Makalah
Oleh
Kelompok V ( Lima )
Perbankan Syariah 2F
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................ii
ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Hadits Shahih.............................................................................................2
a. Pengertian hadits shahih......................................................................2
b. Syarat-syarat hadits shahih...................................................................2
c. Macam-macam hadits shahih...............................................................4
d. Kehujjahan hadits shahih.....................................................................5
e. Tingkatan hadits shahih.......................................................................6
f. Kitab yang memuat hadits shahih........................................................7
B. Hadits Hasan..............................................................................................7
a. Pengertian hadits hasan........................................................................7
b. Syarat-syarat hadist hasan....................................................................8
c. Pembagian hadits hasan.......................................................................9
d. Kehujjahan hadits hasan.....................................................................10
e. Kitab yang memuat hadits hasan......................................................10
C. Hadits Dai’if.............................................................................................10
a. Pengertian hadits dai’if......................................................................10
b. Penyebab hadits dai’if ditolak............................................................11
c. Pembagian hadits dai’if......................................................................12
d. Kehujjahan hadits dai’if.....................................................................17
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................................18
B. Saran.........................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
C. Tujuan
Untuk mengetahui apa pegertian, syarat-syarat,macam-macam, kehujjahan dan
kitab hadits shahih, hadits hasan,dan hadits dai’if.
BAB II
PEMBAHASAN
1
Klasifikasi hadits berdasarkan kualitas sanad dan matan dibagi menjadi
tiga,yaitu hadits shihah, hadits hasan,dan hadits dha’if. Kualaitas sanad hadits akan
mempengaruhi terhadap pengamalan hadits tersebutdalam kehidupan sehari-hari.
Oleh kerena itu diperlukan pemahaman dari masing- masing klasifikasi.
A. Hadits Shahih
1. Pengertian Hadits Shahih
Menurut bahasa, shahih berasal dari kata shahha yashihhu shuhhan
wa shihhatan wa shahahan, yang berarti sehat, selamat, benar, sah, dan
sempurna. Maka secara bahasa hadits shahih berarti hadits yang benar, hadits
yang sah atau hadits yang sempurna.Menurut istilah, hadits shahih adalah
satu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir,
disampaikan oleh orang-orang yang adil, memiliki kemampuan hafalan yang
sempurna (dhabith), serta tidak ada penyelisihan dengan periwayat yang lebih
terpercaya darinya (syadz) dan tidak ada ‘illat yang berat.
2. Syarat Hadits Shahih
Berdasarkan pengertian hadits shahih di atas, dapat disimpulkan
bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah:
1) Sanadnya bersambung,
2) Para periwayat bersifat adil,
3) Para periwayat bersifat dhabith,
4) Sanad dan matannya terhindar dari syadz dan
5) Sanad dan matannya terhindar dari ’illat.
a. Sanadnya bersambung
Maksud dari sanadnya bersambung adalah bahwa tiap-tiap periwayat
dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat;
dankeadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadits itu.
2
Artinya, seluruh rangkaian para periwayat hadits, sejak periwayat
terakhir sampai kepada para sahabat yang menerima hadits langsung dari
Nabi Muhammad saw. bersambung dalam periwayatannya.
Untuk mengetahui bersambung dan tidaknya suatu sanad, biasanya
ulama hadits menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
1) Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti,
2) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat,
3) Meneliti kata-kata yang berhubungan antara para periwayat
dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah
kata-kata yang terpakai berupa haddatsani, haddatsana,
akhbarana, ‘an, anna, atau kata-kata lainnya.
b. Periwayat Bersifat ‘Adil
Kata ‘adil yang telah menjadi serapan bahasa Indonesia, menurut
bahasa berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak dzalim, tidak menyimpang,
tulus, dan jujur. Dengan demikian, periwayat yang adil adalah periwayat
yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Beragama Islam, yaitu seorang periwayat hadits harus beragama
Islam, orang fasik atau orang kafir tidak dapat diterima
periwayatannya.
2) Berstatus Mukallaf, yaitu orang yang sudah baligh dan berakal.
3) Melaksanakan ketentuan agama Islam dan meninggalkan
larangannya.
