Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“STATUS MATAN, SANAD DAN RAWI”

Disusun Oleh :

Kelompok 8
Ika Putri Aristin (1911210169)
Oktavia muslimah ( 1911210174)
M. Farhan Mufid ( 1911210110)

Dosen Pengampu:
Dr. H. NasronHK.,M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah
memberikan kami kemampuan dalam menyelesaikan makalah ini, sehingga
makalah ini dapat diselesaikan. Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai status sanad, matan dan
rawi.
Makalah ini pastilah memiliki kekurangan di dalamnya. Adapun harapan
penulis agar pembaca dapat memberikan saran dan kritiknya pada makalah ini,
karena hasil tulisan penulis tidak terlepas dari kesalahan, seperti kesalahan dalam
penulisan ataupun yang lainnya. Untuk itu penulis memohon maaf jika terjadi
kesalahan dalam penulisan ataupun kesalahan lainnya, karena penulis adalah
manusia biasa yang memiliki keterbatasan kemampuan.

Bengkulu, 26 Mei 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... i


DAFTARISI........................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. RumusanMasalah ........................................................................ 1
C. TujuanPenulisan .......................................................................... 1
BAB II : PEMBAHASAN
A. Sanadhadis .................................................................................. 2
B. Matanhadis .................................................................................. 3
C. Rawihadis .................................................................................... 5
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 10
B. Saran ........................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
HadithmerupakansumberajaranIslamkeduasetelahAlqur‟an.Halini
sudah diakui secara ijma‟ oleh para ulama. Hadith merupakan petunjuk bagi
umat Islam dalam menjalani kehidupan di dunia, dan untuk mencapai
kebahagiaan diakhirat.
Berbeda dengan Alqur‟an yang ke-hujjah-annya bersifat darury, harus
diterima, dan diamalkan tanpa perlu diperiksa kebenarannya, hadith perlu
terlebih dahulu diteliti keabsahannya, agar bisa dijadikan hujjah. Pasalnya,
ketika satu ayat Alqur‟an diturunkan, Nabi langsung menyuruh sahabatuntuk
menuliskannya. Sementara dalam konteks hadith, ketika disabdakan tidak
langsung dituliskan kecuali ada catatan pribadi sahabat-sahabat tertentu.
Selama lebih kurang seratus tahun, hadith beredar dari mulut ke mulut (oral
tradition) dengan mengandalkanhafalan.
Baru pada awal Abad kedua Hijriyah, atas inisiatif khalifah Umar bin
Abdul Aziz, dimulailah pembukuan hadith.3 Mengingat begitu lamanya masa
pembukuan hadith pasca wafatnya Nabi, keberadaan para pe-rawi sebagai
manusia biasa yang tidak lepas dari kekhilafan, maka sangat dibutuhkan
ketelitian untuk menjaga orisinalitas sanad dan matan hadith.
B. RumusanMasalah
1. Apa Yang Dimaksud DenganSanad?
2. Apa Yang Dimaksud DenganMatan?
3. Apa Yang Dimaksud Dengan Rawi?
C. TujuanPenulisan
1. Untuk Mengetahui Yang Dimaksud DenganSanad.
2. Untuk Mengetahui Yang Dimaksud DenganMatan.
3. Untuk Mengetahui Dimaksud DenganRawi.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. StatusSanad
Sanad adalah isim mashdar yang kata kerjanya adalah sanaddayasnudu
artinya menyandarkan. Sedangkan sanad, artinya sandaran, atau sesuatu yang
dijadikan pegangan atau perlindungan. Dapat juga diartikan sebagai sesuatu
yang kita bersandar kepadanya.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa kekuatan hadis terletak pada
sanad dan matannya yang memerlukan persyaratan tertentu. Namun titik
tekannya adalah pada sanad. Sementara itu, pengaruh sanad terhadap
kedudukan hadis dimaksudkan sebagai dasar penetapan hukum. Oleh karena
itu, hadisnya yang sanadnya lemah, dapat menjadi kuat apabila ada sanad lain
yang lebih shahih dalam kasus yang sama. Misalnya adalah hadis nabi tentang
masalah siwak.

