Anda di halaman 1dari 11

PERSOALAN-PERSOALAN TEOLOGIS

Disusun oleh :
Agnes Novia (1162070004)
Iqbal Ramdhany (1162070036)

Program Studi Pendidikan Fisika A


Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teologi islam juga sering disebutkan ilmu kalam ialah salah satu ilmu yang penting dalam
memahami segala permasalahan dalam agama islam terutama mengenai akidah atau tentang
ketuhanan setelah Nabi wafat.
Setelah Nabi wafat umat islam mulai terlihat benih-benih perpecahan baik secara
kenegaraan maupun secara pemahaman mengenai agama terutama dalam hal-hal menyangkut
ketuhanan atau teologi.
Masa Khulafaurrasyidin masalah ini mulai naik kepuncaknya terutama pada akhir
kepemimpinan Utsman bin Affan. Setelah Utsman bin Affan Wafat kemudian tongkat
kepemimpina islam dipegang oleh Ali bin Abithalib. secara khusus Pada masa Ali bin Abi thalib
inilah sebagai puncak tertinggi dari pertentangan umat islam.
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, terdapat berbagai aliran pemikiran kalam.
Menurut Nurcholis Madjid, dalam bukunya yang berjudul Khazanah Intelektual
Islam,Mu’tazilah merupakan pendiri ilmu kalam yang sebenarnya dalam islam walaupun
memang diawali oleh pertentangan politik antara Ali bin Abi Thalib dan Mu‘awiyah bin Abi
Sufyan yang menyebabkan mencuatnya pertentangan-pertentangan teologis di kalangan umat
Islam akibat dari itu muncullah aliran teologi yang pertama dalam sejarah Islam, yaitu Khawarij.
Sengketa tentang kekhalifahan bukanlah sekedar perjuangan dinasti semata tapi lebih dari itu
adalaha Isu-isu keagamaan kunci tertanam di dalamnya.
Dalam perkembangan aliran-aliran teologi dalam islam tersebut terdapat begitu banyak
jenis, ragam dan mempunyai corak sendiri-sendiri dan biasanya setiap golongan akan
mengkafirkan gologan yang lainnya yang tidak sesuai dengan ajaran yang golongan mereka
jalankan. Menyangkut hal ini kita menginggatkan bahwa Islam tidak akan kuat kalau umat islam
sendiri tidak bersatu padu untuk meneggakkan hukum Allah. Walaupun memang dalam ilmu
pengetahuan Perbedaan harus dipandang sebagai suatu realitas sosial yang fundamental, secara
positif kemungkinan juga akan menghasilkan sesuatu yang baik tentunya tidak melanggar hukum
tertinggi dalam islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist.
Ilmu kalam merupakan respons terhadap Filsafat Yunani dan ajaran-ajaran diluar Islam itu.
Dengan kata lain, ilmu kalam menjadi fakta yang menunjukkan adanya sense of social dari para
pemikir Islam maka muncullah teologi islam dengan permasalahan-permasalahanya kemudian
hari.
Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan kajian mendalam mengenai “inti permasalahan
teologi dalam islam”. Hal ini disebabkan karena begitu pentingnya pemahaman umat mengenai
teologi dalam agama islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Teologis Islam ?
2. Bagaimana Sejarah dan akar persoalan-persoalan Teologis Islam ?
3. Apa dampak persoalan teologis terhadap umat islam ?
C. Tujuan
 Untuk mengetahui pengertian teologis islam
 Untuk mengetahui sejarah dan akar persoalan-persoalan teologis dalam islam
 Untuk mengetahui dampak persoalan teologis terhadap umat islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Teologis Islam
Teologi dalam islam disebut juga ilm al-tauhid. Kata tauhid mengandung arti satu atau
Esa dan ke-Esaan dalam pandangan islam, sebagai agama monotheisme, merupakan sifat yang
terpenting diantara segala sifat-sifat Tuhan. Teologi Islam sama dengan ‘Iim al-kalam (secara
harfiah ilmu perdebatan) menunjukan suatu disiplin pemikiran islam secara umum disebut
sebagai teologi atau (bahkan kurang akurat) sebagai teologi skolastik. Disiplin ini berkembang
dari kontroversi politik dan agama yang menelan komunitas Muslim dari formatif tahun,
berhubungan dengan interpretasi ajaran agama dan pertahanan penafsiran ini dengan cara
diskursif argumen.
Dapat disimpulkan teologi islam merupakan ilmu yang mempelajari tentang kenyataan-
kenyataan dan gejala-gejala agama islam yang juga membicarakan tentang hubungan manusia
dengan Tuhannya, baik jalan penyelidikan atau pemikiran murni, atau dengan jalan wahyu.