4) Memelihara muru’ah, yaitu memilki rasa malu, atau dapat berarti
memelihara kehormatan dirinya.
c. Periwayat Bersifat Dhabith
Dhabith berarti memiliki ingatan dan hafalan yang
sempurna. Periwayat harus memahami dengan baik apa yang
diriwayatkannya serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja
dikehendaki. Sehingga dhabith juga berarti seseorang yang mampu
3
memelihara hadits yang ada dalam catatannya dari kekeliruan, atau dari
terjadinya pertukaran, pengurangan dan sebagainya. Gabungan dari
sifat ‘adil dan dhabith disebut tsiqah.
Dhabith terbagi menjadi dua macam: dhabith shadr dan dhabith
kitab. Dhabith shadr adalah jika seorang periwayat benar-benar hafal
hadits yang telah didengarnya dalam dadanya, dan mempu
mengungkapkan kapan saja. Dhabith kitab adalah jika seorang periwayat
“menjaga” hadits yang telah didengarnya dalam bentuk tulisan.
d. Sanad dan matannya terhindar dari syadz
Maksud dari syadz di sini adalah suatu hadits yang bertentangan
dengan hadits yang diriwayatkan oleh periwayat lain yang lebih kuat atau
lebih tsiqah. Berdasarkan pengertian ini, maka dapat dipahami bahwa
hadits yang tidak syadz adalah hadits yang matannya tidak bertentangan
dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah.
e. Sanad dan matannya terhindar dari ’illat.
Secara etimologis, term ‘illat (jamaknya ‘ilal atau al-‘ilal) berarti
cacat, kesalahan baca, penyakit dan keburukan. Dengan makna ini, maka
disebut hadits ber’illat adalah hadits-hadits yang ada cacat atau
penyakitnya. Sedangkan secara terminologis, ‘illat berarti sebab yang
tersembunyi yang merusakkan kualitas hadits. Keberadaannya
menyebabkan hadits yang pada lahirnya tampak berkualitas shahih
menjadi tidak shahih. Dengan demikian, maka yang dimaksud hadits
yang tidak ber’illat, adalah hadits-hadits yang didalamnya tidak terdapat
kecacatan, kesamaran atau keragu-raguan.
3. Macam-macam Hadits Shahih
Para ulama ahli hadits membagi hadits shahih kepada dua bagian,
yaitu shahih li dhatihi dan shahih li gharihihi.Perbedaan keduanya
terletak pada segi hafalan atau ingatan perawinya. Pada shahih li dzatihi,
ingatan perawinya sempurna, sedang pada hadits shahih li ghairihi,
ingatan perawinya kurang sempurna.
4
a. Hadits Shahih li Dzatihi
Hadits shahih li dzatihi, ialah hadits yang dirinya sendiri telah
memenuhi kriteria keshahihan sebagaimana disebutkan, dan tidak
memerlukan penguat dari yang lainnya. Ini berarti bahwa
hadits shahih li dzatihi, adalah hadits sebagaimana dimaksudkan
dalam pengertian shahih di atas.
“Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan
kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan
salat.”(HR. Bukhari).
Hadits ini diriwayatkan melalui jalur Al-A’raj dari Abu Hurairah.
b. Hadits Shahih li Ghairihi,
Hadits shahih li ghairihi, adalah hadits hasan li dzatihi apabila
diriwayatkan melalui jalan yang lain oleh perawi yang sama
kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya. Berdasarkan pengertian
ini, dapat dipahami bahwa sebenarnya hadits tipe ini asalnya bukan
hadits shahih, melainkan hadits hasan li dzatih. Karena
adanya syahid atau mutabi’ yang menguatkannya, maka hadits hasan
li dzatih ini berubah kedudukan menjadi shahih li gharihi, yakni
hadits yang keshahihannya dibantu oleh adanya matan atau sanad
yang lainnya.
Hadits riwayat Imam Tirmidzi melalui jalur Muhammad ibn
‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan
kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melakukan shalat.”
4. Kehujjahan Hadits Shahih
Para ulama ahli hadits dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqh
sepakat menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang wajib beramal
dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan
penetapan halal dan haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang
berhubungan dengan aqidah.
5
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i yaitu al-
Qur’an dan hadits mutawatir. Oleh karena itu, hadits ahad tidak dapat
dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan
dengan aqidah. Sedang sebagian ulama lainnya dan ibn Hazm al-Dhahiri
menetapkan bahwa hadits shahih memfaedahkan ilmu qat’i dan wajib
diyakini. Dengan demikian shahih dapat dijadikan hujjah untuk
menetapkan suatu aqidah.