Artinya :
Dari Abu Hurairah, Rasulullah berkata, "Sekiranya tidak memberatkan
umatku, tentu saya perintahkan mereka untuk ber-siwak setiap hendak
mengerjakan shalat." (H.R. Muslim dan Turmudzi).
Hadis tersebut apabila dinilai melalui sanad Turmudzi adalah kurang
kuat, karena adanya Muhammad bin 'Amr, dan juga Abu Salamah kurang kuat
hafalannya. Namun karena ada syawâhid sanad lain melalui Muslim, maka
hadis tersebut di atas yang melalui jalur Turmudzi tidak kuat menjadi shahih.
Jika dilihat dari jalur Muslim.
Hadis tersebut dengan sendirinya shahih meskipun tanpa adanya sanad
yang lain. Adanya berbagai macam persyaratan dalam sanad berpengaruh
pada penetapan hukum. Sehubungan dengan hadis marfû' yang termasuk di
dalamnya mursal, muttashil, munqathi', dan mu'addhal, maka yang dijadikan
sebagai hujjah adalah hadis marfû' yang muttashil. Hasbih Ash-Shiddiqie
(1968:145)mengatakanbahwahadismarfû'yangtidakmuttashil,tidak

2
shahih semua perawinya, berlawanan dengan riwayat orang banyak, maka
tidak boleh dijadikan hujjah, dan bahkan tidak diberi nama dengan hadis
shahih.
para ulama sepakat bahwa hadis marfû' yang muttashil dapat dijadikan
sebagai hujjah. Sedangkan dalam hal hadis mursal, para ulama berbeda
pendapat dalam penggunaannya. Imam Malik, Ahmad menurut pendapat yang
populer, dan Abu Hanifah, menerima hadis mursal sebagai hujjah. Dasar
argumentasi mereka adalah hadis yang terdapat dalam (Shahih Bukhari: 287)

Artinya:
"Sebaik-baik kamu adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya
(sahabat), dan generasi yang mengikutinya (tâbi'in)".
Mereka beralasan bahwa tidak disebutnya sahabat oleh seorang tâbi'i di
dalam sanad, karena perawi tersebut telah memandang sahabat yang
dibuang dalam sanad tersebut sebagai adil. Imam Malik, seorang ulama yang
terkenal sangat teliti dalam menerima hadis, menerima hadis mursal yang
diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah. Sedangkan Abu Hanifah tidak
menerimanya jika yang meng-irsal-kan adalah sesudah tâbi'i at-tâbi'in (Ash-
Shiddiqie, 1965: 180).
Imam Syafi'i menerima hadis mursal sebagai hujjah dengan syarat (i)
hadis musal dari Ibn Musayyab, karena pada umumnya ia tidak meriwayatkan
hadis melainkan dari Abu Hurarirah. (ii) Hadis mursal yang dikuatkan
dengan hadis musnad baik yang shahih maupun dha'if (al-Khatib, 1975:
381). Menurut asy-Syaukani, hadis mursal tidak dapat dijadikan hujjah
secara mutlak karena keragu- raguan dan tidak diketahui dengan jelas
keadaan perawinya. Sedangkan syarat untuk mengamalkan sebuah hadis
adalah bahwa hadis tersebut diketahui keadaan perawinya
(Fathurrahman,1981:183).1
B. Matanhadis

