Anda di halaman 1dari 19

JURNAL SKI

GERAKAN RADIKAL DALAM LINTASAN

SEJARAH ISLAM MASA DINASTI BANI UMAYYAH

(STUDI KASUS KHAWARIJ)

DiSusun Oleh :

Setra Rahayu Maningsih (1911210100)

Dosen Pengampu :

Muhammad Taufiqurrahman, M.Pd.I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO BENGKULU

2021
ABSTRAK

Dalam sejarah Islam istilah gerakan radikal bukanlah suatu fenomena baru, sebut saja
sebuah aliran keagamaan dalam Islam, yaitu khawarij yang terkenal dengan paham radikal
dan tidak kenal kompromi. Hal ini terbukti dalam sejarah Islam ketika mereka melakukan
pembunuhan terhadap khalifah Ali Bin Abi Thalib pasca perundingan kan (tahkim). Dalam
lintasan sejarah Islam, kelompok khawarij berkembang menjadi beberapa sekte Al-azariqah
pada masa dinasti Bani Umayyah. Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar.
Mereka menyatakan diri keluar dari barisan Ali Bin Abi Thalib dalam persengketaan nya
dengan muawiyah. Kaum khawarij menyusun kembali barisan mereka untuk meneruskan
perlawanan mereka terhadap kekuasaan Islam resmi, baik di zaman dinasti Bani Umayyah
maupun di zaman kekuasaan dinasti Bani Abbasiyah mereka anggap telah menyelewengkan
Islam, karena itu meski ditentang dan dijatuhkan. Khawarij sebagai Sekte muncul sebagai
hasil dialektika atas perbedaan dalam penafsiran konsep kekhalifahan, yang kemudian
berkembang dan menjalar pada historis genealogis kemunculan khawarij.

Kata kunci : Radikal, Masa Dinasti Bani Umayyah, Khawarij.

A. Pendahuluan

Kata radikal sedang mengalami deformasi luar biasa. Maknanya sudah bergeser jauh
dari positif menjadi negatif. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) kata radikal
mempunyai pemahaman secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip). Dapat juga
diartikan sebagai sifat maju dalam hal pola pikir atau tindakan. Dari Pengertian tersebut
sebenarnya istilah radikal bermakna positif yang menunjukkan sesuatu yang sifatnya
berpegang teguh kepada prinsip. Seperti istilah muslim radikal, kebanyakan kita akan
mengartikan istilah ini sebagai orang Islam yang senang kekerasan dan perang. Padahal arti
sebenarnya adalah orang Islam yang melaksanakan ajaran agama sesuai dengan ajaran Islam.

Munculnya gerakan radikal dalam Islam disebabkan dari krisis identitas yang berujung
pada reaksi dan resistensi terhadap barat yang melebarkan kolonialisme dan imperialisme
kedunia Islam. Terpecahnya dunia Islam ke dalam berbagai negara bangsa, dan proyek
modernisasi berhaluan Barat, mengakibatkan beberapa kelompok Islam seperti ISIS
melakukan perlawanan terhadap rezim yang dianggap sekular dan menyimpang.1

1
Anzar Abdullah, “Gerakan Radikalisme Dalam Islam Perspektif Historis”, Jurnal Addin,Vol.10,No.1, (Februari,
2016),p.2-3
Kelompok umat Islam jam-jam yang berkembang saat ini sebenarnya terpengaruh pada
pola-pola khawarij pada masa awal sejarah umat Islam. Khawarij merupakan cikal bakal
lahirnya kelompok umat Islam yang ekstrem dan radikal yang gemar mengkafirkan saudara
muslimnya. Muslim yang tidak sepaham dengan mereka dianggap kafir dan halal untuk
dibunuh. Dari kesamaan ideologi inilah ISIS dianggap sebagai khawarij masa kini yang
dikenal neo-khawarij (khawarij baru).

Pada masa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa salam hampir dipastikan tidak ada
masalah dalam interprestasi dan implementasi berbagai dasar pokok-pokok ajaran Islam,
apakah itu dalam hal syariat, aqidah maupun siyasah, karena walaupun terjadi perselisihan,
para sahabat bisa secara langsung datang dan bertanya kepada nabi sebagai sumber rujukan
utama dalam menyelesaikan perselisihan. Dan ketika pasca nabi yakni masa Khulafaur
Rasyidin mulai muncul-muncul pergumulan pemikiran tentang interpretasi atas ayat-ayat
Alquran yang berkenaan dengan syariat maupun siyasah, terutama dalam hal kekhalifahan.

Di antara perselisihan-perselisihan pasca nabi itu, kemudian muncullah beberapa


kelompok, salah satunya adalah khawarij yaitu aliran oposisi revolusioner pertama dalam
sejarah Islam yang vis a Vis dengan syaiah (partai) Ali, perselisihan yang pada mulanya
seputar siyasah yakni tentang proses pergantian kekhalifahan, kemudian berkembang menjadi
perselisihan akidah.

Hal tersebut tentu wajar karena agama hidup dalam ruang sejarah, interprestasi,
dinamika keyakinan, dan pengalaman keagamaan, serta cara berpikir. Sebab Islam,
sebagaimana agama yang lainnya, memiliki sejumlah aspek pokok ajaran/doktrin, dan para
penganutnya punya banyak metode pendekatan dalam memahami pokok ajarannya (doktrin)
tersebut. Tentu berbagai macam metode pendekatan tersebut memunculkan banyak sekali
pergumulan pemikiran, bahkan pertentangan. Maka sangat menarik apabila kita melakukan
kajian dalam konteks kemunculan berbagai pemikiran-pemikiran tersebut.

B. Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah (historical
method) yang di dalamnya terdapat beberapa langkah yang harus ditempuh di antaranya
heuristik , kritik sumber baik kritik internal maupun kritik eksternal, interpretasi, dan
historiografi. Metode ilmu sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis,
rekaman dan peninggalan masa lalu manusia guna memperoleh kontruksi aktivitas
manusia tersebut pada masa lalu.
Langkah pertama adalah ―heuristic‖, yaitu mencari dan mengumpulkan data
tentang Pemikiran Khawarij‘. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
dengan teknik, yaitu studi pustaka. Buku-buku yang mengkaji/ membahas tentang
Pemikiran Khawarij‘.