5. Tingkatan Hadits Shahih
Hadits shahih memiliki tingkatan martabat. Tinggi rendahnya
martabat suatu hadits shahih tergantung pada tingkat ke-dhabith-an dan
ke-‘adil-an para periwayat hadits. Semakin tinggi tingkat tingkat ke-
dhabith-an dan ke-‘adil-an para periwayat, maka semakin tinggi tingkatan
hadits yang diriwayatkan. Para ulama hadits membagi tingkatan hadits
shahih menjadi tiga, yaitu:
a. Ashah a- sanid
Ashah al-sanid yaitu rangkaian yang paling tinggi derajatnya,
seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’
Maula (budak yang telah dimerdekakan dan Ibnu Umar).
b. Ahsan al-sanid
Ahsan al-sanid yaitu rangkaian sanad hadits yang
tingkatannya di bawah dari Ashah al-sanid. Seperti periwayatan
sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
c. Ad’af al-sanid
Ad’af al-sanid yaitu rangkaian sanad hadits yang
tingkatannya di bawah dari Ahsan al-sanid. Seperti periwayatan
Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Berdasarkan tiga pembagian tingkatan hadits shahih di atas, kemudian
para ulama hadits membagi tingkatan hadits menjadi tujuh tingkatan:
1) Hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim (Muttafaq ‘alaih)
2) Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari saja
6
3) Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim saja
4) Hadits yang diriwayatkan oleh orang lain yang memenuhi
persyaratan Bukhari dan Muslim
5) Hadits yang diriwayatkan oleh orang lain yang memenuhi
persyaratan Bukhari saja
6) Hadits yang diriwayatkan oleh orang lain yang memenuhi
persyaratan Muslim saja
7) Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Bukhari dan
Muslim, dan tidak mengikuti persyaratan keduanya, seperti Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain lain.
B. Hadits Hasan
1. Pengertian Hadits Hasan
Kata hasan berasal dari kata hasuna yahsunu yang menurut bahasa
berarti sesuatu yang diinginkan dan menjadi kecenderungan jiwa atau nafsu.
Maka sebutan hadits hasan secara bahasa berarti hadits yang baik, atau yang
sesuai dengan keinginan jiwa.
Adapun pengertian lain dari para ulama-ulama tentang hadits hasan
ini, antara lain:
7
a. At-Turmudzi mendefinisikan hadits hasan sebagai “Tiap-tiap hadits
yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta. (pada
matannya) tidak ada kejanggalan (syadz) dan hadits tersebut di
riwayatkan pula melalui jalan lain.”
b. Ibnu Hajar mendefinisikan hadits hasan sebagai “Khabar ahad yang
di nukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya,khabar
ahad yang di nukilkan melalui perawi yang adil, sempurna
ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa berilat dan syadz di
sebut hadits shahih, namun bila kekuatan ingatannya kurang kokoh
(sempurna) disebut hasan li dzatih.”
c. Ath-Thibi mengemukakan definisi hadits hasan sebagai “Hadits
musnad (muttashil dan marfu’) yang sanad-sanadnya mendekati
derajat tsiqah atau hadits mursal yang (sanadnya) tsiqah , akan tetapi
pada keduanya ada perawi lain: Hadits itu terhindar dari syudzudz
dan illat).”
d. Ibnu Hajar al- Asqalani mendefinisikan hadits hasan sebagai “Hadits
yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hafalannya,
bersambung sanadnya, tidak mengandung illat dan tidak syadz.”
Jadi dari definisi-definsi di atas, dapat dikatakan bahwa hadits
hasan hampir sama dengan hadits shahih, hanya saja terdapat
perbedaan dalam soal ingatan perawi. Pada hadits shahih, ingatan atau
daya hafalannya sempurna, sedangkan hadits hasan kurang sempurna.
2. Syarat-syarat Hadits Hasan
Secara rinci syarat-syarat hadits hasan sebagai berikut:
a. Sanadnya bersambung
b. Perawinya adil
c. Perawinya dhabith, tetapi kualitas kedhabitannya di bawah
kedhabitan perawi hadits shahih
d. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz
e. Tidak ber’illat.