1
M. Noor Sulaiman, Isnad dan Pengaruhnya, Jurnal Hunafa Vol. 2 No. 2 Agustus 2005: 93-
106.

3
Menurut bahasa kata matan berarti kekerasan atau kekuatan. Dapat
diartikan pula sebagai tanah yang keras dan tinggi. Sedangkan menurut istilah,
matan berarti: lafaz hadis yang terletak sesudah rawi dari akhir sanad yang
isinya meliputi perkatan, perbuatan dan taqrir Nabi. Jika mengacu kepada
definisi hadis musnad Ibnu Shalah di atas, maka dapat dikemukakan bahwa
syarat matan yang sahih, ialah bahwa matan tersebut tidak ada kejanggalan
(syuzuz ) dan tidak ada cacat.
Untuk memudahkan apakah matan hadis itu sahih atau tidak, maqbul
atau mardud, para ulama hadis telah memberikan syarat-syarat: Muhammad
Ajjaj al-khatib menetapkan bahwa syarat-syarat matan yang maqbul adalah
sebagai berikut:
a. Tidak bertentangan dengan akalsehat
b. Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur‟an yangmuhkan
c. Tidak bertentangan dengan hadis yangmutawatir
d. Tidak bertentangan dengan amalan ulama masa lalu (ulamasalaf)
e. Tidak bertentangan dengan dalil yang pasti (qath„i),dan
f. Tidak bertentangan dengan hadis ahad yangsahih.
Sedangkan dalam kitab Manhaj Naqd al-Matn, syarat-syarat tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Tidak bertentangan dengan petunjukal-Qur‟an
b. Tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebihkuat,
c. Tidak bertentangan dengan indera, akal sehat dansejarah,
d. Susunan matan hadis menunjukkan ciri-ciri sabda Nabi.
Sedangkan Subhi Shalih menyatakan bahwa matan hadis dapat
dikatakan sahih jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Susunan bahasanya tidak kacau,
b. Tidak bertentangan dengan akalsehat
c. Tidak bertentangan dengan tujuan pokok ajaranIslam,
d. Tidak bertentangan dengansunatullah
e. Tidak bertentangan dengansejarah

4
f. Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur‟an dan hadis mutawatir yang
qath‟i
g. Isinya masih wajar jika diukur dengan petunjuk umum ajaranIslam2.
C. RawiHadis
Adanya pengertian istilah rawi adalah orang yang meriwayatkan atau
manyampaikan hadis kepada orang lain atau seorang yang menuliskan hadis
yang pernah ia terima dari gurunya dalam kitab hadisnya atau dalam
catatannya.
Para ulama hadis dan ushul telah menetapkan syarat-syarat rawi sebagai
berikut:3
1. Islam
Para ulama hadis sepakat bahwa syarat Islam itu diperlukan bagi
rawi, yakni orang yang meriwayatkan hadis kepada orang lain, bukan
syarat yang diterapkan kepada orang yang menerima periwayatan hadis
dari orang lain. Maka dengan demikian, para ulama sepakat bahwa riwayat
orang kafir tidak dapat diterima.
Namun jika seorang rawi yang meriwayatkan hadis itu semula masih
kafir ketika ia menerima hadis dari Rasulullah, misalnya pada waktu itu ia
mendengar sendiri bahwa Rasulullah telah menyabdakan sesuat yang
berkaitan dengan urusan agama, seperti yang terjadi pada Jubair bin
Mut„im yang mendengar Nabi ketika shalat Maghrib membaca surat at-
Tur. Padahal waktu itu ia masih dalam keadaan kafir. Kemudian setelah
itu, ia masuk Islam, maka periwayatan itu dapatditerima.
Adapun periwayatan hadis dari orang fasiq, maka para ulama
sepakat bahwa jika orang fasiq itu telah bertobat, sudah menjadi baik
perihal tindakannya dan kemudian menjadi orang adil setelah bertobat,
maka dapat diterimaperiwayatannya.

2
Subhi al-Shalih, ‘Ulûm al-Hadîs , p. 264-266.
3
Subhi Salih, „Ulûm al-Hadîs wa Mustalahuh, (Beirut: Dâr al-„Ilm li Malayîn, 1977), p.
124 dan Muhammad „Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadîs:„Ulûmuh wa Musthalahuh, (ttp.:
Dâr al-Fikr, 1975), p. 229-232