Kritik eksternal yaitu melakukan pengujian otentitas atau keaslian data.


Sementara kritik internal yaitu dilakukan untuk menguji keabsahan informasi atau
data mengenai Pemikiran Khawarij‘ yang diperoleh dari studi pustaka. Hal ini
dilakukan dengan cara tekun dan tidak tergesa-gesa terhadap sumber informasi yang
diperoleh. Kemudian langkah ketiga, berupa analisis dan interpretasi data yang
terkumpul dengan mengurutkan, mengklasifikasi sesuai dengan pengelompokan yang
ditentukan sehingga diperoleh data yang dapat dipercaya kebenarannya.

Tahap keempat tahapan terakhir dari metode sejarah yaitu penulisan atau
historiografi. Pada tahap ini fakta-fakta yang ditemukan akan dideskripsikan dalam
bentuk penulisan yang sistematis menjadi karya ilmiah. Maka demikian terlihat gambaran
untuk Pemikiran Khawarij‘.
C. Pembahasan

Nama dinasti Bani Umayyah diambil dari Umayyah bin Abd Al-Syam, kakek abu
Sufyan. Umayyah segenerasi dengan Abdul Muthalib kakek Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam dan Ali bin Abi Tholib. Dengan demikian, Ali Bin Abi Thalib segenerasi
pula dengan muawiyah bin Abi Sofyan. Ali Bin Abi Thalib berasal dari keturunan Bani
Hasyim sedangkan muawiyah berasal dari keturunan Bani Umayyah titik kedua keturunan ini
merupakan orang-orang yang berpengaruh dalam suku Quraisy.2 Cikal bakal berdirinya
dinasti Umayyah dimulai ketika masa khalifah Ali. Pada saat itu muawiyah yang menjabat
sebagai gubernur di damaskus yang juga masih kerabat Usman menuntut atas kematian
Utsman.

Dengan taktik dan kecerdikannya ia mempermainkan emosi umat Islam. Muawiyah


tidak mau menghormati Ali, dan menyudutkannya pada sebuah dilema menyerahkan para
pembunuh Utsman, sehingga ia harus diturunkan dari jabatan khalifah.3

Dari perselisihan tersebut terjadilah peperangan antara Ali dan muawiyah peperangan
tersebut dikenal sebagai perang siffin, karena terjadi di daerah bernama siffin.

2
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah peradaban Islam, (Padang IAIN-IB Press, jilid 1,cet ke-2, 2002) hal. 83
3
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2013) hal. 224-225
Dalam pertempuran itu hampir-hampir pasukan muawiyah dikalahkan pasukan Ali, tapi
berkat siasat penasehat muawiyah yaitu Amr bin ‘Ash, agar pasukannya mengangkat mushaf
mushaf Alquran di ujung tebing mereka, pertanda seruan untuk damai dan melakukan
perdamaian (tahkim) dengan pihak Ali dengan strategi politik yang sangat menguntungkan
muawiyah.4

Bukan saja perang itu berakhir dengan tahkim shiffin yang tidak menguntungkan Ali,
tapi akibat itu pula kubus Ali sendiri menjadi terpecah dua yaitu yang tetap setia kepada Ali
disebut Syiah dan yang keluar disebut khawarij. Sejak peristiwa itu, Ali tidak lagi
menggerakkan pasukannya untuk menundukkan muawiyah tapi menggempur habis orang-
orang khawarij, yang terakhir terjadi peristiwa nahrawan pada 09 shafar 38 H, dimana dari
1800 orang kemarin hanya 8 orang yang selamat jiwanya sehingga dari 8 orang itu menyebar
ke Amman, Kannan, Yaman, sajisman, dan ke jazirah Arab.5 Pada Ali terbunuh oleh seorang
anggota khawarij.

Kedudukan Ali sebagai Khalifah kemudian di jabat oleh anaknya Hasan selama
beberapa bulan. Namun, karena Hasan ternyata lemah, sementara mu’awiyah semakin kuat,
maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam
kembali dalam satu kepemimpinan politik, dibawa muawiyah bin Sufyan.6

Dengan meninggalnya Ali (661) pemerintahan yang dapat kita sebut sebagai periode
kekhalifahan republik-dimulai saja kekhalifahan Abu Bakar (623)- berakhir. Empat khalifah
pada masa ini dikenal oleh para sejarawan Arab sebagai al-rasyidin pendiri khalifah kedua,
muawiyah dari keluarga Umayyah, menunjuk putranya sendiri, Yazid, sebagai penerusnya
sehingga ia menjadi seorang pendiri dinasti. Dengan demikian, konsep pewarisan kekuasaan
mulai diperkenalkan dalam suksesi kekhalifahan, dan sejak itu tidak pernah sepenuhnya
ditinggalkan. Kekhalifahan Umayyah adalah ah dinasti (Mulk) pertama dalam sejarah Islam.7

Berikut nama-nama ke-14 khalifah dinasti Bani Umayyah yang berkuasa:

1. Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680M)


2. Yazid Bin muawiyah (60-64/680-683)
3. Muawiyah bin Yazid (64-65H/683-684M)

4
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2008) hal. 103
5
Ahmad Al-Usairi, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta : Akbar Media Sarana,
2003) hal. 176
6
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cet-16, 2004) hal. 40
7
Philip K. Hitti, History Of The Arabs. Hal 229
4. Marwan bin Hakam (65-66H/684-685 M)
5. Abdul Malik bin Marwan (66-86 H/685-705M)
6. Walid Bin Abdul Malik (86-97 H/705-715M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik (97-99H/715-717M)
8. Umar bin Abdul Aziz (99-101H/717-720M)
9. Yazid Bin Abdul Malik (101-105H/720-724M)
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125H/724-743 M)
11. Walid Bin Yazid (125-126H/743-744M)
12. Yazid bin Walid (126-127H/744-745 M)
13. Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
14. Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)

Gerakan radikal sebenarnya terjadi di semua agama di dunia. Dalam setiap agama
selalu terdapat kelompok minoritas yang militan, extreme, dan radikal.8

Istilah radikal berasal dari bahasa latin “radix”. Menurut the new shorter Oxford
English dictionary, yang berarti akar, sumber atau asal mula. 9 Hampir sama dengan
pengertian itu, dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), radikal diartikan sebagai
“pemahaman secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip)” dan “maju dalam hal pola
pikir atau tindakan”. Dalam perspektif ilmu sosial, istilah radikal erat kaitannya dengan sikap
atau posisi yang mendambakan perubahan dengan jalan menghancurkan secara total dan
menggantinya dengan sesuatu yang baru yang sama sekali berbeda.

