PENDAHULUAN
Sebuah hadits dikatakan shahih (dalam hal ini shahih lidzātihi) adalah jika sanadnya muttashil,
periwayatnya adil dan dhābit, dan sanadnya terhindar dari syudzudz dan ‘illat.
Pada masa Rasulullah saw; kritik atas hadits tidaklah begitu besar. Keberadaan Rasul di tengah-
tengah mereka sudah dianggap cukup untuk menjadi narasumber atas persoalan-persoalan agama.
Pada masa pemerintahan khulafa’urrāsyidīn, kritik hadits mulai terlihat mencuat. Terbukti dengan
semakin berhati-hatinya para sahabat dalam menerima hadits hal ini sebagaimana yang terjadi
dengan Abū Bakar saat ditanya tentang bagian warisan seorang nenek. Begitu juga ‘Umar saat
bertanya kepada Abū Musa al-‘Asy’ari tentang keabsahan anjuran mengetuk pintu sebanyak tiga kali
saat bertamu. Bahkan Alī bin Abī Thālib tidak akan menerima hadits dari seseorang, sebelum ia
bersumpah. Hal ini mengindikasikan bahwa para sahabat begitu antusias untuk memelihara sunnah
Rasul.
Ketika permulaan masa tabī’īn, geliat kritik hadits semakin besar. Hal ini disebabkan munculnya
fitnah yang menyebabkan perpecahan internal umat Islam. Kondisi ini diperparah dengan
merajalelanya para pemalsu hadits untuk mendukung golongan tertentu. Iklim yang tidak sehat ini
menuntut para kritikus hadits agar lebih gencar dalam meneliti keadaan para perawi. Mereka lalu
melakukan perjalanan untuk mengumpulkan sejumlah riwayat, menyeleksi dan membandingkannya,
hingga akhirnya mampu memberikan penilaian atas setiap hadits.
Metode kritik hadits terus berkembang pesat, ditandai dengan lahirnya beberapa karya ulama
tentang kritik sanad hadits. Kritikan tersebut ditulis dalam kitab tersendiri dan memuat seluruh
riwayat yang dimiliki oleh masing-masing perawi. Hal ini dilakukan agar penilaan atas hadits benar-
benar objektif sebagaimana yang dilakukan Imam Ahmad dalam karyanya: Kitâbul ‘Ilal fi Ma’rifati’l
Rijâl, atau: Musnad al-Mu’allal” karya Ya’qub bin Syaibah.
Selanjutnya, penulisan kritik hadits menjadi lebih sistematis dengan dilakukannya penelitian atas
sanad secara terpisah dari matan. Hal ini digagas oleh pakar kritik hadits seperti Ibnu Abī Hatim
dalam bukunya: al-Jarh wa Ta’dîl”, dan ’Ilal yang begitu detail dalam melacak keabsahan hadits dari
aspek matan dan perawinya. Setelah sejumlah peninggalan ulama tersebut ditelaah kembAlī oleh
para ulama mutaakhirîn seperti al-Mizzi, Dzahabī, Ibnu Hajar dan lainnya, mereka kemudian
meletakkan materi-materi kritikan dalam satu buku tersendiri tanpa memuat sanadnya secara
lengkap. Kemudian mereka mendiskusikan (munaqasyah) komentar-komentar ulama hadits, hingga
dapat memberikan penilaian akhir pada sebuah hadits.
Pada tulisan ini akan dibahas mengenai pokok-pokok masalah dalam kritik sanad dan matan dengan
menggunakan kaedah kesahihan hadits dan pokok-pokok kritik matan.
Dr. Syuhudi Isma’īl dalam buku beliau yang berjudul “Metodologi penelitian Hadits Nabi”
menguraikan ada beberapa langkah yang harus ditempuh dalam melakukan suatu kritikan terhadap
sanad suatu hadits,[1] yaitu sebagai berikut :
Melakukan I’tibar
Kata al-I’tibar ( ) االعتبارadalah masdhar dari kata اعتبرyang menurut bahasa berarti peninjauan
terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatunya yang sejenis.[2]
Sedangkan menurut istilah ilmu hadits, I’tibar adalah menyertakan sanad-sanad yang lain untuk
suatu hadits tertentu yang hadits itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang
periwayat saja; dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui
apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadits yang
dimaksud.[3]
Kegunaan I’tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadits seluruhnya dilihat dari ada atau
tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus muttabī atau syāhid.[4] Dengan adanya
I’tibar ini maka akan diketahui apakah hadits yang diteliti itu memiliki muttabī dan syāhid ataukah
tidak.
Untuk mempermudah proses kegiatan I’tibar itu diperlukan adanya pembuatan skema untuk seluruh
sanad untuk hadits yang akan diteliti. Ada 3 hal yang harus diperhatikan :
Contohnya hadits yang berbunyi من رأى منكم منكرا.... atau yang semakna dengannya menurut hasil
takhrij diriwayatkan oleh :
b. Abū Daud dalam Sunan Abū Dāud, Juz I h. 297 dan Juz IV h. 123
e. Ibnu Majjah dalam Sunan Ibnu Mājjah, Juz I h. 406, dan Juz II, h. 1330
f. Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad, Juz III, h. 10, 20, 49, 52 – 53 dan 92.
كالهما عن قيس, حدثنا شعبة, حدثنا محمد بن جعفر, وحدثنا محمد بن المثنى.ح. حدثنا وكيع عن سفيان,حدثنا أبو بكر بن أبى شيبة
: فقال, فقام إليه رجل, أول من بدأ بالخطبة يوم العيد قبل الصالة مروان: قال, وهذا حديث أبى بكر1بن مسلم عن طارق بن شهاب
: رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقول1 سمعت, أما هذا فقد قضى ماعليه: فقال أبو سعيد. قد ترك ماهنالك: فقال,الصالة قبل الخطبة
) ( رواه مسلم. ولك أضعف اإليمان, فإن لم يستطع فبقلبه,من راى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه
Nama Periwayat
Abū Sa’id
Periwayat 1
Sanad 6
Periwayat 2
Sanad 5
Periwayat 3
Sanad 4
Sufyān
Periwayat 4
Sanad 3
Syu’bah
Periwayat 4
Sanad 3
Waki’
Periwayat 5
Sanad 2
Periwayat 5
Sanad 2
Periwayat 6
Sanad 1
Periwayat 6
Sanad 1
Muslim
Periwayat 7
Mukharrij Hadits
Skema sanad-sanad hadits itu adalah sebagai berikut :
Dari skema di atas dapat kita ketahui bahwa periwayat yang berstatus sebagai syāhid tidak ada
karena ternyata Abū Sa’id merupakan satu-satunya sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits yang
sedang akan diteliti tersebut.
Untuk Muttabī’nya bila sanad yang diteliti adalah sanadnya Turmudzi, maka Ahmad bin Hanbal
merupakan Muttabī’ bagi Bundar (Muhammad bin Basyar); Bundar merupakan sanad pertama bagi
at-Turmudzi, kemudian pada sanad kedua, ketiga dan kelima, bagi sanad at-Turmudzi, masing-
masing memiliki muttabī’ yaitu waki’ sebagai muttabī’nya Abdurrahman bin Mahdi, lalu Mālik bin
Migwal, Syu’bah dan al-A’masy sebagai muttabī’nya Sufyān, dan Raja’ sebagai muttabī’nya Thāriq bin
Syihāb. Dengan demikian, Muttabī dari sanadnya Turmudzi dating dari sanad an-Nasā’i, Ahmad bin
Hanbal, Muslim, Abū Dāud dan Ibnu Mājjah.
Untuk meneliti hadits diperlukan sebuah acuan yaitu acuan yang akan digunakan untuk meneliti
kesahihan hadits bila hadits yang diteliti bukanlah hadits yang mutawatir.
ِAbū ‘Amr Usmān bin Abdirrahman bin as-Salah asy-Syahrazuri yang biasa disebut Ibnus Salah (w.
577 H/ 1245 M), beliau merumuskan sebagai berikut :
الحديث الصحيح هو المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط إلى منتهاه واليكون شاذا وال معلال.
