman serta kaidah
masyarakat.
Tenggang waktu pembukuan hadits dari masa penulisan individu
kepada penulisan secara resmi yang agak lama, bagi kalangan orang-orang
yang ingin mengaburkan ajaran agama, juga cukup memiliki peluang untuk
merealisasikan keinginannya. Apalagi masih banyaknya hadits-hadits yang
belum ditulis (yang masih berada pada hafalan para ulama).
19
dalam mengadakan penelitian hadits.
Pada kurun tabi’in, penelitian dilakukan dengan mengacu
kepada beberapa ketentuan bahwa hadits dapat diterima jika diriwayatkan
oleh orang yang tsiqah, baik akhlaknya, dan dikenal memiliki pengetahuan
dalam bidang hadits. Sebaliknya, hadits tidak bisa diterima jika perawinya
tidak tsiqah (Syuhudi Ismail, 1988: 369-371), 2), suka berdusta dan
mengikuti hawa nafsu, tidak memahami hadits yang diriwayatkannya, dan
orang yang ditolak kesaksiannya.
Asy-Syafi'i dalam merumuskan kaidah untuk penelitian hadits ini
lebih maju dari yang dikemukakannya di atas, ia berhasil mengajukan
pedoman dalam melakukan penelitian yang mencakup sanad dan matan
hadits. Dalam ar-Risalah-nya, ia mengemukakan hadits ahad diriwayatkan
o1eh perawi yang dapat dipercaya pengalaman agamanya, dikenal jujur
dalam menyampaikan berita, memahami dengan baik hadits yang
diriwayatkannya, memahami perubahan makna hadits jika terjadi
perubahan lafal, mampu meriwayatkan hadits secara lafal, terpeliharanya
periwayatan, baik dilakukan melalui hafalan maupun tulisan, jika
hadits itu diriwayatkan juga oleh perawi lain, maka bunyinya tidak
berbeda, dan tidak ada unsur tadlis (menyembunyikan kecacatan) dalam
periwayatan dan silsilah sanad-nya harus bersambung (Muhammad bin Idris
asy-Syafi'i, 1979: 369-106).
Penelitian sanad dan matan untuk keperluan hadits, ini berlanjut
sampai pada pertengahan abad kelima hijriah, yaitu masa al -Hakim
(312-405 H) dan al-Baihaqi (384-458 H ). Untuk selanjutnya, penelitian ini
diarahkan untuk keperluan penyempurnaan dan penganekaragaman sistem
penulisan hadits.
Munculnya buku-buku atau kitab-kitab dalam masalah ibadah,
akidah, dan akhlak yang menggunakan dalil-dalil hadits dewasa ini dengan
tidak menyertakan sumber rujukan dan keterangan tentang kualitas hadits-
hadits tersebut. Dengan demikian, meskipun sifat dan sasarannya lebih
terbatas, tetapi kajian-kajian berikutnya, seperti dengan melakukan takhrij al-
hadits, merupakan solusi yang perlu terus dikembangkan.
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.2 Saran
Mungkin inilah yang diwacanakan pada penulisan ini meskipun
penulisan ini jauh dari sempurna minimal para pembaca dapat
mengimplementasikan tulisan ini. Selain itu, makalah ini masih banyak
memiliki kesalahan dari segi penulisan, sumber materi, dan lainnya,
karena penulis juga merupakan manusia yang adalah tempat salah dan
dosa: dalam hadits “al insanu minal khotto’ wannisa’”, dan para juga
butuh saran serta kritik agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang
lebih baik daripada masa sebelumnya.
21
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Mahmud, dkk. 1984. Ilmu Musthalah Hadits. Jakarta: PT. Hidayakarya
Agung.
B Smeer, Zeid. 2008. Ulumul Hadis: Pengantar Studi Praktis Hadis. Malang:
UIN Malang Press.
Mudasir. 1999. Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadis. Bogor: Ghalia Indonesia.
Solahudin, Agus, dkk. 2011. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
http://alfiahkhoiriasyir.blogspot.com/2013/05/makalah-pengertian-sanad-dan-
matan.html
Diunduh pada tanggal 18 September 2014 pukul 16.53 WITA.
http://hadis-hadis.blogspot.com/2008/04/perngertian-sanad-matan-rawidan-
rijalul.html
Diunduh pada tanggal 22 September 2014 pukul 00.22 WITA.
http://halaqohtdj.blogspot.com/2012/06/arti-dari-sanad-dan-matan-dalam-
hadits.html
http://sumberpiji.wordpress.com/2011/11/16/pengertian-matan-sanad-isnad-
musnad-dan-rawi-haditst/
Diunduh pada tanggal 19 September 2014 pukul 17.39 WITA.
22