B. Sejarah dan Akar Persoalan-persoalan Teologis Islam

Selama di mekkah nabi Muhammad SAW hanya mempunyai fungsi kepala agama, dan
tak mempunyai fungsi kepala pemerintahan, karena kekuasaan politik yang ada disana belum
dapat dijatuhkan pada waktu itu. Di Madinah sebaliknya, nabi Muhammad SAW, disamping
menjadi kepala agama juga menjadi kepala pemerintahan.

Ketika beliau wafat tahun 632 M daerah kekuasaan Madinah bukan hanya terbatas pada kota itu
saja, tetapi boleh dikatakan meliputi seluruh semenanjung Arabia.Jadi tidak mengherankan kalau
masyarakat Madinah pada waktu wafatnya nabi Muhammad SAW sibuk memikirkan pengganti
beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu, sehingga penguburan nabi Muhammad SAW
merupakan soal kedua bagi mereka. Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar-lah yang disetujui
oleh masyarakat islam di waktu itu menjadi pengganti atau kholifah nabi dalam mengepalai
negara mereka.Kemudian Abu Bakar digantikan oleh ‘Umar Ibn al-Khattab dan ‘Umar oleh
Utsman Ibn ‘Affan.
Setelah wafatnya ‘Utsman, kemudian kekhalifahan digantikan oleh ‘Ali bin Abi Thalib,
tetapi karena adanya keinginan dari sahabat lain yang ingin menjadi khalifah, di antaranya
Talhah dan Zubair yang disokong ‘Aisyah, maka terjadilah peperangan antara mereka di Irak
pada tahun 656 M, akhirnya ‘Ali bisa mengalahkan mereka.
Peperangan Ali melawan Talhah dan Zubair yang disokong ‘Aisyah itu berakhir. Namun,
datang lagi tantangan dari salah seorang yang masih termasuk keluarga ‘Utsman, yaitu
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, hingga terjadi perang yang terkenal dengan perang shiffin.
Diakhir Perang shiffin muncul kekecewaan karena perundingan itu tidak disenangi oleh
pasukan Ali secara keseluruhan dengan demikaian ada proses penghiantan oleh Mu’awiyah
secara sepihak ia menurunkan Ali dari jabatan khalifah. Padahal isi perjajianya (Ali
mengirimkan Abu Musa al-Asy’ari dan Mu’awiyah mengirimkan Amr bin Ash sebagai hakim
dalam perundingan tersebut) bahwa keduanya antara Ali dan Mu’awiyah akan meletakkan
jabatan masing-masing dan akan dilakukan pemilihan pemimpin selanjutnya dengan cara adil.
Umat islam yang berpihak pada Ali terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali
kelak disebut Syi’ah, dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak disebut Khawarij. Berdasar
dari kejadian inilah maka permasalahan Teologi dalam Islam mulai muncul.