Hadits Shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi SAW), diriwayatkan oleh
(periwayat) yang adil dan dhābit sampai akhir sanad ( di dalam hadits itu) tidak terdapat kejanggalan
(Syudzudz) dan cacat (‘illat).[5]
Jadi unsur-unsur hadits dikatakan shahih apabīla sesuai dengan kaidah-kaidah sebagai berikut :
1. Sanad hadits yang bersangkutan harus bersambung mulai dari mukharrijnya sampai
kepada Nabi Muhammad SAW
2. Seluruh periwayat dalam hadits itu harus bersifat adil dan dhābit.
3. Hadits itu, jadi sanad dan matannya harus terhindar dari kejanggalan (Syudzudz) dan cacat
(‘illat).
Dari ketiga kaidah di atas ada yang berhubungan dengan sanad dan ada pula yang berhubungan
dengan matan hadits.
1. Yang berhubungan dengan sanad :
1) Sanad bersambung
Berikut ini akan dijelaskan kaidah-kaidah kesahihan hadits yang berhubungan dengan sanad, yaitu
sebagai berikut :
1. Sanad Bersambung
Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadits menerima
riwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya; keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir
sanad hadits itu.[7]
Dr. M. Syuhudi Isma’īl menjelaskan bahwa sanad hadits dikatakan bersambung jika mengandung
usnur-unsur : muttashil, marfu’, mahfuzh, dan bukan mu’allal.[8]
Muttashil, artinya :
Hadits yang bersambung sanadnya baik persambungan itu sampai kepada Nabi (marfu’) maupun
hanya sampai kepada sahabat Nabi saja (mauquf).[9]
Marfu’, artinya :
ما أضيف الى النبى صلى هللا عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة
Apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat
beliau.[10]
Mu’allal, artinya :
هو الحديث الذي اطلع فيه على علة تقدح فى صحته مع أن الظاهر السالمة منها
Yaitu hadits yang setelah diadakan penelitian terdapat di dalamnya cacat yang disembunyikan
kecacatannya dan terlihat selamat dari keacatatan itu pada zahirnya.[11]
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadits menempuh tata
kerja penelitian sebagai berikut :
Dalam Kitab Ilmu Hadits ada 8 macam cara-cara periwayatan yaitu : as Sama’, al-qirā’ah, al-Ijāzah, al-
Munāwalah, al-Mukātabah, al I’lam, al-wasiyyah dan al-wijādah. Kedelapan metode periwayatan
tersebut memiliki perbedaan dalam tingkat akurasinya.
Sanad hadits selain memuat nama-nama periwayat juga membuat lafal-lafal yang member petunjuk
tentang metode periwayatan yang digunakan masing-masing periwayat yang bersangkutan. Dari
sinilah dapat diketahui dan dapat diteliti tingkat akurasi metode periwayatan yang digunakan oleh
periwayat yang namanya termuat dalam sanad.
Kegiatan menerima riwayat hadits dalam dalam ilmu hadits dinamakan dengan tahammul al hadits,
sedangkan kegiatan menyampaikan riwayat hadits disebut ada’u al hadits. Lafal yang digunakan
dalam kegiatan tahammul al hadits bentuknya bermacam-macam seperti عنو, حدثنا, حدثني, سمعنا,سمعت
عنا, . Sebagian dari lambang-lambang itu ada yang disepakati dan ada juga yang tidak.
Lambang-lambang yang penggunaannya disepakati yaitu سمعنا, نولنا, نولني, حدثني. kedua lambang yang
disebutkan pertama digunakan dalam metode periwayatan dengan as-Sama’ sebagai metode yang
menurut jumhur ulama hadits memiliki tingkat akurasi yang tinggi, dan dua lambang berikutnya
disepakati sebagai lambang periwayatan al-munāwalah, yakni metode periwayatan yang masih
dipersoalkan tingkat akurasinya.[13]
Sedangkan lambang-lambang yang tidak disepakati penggunaannya seperti قال لنا, أخبرنا, حدثنا, سمعت.
Untuk kata سمعتsebagian periwayat menggunakannya untuk metode as Sama’ dan sebagian yang
lainnya menggunakannya untuk al-qirā’ah. Kata-kata قال لنا, أخبرنا, حدثناuntuk sebagian periwayat
digunakan dalam metode as Sama’, dan sebagian yang lain menggunakannya untuk metode al
qirā’ah, dan oleh sebagian periwayat yang lain lagi digunakan untuk metode al Ijāzah. [14]
Adapun dikhususkan untuk lambang-lambang berupa kata-kata seperti عنا, عن, ulama telah banyak
mempersoalkannya. Sebagian ulama mengatakan sebagai hadits mu’an’an, yakni hadits yang
sanadnya mengandung lambang ‘an, dan hadits mu’annan yakni hadits yang sanadnya mengandung
lambang ‘anna memiliki sanad yang putus. Sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa hadits
mu’an’an dapat dinilai bersambung sanadnya jika dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Pada sanad hadits yang bersangkutan tidak terdapat tadlis (penyembunyian cacat).
b. Para periwayat yang namanya beriring dan diantarai oleh lambang ‘an ataupun ‘anna itu
telah terjadi pertemuan.
c. Periwayat yang menggunakan lambang-lambang ‘an ataupun ‘anna itu adalah periwayat
yang tsiqāh. [15]
Adapun keadaan periwayat dapat dibagi kepada yang tsiqāh dan yang tidak tsiqāh. Dalam
hubungannya dengan persambungan sanad, kualitas periwayat sangat menentukan. Periwayat yang
tidak tsiqāh yang menyatakan telah menerima riwayat dengan metode sami’na, misalnya walaupun
metode itu diakui oleh para ulama hadits memiliki tingkat akurasi yang tinggi, tetapi karena yang
meriwayatkannya orang yang tidak tsiqāh, maka informasinya itu tetap tidak dapat dipercaya. Selain
itu ada periwayat yang dinilai tsiqāh oleh ulama kritik hadits namun dengan syarat bila dia
menggunakan lambang periwayatan haddatsani atau sami’tu¸sanadnya bersambung, tetapi bila
menggunakan selain kedua lambang itu sanadnya terdapat tadlis (penyembunyian cacat), seperti
Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij (Ibnu Juraij) (w. 149 H / 150 H).[16]
Kata adil dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti “tidak berat sebelah (tidak memihak) atau
“sepatutnya; tidak sewenang-wenang”.[17]
Sedangkan pengertian adil yang dimaksud dalam ilmu hadits, para ulama berbeda pendapat. Dari
berbagai perbedaan pendapat itu dapat dihimpunkan kriteria sifat adil yaitu :
a. Beragama Islam
b. Mukallaf
d. Memelihara murū’ah.[18]
Beragama Islam merupakan satu kriteria keadilan periwayat apabīla yang bersangkutan melakukan
kegiatan menyampaikan hadits, sedangkan untuk kegiatan menerima hadits kriteria itu tidak
berlaku. Periwayat boleh saja tidak beragama Islam tatkala ia menerima hadits dari Rasulullah SAW
asalkan ketika dia menyampaikan hadits itu dia telah memeluk agama Islam.[19]
Mukallaf yaitu balīgh dan berakal sehat untuk kriteria ketika dia menyampaikan sebuah riwayat
hadits, akan tetapi boleh saja periwayat masih belum mukallaf asal dia telah mumayyiz dalam
kegiatan menerima hadits. Maka tidak diterima riwayat dari seseorang yang belum memenuhi
ketentuan syarat mukallaf sebagaimana hadits Nabi SAW :
]20[. عن المجنون المغلوب على عقله حتى يبرأ وعن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم: رفع القلم عن ثالثة
Yang ketiga adalah kriteria “melaksanakan ketentuan agama”, yang dimaksud adalah teguh dalam
agama, tidak berbuat dosa besar, tidak berbuat bid’ah, tidak berbuat maksiat dan harus berakhlak
mulia.[21]
Sedangkan yang dimaksud dengan “memelihara murū’ah”, artinya kesopanan pribadi yang
membawa pemeliharaan diri manusia pada tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan-kebiasaan. Hal
itu dapat diketahui melalui adat istiadat yang berlaku di masing-masing tempat.[22]
Berdasarkan kriteria sifat adil yang telah dikemukakan di atas, maka hadits yang diriwayatkan oleh
orang-orang yang suka berdusta, suka berbuat munkar, atau sejenisnya tidak dapat diterima sebagai
hujjah. Bila riwayatnya juga diterima sebagai hadits, maka kedudukannya adalah sebagai hadits
dha’if (lemah) dan oleh sebagian ulama dinyatakan sebagai hadits maudhu’ (palsu).[23]
Secara umum ulama telah mengemukakan cara penetapan keadilan periwayat hadits yaitu
berdasarkan :
b. Penilaian dari para kritikus periwayat hadits; penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan
dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadits.