Pengertian Islam radikal adalah orang Islam yang mempunyai pikiran yang kaku dan
sempit dalam memahami Islam, serta bersifat eksklusif dalam memandang agama-agama
lainnya. Kelompok radikal akan ada di dalam setiap agama apapun termasuk di agama Islam
sekalipun.10

Islam radikal merupakan bentuk ekstrem dari gejala revivalisme, jika revivalisme
dalam bentuk kegiatan keislaman lebih berorientasi ke dalam dan karenanya bersifat
individual. Maka pada Islam radikal, kegiatan itu tidak hanya diarahkan ke dalam, tetapi juga
diarahkan keluar. Dengan demikian Islam radikal menjelma dalam komitmen yang tinggi

8
Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi,
(Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2006), p. 102
9
Oxford University, The new shorter oxford English Dictionary, (New York: Oxford University Press, 1993), p.
2464
10
Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai kritik sosial mengedepankan islam sebagai inspirasi, bukan aspirasi,
(Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2006),p.100
tidak hanya untuk mentransformasi kehidupan individual, tetapi sekaligus juga komunal dan
sosial. Kegiatan pada orientasi keluar ini yang menyebabkan Islam radikal yang bersifat
eksoteris dengan menekankan batas-batas kebolehan dan ketidakbolehan terhadap fiqih
perjuangan menegakkan eksotisme inilah yang kemudian diusung menjadi tema pelaksanaan
syariat Islam.11

Menurut Emma Laisa faktor penyebab terjadinya Islam radikal adalah sebagai berikut:12

1. Faktor agama, yaitu sebagai bentuk purifikasi (pembersihan) ajaran Islam dan
pengaplikasian khilafah islamiyah di muka bumi. Terdorongnya semangat
islamisasi secara global ini tercetus sebagai solusi utama untuk memperbaiki
berbagai permasalahan yang yang oleh golongan radikal dipandang sebagai akibat
semakin menjauh nya manusia dari agama.
2. Faktor sosial-politik, disini terlihat jelas bahwa umat Islam tidak diuntungkan oleh
peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuasaan yang
mendominasi. Penyimpangan dan ketimpangan sosial yang merugikan komunitas
muslim, menyebabkan terjadinya gerakan radikalisme yang ditopang oleh
sentimen dan emosi keagamaan.
3. Faktor pendidikan, minimnya jenjang pendidikan, mengakibatkan minimnya
informasi pengetahuan yang didapat, ditambah dengan kurangnya dasar
keagamaan mengakibatkan seseorang mudah menerima informasi si keagamaan
dari orang yang dianggap tinggi keilmuannya tanpa dicerna terlebih dahulu, hal ini
akan an-nur merang jika informasi didapat dari orang yang salah.
4. Faktor kultural, barat dianggap oleh kalangan muslim telah dengan sengaja
melakukan proses marjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan muslim sehingga
umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas. Barat, dengan sekularisme nya,
sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori budaya-budaya bangsa timur dan
Islam, juga dianggap bahaya terbesar keberlangsungan moralitas Islam.
5. Faktor ideologis anti westernisasi, westernisasi merupakan and1 pemikiran yang
membahayakan muslim dalam mengaplikasikan syariat Islam sehingga simbol-
simbol barat harus dihancurkan demi penegakan syariat Islam. Walaupun motivasi
dan gerakan anti barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan
tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan

11
Mukhsin Jamil, Agama-agama Baru di Indonesia,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), p.118
12
Emma Laisa “ Islam dan Radikalisme “, Jurnal Islamuana , Vol.1, No. 1, (Juni,2014), p.7
ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya
dan peradaban.

Khawarij kata khawarij berasal dari bahasa Arab, jamak dari kata Khaarij, artinya
keluar. Khawarij dikenal sebagai kelompok yang keluar dari partai Ali, namun syahrasytani, 13
mendefinisikan khawarij dalam arti luasnya sebagai setiap orang yang keluar dari pemimpin
sah ia memperoleh persetujuan masyarakat. Menurutnya, khawarij tidak hanya terbatas pada
orang-orang yang membelot pada Ali Bin Abi Thalib saja sama tetapi juga setiap pembelot,
baik pembelot pada masa sahabat maupun pada masa setelahnya. Tetapi ada pula yang
berpendapat bahwa pemberian nama khawarij didasarkan atas (Quran surat an-nisa ayat 100),
yang di dalamnya disebutkan; keluar dari rumah lari kepada Allah dan rasulnya.
Sebagaimana pandangan khawarij sendiri bahwa mereka adalah orang yang meninggalkan
rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan rasul-Nya.14

Kemudian mereka juga menyebut diri mereka Syurah, yang berasal dari kata yasri
(menjual), sebagaimana dalam ayat, ada manusia yang menjual dirinya untuk memperoleh
keridhaan Allah. (Quran surat al-baqarah ayat 207). Maksudnya, mereka adalah orang yang
sedia mengorbankan diri untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Khawarij juga memiliki banyak
julukan lain diantaranya adalah; Al-Haruriyyah (emansipotoris), Asy-Syura (pengorbanan),
Al-Mahkkamah (pengadilan) dan Al- Mariqah (Murtad). Mereka menerima semua julukan ini
kecuali yang terakhir yang menyatakan keluar dari agama.15

