Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH KELOMPOK

“UNSUR-UNSUR POKOK DALAM HADIS”

OLEH,

IKHSAN NAWIR

SAVIRAYANI

KELAS 2 F (T12)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALOPO
2019
UNSUR-UNSUR POKOK DALAM HADIS
Seorang yang tidak melihat dengan mata kepala sendiri suatu peristiwa
masih dapat mengetahuinya melalui pemberitaan. Persoalannya, tidak semua
pemberitaan itu benar. Ada pemberitaan yang bias, atau sengaja di buat keliru.
Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk melakukan klarifikasi atas berita-berita
yang di terima agar tidak keliru dalam menilai suatu peristiwa di masa lalu.

Kebenaran suatu berita sangat di tentukan oleh kualitas pewarta, yang


darinya suatu berita diterima. Jika pewarta bertingkat-tingkat, maka pewarta
terakhir harus mampu menunjukan kesinambungan urutan pewarta sebelumnya
sampai kepewarta-pewarta pertama, yang mengantarkan berita tersebut hingga
sampai kepada dirinya. Demikian halnya dengan hadis Nabi SAW. Untuk
menerima hadis dari Nabi Muhammad unsur-unsur tersebut, yakni pewarta (rawi),
materi berita (matnul hadis) dan sandaran berita (sanad). Satupun tidak dapat
ditinggalkan.

A. RAWI

1. Ta’rif Rawi

Rawi adalah orang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa
yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (guru). Bentuk jamaknya
ruwah dan perbuatannya menyampaikan hadis tersebut dinamakan me-rawi
(meriwayatkan hadis). Seorang penyusun atau pengarang, bila hendak
menguatkan suatu hadis yang ditakhrijkan dari suatu kitab hadis pada
umumnya membubuhkan nama rawi (terakhirnya) yakni salah satunya Imam
Muslim, Imam Bukhari, Abu Daud, Ibnu Mazah, dan lain sebagainya, pada
akhir matnul hadis. Ini berarti bahwa rawi yang terkhir bagi kita semisal
Bukhari dan Muslim, kendatipun jarak kita dan beliau sangat jauh dan tidak
segenerasi, namun demikian kita dapat menemui dan menguji kitab beliau,
yang hal ini merupakan sanad yang kuat bagi kita bersama.2
2. Sistem Para Penyusun Kitab Hadis dalam Menyebutkan Nama Rawi yang
Terakhir

Untuk menghemat mencantumkan nama-nama rawi yang banyak


jumlahnya, penyusun kitab hadis, biasanya tidak mencantumkan nama-nama
para perawi secara keseluruhan, melainkan hanya merumuskan dengan
bilangan yang menunjukan banyak atau sedikitnya rawi hadis pada akhir
matnul hadisnya. Misalnya rumusan yang di ciptakan oleh Ibnu Isma’il as-
Shan’any dalam kitab Subulus-Salam 3 ada 8 diantaranya :

a. Akhrajahus-Sab’ah: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu


Dawud, Turmidzi, An-Nasa’iy, dan Ibnu Majah.
b. Akhrajahus-Sittah: diriwayatkan oleh enam rawi, yakni tujuh rawi diatas
kecuali Imam Ahmad.
c. Akhrajahul-Khamsah: diriwayatkan oleh lima orang rawi, yakni tujuh rawi
diatas, di kurangi Buklhari dan Muslim. Rumusan ini dapat diganti dengan
istilah Akhrajahul-Arba’ah wa Ahmad.
d. Akhrajahul-Arba’ah: Ashabus-Sunan yang empat yakni Abu Dawud, At-
Turmidzi, An-Nasa’iy, dan Ibnu Majah.
e. Akhrajus-Tsalatsah: diriwayatkan oleh tiga orang rawi yakni Abu Dawud,
At-Turmidzi, dan An-Nasa’iy.
f. Akhrajahus-Syaikhain: diriwayatkan dua imam hadis yakni Bukhari dan
Muslim.
g. Akhrajahul-Jama’ah: diriwayatkan oleh rawi-rawi hadis yang banyak
jumlahnya.
h. Muttafakun ‘Alaih: diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Imam Ahmad
(rumusan yang diciptakan oleh Mansur Ali Nashif).