5
Di samping itu, juga ada sementara ulama yang berpendapat bahwa
jika ada rawi yang tercela karena fasiq dan dengan terang-terangan serta
sengaja ia pernah mendustakan hadis Nabi, meskipun setelah itu bertobat
atas dosa yang dilakukan, maka persyaratannya tetap tidak dapat diterima.
Ulama yang termasuk dalam kelompok ini adalah Abu Bakar al-Sairafi.”.
Alasan pokok mengapa rawi fasiq itu tidak dapat diterima, tidak lain
karena kedustaannya itu merusak sendi-sendiagama.
b. Adil
Kata adil berasal dari kata dasar „adl. Kata kerja dari „adl adalah
ya„dilu yang berarti menyamakan. Jika dikatakan: “„Adaltu fulânan bi
fulanin, artinya: saya menyamakan keduanya atau saya memberi
keputusan yang benar antara keduanya. Pengertian adil adalah orang yang
benar ataujujur.
Bahwa seorang rawi dikatakan adil jika memenuhi syarat: dia
seorang muslim, tidak pernah melakukan bid„ah dan tidak pernah berbuat
dosa secara terang-terangan. Sementara itu Ibnu Shalih menyebutkan
keadilan rawi adalah: muslim, baligh, berakal, tidak fasiq dan selalu
menjaga muru„ah.
Lain lagi persyaratan adil bagi rawi yang dikemukakan oleh Ibnu
Hajar. Ibnu Hajar mengatakan bahwa syarat rawi adil adalah selalu
menjagamur‟ahdanselalutaqwadalamartiselalumenjauhihal-halyangburuk,
fasiqdan bid‟ah. Abdul Qadir Hasan memberikan definisi rawi,adil, yaitu
seorang rawi muslim, baligh, berakal dan selamat dari dosa dan dari hal
yang dapat merugikan kesempurnaandirinya.
Adil ini merupakan syarat mutlak bagi rawi. Jika seorang rawi hadis
mempunyai sifat-sifat tercela, maka dapat menggugurkan keadilannya.
Sebab atau sifat yang dapat menggugurkan keadilan seorang rawi, menurut
ulama hadis, yaitu: dusta, tertuduh dusta, fasiq (fusuq), jahâlah (tidak
diketahui keadaanya atau majhul) dalam menganut bid‟ah.
Cara mengetahui seseorang rawi yang bersifat adil dapat dilakukan
dengan dua jalan yaitu bahwa:

6
1) Rawi itu telah terkenal di dalam masyarakat sebagai rawi yang adil.
Dalam hal ini Imam Muhyiddin Abdul Hamid menjelaskan: “Jika
seorang rawi istiqamah dalam semua urusan, terkenal sebagai orang
tepuji di kalangan ahli ilmu, maka tidak dibutuhkan pengakuan
seseorang atas keadilannya. Ulama yang sudah terkenal keadilannya
dalam masyarakat, yaitu seperti Imam Malik, Asy-Syafi„i, Ahmad bin
Hanbal, al-Lais, Ibnu al-Mubarak, Syu„bah dan ImamIshaq.
2) Jika rawi itu tidak terkenal adilnya dalam masyarakat, maka harus ada
pengakuan tentang keadilannya itu sendiri dari seorang atau lebih.
Mengenai pengakuan tentang keadilan rawi, para ulama telah sepakat
jika pengakuan tentang keadilan rawi itu dilakukan oleh dua orang.
Tetapi mereka berbeda pendapat jika pengakuan itu hanya dilakukan
oleh seorang saja. Dalam hal ini al-Qadi Abu Bakar berpendapat
bahwa ulama ahli Madinah menetapkan bahwa adilnya seorang rawi
atau jarh-nya (cacatnya) seorang rawi harus ditetapkan oleh dua orang,
mereka mengqiyaskan dengan syahadah(persaksian). Sedangkan Ibnu
al-Hajib berpendapat bahwa kebanyakan ulama memandang bahwa
tentang „adalah dan jarh-nya seorang rawi cukup ditetapkan oleh
seorang. Mereka mengqiyaskan hal tersebut dengan hakim tidak
disyaratkan harusterbilang.
c. Dhabith
Yang dimaksud dengan dhâbith ialah orang yang dapat
menghafalkan sesuatu dengan sungguh-sungguh, atau dapat memelihara
hafalannya dengan baik. Adapun yang dimaksud dengan dhabith di sini
adapah orang yang mempunyai ingatan yang kuat, sehingga ia tetap masih
dapat mengingat dengan baik terhadap hadis sejak ia menerimanya sampai
ia meriwayatkan kepada orang lain. Para ahli hadis mensyaratkan bahwa
hadis yang dapat diterima dan diamalkan itu harus diriwayatkan oleh
seorang rawi yang adil dan dhâbith.
Rawi yang memiliki kedua sifat tersebut disebut dengan rawi yang
siqah. Orang fasiq, ahli bid„ah, orang yang tertuduh dusta dan majhul