8
3. Pembagian Hadits Hasan
a. Hasan Li Dzatihi
Yang dimaksud dengan hadits Hasan Li Dzatihi ialah hadits yang
sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit meskipun
tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada
keganjilan (syadz) dan cacat (‘illat) yang merusak.
b. Hasan Li Ghairihi
Secara singkat, hasan li ghairihi itu terjadi dari hadits dha’if
jika banyak periwayatannya, sementara para perawinya tidak di
ketahui keahliannya dalam meriwayatkan hadits. Akan tetapi mereka
tidak sampai kepada derajat fasik atau tertuduh suka berbohong atau
sifat-sifat jelek lainnya.
Jadi, sistem periwayatannya terutama syarat-syarat
keshahihannya banyak yang tidak terpenuhi, akan tetapi para
perawinya dikenal sebagai orang yang tidak banyak berbuat kesalahan
atau banyak berbuat dosa. Dan periwayatan hadits tersebut banyak
riwayat, baik dengan redaksi yang serupa (mitslahu) maupun mirip
(nahwahu).
Sebagai contoh hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-
Tirmidzi rahimahullah dan beliau mengatakannya hasan, dari jalur
Syu’bah bin ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari ‘Abdullah bin ‘Amir bin
Rabi’ah dari bapaknya, bahwasanya ada seorang perempuan dari Bani
Fazarah menikah dengan mahar dua sendal. Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:
“Apakah engkau rela (ridha) sebagai gantimu dan hartamu dua sandal
(maksudnya apakah engaku rela maharmu dua sandal).” Perempuan
itu menjawab: “Iya (saya rela)” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam membolehkannya.
9
Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata:”Dan dalam bab ini
ada hadits dari ‘Umar, Abu Hurairah, dan ‘Aisayhradhiyallahu
‘anhum.” Maka ‘Ashim adalah seorang yang dha’if disebabkan
buruknya hafalan. Namun imam at-Tirmidzi telah mengatakan bahwa
hadits ini hasan dikarenakan datangnya riwayat ini dari banyak versi
(sisi).
C. Hadits Dha’if
1. Pengertian Hadits Dha’if
Hadits Dha’if adalah Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih
dan hasan. Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau
semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak
10
bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi
keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang
tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.
Menurut Imam an-Nawawi, hadits dha’if adalah hadits yang di dalamnya
tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan. Ada
pendapat lain yang lebih tegas dan jelas di dalam mendefinisikan
hadits dha’if ini, yaitu menurut pendapatnya Nur ad-Din ‘Atr. Beliau
berpendapat hadits dha’if adalah hadits yang hilang salah satu saja syaratnya
dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits yang shahih atau hadits yang hasan).
2. Penyebab Hadits Dha’if Ditolak
Sebab-sebab hadits dhaif ditolak, dilihat dari dua jurusan:
a. Sanad Hadits
Dari sisi sanad Hadits ini diperinci ke dalam dua bagian:
1) Ada kecacatan pada perawinya baik berupa keadilannya maupun
kedhabitannya,ada 10 macam:
a) Dusta
b) Tertuduh dusta
c) Fasiq
d) Banyak salah
e) Lengah dalam menghafal
f) Banyak wahamnya
g) Menyalahi riwayat yang lebih tsiqqah atau dipercaya
h) Tdak diketahui identitasnya
i) Penganut bidah
j) Tidak baik hafalannya
2) Sanadya tidak bersambung
a) Gugur pada sanadnya
b) Gugur pada sanad terakhir (sahabat)
c) Gugur dua orang rawi atau lebih secara berurutan
d) Rawinya yang digugurkan tidak berturut-turut
11
3. Pembagian Hadits Dhaif
a. Ditinjau dari segi persambungan sanadnya
Ditinjau dari segi persambungan sanadnya (ittisal al-sanad), ternyata
para ulama hadits menemukan banyak hadits yang sanadya tdak
beresambung atau terputus. Hadits –hadits yang tergolong dalam
kelompok ini, diantaranya adalah hadits mursal, hadits munqati’, hadits
mu’dal, dan hadits mudallas.
Berikut adalah penjelasan hadits dha’if Ditinjau dari segi
persambungan sanadnya:
1) Hadits Mursal
Secara etimologis, “mursal” diambil dari kata “irsal” yang
berarti “melepaskan”. Kata ini digunakan sebagai istilah untuk
menyebut sebagai suatu hadits, karena orang yang meeriwayatkannya
melepaskan itu kepada Nabi, tanpa menyebut riwayatnya, yakni tidak
menyebutkan rawinya, yakni tidak menyebutkan seseorang yang
pertama mengeluarkan hadits itu.