3. Bentuk dan Sistem Para Muhadditsin dalam Menyusun Kitab Hadis

Dalam menghimpun dan menyusun kitab-kitab hadis para muhaditsin


menggunakan tiga bentuk:
a. Takhrij
Istilah takhrij dalam penggunaan fi’il Madlinya memakai kata
akhraja yang mempunyai tiga pengertian yakni:
1) Suatu usaha menjadi sanad hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis
karya orang lain menyimpang dari pada sanad hadis karya orang lain tersebut.
Usaha mukharrij (orang yang mentakhrijkan) tersebut di himpun dalam sebuah
kitab, dn kitab yang demikian inilah yang disebut Mustakhraj misalnya:
Mustakhraj Abu Nu’aim adalah salah satu kitab takhrij hadis soheh Bukhari,
dan takhrij Ahman bin Hamdan adalah salah satu dari
kitab mustakhraj soheh Muslim.
2) Suatu penjelasan dari penyusun hadis bahwa hadis yang dinukilnya terdapat
dalam kitab hadis yang telah disebut nama penyusunnya. Misalnya apabila
pada nuklin hadisnya menggunakan istilah akhrajahul Bukhari, hadis itu
dinukil dari kitab Sohih Bukhari.
3) Suatu istilah penyusun hadis untuk mencari derajat, sanad, dan rawi hadis
yang diterangkan oleh pengarang suatu kitab.
b. Tashnif
Tashnif ialah usaha menhimpun/menyusun beberapa hadits ( kitab hadits )
dengan membubuhi keterangan mengenai arti kalimat yang sulit-sulit dan
memberikan interpretasi sekedarnya . Kalau dalam memberikan interpretasi itu
dengan jalan memberikan dan menjelaskan dengan hadits lain, dengan ayat-
ayat Al-Qur’an atau ilmu-ilmu yang lain, maka usaha semacam ini disebut
men-syarah kan,  misalnya: shahihu’l Bukhary  Bi Syahri’l Kirmany, oleh
Muhammad Ad Ibn Yusuf Al-Kirmany.
c. Ikhtishar
Ikhtishar ialah suatu usaha untuk meringkaskan kitab-kitab Hadits. Yang
diringkas biasanya ialah sanadnya dan hadits-hadits yang telah berulang-ulang
disebutkan oleh pengarang semula, tidak perlu ditulis kembali.Diantara
mukhtasharShahih Bukhary ialah kitab Mukhtasharul Bukhary, karya Abul
Abbas Al-Qurtuby.Perbedaan antara kitab Mustakhraj dan Mukhtashar ialah
Kitab Mushtakhraj itu tidak perlu adanya persesuaian lafadh dengan kitab yang
di takhrijkan bahkan kadang ditemui adanya perbedaan lafadh dan perubahan
yang sangat menonjol, sehingga mengakibatkan perbedaan arti.

