1
Nuruddin, Ulum al-Hadits I ,Cet. II, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), h. 184.
1
keilmuan yang paling tinggi. 2 Ini dikarenakan al-Bukhari hanya menerima dan
menuliskan hadis dari periwayatan kelompok periwayat tingkat pertama dan
sedikit dari tingkat kedua. Adapun penjelasan tingkatan tabaqah) periwayat
menurut al-Bukhari adalah sebagai berikut:
Sebagus apapun suatu karya, pasti tidak akan lepas dari penilaian,
baik yang bernada memuji ataupun mengkritisi, demikian halnya dengan
Kitab al-Jami’ ash-Shahih. Penilaian memuji di antaranya berasal dari Ibn
Shalah. Dia mengatakan, “Karya al-Bukhari dan Muslim merupakan dua kitab
yang paling sahih setelah al-Qur’an. Adapun kitabnya al-Bukhari merupakan
2
Hammam ‘Abd ar-Rahim Said, al-Fikr al-Manhaji ‘ind al-Muhaddisin,, (Qatar: Kitab al-
Ummah, 1408 H.), h. 119.
3
Ibid…, h. 119.
4
Dzulmani, Mengenal Kitab Hadis, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 50.
2
kitab yang paling sahih di antara keduanya dan yang paling banyak faedahnya.
Penilaian yang mengkritisi di antaranya yaitu penilaian ad- Daruqutni (306-385
H.) yang menilai bahwa di dalam al-Jami’ ash-Shahihnya al-Bukhari ini
ditemukan 80 periwayat dan 110 buah hadis yang tidak memenuhi standar
tinggi sebagaimana hadis-hadis Imam al-Bukhari lainnya. Seperti, status hadis
yang mu’allaq yakni hadis yang pada awal sanadnya terbuang satu atau lebih
periwayat secara berturut-turut.
Secara lengkap, nama kitab yang disusun oleh Imam Muslim ini
adalah al-Jami’ al-Musnad ash-shahih al-Mukhtasar min as-Sunan bi Naql al-
‘Adl ‘an al-‘Adl ‘an Rasulillahi Saw. tetapi lebih dikenal dengan shahih
Muslim. Sebagaimana Imam al-Bukhari, Imam Muslim juga memfokuskan pada
hadis-hadis sahih saja yang dimasukkan dalam kitabnya. Imam Muslim sendiri
pernah menyatakan bahwa ia tidak memasukkan semua hadis sahih dalam
kitabnya.
Namun, jika dikomparasikan hadis-hadis sahih yang ada dalam kitab al-
Bukhari dan Muslim, pada umumnya ulama menilai bahwa kualitas hadis- hadis
dalam shahih Muslim menempati ranking kedua setelah shahih al-Bukhari. Ini
dikarenakan kriteria kesahihan hadis yang dipedomani Imam Muslim menurut
pandangan para ulama dinilai lebih longgar daripada kriteria Imam al-Bukhari.
Dalam hal ini, al- Bukhari mensyaratkan adanya pertemuan liqa’ antara guru
dan murid bagi hadis-hadis yang termuat dalam kitabnya. Sedangkan Imam
Muslim hanya mencukupkan dengan kesezamanan saja antara guru dan murid,
meski tidak ada indikator yang menunjukkan bahwa keduanya pernah
bertemu satu sama lain. Hal ini diketahui dari penerimaan Imam Muslim
terhadap hadis mu‘an‘an yang dinilai muttasiil meski tidak diperoleh data
mengenai kepastian bertemu antara satu periwayat dengan periwayat
lainnya. 5
5
Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumul wa Musthalahah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997),
h. 316.
3
Para ulama yang melakukan studi terhadap karya Imam Muslim ini
mendapati bahwa syarat yang dipegangi Imam Muslim untuk menerima sebuah
hadis dan layak dimasukkan ke dalam kita shahihnya adalah sebagai berikut:
6
Ibid…, h. 316.