C. Dampak Persoalan Teologis Terhadap Umat Islam


Dampak dari permasalahan timbullah kelompok-kelompok atau aliran-aliran teologis islam.
Semua kelompok-kelompok atau aliran-aliran dalam teologi islam muncul secara resmi setelah
Perang shiffin berakhir diawali dengan terpecah pasukan Ali menjadi dua, satu kelompok
mendukung sikap Ali yang menyetujui hasil perundingan antara kelompok Golongan Ali dengan
golongan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, kelak disebut Syi’ah, dan kelompok lain menolak sikap
Ali, kelak disebut Khawarij. Menurut Prof. Sahilun A. Nasir, dalam bukunya Pemikiran kalam
(Teologi Islam): sejarah, ajaran dan perkembangannya, menyatakan bahwa secara garis besar
Firqoh-firqoh (golongan) teologi dalam islam terbagi menjadi 7 yakni, Syi’ah, Khawarij,
Qadariyah, Jabariyah, Mur’jiah, Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
1. Syi’ah
Syi’ah secara etimologi bahasa berarti pengikut, sekte dan golongan seseorang. Adapun
menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang berkedok dengan slogan kecintaan
kepada Ali bin Abi Thalib beserta anak cucunya bahwasanya Ali bin Abi Thalib lebih
utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan
kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau dalam Istilah syara’, Syi’ah
adalah suatu aliran yang timbul sejak masa pemerintahan Utsman bin Affan yang
dipimpin oleh Abdullah bin Saba’ Al-Himyari.
Inti daripada Golongan Syi’ah adalah kaum yang berlebih-lebihan memuja Saidina Ali
bin Abi Thalib dan keluarganya. Sehingga mereka tidak mengakui Khalifah Rasyidin
yang lain seperti Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Khalifah Umar Ibnu Khattab dan
Khalifah Utsman bin Affan.
Sejarah kemunculan Syia’h memang ada beberapa versi yang beredar di masyarakat
diantaranya. Pertama: Pendapat al-Jawad yang dikutip oleh Prof. H. Abu Bakar Atjeh
dalam bukunya Perbandingan Mazhab Syi'ah, menjelaskan bahwa lahirnya Syi'ah adalah
bersamaan dengan lahirnya nas (hadis) mengenai pengangkatan 'Ali ibn Abi Talib oleh
Nabi sebagai khalifah sesudahnya. nas yang dimaksud antara lain, mengenai kisah
perjamuan makan dan minum yang diselenggarakan oleh Nabi di rumah pamannya, Abu
Talib, yang dihadiri oleh 40 orang sanak keluarganya. Dalam perjamuan itu beliau
menyatakan: "...Inilah dia ('Ali) saudaraku, penerima wasiatku dan khalifahku untuk
kalian, oleh karena itu, dengar dan taati (perintahnya) ..." Pernyataan ini disampaikan
oleh Nabi sesudah 'Ali menerima tawaran beliau sebagai khalifahnya.
Nas seperti ini, jelas tidak terdapat dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim,
karena itu golongan Sunni menolak nas tersebut bila dijadikan dalil untuk mengklaim
kekhilafahan bagi 'Ali. Kedua: Abu Zahrah berpendapat bahwa Syi'ah tumbuh di Mesir
masa pemerintahan 'Usman, karena negeri ini merupakan tanah subur untuk
berkembangnya paham tersebut, kemudian menyebar ke Irak dan di sinilah mereka
menetap[27]. Yang diketuai oleh Abdullah bin Saba’.
2. Kaum Khawarij
Secara historis Khawarij adalah Firqah Bathil yang pertama muncul dalam Islam
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa,
“Bid’ah yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij”.
Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini
dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari
barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah
menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh
Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin (37H/657M).
Menurut keyakinan golongan Khawarij, semua masalah antara Ali dan Mu'awiyah harus
diselesaikan dengan merujuk kepada hukum-hukum Allah yang tertuang dalam Surah al-
Ma'idah Ayat 44 yang artinya, “Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” Berdasarkan ayat ini, Ali,
Mu'awiyah, dan orang-orang yang menyetujui tahkim telah menjadi kafir karena mereka