c. Penerapan kaidah al-Jarh wa at-Ta’dil ; cara ini ditempuh bila para kritikus periwayat
hadits tidak sepakat tentang kualitas peribadi periwayat tertentu.[24]
Khusus mengenai perawi hadits pada tingkat sahabat, menurut jumhur ulama ahli sunnah, dikatakan
bahwa seluruh sahabat adil. Sedangkan golongan Mu’tazilah menganggap bahwa sahabat-sahabat
yang terlibat dalam pembunuhan ‘Alī dianggap fasiq, yang periwayatannya ditolak.[25]
Jadi, untuk mengetahui adil atau tidaknya seorang periwayat hadits haruslah diteliti terlebih dahulu
kualitas peribadinya dengan kesaksian para ulama, dalam hal ini adalah ulama ahli kritik periwayat.
Arti harfiah dhābit ada beberapa macam yakni dapat berarti: yang kokoh, yang kuat, dan yang hafal
dengan sempurna.[26] Ulama hadits berbeda pendapat dalam memberikan pengertian istilah untuk
kata dhābit, namun perbedaan itu dapt dipertemukan dengan rumusan sebagai berikut :
b. Periwayat yang bersifat dhābit ialah periwayat yang selain disebutkan dalam butir
pertama di atas juga dia mampu memahami dengan baik hadits yang dihafalnya itu.
[27]
Rumusan pertama merupakan rumusan kriteria sifat dhābit umum, sedangkan yang kedua disebut
sebagai tam dhābit atau dhābit plus.
Selain kedua macam rumusan kedhābitan itu dikenal pula istilah khafifud dabt, yaitu kedhābitan
yang disifatkan kepada periwayat yang kualitas haditsnya digolongkan kepada hadits hasan.[28]
Adapun cara penetapan kedhābitan seorang periwayat menurut pendapat berbagai ulama dapat
dinyatakan sebagai berikut :
a. Kedhābitan periwayat dapat diketahui berdasarkan persaksian para ulama
c. Apabīla seorang periwayat sekali-sekali mengalami kekeliruan, maka dia masih dapat
dinyatakan sebagai periwayat yang dhābit. Tetapi apabīla kesalahan itu sering terjadi maka
periwayat yang bersangkutan tidak lagi sebagai periwayat yang dhābit. [29]
Menurut bahasa kata syadz, dapat berarti; jarang, yang menyendiri, yang asing, yang menyalahi
aturan dan yang menyalahi orang banyak.
Syudzudz ialah berbeda dengan hadits yang tsiqāt atau berbeda dengan yang lebih tsiqāt
daripadanya.[30]
Para ulama berbeda pendapat tentang pengertian syudzudz suatu hadits, dari pendapat-pendapat
itu ada 3 pendapat yang menonjol yaitu :
b. Abū Ya’la al-Khalili (w.446 H) mengemukakan hadits syudzudz ialah hadits yang sanadnya
hanya satu buah saja, baik periwayatnya bersifat tsiqāh maupun tidak bersifat tsiqāh.
c. Imam Syafi’i (w.204 H / 820 M) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan Hadits
syudzudz ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqāh, tetapi riwayatnya
bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak perawi yang tsiqāh juga.
Pendapat ini yang banyak diikuti oleh ulama hadits sampai saat ini.[31]
Dari penjelasan asy-Syafi’i di atas dapat dinyatakan bahwa hadits syadz tidak disebabkan oleh :
a. Kesendirian individu periwayat dalam sanad hadits, yang dalam ilmu hadits dikenal
dengan istilah fard muthlaq.
c. Matan dan atau sanad hadits itu ada yang mengandung pertentangan.
Ulama hadits pada umumnya mengakui bahwa meneliti syudzudz dan ‘illat hadits tidaklah mudah.
Sebagian ulama menyatakan :
a. Penelitian tentang syudzudz dan ‘illat hadits hanya dapat dilakukan oleh mereka yang
mendalam pengetahuan hadits mereka dan telah terbiasa melakukan penelitian hadits.
b. Penelitian terhadap syudzudz hadits lebih sulit daripada penelitian terhadap ‘illat hadits.
[32]
‘Illat menurut istilah ilmu hadits sebagaimana yang terdapat dalam kitab “Taisir mushthalah al-
Hadits”, Mahmud Thahan menyebutkan :
العلة سبب غامض خفي يقدح فى صحة الحديث مع أن الظاهر السالمة منها
‘Illat ialah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadits. Keberadaannya menyebabkan
hadits yang pada lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih.[33]
Adapun cara meneliti ‘illat suatu hadits adalah dengan cara membanding-bandingkan semua sanad
yang ada untuk matn yang isinya semakna. Ibnul Madini (w.234 H / 849 M) dan al-Khatib al-Bagdadi
(w. 463 H / 1072 M) memberi petunjuk bahwa untuk meneliti ‘illat hadits adalah dengan langkah-
langkah :
a. Seluruh sanad hadits yang matannya semakna dihimpunkan dan diteliti, bila hadits yang
bersangkutan memang memiliki muttabī’ ataupun syāhid.
b. Seluruh periwayat dalam berbagai sanad diteliti berdasarkan kritik yang telah
dikemukakan oleh para ahli kritik hadits.[34]
Menurut penjelasan ulama ahli kritik hadits, ‘illat hadits umumnya ditemukan pada :
a. Sanad yang tampak muttashil (bersambung) dan marfu’ (bersandar kepada Nabi), tetapi
kenyataanya mauquf (bersandar kepada sahabat Nabi) walaupun sanadnya dalam keadaan
muttasil (bersambung).
b. Sanad yang tampak muttashil dan marfu’ tetapi kenyataanya mursal (bersandar kepada
tabī’i), walapun sanadnya muttashil.
c. Dalam hadits itu telah terjadi kerancuan karena bercampur dengan hadits lain.
d. Dalam sanad hadits itu terdapat kekeliruan penyebutan nama periwayat yang memiliki
kemiripan atau kesamaan dengan periwayat lain yang kualitasnya berbeda.[35]
Dalam kegiatan kritik sanad, beberapa massalah sering di hadapi oleh peneliti hadits, misalnya :
1. Adanya periwayat yang tidak disepakati kualitasnya oleh para kritikus hadits
3. Adanya matan hadits yang memiliki banyak sanad, tetapi semuanya lemah
(dha’if).[36]
Al- Jarh menurut bahasa artinya melukai, sedangkan menurut istilah dalam ilmu hadits al-Jarh berarti
tampak jelasnya sifat pribadi periwayat yang tidak adil, atau yang buruk dibidang hafalannya dan
kecermatannya, yang keadaan itu menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan
oleh periwayat tersebut. [37]
At-Ta’dil artinya menurut bahasa adalah masdar dari kata adala, yakni mengemukakan sifat-sifat adil
yang dimiliki oleh seseorang. Sedangkan menurut istilah dalam ilmu hadits at-Ta’dil berarti
mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat sehingga dengan demikian tampak jelas
keadilan periwayat itu dan karenanya riwayat yang disampaikannya dapat diterima.[38]
Berikut ini akan dikemukakan sebagian dari teori-teori yang telah dikemukakan oleh ulama-ulama
ahli al-jarh wa ta’dil berkenaan dengan penelitian para periwayat hadits.
Alasannya adalah sifat dasar periwayat hadits adalah terpuji sedangkan sifat tercela merupakan sifat
yang dating kemudian. Karenanya bila sifat dasar berlawanan dengan sifat yang dating kemudian
maka yang harus dimenangkan adalah sifat dasarnya. Pendukung teori ini adalah An-Nasā’i (w. 303 H
/ 915 M),
Pada umumnya ulama hadits tidak menerima teori tersebut karena kritikus yang memuji tidak
mengetahui sifat tercela yang dimiliki oleh periwayat yang dinilainya, sedangkan kritikus yang
mengemukakan celaan adalah kritikus yang telah mengetahui ketercelaan periwayat yang dinilainya.