Berdasarkan definisi diatas, maka hadits mursal dapat dibagi
dua macam, yaitu mursal al-jali dan mursal al-khafi. Jenis
hadits mursal al-jali yaitu tidak disebutkan nama sahabat tersebut
oleh tabi’in besar, sedang jenis kedua, mursal al-khafi, yaitu
pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil.
Termasuk dalam kategori hadits ini adalah hadits yang
diriwayatkan oleh sahabat yang ia sendiri tidak langsung menerima
dari Rasul saw.
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan hadits
mursal. Menurut Muhammad ‘Ajjal al-Khatib pertama, membolehkan
berhujjah dengan hadits mursal secara mulak. Ulama yang termasuk
kelompok pertama adalah Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad,
dan pendapat sebagian ahli ilmu. Kedua, tidak membolehkan secara
mutlak. Diceritakan oleh Imam Nawawi pendapat inididukung oleh
12
jumhur ulama ahli hadits, Imam Syafi’I, kebanyakan ulama ahl fiqih,
dan ahli ushul, dan ketiga, membolehkan menggunakan hadits mursal
apabila ada riwayat lain yang musnad, diamalkan oleh sebagian
ulama. Apabila terdapat riwayat lain yang musnad, maka hadits
tersebut bisa dijadikan hujjah.
2) Hadits Munqati’
Menurut Muhammad al-Sabag, hadits munqati’ adalah “hadits
yang gugur pada sanadnya seorang perawi, atau pada sanad tersebut
disebutkan seseorang yang tidak dikenal namanya.
Dilihat dari segi persambungan sanadnya, hadits
munqati’ jelas termasuk kategori hadits dha’if. Oleh karenananya
tidak dapat dijadikan hujjah. Sebab dengan gugurnya seorang perawi
atau lebih, menyebabkan hilangnya salah satu syarat-syarat dari hadits
shahih.
3) Hadits Mu’dhal
Secara etimologis, kata mu’dhal berarti “sesuatu yang sulit
dicari” atau “sesuatu yang sulit dipahami”. Sedangkan secara
terminologis hadits mu’dhal didefinisikan sebagai “hadits yang
gugur dua sanadnya dua atau lebih,secara berturut-turut”.
Hadits mu’dhal berbeda dengan hadits munqati’. Ada hadits
mu’dhal, gugurnya dua orang perawi terjadi secara berturut-turut.
Sedang pada hadits munqati’, gugurnya dua orang perawi, terjadi
secara terpisah (tidak berturut-turut).
4) Hadits Mu’allaq
Secara etimologis, kata mu’allaq adalah isim maf’ul dari kata
“allaqa” yang berarti “menggantungkan sesuatu pada sesuatu yang
lain sehingga itu menjadi tergantung”.Sedangkan secara terminologis
hadits mu’allaq adalah “hadits yang dihapus dari awal
sanadnyaseorang perawi atau lebih secara berturut-turut”.
13
Contoh hadits mu’allaq adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari pada mukaddimah bab mengenai “menutup paha”,’berkata
Abu Musa,“Rasulullah saw. Maenutupi kedua lutut beliau ketika
Usman masuk”. Hadits tersebut adalah hadits mu’alla, karena
bukhari menghapus seluruh sanadnya, kecuali sahabat, yaitu Abu
Musa al-Asy’ari.
Hadits mu’allaq hukumnya mardud (tertolak), karena tidak
terpenuhinya salah satu syarat qabul, yaitu persambungan sanad.
Hukum ini adalah untuk hadits mu’allaq secara umum. Akan tetapi
hadits mu’allaq yang terdapat dalam Kitab Shahih Bukhari dan
Muslim, mempunyai guru ketentuan khusus. Hal tersebut
dikarenakan pada dasarnya sanad dari hadi-hadits itu bersambung,
namun karena untuk meringkas dan mengurangi terjadinya
pengulangan, maka sebagian perawinya dihapus.