Pasca terbunuhnya khalifah Utsman dalam sebuah tragedi, ketika para demonstran yang
sebelumnya mengepung rumah Utsman selama 4 bulan, berhasil menguasai rumahnya hingga
terbunuhnya Utsman. Kondisi umat Islam pasca itu tidak stabil bahkan mendekati chaos,
sehingga harus ada kepemimpinan baru untuk mengatasi kondisi tersebut, maka segeralah
dilantik Ali bin Abu Tholib sebagai figur yang paling cocok untuk memegang tampuk
kepemimpinan. Hal yang pada awalnya menolak kedudukan sebagai khalifah, namun karena
adanya desakan dan ancaman akan terjadinya fitnah jikalau masalah kekhalifahan ini belum
selesai. Dengan kondisi yang seperti itu, sayyidina Ali yang lebih mengutamakan persatuan
umat, akhirnya mempersilahkan dilakukan pembayaran kepada dirinya sebagai khalifah
sesuai dengan prinsip Syura dan ahli badar.16

13
Syahrasytani dalam Neveen Abdul Khalik Musthafa, Oposisi Islam, (Yogyakarta : LKIS, 2012), h. 252
14
Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), (Jakarta: UI-Press, 2012), h. 13
15
Abu Hasan Asy’ari dalam Neveen Abdul Khalik Musthafa, Oposisi Islam, (Yogyakarta: LKIS, 2012), h. 251
16
Lihat Ibnu Qutaibah, Al-Imamatu wa As- Siyasah Jilid 1. (Kairo: Musthafa halabi, 1967), h. 46
Sejak awal, Ali radhiyallahu Anhu menjadi khalifah sudah dihadapkan tanggung jawab
atas berbagai persoalan yaitu :

1. Mengusut tuntas atas kasus kematian Utsman


2. Mengatasi sikap Bani Umayyah terutama muawiyah yang sejak awal menolak
kekhalifahan Ali
3. Menyelesaikan konfrontasi antara umat Islam yang terjadi di penduduk hijaz melawan
penduduk Syam dalam pertempuran bersenjata17

Masalah-masalah yang dihadapi Ali pun semakin rumit karena muawiyah kukuh dalam
sikap nya tidak mengakui kekhalifahan Ali, juga ketika beberapa kali usulan khalifah Ali
untuk melakukan perundingan untuk menghindari peperangan antar sesama kaum muslimin
ditolak oleh muawiyah, maka meletuslah perang shiffin yang tidak bisa terelakan, peperangan
ini berlangsung berbulan-bulan bahkan ada ia menyebut selama 14 bulan, dan ketika hari-hari
akhir dalam perang ini pasukan khalifah Ali bin Abi Tholib sudah diambang kemenangan,
sedangkan posisi pasukan muawiyah jauh dari menguntungkan, maka pihak muawiyah pun
menghalalkan segala cara agar tidak kalah, dan Amr bin ash sebagai penasehat muawiyah
mempunyai strategi politik Yang licik ia mengusulkan untuk melakukan perundingan atau
dikenal dengan tahkim (arbitrasi).

Muawiyah lantas mengambil Alquran dan memanggil asistennya untuk menyebarkan di


antara dua kubu tersebut. Iya berkata, keputusan diantara kami dan kalian adalah mushaf ini.
Ketika sebagian pasukan Ali mendengar seruan ini mereka langsung meninggalkan medan
perang tanpa memperdulikan komando pimpinan. Mereka mengatakan, Alquran telah tiba,
kita tidak boleh lagi berperang. Dan sebagian pasukan lain, yang masih loyal kepada Ali tidak
menghiraukan seruan itu Dan menganggap hanyalah tipu muslihat koma-komaan dan mereka
adalah Malik Al-Asytar. Sedangkan khalifah Ali sendiri menganggap bahwa strategi tahkim
adalah tipu muslihat, muawiyah bukanlah seorang ahli Alquran dan ia tidak meyakini nya.
Namun kelompok yang setuju dengan tahkim itu tetap ingin meninggalkan perang bahkan
justru mengancam imam Ali akan dibunuh, jika tidak memerintahkan Malik untuk
menghentikan perang. Mereka mengatakan Malik telah kafir. Sehingga dengan terpaksa,
imam Ali pun akhirnya mau menerima tahkim itu.

Kejadian tersebut memiliki efek sangat krusial, sehingga menimbulkan perpecahan dan
perselisihan di kalangan kelompok Ali Bin Abi Thalib. Hal ini semakin bertambah parah

17
Abu Hasan Asy’ari dalam Neveen Abdul Khalik Musthafa, Oposisi Islam, (Yogyakarta: LKIS, 2012), h. 253
dengan adanya perselisihan yang terjadi antara dua hakim, seperti yang diceritakan para
sejarawan dengan adanya penipuan oleh kelompok muawiyah yang diwakili oleh Amr bin
Ash terhadap hakim yang dipilih kelompok Ali yaitu Abu Musa Asyari. Sebenarnya Ali
memilih Ibnu Abbas sebagai wakilnya namun kaum khawarij menolak karena dia adalah
anak paman beliau, sehingga dianggap tidak netral, lalu beliau memilih Malik, namun tetap
ditolak hingga akhirnya terpaksa imam Ali mengikuti keinginan mereka yang memilih
diwakili oleh Abu Musa.18 Kejadian tahkim ini banyak menyulut perdebatan seputar kondisi
dan hakikat peristiwa yang terjadi didalamnya. Namun demikian, tahkim merupakan salah
satu syarat jelas tentang pengkristalan pemikiran khawarij.19

Dari kejadian tahkim itulah semakin melemahkan pasukan imam Ali, serta
mencetuskan perpecahan yang berlarut-larut, diantaranya munculnya kelompok khawarij
sebagai aliran oposisi revolusioner pertama dalam sejarah Islam bahkan sebagian pakar
menyebutnya partai politik pertama dalam sejarah Islam titik dengan karakter dan pribadi
yang khas.20

Menurut pendapat dari Abdul Qodir Baghdadi adalah yang paling mampu
merepresentasikan dan mempertemukan bermacam-macam sekte mereka, 21 ia meriwayatkan
dari perkataan Abu Hasan Asy'ari bahwa pemikiran khawarij dibangun berdasarkan salah
satu dari, yaitu:

1. Keputusan umum khawarij terhadap Ali Bin Abi Thalib dan para pemimpin
sebelumnya berikut tindakan mereka.
2. Khawarij Al-khuruj (memberontak; revolusi) terhadap penguasa lain.