[39]
2. ( الجرح مقدم على التعديلal-Jarh didahulukan atas at-Ta’dil).
Maksudnya adalah jika kritikus dinilai tercela oleh seorang
kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus yang lainnya, maka
yang didahulukan dan yang dipilih adalah kritikan yang berisi
celaan.
Alasannya ialah:
a. Kritikus yang menyatakan celaan lebih paham terhadap pribadi periwayat yang dicelanya
itu.
b. Yang menjadi dasar untuk memuji seseorang periwayat adalah persangkaan baik dari
pribadi kritikus hadits dan prasangka baik itu harus dikalahkan bila ternyata ada bukti
tentang ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat yang bersangkutan.
Kalangan ulama hadits, ulama fiqih dan ulama ushul fiqih banyak yang menganut teori tersebut.
Dalam pada itu, banyak pula ulama kritikus hadits yang menuntut pembuktian atau penjelasan yang
menjadi latar belakang atas ketercelaan yang dikemukakan terhadap periwayat tersebut.[40]
Ustadz Abdul Qodir Hasan dalam bukunya Ilmu Musthalahul Hadits halaman 468 menerangkan
kaidah ini dengan gamblang,: “Apabīla seorang rawi dipuji oleh seseorang (Abū Ahmad: Ta’dil),
tetapi ada juga yang mencacat dia atau menunjukkan celaannya (Abū Ahmad: Jarh), maka yang
dipakai ialah celaan orang itu, jika celaannya beralasan (Abū Ahmad: Jarh Mufassar).
Contohnya seperti: Ibrahim bin Abī Yahya Abū Ishaq. Imam Syafi’i dan Ibnu Ash bahani menganggap
dia sebagai seorang kepercayaan. Tetapi berkata Ibnu Hibban: “Adalah ia berpendirian Qadariyah,
dan bermadzhab kepada omongan Jahmiyah, tambahan pula ia pernah berdusta dalam urusan
hadits” Syafi’i dan Ibnul Ashbahani memuji dia, sedang Ibnu Hibban menunjukkan celanya. Jadi yang
dipakai disini adalah omongan Ibnu Hibban” [41]
3. إذا تعارض الجارح والمعدل فالحكم للمعدل إال إذا ثبت الجرح المفسر
(Apabīla terjadi pertentangan antara kritikan yang mencela
dan yang memuji, maka yang harus dimenangkan adalah
kritikan yang memuji, kecuali apabīla kritikan yang mencela
disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya).
Alasannya adalah kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan periwayat yang
dinilainya lebih mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut daripada kritikus yang hanya
mengemukakan pujian terhadap periwayat yang sama.
Pendukung teori ini adalah jumhur ulama ahli kritik hadits. Sebagian dari mereka ada yang
menyatakan bahwa :
a. Penjelasan ketercelaan yang dikemukakan itu haruslah relevan dengan upaya penelitian.
b. Bila kritikus yang memuji telah mengetahui juga sebab-sebab ketercelaan periwayat yang
dinilainya itu dan dia memandang sebab-sebab ketercelaannya itu memang tidak relevan
ataupun telah tidak ada lagi, maka kritikan yang memuji itu yang harus dipilih.[42]
Dari keterangan diatas jelaslah bahwa jika ada sekelompok ulama ahlus sunnah memuji/menta’dil
seseorang namun ada ulama ahlus sunnah yang mencela/menjarh orang itu maka kita lebih
mendahulukan jarh tersebut jika jarh itu beralasan. Namun jika jarh tidak beralasan atau tidak
dijelaskan sebab sebab jarh maka ta’dil lebih diutamakan.
4. ( إذا كان الجارح ضعيفا فال يقبل جرحه للثقةApabīla kritikus yang
mengemukakan ketercelaan adalah orang yang tergolong
dha’if, maka kritikannya terhadap orang yang tsiqāh tidak
diterima). Maksudnya ialah apabīla yang mengkritik adalah
orang yang tidak tsiqāh, sedangkan yang dikritik adalah orang
yang tsiqāh,maka kritikan orang yang tidak tsiqāh tersebut
harus ditolak.
Alasannya adalah karena orang yang bersifat tsiqāh dikenal lebih berhati-hati dan lebih cermat
daripada orang yang bersifat tidak tsiqāh. Pendukung teori ini adalah jumhur ulama ahli kritik hadits.
[43]
Alasannya adalah suatu kritikan harus jelas sasarannya. Dalam mengkritik pribadi seseorang maka
orang yang dikritik haruslah jelas dan terhindar dari keragu-raguan atau kekacauan. Pendukung teori
ini adalah jumhur ulama ahli kritik hadits.[44]
Alasannya adalah pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian
yang tidak jujur. Kritikus yang bermusuhan dalam masalah dunia dengan periwayat yang dikritik
dengan celaan dapat berlaku tidak jujur karena didorong oleh rasa kebencian. [45]
Adapun kitab-kitab yang diperlukan dalam membantu melakukan kritik sanad hadits adalah :
1. Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para sahabat Nabi, seperti : al-isti’ab
fi ma’rifati al-ashhabī, Usud al gabati fi ma’rifati as-shahabat, al-Ishabatu fi tamyizi
shahabat.
2. Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para periwayat hadits yang disusun
berdasarkan tingkatan para periwayat dilihat dari segi tertentu, seperti kitab ath-
thabaqatu al-kubra, kitab at tadzkirati al-hufazh.
3. Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadits secara umum, seperti kitab at-
tarikhu al-kabīr dan al-jarh wa at-ta’dil
ب َح َّد َث َنا اِسْ مَاعِ ْي ُل بْنُ َجعْ َف ٍر َقا َل َ ْن َجعْ َف ٍر َقا َل ابْنُ اَي ُّْو ِ ب َو ُق َت ْي َب ُة بْنُ َس ِع ْي ٍد َو َعلِىُّ بْنُ حُجْ ٍر َج ِميْعً ا َعنْ اِسْ مَاعِ ْي َل ب َ َح َّد َث َنا َيحْ َيى بْنُ َاي ُّْو
ْ ُ َ
ث َرضِ َي ِ ار َ
ِ ب َعنْ أ ِبيْ أ َما َمة ال َح 1ٍ ْْن َكع ِ ب ال َّسلمِىِّ َعنْ اَ ِخ ْي ِه َع ْب ِد
ِ هللا ب َ ِ ْْن َكع ِ اَ ْخ َب َر َنا ْال َعاَل ُء َوه َُو ابْنُ َع ْب ِد الرَّ حْ َم ِن َم ْولى الحُرْ َق ِة َعنْ َمعْ َب ِد ب
ْ َ
َف َقا َل لَ ُه, ار َو َحرَّ َم َعلَ ْي ِه ْال َج َّن َةَ ب هللاُ َل ُه ال َّن َ َم ِن ا ْق َت َط َع َح َّق امْ ِرى ٍء مُسْ ل ٍِم ِب َي ِم ْي ِن ِه َف َق ْد أَ ْو َج: صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل
َ هللا ِ هللاُ َع ْن ُه أَنَّ َرس ُْو َل
]47[.) ( رواه مسلم. ٍان قضِ ْيبًا مِنْ أ َراك َ َ َ
َ َوإِنْ ك: هللا ؟ قا َل َ ِ ارس ُْو َل ً َ
َ ان شيْأ يَسِ يْرً ا َي َ
َ َوإِنْ ك: َر ُج ٌل
Artinya :
“Yahya bin Ayyub, Quthaibah bin Sa’id, dan ‘Alī bin Hujr semuanya telah memberitakan kepada kami
dari Isma’īl bin Ja’far. Ibnu Ayyub berkata: Telah memberitahukan kepada kami Isma’īl bin Ja’far
katanya: telah memberikan khabar kepada kami Al-‘Ala yaitu Ibnu Abdurrahman maula Al-Hurqah
dari Ma’bad bin Ka’ab As-Salami dari saudaranya yaitu Abdullah bin Ka’ab dari Abū Umamah Al-
Harits r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang mengambil hak orang muslim
dengan sumpahnya, maka Allah telah mewajibkan baginya api neraka dan Dia mengharamkan
baginya surga”. Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW., “Walaupun hanya sedikit, wahai
Rasulullah ? “Beliau menjawab, “Walaupun hanya setangkai daun pohon duri”. (HR. Muslim).