4. Gelar Rawi Hadits

Para imam ahli hadits mendapat berbagai gelar sesuai keahlian dibidang
ilmu hadits yang dimilikinya, termasuk kemampuannya menghafal ribuan
hadits. Gelar yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Amirul Mukminin fil Hadits
Gelar ini diberikan kepda khalifah setelah khalifah Abu Bakar As-Shidiq.
Mereka yang memperoleh gelar ini antara lain Syu’bah Ibnu al-Halaj, Sofyan
ats-Tsauri, Ishak Ibnu Rahawaih, Ahmad Ibnu Hambal, Bukhari ad-Daruqutni,
dan Muslim.
b. Al-Hakim
Yaitu gelar keahlian bagi imam-imam hadits yang menguasai seluruh hadits
yang marwiyah (diriwayatkan), baik matan, maupun sanadnya dan mengetahui
ta’dil (terpuji) dan tajrih (tercela)-nya rawi-rawi. Setiap rawi di ketahui sejarah
hidupnya, perjalanannya, guru-guru, dan sifat-sifatnya yang dapat duterima
maupun di tolak. Beliau harus dapat menghafal hadits lebih dari 300.000 hadits
beserta sanadnya.4 Yang dapat belar ini antara lain Imam Syafi’i dan Imam
Malik.
c. Al-Hujjah
Yaitu gelar para imam ahli hadits yang mampu menghafal 300.000 hadits baik
matan, sanad, maupun ikhwal biografi para perawinya termasuk tentang
keadilan dan cacat yang dimilikinya. Diantara mereka adalah Hisyam bion
Urwah (wafat 146 H), Muhamad bin al-Walid (wafat 149 H) dan Muhamad
Abdullah bin Amr (wafat 242 H).
d. Al-Hafidz
Merupakan gelar yang di berikan kepada ahli hadits yang dapat menshahihkan
sanad dan matan hadits serta dapat menunjukan keadilan maupun cacat perawi
nya. Al-Hafidz mampu menghafal 100.000 hadits. Di antaranya adalah Al-
Iraqiy, Syarafuddin ad-Dimyathi, Ibnu Hajar al-Asqolani dan Ibnu Daqiqil id.
e. Al-Muhadditsin
Ada yang berpendapat bahwa Al-Muhadits sama dengan Al-Hafidz namun
belakangan, Al-Muhaddis diberikan kepada orang yang mampu nengetahui
sanad, illat, nama rawi, tinggi rendahnya derajat hadits dan memahami
kutubus-Sittah, musnad Imam Ahmad, Sunan Baihaqi, Mu’jam Thabrani. Ia
juga mampu menghafal 1.000 hadits di antaranya adalah Atha’ bin Abi Ribah
(wafat 115 H) dan Imam Az-Zabidi (ulama yang meringkas kitab Bukhari-
Muslim).
f. Al-Musnid
Yakni gelar kleahlian bagi orang yang meriwayatkan hadits beserta sanadnya
baik menguasai ilmunya atau tidak. Al-Musnad juga di sebut dengan At-
Thalib, Al-Mubtadi’ dan Ar-Rawi.5

B. MATNUL HADITS

Kata matan menurut bahasa berarti: keras, kuat, suatu yang nampak dan
yang asli. Dalam perkembangan karya penulisan ada matan dan syarah. Matan
disini di maksudkan karya atau karangan asal seseorang yang pada umumnya
menggunakan bahasa yang universal, padat, dan singkat. Dimaksudkan dalam
konteks hadits, hadits sebagai matan kemudian diberikan syarah atau penjelasan
yang luas oleh para ulama, misalnya Shahih Bukhari disyarahkan oleh Al-
Asqolani dengan nama Fath al-Bari’ dan lain-lain.6

Yang di sebut dengan matnul hadits, ialah pembicaraan (kalam) atau


materi berita yang diover oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda
Rasulullah saw, sahabat atau tabi’in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan
Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak di sanggah oleh Nabi.7 Misalnya, Al-
Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,”Penghulu syuhada adalah
Hamzah dan orang yang berdiri dihadapan penguasa untuk menasehatinya lantas
ia dibunuh karenanya”. Pernyataan demikian merupakan matan (isi dari sebuah
hadits) yang diriwayatkan oleh Imam Malik. Contoh lain, Imam Bukhari dan
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,”Masyarakat itu
berserikat dalam tiga barang: air, padang gembalaan, dan api”. Sabda Rasul
tersebut merupakan matan hadits yang diriwayatkan oleh kedua perawi hadits
tersebut.8

C. SANAD

1. Arti Sanad

Sanad atau thariq, ialah jalan yang dapat menyambungkan matnul hadits
kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. Dalam bidang ilmu haduts sanad itu
merupakan neraca untuk menimbang shahih atau dhaifnya. Andai kata salah
seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta atau jika setiap para
pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung (muttashil),
maka hadits tersebut dhaif sehingga tidak dapat dijadikan hujja. Demikian
sebaliknya jika para pembawa hadits tersebut orang-orang yang cakap dan cukup
persyaratan, yakni adil, takwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri (muru’ah),
dan memilikimdaya ingat yang kredibel, sanadnya bersambung dari satu
periwayat ke periwayat lain sampai pada sumber berita pertama, maka haditsnya
dinilai shahih.