Tentang prinsip yang pertama, khawarij mengakui sahnya pembaiatan Khalifah Abu
Bakar, Umar Bin Khattab, dan bahkan mendukung penuh dua khalifah ini, kemudian
terhadap Khalifah Usman bin Affan, khawarij hanya mendukung selama 6 tahun pertama
masa kekhalifahannya, dan terhadap khalifah Ali Bin Abi Thalib mereka hanya mengakui
sebelum peristiwa tahkim, namun pasca tahkim, mereka membelot bahkan memvonis kafir
kepada sayyidina Ali. Bagi khawarij tidak ada perbedaan antara maksiat dan kafir maka
ketika seseorang melakukan maksiat secara otomatis dia menjadi kafir. 22 Oleh sebab itu

18
Syaikh Muhammad Abdul dalam Mutiara Nahjul Balaghoh. (Bandung, Mizan, 1993), h. 82
19
Ibnu Qutaibah dalam Neveen Abdul Khalik Musthafa, Oposisi islam, (Yogyakarta: LKIS, 2012), h. 254
20
Neveen Abdul Khalik Musthafa, Oposisi islam, (Yogyakarta: LKIS, 2012), h. 254
21
Abdul Qadir Baghdadi dalam Neveen Abdul Khalik Musthafa, Oposisi islam, (Yogyakarta: LKIS, 2012), h. 257
22
Neveen Abdul Khalik Musthafa, Oposisi islam, (Yogyakarta: LKIS, 2012), h. 258
mereka mengkafirkan orang-orang yang ada pada perang Jamal, perang shiffin dan dua peran
hakim serta muawiyah beserta para pengikutnya.23

Menurut khawarij semua perpecahan itu berasal bukan ketika dia menarik diri dari
peperangan shiffin, bukan juga ketika salah dalam memilih Abu Musa sebagai wakil, namun
kesalahan terbesar adalah karena menerima tahkim, sehingga menurut mereka menerima
tahkim adalah kekufuran. Menjadikan manusia menjadi hakim adalah kufur, karena itu
dikenal slogan utama mereka (la hukma Illa Li Allah). “tidak ada hukum kecuali hukum
Allah”. Hal ini terkait dengan pemahaman mereka terhadap ayat ini: “barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir”.24

Jadi, takfir (pengkafiran) tanpa terjadi corak yang khas dari pemikiran khawarij, hal itu
merangsang sejumlah pergumulan pemikiran tentang definisi “kafir” dan “iman”, begitu juga
tentang definisi-definisi yang lain “maksiat” dan tingkat-tingkat maksiat, perbedaan Al-fisqu’
(fasiq) dan Al-khatta’ (salah), dan lain sebagainya yang kemudian mendorong perkembangan
pemikiran pemikiran dalam Islam untuk selanjutnya.25

Kedua, inilah yang menjadi kekhasan dari pemikiran khawarij, yakni seputar khalifah,
syarat-syarat khalifah sebagaimana pelaksanaannya termasuk bagaimana bersikap jika
terhadap penguasa yang lain. Neveen Abdul Khalik membagi pendapat mereka tentang hal
ini menjadi 6 pokok berikut rincian secara singkat:

1. Proses pengangkatan khalifah hanya bisa melalui pemilihan bebas yang dilakukan
masyarakat secara umum tidak bisa diwakili sekelompok tertentu dari masyarakat
khalifah harus menegakkan keadilan menjalankan syariat serta menjauhkan diri dari
kesalahan dan penyelewengan. Jika khalifah menyimpang dari itu maka ia wajib
diturunkan atau dibunuh.
2. Khawarij ini sangat fleksibel karena pada awalnya mereka menyuarakan bahwa
Khalifah merupakan hak setiap Arab yang merdeka namun tak kalah banyak orang
asing yang bergabung ke dalam paham mereka khawarij tidak lagi mensyaratkan
kearaban mereka hanya mensyaratkan Islam ilmu dan keadilan.
3. Diantara sekte khawarij, yaitu sekte nejdat’ yang berpendapat bahwa tidak harus
mengangkat imam jika manusia telah mampu menegakkan keadilan. Jadi
pengangkatan imam tidak diwajibkan syariat.
23
Sulthan Fathoni, Peradaban Islam, (Jakarta; Elsas 2007), h. 33
24
Al-Qur’an (QS. 5;44)
25
Dhiyauddin Reis, dalam Neveen Abdul Khalik Musthafa, Oposisi islam, (Yogyakarta: LKIS, 2012), h. 259
4. Takfir (pengkafiran), ini adalah yang terkenal dari pemikiran khawarij pengkafiran
pada setiap penentangnya. Khawarij gagal membedakan antara satu dosa dengan dosa
lainnya. Mereka menganggap orang yang salah dalam berpendapat sebagai pendosa.
Orang yang bersalah dalam ijtihad juga mereka dikeluarkan dari agama dan
mengkafirkannya. Prinsip inilah yang membuat khawarij selalu memberontak dan
berevolusi baik terhadap umat Islam maupun terhadap para ulama. Ini sangat terkait
dengan cara khawarij menafsirkan ayat-ayat Alquran yang menurut seleranya sendiri,
tanpa memperhatikan sunnah. Oleh karena itu ketika sayyidina Ali radiallahu anhu
mengutus Ibnu Abbas berdebat dengan kaum khawarij, ia berkata jangan mendebat
mereka dengan Alquran. Karena ia tahu bahwa mereka meletakkan makna ayat-ayat
Alquran dalam kerangka makna yang sudah mereka buat sebelumnya.26
5. Slogan khawarij yang terkenal adalah; la hukma Illa Li Allah (tidak ada putusan
selain putusan Allah) yang sedikit sudah dijelaskan sebelumnya.
6. Hijrah, hijrah tampak menjadi tanda yang berkaitan dengan takfir sejak mula pertama
pemikiran khawarij, yaitu kejadian tahkim. Hal itu terkait dengan khutbah Abdullah
bin Wahab Rasibi (imam dari aliran khawarij) yang mengajak untuk berhijrah,
ber’amar ma’ruf nahi mungkar. Kaum khawarij memandang bahwa negara sudah
penuh dengan para pendosa oleh sebab itu mereka harus berhijrah ke negara dar As-
Salam, sebagaimana hijrahnya nabi shallallahu alaihi wasallam menuju Madinah.27