Yahya bin Ayyūb, nama lengkap beliau adalah Yahya bin Ayyub Al-Maqabīri Abū Zakaria al-Ghadadi
al-Abīd. Dilahirkan pada tahun157 H dan wafat pada tanggal 2 Rabī’ul Awwal 234 H. Guru-guru
beliau adalah Isma’īl bin Ja’far, Abdullah bin Mubarak, Hasyim, marwan bin Muawiyah, Ibn Wahab,
dan lain-lain. Sedangkan murid-murid beliau adalah Imam Muslimi, Abū Daud, Imam Bukhari, Imam
Nasā’i, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain. Ibnu Syu’aib Al-Hirany mengatakan
bahwasanya Yahya bin Ayyub adalah seorang hamba pilihan Allah SWT. Imam Husein bin Fahmi juga
mengatakan bahwa Ibnu Yahya bin Ayyub adalah orang yang tsiqāh (kuat), wara’, muslim yang baik,
berkata-kata sesuai dengan sunnah.[48]
Qutaibah bin Sa’id, Nama lengkap beliau adalah Qutaibah bin Sa’id bin Jamil bin Tharif bin Abdullah
Ats-Tsaqafy. Ibnu Adi mengatakan: nama beliau adalah Yahya, sedangkan Qutaibah adalah gelar.
Sedangkan Ibnu mundah mengatakan : nama beliau adalah Alī. Guru-guru beliau adalah : Malik, Al-
Laits, Rasyidin bin Sa’ad, Isma’īl bin Ja’far, Isma’īl bin ‘Alīyah, ibnu Dhamrah, Ibnu Usamah, Marwan
bin Mu’awiyah, dan lain-lain.Murid-murid beliau adalah: Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abū
Daud, Imam Nasā’i, Imam TarmidziAhmad bin Sa’ad Ad-Darimy, Abū Bakar bin Syaibah, dan lain-lain.
Ibnu Mu’ayyan, Abū Hatim, dan Imam Nasā’i mengatakan bahwa Qutaibah adalah orang yang tsiqāh
(kuat). Imam Nasā’i menambahkan, beliau juga dalah orang yang shuduq (dapat dipercaya).
Farhiyany mengatakan : Qutaibah adalah orang yang dapat dipercaya. Al-hakim juga berpendapat:
Qutaibah adalah orang yang tsiqātun ma’mun (kuat lagi amanah).[49]
Alī bin Hujrin, Nama lengkap beliau adalah Alī bin Hujrin bin Iyas bin Maqatil bin Makhadis bin
Masymarakh bin Khalid As-Sa’dy Abū Al-Husein Al-Maruzy. Guru-guru beliau adalah : ayah beliau
sendiri, ma’ruf al-Khiyath temannya Watsilah, Halaf bin KhAlīfah, Isma’īl bin Ja’far, Isma’īl bin ‘Alīyah,
dan lain-lain. Murid-murid beliau adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tarmidzi, Imam Nasā’i,
Muhammad bin Alī bin Hamzah, dan lain-lain. Muhammad bin Alī bin Hamzah mengatakan bahwa Alī
bin hujrin adalah fhadilan, hafizhan (orang yang mulia dan kuat hafalan). Imam Nasā’i mengatakan
behawa Alī bin Hujrin adalah orang yang tsiqātun ma’mun hafizhan (kuat dan amanah lagi kuat
hafalan). Al-Khathib mengatakan beliau adalah oranga yang dapat dipercaya, takwa, kuat hafalan,
dan hadits beliau terkenal di Meru.[50]
Isma’īl bin Ja’far, Nama lengkap beliau adalah Isma’īl bin Ja’far bin Ibn Katsir Al-Anshary Az-Zarqy
Maula Abū Ishaq Al-Fary. Guru-guru beliau adalah abī Thawalah, Abdullah bin Dinar, Rabī’ah, Ja’far
Shadiq, Israil bin Yunus, Amru bin Abī Amru, ‘Ala Ibn Abdurrahman, Muhammad bin Amru bin Abī
Halhamlah, dan lain-lain. Murid-murid beliau adalah Muhammad bin Jahdam, Yahya bin Yahya An-
NisAbūri, Sarih ibn Nu’man, Qutaibah bin Zanbur, Yahya bin Ayyub Al-Maqabīry, Alī bin Hujrin, dan
lainnya. Ahmad, Abū Zar’ah dan Imam Nasā’i mengatakan bahwa Isma’īl bin Ja’far adalah orang yang
tsiqāh (kuat). Ibnu Mu’ayyan dan Ibn Sa’ad mengatakan bahwa Isma’īl bin Ja’far adalah tsiqāh.[51]
Ibnu Abdurrahman (Abū Al’Ala), penulis belum dapat menemukan biografi beliau.
Ma’bad bin Ka’ab As-Salami. Nama lengkap beliau adalah Ma’bad bin Ka’ab bin Malik Al-Anshari As-
Salamy Al-Madani. Guru-guru beliau seperti Ibnu Qatadah, Jabīr, saudara-saudara beliau yaitu
Abdullah bin Ka’ab dan Ubaidullah bin Ka’ab. Murid-murid beliau seperti Wahab bin Kisan,
Muhammad bin Amru bin Halhalah, ‘Ala bin Abdurrahman, Walid bin Katsir, Ibnu Ishaq, Usamah bin
Zaid Al-Laits, Isa bin Muawiyah, dan lain-lain.[52]
Abdullah bin Ka’ab, Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Ka’ab bin Malik Al-Anshari As-Salamy
Al-Madani. Guru-guru beliau adalah Abī Ayyub, Abī Lubabah, Abī Umamah bin Tsa’labah, Utsmān bin
Affān, Ibnu Abbas, Jabīr, dan lainnya. Sedangkan murid-murid beliau adalah anak beliau sendiri yaitu
Abdurrahman, saudara-saudara beliau seperti Abdurrahman, Ma’bad bin Ka’ab, Zuhri bin Ibrahim,
Abdullah bin Abī Umāmah bin Tsa’labah, dan lannya. Pendapat para ulama tentang beliau, seperti
Abū Zar’ah mengatakan bahwa beliau orang yang tsiqāh, Ibnu Sa’ad mendengar dari Utsmān bahwa
Abdullah bin Ka’ab adalah orang yang tsiqāh.[53]
Abū Umamah, Nama lengkap beliau adalah Abū Umamah Iyas bin Tsa’labah bin Al-Harits Al-Anshari
Al-Khajraji. Dia tidak menyaksikan Perang badar karena orang tuanya terkena sakit dan telah
mendapat izin dari Rasulullah SAW untuk tidak mengikuti Perang Badar tersebut. Abū Umamah
adalah seorang sahabat yang memiliki banyak hadits. Di antara murid-muridnya adalah Muhammad
bin Zaid bin Al-Muhajir dan anaknya Abdullah bin Umamah.
Imam Muslim. Nama lengkapnya: Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi Abūl Husain an-
NaisAbūri. Wafat: 261 H. Guru-gurunya antara lain: Zuhair bin Harb, Ibn Abī Syaibah, Ahmad bin
Yunus, Ismail bin Uwais, Daud bin Amru. Murid-muridnya antara lain: Ahmad bin salamah, Ibrahim
bin Abū Thalib, Abū Amru al-Kharaf. Derajatnya: Menurut Abī Hitam: Tsiqāh, al-Jarudi berkata: Ia
sangat banyak mengetahui hadis. Ibn Qasim: Tsiqāh.
Dr. Syuhudi Isma’īl mengungkapkan langkah-langkah dalam kegiatan penelitian matan hadits adalah
sebagai berikut :
Kualitas sanad dan matan suatu hadits cukup bervariasi, ada yang sanadnya shahih tetapi matannya
dha’if, atau sebalīknya sanadnya dha’if tetapi matannya shahih, begitu pula ada yang sanad dan
matannya berkualitas sama yakni sama-sama shahih atau sama-sama dha’if.