4
pembaca tentang ilmu hadis. Dalam muqaddimahnya, Imam Muslim
memaparkan pembagian dan macam-macam hadis, penjelasan mengenai
hadis-hadis yang dimuat dalam kitabnya, uraian mengenai para periwayat yang
digunakannya, serta anjuran untuk berhati-hati dalam meriwayatkan
hadis dari Nabi Saw. Sebagaimana dalam shahih karya al-Bukhari, kita dapat
menemukan karya Imam Muslim ini disusun dengan pembagian beberapa
judul yang juga disebut dengan istilah kitab. Namun ternyata yang melakukan
sistematisasi ‘kitab’ ini bukanlah Imam Muslim sendiri, melainkan dibuat oleh
para pengkaji kitab ini pada masa-masa berikutnya, di antaranya yaitu
Imam an- Nawawi yang juga memberikan syarah atas hadis-hadis yang
terangkum dalam shahih Imam Muslim disamping melakukan sistematisasi judul
kitab. 7
7
M. Al-Fatih Suryadilaga (ed.), Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 67.
5
A. Metode Penulisan Kitab Sunan.
Sunan Abu Dawud ini disusun secara bab fiqhiyyah (berdasarkan bab-
bab fiqh), ini dikarenakan ia memang memfokuskan pada hadis-hadis yang
terkait dengan masalah hukum dan atau fiqh saja. Sedangkan hadis-hadis yang
berhungan dengan fadhail al-a‘mal>, kisah-kisah, adab, dan tafsir tidak dihadirkan
dalam bukunya. Jika dicermati, maka metode penyusunan kitab yang dipegangi
8
Nuruddin, Ulum al-Hadits I, h. 183.
9
A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah Hadits, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2007),
h. 428.
6
Abu Dawud memiliki perbedaan dari shahih karya al- Bukhari dan Muslim yang
memang memfokuskan pada hadis-hadis shahih, sementara Abu Dawud tidak
hanya mengkhususkan hadis- hadis shahih saja, melainkan termasuk di
dalamnya hadis shahih dan dhaif. 10
10
Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumul, h. 321.
11
M. Al-Fatih Suryadilaga, Studi Kitab, h. 92-93.
7
Adapun pandangan yang terkait dengan Sunan Abi Dawud disampaikan
oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah, “Kitab Sunan Abi Dawud memiliki kedudukan
tinggi dalam dunia Islam dan pemberi keputusan bagi perselisihan pendapat.
Kepada kitab itulah orang- orang jujur mengharapkan keputusan. Mereka merasa
puas atas keputusan dari kitab itu, karena Abu Dawud telah menghimpun
segala macam hadis hukum dan menyusunnya dengan sistematika yang baik dan
indah, serta membuang hadis yang lemah”. 12
b. Sunan at-Tirmidzi
Penamaan asli kitab ini ialah jami’ al-mukhtasar min sunan a’n Rasulillah.
Penamaan jami’ dikarenakan kitab ini tidak hanya memuat hadis-hadis hukum
saja, namun memuat juga hadis-hadis keutamaan amalan, sirah adab dan lain
sebagainya. Bahkan imam Khattib al-Baghdadi memberikan nama kitab ini
dengan jami’ Tirmizdi atau shahih Tirmidzi. Yang lebih kuat ialah yang
mengatakan kitab sunan, karena termaktub hadis-hadis shahih, lemah. disusun
berdasarkan bab-bab hukum, dari segi ini lebih kea rah susunan kitab jami’. 13
Adapun jumlah hadis dalam Sunan at-Tirmizi adalah 3956 hadis, yang
terbagi ke dalam 5 juz dan 2376 bab. Suryadi dalam Suryadilaga menjelaskan
bahwa metode yang ditempuh Imam at-Tirmizi dalam menyusun kitabnya
adalah sebagai berikut: 14
a) Mentakhrij hadis yang menjadi amalan para fuqaha, hal ini menjadi
indikator bahwa hadis-hadis yang termuat dalam Sunan at-Tirmizi
memang layak dijadikan hujjah.
b) Memberi penjelasan tentang kualitas dan keadaan hadis. Di samping
penilaian dari dirinya sendiri, ia juga sering menyertakan penilaian dan
pendapat dari para fuqaha, sekaligus melakukan tarjih atas beberapa
pendapat tersebut.
12
Al-Husaini Abd al-Majid Hasyim, Usul al-Hadis an-Nabawi, (Beirut: Dar asy-
Syuruq, 1988), h. 211.
13
Hammam ‘Abd ar-Rahim Said, al-Fikr al-Manhaji ‘ind al-Muhaddisin, (Qatar: Kitab
al-Ummah, 1408 H), h. 156.