7
walaupun ia seorang rawi yang dlâbith, tidak dapat diterima riwayatnya.
Demikian pula sebaliknya, rawi yang pelupa, banyak keliru, dan bodoh
meskipun ia seorang yang adil, tidak dapat diterima periwayatannya. Sifat
sifat tercela di atas dapat menjadikan rawi termasuk bukan rawi yang
siqah. Dan hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang mempunyai
sifat-sifat tercela tersebut menjadidla„if.
Rawi dlabit itu ada dua macam, yaitu dhabith shadran, artinya seorang
rawi kuat hafalannya sehingga ia hafal betul terhadap hadis yang pernah ia
terima dan ia sanggup meriwayatkan hadis itu kapan saja diperlukan tanpa
da kesalahan. Kedua adalah dhâbith kitâban, yaitu rawi yang dapat
memelihara semua catatannya mengenai hadis Nabi dan ia dapat
meriwayatkan hadis-hadis koleksinya sesuai dengan teks catatan aslinya
tanpa memperolehkesalahan.
d. Baligh
Sebagaimana diketahui, bahwa sejak anak masih dalam kandungan
sampai mumayyiz dan sebelum balig, ia mempunyai ahliyatul wujûb
(kecakapan menerima hak). Oleh karena ulama hadis sepakat bahwa
ukuran anak itu berakal agak sempurna di kala sudah mumayyiz yakni
pada saat ia sudah dapat membedakan yang baik dan buruk dan memahami
hukum syari„at agama. Dalam keadaan keadaan seperti ini, ia dianggap
sah menerima periwayatan hadis, tetapi ia belum merhak atau belum sah
meriwayatkan hadis kepada oranglain.
Menurut pendapat jumhur ulama hadis, bahwa anak kecil yang
sudah mumayyiz sah menerima periwayatan hadis dari Rasulullah. Pada
zaman Rasulullah masih hidup, banyak anak-anak kecil yang sudah
mumayyiz ikut mendengarkan periwayatan hadis, seperti Hasan, Husein,
Abdullah bin Zubair, Anasbin Malik, Abdullah bin Abbas,Abu
Sa‟idalKhudri, Muhammad bin al-Rabi‟dan lain sebagainya.
Kemudian setelah mereka dewasa dapat meriwayatkan hadis–hadis
yang mereka dengar kepada orang lain, karena mereka dipandang
mempunyai ahliyah ada`ur riwâyah (kecakapan menyampaikan

8
periwayatan). Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa jika
seorang rawi itu telah memenuhi syarat-syarat untuk meriwayatkan hadis,
yaitu: Islam, balig, adil dan dlâbith, maka periwayatan si rawi dapat
diterima. Akan tetapi dengan syarat-syaratnya bagi rawi belum berarti
bahwa suatu hadis sudah dapat diterima sebagai hujjah. Karena untuk
suatu hadis yang maqbûl dan dapat dijadikan hujjah masih memerlukan
syarat lain, yaitu syarat yang berkaitan dengan sanadhadis.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sanad berarti serangkaian rawi, sejak pertama sampai rawi-rawi akhir
yang meriwayatkan hadis sampai pada sumbernya yang pertama yaitu sampai
kepadaa Nabi saw. Matan berarti: lafaz hadis yang terletak sesudah rawi dari
akhir sanad yang isinya meliputi perkatan, perbuatan dan taqrir Nabi. Rawi
adalah orang yang meriwayatkan atau manyampaikan hadis kepada orang lain
atau seorang yang menuliskan hadis yang pernah ia terima dari gurunya dalam
kitab hadisnya atau dalam catatannya.
B. Saran
Demikian makalah ini yang dapat kami paparkan mengenai STATUS
SANAD, MATAN DAN RAWI . Tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahan karena terbatasnya pengetahuan kami dan kurangnya rujukan atau
referensi. Penulis berharap pembaca budiman dapat memberikan kritik dan
saran yang konstruktif kepada pemakalah demi sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca budiman, Aamiin.

10
Daftar Pustaka
M. Noor Sulaiman, Isnad dan Pengaruhnya, Jurnal Hunafa Vol. 2 No. 2 Agustus
2005
Subhi Salih, „Ulûm al-Hadîs wa Mustalahuh, (Beirut: Dâr al-„Ilm li Malayîn,
1977),
Muhammad „Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadîs:„Ulûmuh wa Musthalahuh, (ttp.: Dâr
al-Fikr, 1975)

11

Anda mungkin juga menyukai