5) Hadits Mudallas
Secara etimologis, kata mudallas merupakan isim maf’ul dari
kata tadlis yang berarti “menyumbunyikan cacat barang yang dijual
dari si pembeli”. Sedangkan secara terminologi ilmu hadits,
didefinisikan sebagai “menyembunyikan cacat dalam sanad dan
menampakkannya pada lahirnya dalam bentuk yang baik.
b. Ditinjau dari Segi Sandarannya
Para ahli hadits memasukkan kategori kelompok hadits dha’if, segala
hadits yang mauquf dan dan maqtu’. Berikut penjelasannya:
1) Hadits Mauquf
Hadits mauquf yaitu hadits yang diriwayatkan berita yang
hanya disandarkan sampai kepada sahabat saja, baik yang disandarkan
itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung maupun
terputus.
2) Hadits Maqthu'
14
Yaitu perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang
tabi'iy serta dimauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung
maupun tidak. Contohnya adalah perkataan Haram bin Jubair yang
merupakan salah seorang senior dikalangan tabi'iy:"Orang mukmin itu
apabila telah mengenal Tuhannya , niscaya ia mencintai-Nya, dan
apabila ia mencintai-Nya, niscaya Allah menerimanya.
4. Kehujjahan Hadits Dha’if
Sebenarnya sikap ulama terhadap hadits dhaif itu sangat beragam,
diantaranya :
a. Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadits Dhaif
Bagi kalangan ini hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk
apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat
atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah.
Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.
Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam
Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya.
Di zaman sekarang ini, ada tokoh seperti Al-Albani dan para pengikutnya.
b. Kalangan Yang Menerima Semua Hadits Dhaif
Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara
bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu’). Bagi
mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi
derajatnya dari akal manusia dan logika.
Diantara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam
kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab
Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia.
Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul
Mubarok dan yang lainnya.
Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, “Bila kami
meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila
meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan.”
15
c. Kalangan Menengah/Moderat
Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari
hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah
kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf
dan khalaf.
Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif
antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga
Al-Imam An-Nawawi, sebagai berikut:
1) Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits
dha’if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh
sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa
diterima.
2) Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya
3) Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran
amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga
bukan masalah hukum.
4) Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya
hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.
d. Tingkatan Hadits Dha’if
Hadits dha’if bertingkat tingkat keadaannya berdasarkan lemahnya
para perawi antara lain: dha’if, dha’if jiddan, wahi, munkar. Dan
seburuk-buruk tingkatan hadits adalah hadits maudhu’, berikut
contohnya:
1) Sanad paling lemah dari Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah Shadaqah
bin Musa Ad-Daqiqy, dan Farqad As-Sabakhy, dari Murrah Ath-Thib,
Dari Abu Bakar.
2) Sanad paling lemah dari Ibnu Abbas adalah Muhammad bin Marwan,
dari Kalaby, dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas. Al-Hafidz ibnu Hajar
berkata: “ini adalah silsilah pendusta bukan silsilah emas.
e. Kitab yang diduga memuat Hadits Dha’if
16
Hadits-hadits dha’if banyak terdapat pada sebagian karya berikut:
1) Ketiga Mu’jam Ath-Thabarani – Al-Kabir, Al-Awsath, Ashaghir
2) Kitab Al-Afrad, karya Ad-Daruquthni. Di dalam kitab ini terdapat
hadits-hadits Al-Fardu Al-Muthlaq, dan Al-Fardu An-Nisbi.
3) Kumpulan karya Al-Khathib Al-Baghdadi
4) Kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’ karya Abu Nu’am Al-
Ashbahani
BAB
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Klasifikasi hadits berdasarkan kualitas sanad dan matan dibagi menjadi
tiga, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. hadits shahih adalah
17
satu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir,
disampaikan oleh orang-orang yang adil, memiliki kemampuan hafalan yang
sempurna (dhabith), serta tidak ada penyelisihan dengan periwayat yang lebih
terpercaya darinya (syadz) dan tidak ada ‘illat yang berat.
Hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih, hanya saja terdapat
perbedaan dalam soal ingatan perawi. Pada hadits shahih, ingatan atau daya
hafalannya sempurna, sedangkan hadits hasan kurang
sempurna. Hadits dha’if adalah hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-
syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan.
B. SARAN
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui
pembagian hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu sendiri,
supaya kita lebih yakin dalam menyampaikan hadits, dan untik bisa
membedakan keshabilan suatu hadits harus mengetahui pembagian-pembagian
hadits.
DAFTAR PUSTAKA
18
19