Menurut ulama hadits suatu hadits dikatakan berkualitas shahih (dalam hal ini shahih li zatih) apabīla
sanad dan matannya sama-sama berkualitas shahih.
Unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang berkualitas shahih adalah sebagai berikut :
Menurut al-Khātib al-Bagdādi (w. 463 H / 1072 M), suatu matan hadits barulah dapat dinyatakan
sebagai maqbul (diterima) apabīla :
4. Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa
lalu (ulama salaf)
Menurut jumhur ulama hadits tanda-tanda matan hadits yang palsu itu adalah :
1. Susunan bahasanya rancu. Rasulullah SAW yang sangat fasih dalam berbahasa
Arab dan memiliki gaya bahasa yang khas mustahil menyabdakan pernyataan yang
rancu tersebut.
2. Kandungan pernyataannya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit
diinterprestasikan secara rasional. Contohnya :
Kemudian apabīla suatu hadits memenuhi persyaratan di muka, maka bisa dikategorikan sebagai
hadits yang shahih al matan. Setelah suatu hadits melewati 2 pos sensor yaitu sensor aspek sanad
dan sensor aspek matan, maka nilai hadits tersebut tidak akan lepas dari 4 kemungkinan :
1. Sanad dan matan hadits bernilai shahih, sehingga hadits tersebut masuk dalam
kelompok hadits shahih.
2. Sanad dan matan hadits tidak shahih, sehingga hadits tersebut masuk dalam
kelompok hadits ghair ash-shahih.
4. Sananya shahih, sedangkan matannya tidak shahih, versi ini juga masuk dalam
kelompok hadits ghair ash-shahih.[57]
Salahud-Din al-Adlabi menyimpulkan bahwa tolak ukur untuk penelitian matan ada 4 macam, yakni :
3. Latar belakang timbulnya petunjuk hadits tidak selalu mudah dapat diketahui
Oleh karena penelitian matan hadits tidaklah mudah, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
oleh seorang yang akan meneliti matan hadits tersebut, yaitu :
4. Memiliki akal yang cerdas sehingga mampu memahami pengetahuan secara benar
Adapun masalah yang sering di hadapi dalam kegiatan kritik matan adalah masalah metodologis
dalam penerapan tolak ukur kaidah kritik matan terhadap matan yang sedang diteliti. Hal itu
disebabkan oleh butir-butir tolak ukur yang memiliki banyak segi yang dilihat. Sering pula peneliti
menghadapi matan-matan hadits yang ditelitinya tampak bertentangan. Dalam hal ini perlu
kecermatan dan keahlian dalam menggunakan metode-metode kritik matan hadits.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa pengetahuan-pengetahuan tentang asbabu al wurud hadits,
mukhtalaf al hadits, sosiologi, antropologi, dan lain-lain perlu dimiliki oleh peneliti matan hadits.[61]
Salah satu penyebab terjadinya perbedaan lafal matan hadits yang semakna adalah karena dalam
periwayatan hadits telah terjadi periwayatan secara makna. Misalnya hadits tentang perdamaian :
ب أَ ْخ َب َرنِى ُسلَ ْي َمانُ بْنُ ِباَل ٍل ح َوأَ ْخ َب َر َنا أَحْ َم ُد بْنُ َع ْب ِد ْال َوا ِح ِد ال ِّد َم ْشقِىُّ َأ ْخ َب َر َنا َمرْ َوانُ َيعْ نِى
ٍ َْح َّد َث َنا ُسلَ ْي َمانُ بْنُ دَ اوُ دَ ْال َمه ِْرىُّ أَ ْن َبأ َ َنا ابْنُ َوه
َ َ َ
قا َل: ْن َربَّاح َعنْ أ ِبي ه َُري َْر َة قا َل ْ َ
ِ ْن ز ْي ٍد َعنْ ال َولِ ْي ِد ب َ
ِ ْخ َعنْ ك ِثي ِْر ب َّ ُّ ِابْنُ م َُح َّم ٍد أَ ْخ َب َر َنا ُسلَ ْي َمانُ بْنُ ِباَل ٍل أَ ْو َع ْب ُد ْال َع ِزي ِْز بْنُ م َُح َّم ٍد ش
َ
ِ ك الشي
الَص ُّْل ُح َجا ِئ ٌز َبي َْن ْالمُسْ لِ ِمي َْن: صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َمَ هللا ِ رس ُْو ُل. َ
أَ َح َّل َح َرامًا أو َحرَّ َم َحاَل اًل, إِاَّل ص ُْلحً ا َحرَّ َم َحاَل اًل أَ ْو أَ َح َّل َح َرامًا: زاد أحمد.
ُ ْالمُسْ لِم ُْو َن َعلَى: وقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم: زاد سليمان ين داود
]63[.شر ُْوطِ ِهم
Artinya :
“Telah memberitahukan kepada kami Abū Bakar bin Abī Syaibah, telah memberitahukan kepada
kami Khalid bin Makhlad, telah memberitahukan kepada kami Katsir bin Abdullah bin Amru bin Auf
dari ayahnya dari kakeknya katanya: Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Perdamaian
(membuat kesepakatan) itu diperbolehkan di antara orang-orang muslim, kecuali perdamaian
(kesepakatan) untuk mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram.
(HR. Ibnu Majjah).
Ahmad menambahkan: kecuali perdamaian (kesepakatan) untuk mengharamkan sesuatu yang halal
atau menghalalkan sesuatu yang haram atau untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan
yang halal.
Sulaiman bin Daud menambahkan: Rasulullah SAW bersabda: Orang-orang muslim (dalam
perdamaian tersebut) bergantung pada syarat-syarat mereka.
Dengan adanya perbedaan lafal pada matan yang semakna itu, maka metode muqarranah ini sangat
penting untuk dilakukan, maka akan dapat diketahui apakah terjadinya perbedaan lafal pada matan
tersebut masih dapat ditoleransi atau tidak. Metode ini tidak hanya dimaksudkan untuk
mengkonformasi atas hasil penelitian yang telah ada saja melainkan sebagai upaya untuk lebih
mencermati susunan matan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan keorisinilannya berasal dari
Rasulullah SAW.
Ziyadah artinya tambahan. Ziyadah menurut ilmu hadits artinya tambahan lafal ataupun kAlīmat
(pernyataan) yang terdapat pada matan, tambahan itu dikemukakan oleh periwayat tertentu,
sedang periwayat tertentu lainnya tidak mengemukakannya.
b. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqāh yang isinya tidak bertentangan dengan
yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang bersifat tsiqāh juga; ziyadah tersebut
diterima. Kata al-Khatib al-Bagdadi pendapat tersebut merupakan kesepakatan ulama.
c. Ziyadah yang berasal dari periwayat yang tsiqāh berupa sebuah lafal yang mengandung
arti tertentu, sedang periwayat lainnya yang bersifat tsiqāh tidak mengemukakannya. Ibnus
salah tidak mengemukakan penjelasan tentang bagaimana kedudukan ziyadah model ketiga
ini.[64]
Setelah susunan lafal matan hadits tersebut diteliti, maka langkah selanjutnya adalah meneliti
kandungan matan. Untuk itu harus dikumpulkan hadits-hadits yang membahas tentang topik yang
sama yang akan diteliti kualitas matannya, maka perlu dilakukan takhrijul hadits bil maudhu’. Jika
ada matan lain yang bertopik sama, maka sanadnya harus diteliti terlebih dahulu, setelah itu apabīla
sanadnya sudah dinyatakan memenuhi syarat, maka kegiatan muqarranah ini dilakukan.
Jika kandungan matan hadits yang diperbandingkan sama, maka dapat dikatakan penelitian telah
berakhir. Tetapi dalam praktek kegiatan biasanya masih dialnjtkan dengan melihat syarah-syarah
hadits tersebut.
Jika kandungan matan yang diteliti sejalan juga dengan dalil-dalil yang lebih kuat, minimal tidak
bertentangan, maka dapat dikatakan penelitiantelah selesai.[65]
Sesungguhnya tidak mungkin hadits Nabi bertentangan dengan hadits Nabi yang lain dan dengan Al-
Qur’an, karena keduanya sama-sama datang dari Allah SWT. Namun pada kenyataanya ada sejumlah
hadits Nabi yang tampak bertentangan atau tidak sejalan, jika demikian pasti ada sesuatu yang
melatarbelakanginya. Dalam menyebut kandungan matan hadits yang tampak bertentangan itu,
ulama tidak sependapat. Sebagian ulama menyebutnya dengan istilah mukhtaliful hadits, sebagian
lagi menyebutnya mukhalafatul hadits, dan pada umumnya ulama menyebutnya dengan at-ta’arud.