Tidak layak naik ke loteng atau atap rumah kecuali dengan tangga.
Maksud tangga adalah sanad, jadi seseorang tidak akan mungkin sampai kepada
Rasulullah dalam periwayatan hadits melainkan harus melalui sanad. Pernyataan
di atas memberikan petunjuk, bahwa apabila sanad suatu hadits benar-benar dapat
di pertanggung jawabkan keshahihannya, maka hadits itu pada umumnya
berkualitas shahih dan tidak ada alasan untuk menolaknya. Studi sanad khusus
hanya dimiliki umat Muhammad, umat-umat terdahulu sekslipun dalam
penghimpunan kitab suci mereka dan juga tidak ditulis pada masa Nabi nya tidak
disertai sanad. Padahal ditulis setelah ratusan tahun dari masa Nabi nya. Kitab
suci mereka ditulis berdasarkan ingatan beberapa generasi yang dinisbatkan pada
Nabi Isa yang tidak di sertai dengan sanad.10
1. Arti Isnad, Musnid dan Musnad
Usaha seseorang ahli hadits dalam menerangkan sebuah hadits yang diikutinya
dengan penjelasan kepada siapa hadits itu disandarkan, disebut meng-isnad-kan
hadits. Hadits yang telah di isnadkan oleh si Musnid (orang yang mengisnadkan)
disebut dengan hadits musnad. Misalnya musnad Asy-Syihhab dan musnad Al-
Firdaus, merupakan kumpulan hadits yang telah di isnadkan oleh Asy-Syihhab
dan Al-Firdaus. Selain itu musnad dapat juga berarti :
a. Hadits yang marfu’ lagi muttasil (sanadnya bersambung-sambung, tidak
terputus)
b. Nama kitab yang menghimpun seluruh hadits yang diriwayatkan oleh para
sahabat.
Dalam kitab musnad ini, nama shahabatlah yang di ketengahkan sebagai
maudlu’ (objek). Semua hadits yang diriwayatkan oleh seorang shahabat
terhimpun dalam satu kelompok, tanpa diklasifikasikan isinya dan tanpa
disisihkan antara makna hadits yang shahih dan yang dlaif.
2. Tinggi Rendahnya Rangkaian Sanad
Sebagaimana dimaklumi, bahwa suatu hadits sampai kepada kita melalui sanad-
sanad. Setiap sanad bertemu dengan rawi yang dijadikan sandaran menyampaikan
berita (sanad setingkat lebih di atas), sehingga seluruh sanad itu merupakan suatu
rangkaian. Rangkaian sanad itu adalah berderajat tinggi, sedang dan lemah,
mengingat perbedaan ke-dlabith-an (kesetiaan ingatan) dan keadilan rawi yang
dijadikan sanadnya. Rangkaian sanad yang berderajat tinggi menjadikan suatu
hadits lebih tinggi derajatnya dari pada hadits yang rangkaian sanadnya sedang
atau lemah.12 Para muhaditsin membagi tingkatan sanadnya menjadi tiga
bagian,yaitu:
a. Ashahhul Asanid (sanad-sanad yang lebih shahih), contoh Ashahhul Asanid
dari sahabat tertentu yaitu, Umar bin Khaththab r.a., ialah yang diriwayatkan oleh
Ibnu Syihab Az-Zhuhri dari Salim bin Abdullah bin Umar, dari ayahnya
(Abdullah bin Umar), dari kakeknya (Umar bin Khaththab).
b. Ahsanul Asanid (sanad-sanad yang lebih hasan). Sanad ini lebih rendah
derajatnya daripada yang bersanad Ashahhul Asanid. Contoh bila hadis tersebut
bersanad antara lain : Bahaz bin Hakim dari ayahnya (Hakim bin Mu’awiyah) dari
kakeknya (Mu’awiyah bin Haidah) dan Amru’ bin Syuaib dari ayahnya (Syuaib
bin Muhamad) dari kakeknya (Muhamad bin Abdillah bin Amr bin Ash).
c. Adl’aful Asanid (sanad-sanad yang lebih lemah), rangkaian sanad yang
Adl’aful Asanid salah satunya adalah : Abu Bakar As-Shidiq r.a., ialah yang
diriwayatkan oleh Shadaqah bin Musa dari Abi Ya’qub Farqad bin Ya’qub dari
Murrah Ath-Thayyib dari Abu Bakar r.a.

Anda mungkin juga menyukai