14
M. Al-Fatih Suryadilaga, Studi Kitab, h. 112-114.
8
c) Menjelaskan jalur periwayatannya. Biasanya, at-Tirmizi menyebutkan
matan sebuah hadis melalui jalur sanadnya sendiri, kemudian
menyebutkan sanad-sanad lain yang meriwayatkan hadis tersebut
tanpa menyebutkan matannya lagi. Bahkan ketika ada periwayat yang
dikenal dengan kunyahnya pun ia menjelaskannya.
d) Imam at-Tirmizi sangat menaruh perhatian terhadap ‘illat
hadis,menjelaskan shahih dan dhaif serta penyebab kelemahan secara
terperinci.
Terkait dengan kitabnya, Abu Ismail al-Harawi (w. 581 H.) berpendapat
bahwa kitab at-Tirmizi lebih banyak memberikan faedah daripada kitab
shahih al-Bukhari dan shahih Muslim, sebab hadis yang termuat dalam kitab
Sunan at-Tirmizi diterangkan kualitasnya, demikian juga dijelaskan sebab-sebab
kelemahannya, sehingga orang dapat lebih mudah mengambil faedah kitab
itu, baik dari kalangan fuqaha, muhaddisin dan lainnya.
c. Sunan an-Nasa’i
9
Kubra kualitas hadis yang ada di dalamnya memiliki kualitas hadis yang
beragam, dari hadis hasan hingga dhaif. 15
Ditinjau dari namanya, maka kitab Sunan an-Nasai’ ini juga disusun
berdasarkan bab fiqhiyyah dan hanya mencantumkan hadis-hadis marfu’ (hadis
yang bersumber dari Nabi Saw.). Adapun hadis yang bersumber dari sahabat
(mauquf) dan tabi’in (maqtuq) jumlahnya hanya sedikit.
15
Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumul, h. 321.
16
Abu Zahw, al-Hadis wa al-Muhaddisun, (Cairo: al-Maktabah at- Taufiqiyyah, t. th.),
h. 585.
10
ilmu hadis. Lazimnya kitab Sunan pada umumnya, Ibn Majah pun ketika
menyusun kitab Sunan nya berorientasi pada hal-hal yang selama ini menjadi
pokok bahasan dalam fiqh. Ini terlihat ketika ia mengawali kitabnya dengan
kitab thaharah, adapun bahasan seperti zuhud dan etika diletakkan di bagian
akhir dari kitabnya. 17
Kualitas hadis yang ada dalam Sunan Ibn Majah juga tidak seluruhnya
sama, ada hadis yang berkualitas shahih, hasan bahkan dhaif namun sayangnya
Ibn Majah tidak menjelaskan sebab-sebab kelemahan dari hadis dhaif yang
dicantumkan dalam kitabnya. Dalam menyeleksi para periwayat hadis pun Ibn
Majah tergolong orang yang mutasahil, artinya ia mempermudah menerima
hadis dari para periwayat yang tertuduh berdusta (muttaham bi al-kizab) juga
periwayat yang ditinggalkan (matruk) seperti Muhammad ibn Said maslub, Amr
ibn Subh, al-Waqidi dan lainnya. Selain itu, Ibn Majah juga banyak memasukkan
hadis yang tidak dijumpai dalam kitab-kitab al-Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, at-Tirmizi, dan an-Nasa’i. Mungkin karena alasan inilah, pada
mulanya ulama tidak memasukkan Sunan Ibn Majah dalam deretan awal al-
kutub as-sittah.
Atas inisiatif al-Hafiz Ibn Tahir al-Maqdisi (448-507 H.)lah Sunan Ibn
Majah pada akhirnya dimasukkan dalam kelompok kitab hadis enam yang
dipedomani atau yang dikenal dengan al- kutub as-sittah. Itupun juga diposisikan
pada tingkatan keenam/terakhir. Al-Maqdisi berargumen bahwa meski dalam
Sunan Ibn Majah banyak dituangkan hadis-hadis yang yang tidak dijumpai
dalam kitab-kitab al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at- Tirmizi, dan an-Nasa’i,
namun jika diteliti lebih lanjut hadis-hadis tambahan ini sebagian besar dapat
dijadikan hujjah karena berkualitas shahih dan hasan. Pendapat al-Maqdisi ini
kemudian diikuti oleh Ibn Hajar al-Asqalani, az-Zahabi, dan al-Mizzi.