Ulama sependapat bahwa hadits-hadits yang tampaknya bertentanga satu sama lain tersebut harus
diselesaikan sehingga hilanglah pertentangan itu.
Dalam hal ini asy-Syafi’i memberi gambaran bahwa mungkin saja matan hadits yang tampak
bertentangan itu mengandung petunjuk :
a. Matan yang satu bersifat global (mujmal) dan yang lain bersifat rinci (mufassar).
b. Mungkin yang satu bersifat umum (‘amm) dan yang lainnya bersifat khusus (khash)
c. Mungkin matan yang satu sebagai penghapus (an-nasikh) dan yang lain sebagai yang
dihapus (al-mansukh), atau;
Syihabud-Din Abūl Abbas Ahmad bin Idris al-Qarafi (w. 684 H) menempuh cara at tarjih ataupun al-
jam’u. At-Thahawani menempuh cara an nasakh wal mansukh, kemudian at tarjih. Salahud Din bin
Ahmad Al Adlabi menempuh cara al-Jam’u kemudian at tarjih. Muhammad Adib Salih menempuh
cara aljam’u, at tarjih, kemudia an nasikh wal mansukh. Ibnu Hajar al-Asqalani dan lain-lain
menempun 4 tahap yakni : al-jam’u, an nasikh wal mansukh, at tarjih, kemudian at tauqif (menunggu
sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menyelesaikannya atau menjernihkannya).
Dilihat dari cara-cara yang dikemukakan oleh para ulama di atas, cara Ibnu Hajar al Asqalani lebih
akomodatif. Dinyatakan demikian, karena dalam praktek penelitian matan, keempat tahap itu lebih
dapat memberikan alternatif yang lebih hati-hati dan relevan. Keempat tahap itu adalah :
c. At tarjih
d. At tauqif. Cara ini ditempuh peneliti apabīla ketiga cara sebelumnya tidak dapat
diselesaikan, dengan cara ini peneliti akan dapat terhindar dari keputusan yang salah.[67]
( رواه مسلم. وال تكتبوا عنى ومن كتب عتى غير القران فليمحه: عن أبى سعيد الخدري أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال
) والدارمى وأحمد
Artinya :
(hadits Riwayat) dari Abū Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: janganlah kamu tulis
(apa yang berasal) dariku dan barangsiapa yang telah menulis dariku selain Al-Qur’an, maka
hendaklah dia menghapusnya.[68]
Hadits di atas tampak bertentangan dengan hadits riwayat al-Bukhari, Muslim dan Abū Daud yang
berbunyi :
) ( رواه البخارى و مسلم و أبو داود. اكتبوا البى شاه: قال..... عن أبى هريرة عن النبي صلى هللا عليه وسلم
(hadits riwayat) dari Abū Hurairah, dari Nabi SAW…..beliau bersabda (kepada para sahabat):
tuliskanlah (khutbah saya tadi) untuk Abū Syah (yang telah minta untuk dituliskan tersebut).[69]
Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam tesis dan disertasinya mengemukakan pendapat, setelah
mengutip pendapat ulama, bahwa :
2. Tiga pendapat berikut ini dapat dihimpun sebagai pendapat yang benar, yakni :
a. Larangan berlaku bila penulisan hadits dijadikan satu catatan dengan penulisan
Al-Qur’an
b. Mungkin larangan berlaku untuk menulis hadits dalam satu himpunan pada masa
awal Islam sebab dikhawatirkan umat Islam terganggu untuk menghafal dan
mencatat al-Qur’an, sedang untuk mempelajari hadits, para sahabat dapat langsung
menyaksikan dan mengikuti Rasulullah SAW. Pada masa itu, kepada orang yang tidak
dikhawatirkan mencampuradukkan catatan al-Qur’an dan Hadits, misalnya Abdullah
bin ‘Amr, ditoleransi untuk mencatat hadits. Demikian pula kepada orang yang
lemah hafalannya, dia diperbolehkan untuk mencatat hadits.
c. Tatkala umat Islam telah mampu memelihara hafalan dan bacaan al-Qur’an,
maka larangan penulisan hadits dihapus (mansukh) dan secara umum menulis hadits
dibolehkan.[70]
D. PENUTUP / KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah diuraikan terdahulu, ada beberapa hal yang dapat diambil menjadi
sebuah kesimpulan :
1) Sanad bersambung.
2. Unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang berkualitas shahih
adalah sebagai berikut :
DAFTAR PUSTAKA
‘Ash, Muhammad Fuad ‘Abdul, 1955, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfazhil Al-Hadits An-Nabawi ‘An Al-
Kitab As-Sittah Wa ‘An Musnad Ad-Darimi Wa Muwaththa Malik Wa Musnad Ahmad Bin Hanbal,
Lidan: Barbil.
‘Asqalani, Ahmad bin Alī bin Hajar al-, 1325 H, Tahzib at Tahzib, India: Majlis Da’irat al-Ma’arif an-
Nizamiyyah. Juz II dan Juz XII
____________________________, 1998, Bulugul Maram Min Adillatil Ahkam, Beirut: Darul Fikri.
‘Asqalani, Al-Hafizh Syihabuddin bin Alī bin Hajar Al’- , 1325, Tahdzibut Tahdzib, Hindi: Darul Ma’arif.
Jilid : 1. Dan Juz 6
Abadi, Al-‘Alamah Ibnu Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-‘Azhim, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abī
Daud Fi Bab ‘Ilmi, Beirut: Darul Fikri, Jilid 9.
Bagdadi, Abū Bakr Ahmad bin Alī Sabīt al-Khatib al-, 1972, Kitab al Kifayah fi Ilmir Riwayah, Mesir:
Matba’ah as-Sa’adah.
http://ikhwan-interaktif.com/islam/?pilih=news&aksi=lihat&id=2525
Husain, Abū Lubabah, 1399 H / 1979 M, al-Jarh wa Ta’dil, Riad: Dar al Liwa
Ibn as Salah, Abū ‘Amr Usman bin Abdirrahman, 1972, Ulum al-Hadits, (naskah diteliti oleh Nurud-
Din “itr, al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah.
Ilyas, Yunahar, Drs, Lc, dkk, 1996, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadits, Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta: LPPI, Cet. 1
Isma’īl, H. M. Syuhudi, Prof. Dr, 1992, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang.
_______________________, 1995, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Sejarah¸Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Nisaburi, Imam Abū Al-Husin Muslim Bin Al-Hajjaj Ibnu Muslim Al-Qusyairi An-, Al-Jami’u Al-Shahih,
Beirut: Darul Fikri, Juz: 1.
Poerwadarminta, W.J.S, 1985, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet ke-8.
Qazawaini, Al-Hafizh Abī Abdillah Muhammad Bin Mazid Al-, Sunan Ibnu Majjah Fi Kitab Ahkam Bab
Shulhu, Juz : 1
Salīh, Subhi as-, 1977, ‘Ulum al-Hadits wa Mustalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin.
Sayuti, Jalalud-Din ‘Abdurrahman bin Abī Bakr as-, 1979, Tadrib ar Rawi fi Syarh Taqrib an Nawawi,
Beirut: Dar Ihya as-Sunnah an-Nabawiyyah.Juz I
Shalīh, Subhiy al-, 1977, Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-malayin. Cet IX.
Shan’ani, Imam Muhammad bin Isma’īl Amir Yaman Ash-, 1995, Subulus salam Syarh Bulugul Maram
Min Jami’ Adillatil Ahkam Jilid 4, Beirut: Darul Fikri
Suparta, Munzier, Drs, MA, 2008, Ilmu Hadits,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suyuti, As-, 1979, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an Nawawi, Beirut: Dar Ihya’ as-Sunnah an-
Nabawiyah. Juz II.
Yaqub, Ali Mustafa, Prof, KH, MA, 2008, Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus.