Keyakinan khawarij tentang wajibnya Amar ma'ruf nahi mungkar inilah ia membuat
mereka konsisten dengan revolusi secara terus-menerus, selalu memberontak dan
mengangkat senjata untuk menentang para imam yang mereka anggap lain. Menurut mereka
revolusi itu hukumnya wajib dan tidak boleh berhenti kecuali sampai mati dan juga ketika
jumlah mereka kurang dari 3, maka mereka akan diam dan menyembunyikan aqidahnya,
inilah yang disebut sayyidina Ali sebagai fenomena kejumudan dan kebekuan berfikir,
khawarij tidak berbuat berdasarkan hati dan logika sehat, begitu juga dalam hal Amar ma'ruf
nahi mungkar tidak membuat perhitungan atas realitas masalah, dan logika yang benar.28

Ibnu Abi al-hadid mengatakan, jika anda hendak mengetahui apa hakekat kebodohan
dan kejumudan, maka perhatikanlah khawarij, ketika mereka telah menetapkan keputusan
untuk membunuh 3 orang, yaitu Ali bin Abi Tholib, muawiyah, dan Amr bi Ash serta untuk
memutuskan melaksanakan pembunuhannya pada malam ke 19 di bulan Ramadan, dalam
26
Jalaluddin Rakhmat, Menyerap Kearifan al-Qur’an melalui Tafsir Bi Ma’tsur, (Bandung, Mizan, 2012), h. 8
27
Lihat Abu Zahra dalam Neveen Abdul Khalik, Oposisi islam, (Yogyakarta: LKIS, 2012), h. 264
28
Murtadhan Muthahari, Islam dan Tantangan…..h. 85
riwayat lain tanggal 17 Ramadan, mereka mengatakan bahwa mereka akan melaksanakan
ibadah kepada Allah. Ibnu Abbas mengatakan; tidakkah haruriyah (khawarij) lebih
mengetahui hukum dari orang Yahudi dan Nasrani, mereka semua adalah sesat.29

Mereka mengira bahwa perbuatan membunuh yang akan mereka lakukan itu adalah
salah satu kebajikan, karena itu alangkah lebih utama kalau perbuatan itu dilakukan pada
suatu malam di bulan Ramadan yang penuh berkah agar mereka akan mendapatkan pahala
jauh lebih besar. Maka pada saat yang ditentukan itu Abdurrahman Bin muljam menebas
kepala Amirul mukminin sayyidina Ali Bin Abi Thalib yang sedang melakukan salat malam,
sungguh perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan. Sehingga sangat pantas syahid
muthahari mengatakan bahwa, jika kita bertanya perihal apa yang membunuh imam Ali Bin
Abi Thalib, maka kita harus menjawab bahwa yang membunuh beliau adalah kejumudan.

Mengapa kaum khawarij cenderung bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar
mati. Hal itu dikarenakan pada umumnya mereka itu terdiri dari orang-orang badui yang
hidup di padang pasir, yang serba tandus. Sehingga mereka bersikap sangat sederhana dalam
cara hidup maupun pemikiran, namun keras hati dan berani serta sangat merdeka. Sebagai
orang Baduy yang tentunya mereka jauh dari ilmu pengetahuan dan informasi tentang ajaran-
ajaran Islam, oleh karena itu dalam penafsiran mereka cenderung tidak menggunakan sunah,
setiap lafaz Alquran harus dilakukan dengan sepenuhnya, sehingga iman dan paham mereka
sangat sempit akal, dan cenderung fanatisme tinggi, iman menjadi tebal tapi sempit,
cenderung tidak ada toleransi.30

Maka kelompok khawarij dianggap sangat membahayakan, sehingga harus dilakukan


perlawanan, dan ketika terlibat pertempuran melawan kelompok sayyidina Ali Bin Abi
Thalib dalam perang nahrawan, namun sebenarnya bahaya pun khawarij ini, imam Ali
berpesan bahwa,” jangan kalian membunuh kaum khawarij peninggalan ku, sebab tidaklah
sama antara orang-orang yang mencari kebenaran lalu terluput darinya dengan orang-
orang yang mencari kebatilan lalu memperolehnya”.31

Khawarij sebenarnya sudah mengalami kekalahan, namun mereka mampu menyusun


barisan kembali dan meneruskan perlawanan terhadap kekuasaan Islam baik di zaman
Umayyah maupun di zaman Abbasiyah. Oleh karena itulah kelompok khawarij sangat mudah
terpecah belah menjadi beberapa subsekte.
29
Neveen Abdul Khalik Musthafa, Oposisi islam, (Yogyakarta: LKIS, 2012), h. 277
30
Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), (Jakarta: UI-Press, 2012), h. 15
31
Muhammad Al-Baqir, Mutiara Nahjul Balaghoh. (Bandung, Mizan, 1993), h. 84
Menurut syahrasytani, khawarij terpecah menjadi 18 subsekte dan menurut Al
Baghdadi 20 sekte. Al-Asy’ari menyebut subsekte-subsekte jumlahnya lebih besar lagi.
32
Diantara subsekte tersebut adalah :