Masuknya kitab Sunan Ibn Majah dalam peringkat terakhir dari al-kutub
as-sittah ini terkait erat dengan lemahnya syarat yang dijadikan standar penilaian
17
Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumul, h. 111.
11
hadis. Hadis-hadis yang dituangkan dalam kitab Ibn Majah ini tidak hanya
berkualitas shahih saja, melainkan berbagai macam hadis yang dalam keadaan
18
cacat, dhaif, matruk dan pendusta.
Jumlah hadis yang terdapat dalam Sunan Ibn Majah menurut az-
Zahabi sekitar 4000 hadis yang terbagi ke dalam 32 kitab dan 1500 bab.
Sedangkan menurut Fuad Abd al-Baqi, jumlah hadis dalam Sunan Ibn Majah
adalah 4341 hadis yang terbagi ke dalam 37 kitab dan 1515 bab.
Kelebihan lain dari kitab ini adalah dimuatnya hadis-hadis yang tidak
dijumpai dalam kitab-kitab al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, dan
an-Nasa’i. Sehingga, kitab Sunan Ibn Majah dapat melengkapi dan
menambah khazanah hadis-hadis Nabi. Ibn Hajar sebagaimana dikutip Akram
dhiya al-Umri mengungkapkan, “Dalam Sunan Ibn Majah terhadap hadis-
hadis thaharah yang tidak aku dapatkan dalam kitab hadis lainnya. Adapun
kelemahan yang ditemukan dari Sunan Ibn Majah ini yaitu minimnya
penjelasan dan informasi atas hadis-hadis yang dinilai dhaif dan maudhu’ serta
tidak adanya filterisasi yang jelas dalam memuat sekaligus menyeleksi hadis-
hadis yang ada dalam kitab sunan ini. 19
18
M. Al-Fatih Suryadilaga, Studi Kitab, h. 172.
19
Akram adh-Dhiya, Buhus fi Tarikh al-Hadis al-Musyarrafah, (Saudi Arabia, Maktabah
al-Ulum wa al-Hikam: 1994), h. 346.
12
hadis yang terdapat di dalam kitab ini merupakan kumpulan hadis-hadis
shahih menurut syarat dan kriteria yang ditentukan oleh (Bukhari-
Muslim), meskipun di dalamnya juga terdapat hadis-hadis shahih
berdasarkan kriteria Imam Hakim sendiri.
a) Mustadrak al-hakim
Kitab ini tersusun dalam 4 jilid besar yang bermuatan 8690 hadis dan
mencakup 50 bahasan (kitab). Kitab karya Al-Hakim ini termasuk kategori
kitab Al-Jami' karena muatan hadisnya terdiri dari berbagai dimensi,
akidah, syariah, akhlak, tafsir, sirah, dan lain-lain. Adapun rincian jumlah
hadis dikaitkan dengan tema akidah 251 hadis, ibadah 1277 hadis, hukum
halal haram 2519 hadis, takwil mimpi 32 hadis, pengobatan 73 hadis,
rasul-rasul 141 hadis, 1218 hadis tentang biografi sahabat, huru-hara dan
pemerangan 34 7 hadis, kegoncangan hari kiamat 911 hadis, peperangan
Nabi dan Al-Fitan 233 hadis, tafsir 974 hadis, dan fadhail Al-Qur'an 70
hadis. 20
20
Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 246.
21
Ibid…, h. 248.
13
C. Metode Penulisan al-Mustakhraj
1. Metode Penulisan Kitab al-Mustakhraj
Metode Mustakhraj adalah penyusunan kitab Hadits dengan mengambil
dari kitab tertentu namun mengambil jalur sanad yang berbeda, penyusun kitab
menempuh sanad lewat gurunya namun guru tersebut memiliki sanad yang
sama dengan sanad penyusun Hadits yang di-takhrij atau kedua guru itu bertemu
pada sanad di atasnya. Konsep penyusunan ini lazim digunakan pada abad ke-4 H
dan abad ke-5 H. 22
Di antara kitab yang disusun dengan konsep ini adalah Mustakhraj Abi
`Awanah `Ala Muslim, Mustakhraj al-Ismâ`ili `alâ al-Bukhara, dan lain lain.