[1]M. Syuhudi Isma’īl, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 51
[2]Mahmud Thahan, Taisir Mushthalahul hadits, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t), h. 115
[3]Ibid, Lihat Ibn as Salah, Abū ‘Amr Usman bin Abdirrahman,Ulum al-Hadits, (naskah diteliti oleh
Nurud-Din “itr (al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972 M), h. 74 – 75.
[4]Muttabī adalah disebut juga tabī jamak dengan tawabī yang artinya periwayat yang berstatus
pendukung pada periwayat yang bukan sahabat Nabi. Sedangkan syāhid jamaknya syawahid yang
artinya periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat Nabi.
[5]Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushulul al-Hadits, (Beirut: Dar al Fikr, 1989 M/1409 H), h. 304
[6]M. Syuhudi Isma’īl, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Sejarah¸(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), h. 126
[7]Subhiy al-Shalīh, Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-malayin, 1977), cet IX,
h. 145
[8]Dr. H.M. Syuhudi Isma’īl dalam buku Yunahar Ilyas dkk, Pengembangan Pemikiran Terhadap
Hadits, (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta: LPPI, 1996),Cet. 1, h. 7
[10]Ibid, h. 105
[11]Ibid, h. 83 lihat : M. Syuhudi Isma’īl, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan
Pemalsunya¸(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 77
[14]Ibid
[15]Ibid, h. 62 – 63
[16] Ahmad bin Alī bin Hajar al-‘Asqalani, Tahzib at Tahzib, (India: Majlis Da’irat al-Ma’arif an-
Nizamiyyah, 1325 H), Juz II, h. 402 – 406 dan Juz XII, h. 288
[17] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), Cet ke-
8, h. 16
[18]Dr. H.M. Syuhudi Isma’īl, Kriteria Hadits Shahih dalam buku Yunahar Ilyas dkk, Pengembangan
Pemikiran Terhadap Hadits¸Loc. Cit
[19] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Op.cit, h. 227 – 232. As-Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi
Syarh Taqrib an Nawawi, (Beirut: Dar Ihya’ as-Sunnah an-Nabawiyah, 1979 M), Juz II, h. 4 – 7.
[20]Dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abū Daud dan Hakim dari Umar dan Alī r.a, dan lebih banyak dari
jalan lain yaitu dari Sayyidah Aisyah r.a. lihat Fathul al-Kubra, Juz II, h. 135
[21]M. Syuhudi Isma’īl, Kaedah Kesahihan Sanad hadits…Op. Cit, h. 116 – 118.
[23]At-Thahan, Taisir Mushtalahul Hadits, Op.Cit, h. 87 – 91, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-
Hadits, Op. Cit, h. 433, Abū Lubabah Husain, al-Jarh wa Ta’dil, (Riad: Dar al Liwa, 1399 H / 1979 M), h.
133 – 134
[24]M. Syuhudi Isma’īl, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, ….Op. Cit, h. 134
[25]Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 131 – 132 .
[26]Al-Fayumi, Ahmad bin Muhammad, al-Misbah al-Munir fi Gharib asy-Syarh al-Kabīr li ar-Rafi’I,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1398 H / 1978 M), Juz II, h. 420 – 421 dalam Syuhudi Isma’īl,
Metodologi Penelitian hadits Nabi, Op. Cit, h. 69
[27]M. Syuhudi Isma’īl, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits ….Op. Cit, h. 122
[28]Subhi as-Salih, ‘Ulum al-Hadits wa Mustalahuhu, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1977 M), h.
156.
[29]M. Ajjaj al-Khatib, Op. Cit, h. 232. Lihat juga: K.H. Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008), h. 126
[31]Ahmad bin Alī bin Hajar al-‘Asqalani, Nuzhatun Nazar Syarh Nukhbah al-Fikr, (Semarang:
Maktabah al-Munawwar, t.th), h. 20
[32]Jalalud-Din ‘Abdurrahman bin Abī Bakr as Suyuti, Tadrib ar Rawi fi Syarh Taqrib an Nawawi,
(Beirut: Dar Ihya as-Sunnah an-Nabawiyyah, 1979 M), Juz I, h. 233
[34]Ibn as-Salah, Op. Cit, h. 82, as-Suyuti, Op. Cit, Juz II, h. 253
[38]Ibid.
[41]http://ikhwan-interaktif.com/islam/?pilih=news&aksi=lihat&id=2525
[43]Ibid, h. 80
[44] Ibid
[45] Ibid
[46]Ibid, h. 89 – 97
[47] Al-Hafidz Ibn Hajar Al-‘Asqalani, Bulugul Maram Min Adillatil Ahkam, Beirut: Darul Fikri. 1998.
Hal. 247. Lihat : Imam Muhammad bin Isma’īl Amir Yaman Ash Shan’ani, Subulus salam Syarh
Bulugul Maram Min Jami’ Adillatil Ahkam Jilid 4, Beirut: Darul Fikri, 1995. Hal. 133. Lihat: Imam Abū
Al-Husin Muslim Bin Al-Hajjaj Ibnu Muslim Al-Qusyairi An-Nisaburi, Al-Jami’u Al-Shahih Fi Bab Al-
Yamin ‘Ala Al-Mudda’i ‘Alaih, Beirut: Darul Fikri, Juz: 1, Hal. 85.Lihat: Muhammad Fuad ‘Abdul ‘Ash,
Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfazhil Al-Hadits An-Nabawi ‘An Al-Kitab As-Sittah Wa ‘An Musnad Ad-
Darimi Wa Muwaththa Malik Wa Musnad Ahmad Bin Hanbal, Lidan: Barbil, 1955, Juz: 5, hal: 430
[48] Al-Hafizh Syihabuddin bin Alī bin Hajar Al’Asqalani, Tahdzibut Tahdzib, (Hindi: Darul Ma’arif,
1325 H), Jilid : 1,h. 188.
[49] Al-Hafizh Syihabuddin bin Alī bin Hajar Al’Asqalani, Tahdzibut Tahdzib, (Beirut: Darul Fikr, 1995 /
1415 H) Juz: 6. Hal. 488-489.
[50] Al-‘Asqalani, (Hindi: Darul Ma’arif) op.cit. Jilid 9. Hal. 293 – 294.
[55]Abū Bakr Ahmad bin Alī Sabīt al-Khatib al-Bagdadi, Kitab al Kifayah fi Ilmir Riwayah, (Mesir:
Matba’ah as-Sa’adah, 1972), h. 206 – 207
[56]Salahud-Din bin Ahmad al-Adlabī, Manhaj Naqil Matn, (Beirut : Dar al-Afaq al-Jadidah, 1403 H /
1983 M), h. 237 – 238 dalam M. Syuhudi Isma’īl, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Op. Cit, h. 128
[57]“Kriteria Hadits Shahih: Kritik Sanad dan Matan” oleh Prof. Drs. Husien Yususf dalam Yunahar
Ilyas, dkk, Op. Cit, h. 36-37.
[58]Ibid, h. 129
[59]Ibid, h. 130
[60]Ibid,
[62] Al-Hafizh Abī Abdillah Muhammad Bin Mazid Al-Qazawaini, Sunan Ibnu Majjah Fi Kitab Ahkam
Bab Shulhu, Juz : 1 Hal. 740. Muhammad Fuad ‘Abdul ‘Ash, Op. Cit, Juz: 3, hal: 341.
[63]Al-‘Alamah Ibnu Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud
Syarh Sunan Abī Daud Fi Bab ‘Ilmi, Jilid : 9, hal: 515 – 516, Beirut: Darul Fikri.
[65]M. Syuhudi Isma’īl, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Op. Cit, h. 141
[68]Shahih Muslim, Juz IV, h. 2298 – 2299, Sunan Ad darimi, Juz I, h. 19, Musnad Ahmad, Juz II, h.
238, dan Juz III, h. 12, 21 dan 39
[69]Ibid (Shahih Muslim, Juz II, h. 988 – 989); shahih al-Bukhari, Juz II, h. 64; Juz I, h. 32; Juz IV, h. 88;
Sunan Abū Daud, Juz I, h. 172
[70]Lihat: Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabla Tadwin, (Beirut: dar al-Fikr, 1414 H / 1993
M), h. 306 – 308
Artikel lainnya :
Kembali