1. Al-muhakkimah
Golongan khawarij asli dan terdiri dari pengikut Ali Bin Abi Thalib, disebut golongan
al-muhakkimah. Bagi mereka Ali Bin Abi Thalib, muawiyah, kedua hakim yang
dipilih amr bin Ash dan Abu Musa Al Asy'ari dan semua orang yang menyetujui
arbitrasi bersalah dan kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya
sehingga termasuk ke dalamnya tiap orang yang berbuat dosa besar.
2. Al-Azariqah
Sekte yang di bidangi Nafi IBN al-azraq, seorang pemimpin pemberani
berkepribadian kuat, yang diberi gelar Amirul mukminin. Al-azariqah termasuk
subsekte pertama yang tidak setuju dengan pola gerakan polptic an-sich. Al-azariqah
memperluas aliran sekte mereka pada persoalan teologi. Mereka mengembangkan
doktrin sisi eksoteris agama, seperti salat, puasa dan zakat termasuk bagian dari iman.
Menurut mereka tema iman tidak cukup diyakini saja. Maka seseorang yang mengaku
beriman kepada Allah dan rasul-nya tetapi tidak menjalankan syariat agama maka
dianggap sebagai pelaku dosa besar dan divonis kafir.
Ali Bin Abi Thalib adalah korban utama yang mendapat gelar kafir, 33 bahkan menurut
Muhammad Ali sebelih34 subsekte ini lebih radikal dari al-muhakkimah. Mereka tidak
lagi menggunakan kafir, tetapi term musyrik atau polytheist. Selanjutnya berkembang
term musyrik pada semua muslim selain kelompok mereka. Bahkan para pengikut al-
syariah yang tidak mau berhijrah ke lingkungan mereka pun dianggap musyrik.
Sehingga mereka tidak mau memakan hasil sembelihan orang muslim di luar
kelompoknya, tidak menikah dengan orang di luar kelompoknya, Dan menganggap
tanah yang lainnya sebagai Dar Al harb.
3. Al-najdat
Sekte ia mengikuti model pemikiran najdah bin Amir Al Hanafi yang
mengembangkan doktrin bahwa seseorang yang berdosa besar yang menjadi kafir dan
kekal di dalam neraka hanyalah orang Islam yang tak sepaham dengan golongannya.

32
Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), (Jakarta: UI-Press, 2012), h. 15
33
Sulthan Fathoni, Peradaban Islam, (Jakarta; Elsas 2007), h. 34
34
Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), (Jakarta: UI-Press, 2012), h. 16
Adapun pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, betul akan mendapat siksaan,
tetapi bukan dalam neraka, dan kemudian akan masuk surga.
Dalam persoalan politik, Najdah berpandangan bahwa adanya imam perlu, hanya jika
maslahat membutuhkannya. Manusia pada hakikatnya nya tidak berhajat pada adanya
imam untuk memimpin mereka. Golongan ini adalah yang pertama membawa paham
taqiah, yaitu merahasiakan dan tidak menyatakan keyakinan untuk keamanan diri
seseorang. Takia menurut mereka bukan hanya dalam bentuk ucapan namun juga
dalam bentuk perbuatan.
4. Al-jaridah
Mereka adalah pengikut dari and Al Karim IBN Al ajrad, kaum ini bersifat lebih
lunak karena menurut paham mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban
sebagai diajarkan oleh Nafi IBN Al azraq dan najdah, tetapi hanya merupakan
kebajikan. Dengan demikian kaum Al jaridah diperboleh tinggal di luar daerah
kekuasaan mereka dengan tidak dianggap menjadi kafir.
Al jarida ini mempunyai paham puritanisme, surat Yusuf dalam Al Quran membawa
berita cinta dan Alquran sebagai kitab suci, kata mereka, tidak mungkin mengandung
cerita cinta. Oleh karena itu mereka tidak mengakui surah Yusuf sebagai bagian dari
Alquran.
5. Al sufriah
pemimpin golongan ini adalah Zaid ibn Al Asfar. Dalam segi paham, mereka dekat
dengan golongan al-azhariqah dan oleh karena itu juga merupakan golongan yang
ekstrem. Hal-hal yang membuat mereka berbeda dengan yang lainnya adalah :
a) Orang sufriah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir
b) Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum yang mereka anggap musyrik
boleh dibunuh
c) Tidak semua mereka berpendapat bahwa wa orang yang berbuat dosa besar
menjadi musyrik
d) Yang boleh diperangi adalah hanyalah Ma’askar atau camp pemerintah yang
sedang anak-anak dan perempuan tak boleh dijadikan tawanan
e) Term kafir tidak selamanya keluar dari Islam, karena mereka membagi kufr
menjadi dua; kufr bi inkari Al ni’mah (mengingkari rahmat Tuhan), dan kufr ni
inkari Al rububiyah (mengingkari Tuhan)
f) Taqiah hanya boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan
g) Perempuan Islam boleh menikah dengan lelaki kafir, jika demi untuk keamanannya
di daerah bukan Islam.
6. Al ibadiah
Golongan ini merupakan golongan yang paling modern dari seluruh golongan
khawarij. Namanya diambil dari Abdullah ibn Ibad, yang pada tahun 686 M,
memisahkan diri dari golongan al-azhariqah, diantara ajaran-ajarannya adalah :
a) Orang Islam yang tidak sepaham dengan kaum ini tidak dianggap musyrik
b) Daerah yang harus diperangi adalah dar kufr Ma’askar pemerintah
c) Orang Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid yang meng-Esa-kan Tuhan,
tetapi bukan mukmin dan bukan kafir hal Mila itu kafir agama
d) Yang menjadi harta rampasan adalah kuda dan senjata. Emas dan perak harus
dikembalikan pada yang empunya.

Kelompok ini tidak mau turut dengan al-azhariqah dalam melawan pemerintahan
dinasti Bani Umayyah. Bahkan mereka mempunyai hubungan yang baik dengan Khalifah abd
Malik bin Marwan. Oleh karena itu keberadaan kelompok ini bertahan hingga sekarang di
zanzibar, Afrika Utara, umman, dan Arabia Selatan.

Akhirnya dalam konteks kekinian, pemikiran klasik dari khawarij ini kalau melihat
fenomenanya pada saat itu, berawal dari faktor perbedaan pandangan politik, dan adanya
kejumudan dalam berpikir. Menurut penulis dapat kita katakan bahwa; memang keberadaan
khawarij zaman sekarang memang hampir dipastikan tidak ada, khususnya di Indonesia,
namun secara substansial, apabila kita melihat fenomena fenomena yang ada di masyarakat
sekarang ini, banyak sekali fenomena-fenomena yang berbau ajaran khawarij yakni
kesempitan berpikir, fanatisme yang tinggi, radikal, sedikit-sedikit kafir (mudah
mengkafirkan), hingga yang berpolitik revolusioner dengan pemberontakan-pemberontakan,
atas nama jihad berjuang dijalan Allah. Menarik juga merujuk pada gagasan tentang kekuatan
kearifan lokal sebagai membendung munculnya konflik35 dengan memperluas pandangan
keberagaman.

D. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah menyusun kemukakan sebelumnya, maka dapat


diambil kesimpulan sebagai berikut :

35
M. Alfan Sidik, “Kearifan Budaya Lokal sebagai benteng munculnya kinflik agama” JSW: Jurnal Sosiologi
Walisongo, 1 (2): 161. Retrieved
1. Istilah radikal berasal dari bahasa latin “radix”. Menurut the new shorter
Oxford English dictionary, yang berarti akar, sumber atau asal mula. Hampir
sama dengan pengertian itu, dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI),
radikal diartikan sebagai “pemahaman secara mendasar (sampai kepada hal
yang prinsip)” dan “maju dalam hal pola pikir atau tindakan”. Dari Pengertian
tersebut sebenarnya istilah radikal bermakna positif yang yang menunjukkan
sesuatu yang sifatnya berpegang teguh kepada prinsip. Seperti istilah muslim
radikal, kebanyakan kita akan mengartikan istilah ini sebagai orang Islam
yang senang kekerasan dan perang. Padahal arti sebenarnya adalah orang
Islam yang melaksanakan ajaran agama sesuai dengan ajaran Islam.
2. Khawarij adalah sekelompok orang yang memisahkan diri dari kelompok Ali
Bin Abi Thalib, setelah tahkim terjadi antara kelompok Ali dan kelompok
muawiyah pada peperangan shiffin pada tahun 37 H. Pemikiran kelompok
khawarij adalah hukum kafir bagi pelaku yang melakukan tahkim serta
meneriakkan slogan la hukma Illa Li Allah, tidak ada keputusan kecuali
keputusan Allah. Adanya perbedaan pandangan satu sama lain dalam
kelompok khawarij mengakibatkan mereka terpecah-belah menjadi beberapa
sub-sekte. Menurut sejarah beberapa sub-sekte yang mendominasi dan
menonjol di antaranya adalah al-muhakkimah, al-azhariqah, Al najdah, al-
jaridah, Al sufriyah dan Al ibadah.
3. Gerakan radikal yang dilakukan oleh kelompok khawarij pada masa Bani
Umayyah. Tercatat ada beberapa gerakan yang mereka lakukan. Pada masa
Khalifah muawiyah, di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan, di masa
Umar bin Abdul Aziz dan pada akhir dinasti Bani Umayyah. Bentuk gerakan
radikal terbesar adalah di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Kelompok
khawarij pada masa Abdul Malik mengacu kepada dua sub-sekte khawarij,
yaitu azariqa dan najdah. Sub sekte azariqah yang dipimpin oleh nafi bin Al
azraq itu lebih kuat dan lebih keras dibandingkan dengan sub sekte najdah.
Bentuk gerakan lebih radikal yang dilakukan oleh azariqah berupa
menghalalkan membunuh anak-anak dan mengkafirkan orang-orang yang
tidak mau ikut berperang serta menganggap harta benda orang-orang yang
menentangnya halal baginya. Pada masa akhir dinasti Bani Umayyah
kelompok khawarij yang dipimpin oleh adh dhahhak bin Qais atas syaibani
melakukan perlawanan. Karena mereka telah memanfaatkan kesempatan
terpecahnya kelompok Bani Umayyah setelah Al Walid Bin Yazid terbunuh.
Pemberontakan masa Khalifah Marwan bin Muhammad ini merupakan
pemberontakan yang terakhir yang dilakukan oleh kelompok khawarij. Sejalan
dengan runtuhnya kekuasaan daulat Umayyah, kelompok khawarij pun
mengalami kelemahan dan kemerosotan tekad, sehingga hanya sejumlah
kelompok kecil saja yang masih tinggal.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Anzar, “Gerakan Radikalisme dalam Islam Perspektif Historis”, Jurnal Addin
Universitas Pejuang Republik Indonesia (UPRI), Makassar Sulawesi Selatan ,vol.10,no.1,
Februari, 2016.

Abdullah, Muhammad Adnan, Neo Khawarij, Mengungkap Biang Terorisme, Radikalisme,


dan Solusinya, Ajwa Publishing, www.nulisbuku.com, 2016.

Abdullah, Taufik, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakata: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002.
Abidin, Zaenal, Modul Pembelajaran Sejarah Peradaban Islam (Dunia Islam Periode
Pertengahan), Banten:FUDPress,2013.

Yatim, Badri, Sejarah Peradabaan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2016.

Siroj, Said Aqil, Tasawuf sebagai kritik social mengedepankan islam sebagai inspirasi,
bukan aspirasi, Bandung:Pt. Mizan Pustaka, 2006.

Nasution, Harun, Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah analisa dan perbandingan,Jakarta:


UI-Press, 1986.

Oxford University, The new Shorter Oxford English Dictionary, New York: Oxford
University Press, 1993.

Jamil, Mukhsin, Agama-agama Baru di Indonesia, Yogjakarta: Pustaka Pelajar: 2008.

Emna Laisa,” Islam dan Radikalisme “, Jurnal Islamuna, Volume 1, Nomor 1, ( Juni ,
2014).
Al-Qur‘an Al-Karim
Al-Baqir, Muhammad. 1993. Mutiara Nahjul Balaghah (Dengan Syarh Muhammad
Abduh). Bandung; Mizan.

Fathoni, Sulthan. 2007. Peradaban Islam. Jakarta; Elsas.

Kuntowijoyo. 1992. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya. Gottschalk,


Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.

Nasution, Harun. 2012. Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan).


Jakarta; UI-Press.

M. Alfan Sidik, ―Kearifan Budaya Lokal sebagai Benteng Munculnya Konflik


Agama‖ JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo, 1 (2): 161. Retrieved
(http://journal.walisongo.ac.id/index.php/JSW/article/view/2035 ).

Musthafa, Neveen Abdul Khalik. 2012. Oposisi Islam. Yogyakarta; LKIS. Muthahhari.

Murtadha. 1996. Islam dan Tantangan Zaman. Bandung; Pustaka Hidayah.

Anda mungkin juga menyukai