Abad ke-5 H merupakan akhir dari era kodifikasi hadits. Setelah era tersebut,
sumber asli dari kitab- kitab hadits serta sanad yang mu`tabar relatif tidak
terdapat lagi. Bahkan menurut al-Bayhaqi, para ulama menolak mengambil hadits
selain dari kitab para ulamâ’ lima abad pertama. Dalam terminologi ahli Hadits,
karya yang lahir setelah abad ke-5 H lazim disebut “referensi baru”.
22
Yûsuf `Abd al-Rahmân, `Ilm Fahrasah al-Hadîts, cet. 1,(Beirut: Dâr al-Ma`rifah,
1986),h. 16.
14
yang terdapat dalam Al-Muwatta', Al-Bukhari mengatakan sanad yang
sahih dalam periwayatan hadis-hadis Al-Muwattha' adalah dari Nafi'
maula Ibn Umar. Berdasarkan kitab yang telah di-tahqiq oleh
Muhamma Fuad Abd Al-Baqi, Al-Muwattha' terdiri dari 2 juz, 61 kitab
(bab) 698 bab (tema), dan 1824 hadis. 23
Kitab sejenis yang dianggap paling luas dan memadai adalah Musnad
Ahmad bin Hanbal, yang disusun oleh Ahmad ibn Muhammad ibn
Hanbal bin Hilâl (164-241 H). Kitab ini berisi 40.000 Hadits, diulang-ulang
sekitar 10.000. Putranya yang bernama Abdullâh menambahkan sekitar
10.000 Hadits, demikian pula rawî yang meriwayatkan dari Abdullâh, yaitu
Ja`far al-Qathi`i, memberikan beberapa tambahan di dalamnya. 25
23
Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, h.11.
24
Yaqub, kritik Hadis, (Jakarta: Pustakaa Firdaus, 2000), h. 76.
25
Ahmad bin Alî Abû Bakr Khatîb al-Baghdâdî, Târîkh al- Baghdâdî, juz IV
(Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, tth.), h.412-422.
15
Seperti diketahui, bahwa Ahmad ibn Hanbal telah terlebih dahulu
meninggal dunia sebelum memperbaikinya. Oleh karena itu, yang berperan dalam
mengurutkan kitab Musnad itu adalah anaknya, Abdullâh. Sedangkan yang
mengurutkan Musnad berdasarkan huruf hija`iyah adalah Abû Bakr Muhammad
ibn Abdillâh al-Muqaddasi. Karena sistematika yang dipakai adalah Musnad,
maka pencarian Hadits dalam kitab ini harus berdasarkan nama sahabat yang
meriwayatkan, dimulai dari Musnad Abû Bakr dan diakhiri dengan Musnad
Fâthimah bint Abî Jaysy.
Kitab-kitab jenis ini, selain karya Ahmad bin Hanbal adalah Musnad Abû
Hanîfah, Musnad Ishaq bin Rahawiyah, Musnad al- Bazzar, Musnad al-
Humaydi, dan lain sebagainya.
26
Dzulmani, Mengenal Kitab-kitab Hadis, (Yogyakarta: Insan Madani, 2008), h. 146.
16
g. Musnad Al-Makkiyyin (musnad sahabat yang berasal dari
Makkah).
h. Musnad Al-Madaniyyin (musnad sahabat yang berasal dari
Madinah).
i. Musnad Al-Kufiyyin (musnad sahabat yang berasal dari Kufah).
j. Musnad Asy-Syamiyyin (musnad sahabat yang berasal dari
Syam).
k. Musnad Al-Basriyyin (musnad sahabat yang berasal dari
Bashrah).
l. Musnad Al-Ansar (musnad sahabat Ansar).
m. Baqi Musnad Al-Ansar (musnad yang juga berasal dari sahabat
Ansar).
n. Musnad Al-Qabail (musnad dari berbagai kabilah atau suku).
17
DAFTAR PUSTAKA
Al-Husaini Abd al-Majid Hasyim, Usul al-Hadis an-Nabawi, Beirut: Dar asy-
Syuruq, 1988.
Yûsuf `Abd al-Rahmân, `Ilm Fahrasah al-Hadîts, cet. 1, Beirut: Dâr al-Ma`rifah,
1986.
18
19