dalam memutuskan perkara tidak merujuk pada Al-Qur,an.
Sumber pemikiran, sifat dan karakter Khawarij awalnya dari seseorang yang bernama
Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim[29]. Awalnya dia telah menuduh Nabi Muhammad
tidak adil dalam pembagian harta rampasan perang, ucapannya membuat Umar bin
Khattab atau Khalid bin Walid hendak memenggal lehernya, akan tetapi dicegah oleh
Nabi Muhammad.
Khawarij juga berciri-ciri suka mengkafirkan pemerintah kaum muslimin dan orang-
orang yang bersama pemerintah tersebut (karena melakukan dosa-dosa besar),
memberontak kepada pemerintah kaum muslimin, menghalalkan darah dan hartanya.
Khawarij juga dinyatakan sebagai Firaqah (kelompok) pertama yang mengkafirkan kaum
muslimin karena dosa yang telah mereka kerjakan, Mereka juga mengkafirkan ahli bid'ah
lain yang tidak sejalan dengan mereka, serta menghalalkan darah dan hartanya Begitulah
pendirian ahli bid'ah mereka berbuat bid'ah lalu mengkafirkan ahli bid'ah lain yang tidak
sejalan dengan mereka.
3. Qadariyah
Sesungguhnya Qadariyah diambil dari bahasa arab, dasar katanya adalah qadara arti
kemampuan atau kekuasaan. Adapun pengertian qadariyah berdasarkan terminology
adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh
Tuhan, artinya tanpa campur tangan Tuhan.
Dalam istilah Inggris qadariyah ini dikenal dengan free will and free act, bahwa
manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatan dengan kemauan dan tenaganya
sendiri.
Aliran ini ditimbulkan pertama kali oleh Ma’bad al-Juhani. Menurut ibnu Nabatah
Awalnya Ma’bad al-Juhani dan sahabatnya yang bernama Ghailan al-Dimasyyqi
mengambil paham ini dari seorang kristen yang masuk islam dari irak kemudian Ma’bad
al-Juhani terbunuh dalam peperangan melawan penguasa pada saat itu. Selanjutnya
Ghailan al-Dimasyyqi menyebarkan paham ini di damaskus kemudian akhirnya di
dihukum mati juga oleh penguasa saat itu yaitu Banu Umayyah karena dituduh sesat.
4. Jabariyah
Secara bahasa jabariyah berasal dari kata ‫ َجبَ َر‬yang mengandung pengertian memaksa.
Di dalam kamus Al-Munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang
mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Sedangkan secara
istilah, jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua
perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam
keadaan terpaksa (majbur).
Ja’d ibn Dirham pertama sekali yang menonjolkan aliran ini. Tapi yang menyebarkanya
adalah Jahm Ibn Safwan dari Khurasan. Jahm juga melakukan hal yang sama yakni
melawan Bani Umayyah penguasa pada saat itu akhirnya dia dihukum bunuh pada tahun
131 H.
5. Murji’ah
Irja atau arja’a adalah asal kata dari Murji’ah yang berarti penundaan, penangguhan,
dan pengharapan. Kata arja’a juga memiliki arti memberi harapan, yakni memberi harapan
kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Oleh karena
itu, murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang
bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat
kelak.
Pada saat umat Islam terjadi pertikaian antara Khawarij dan Syi’ah mengenai pelaku
dosa besar menjadi kafir atau tidak maka mucullah kelompok yang nantinya seperti
menenggahi permasalahan itu adalah Mur’jiah.
Diperkirakan Murji’ah muncul bersamaan dengan kemunculan Khawarij dan Syiah
dengan dasar irja atau arja’a (penundaan, penangguhan, dan pengharapan) dikembangkan
oleh sebagian sahabat untuk menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi
pertikaian politik antara Khawarij dan Syi’ah.
Ajaran pokok dari Murji’ah pertama: Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr Bin
Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkan kepada Allah di hari
kiamat kelak. Kedua: Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang
berdosa besar. Ketiga: Meletakan (pentingnya) iman daripada amal. Keempat: Memperbaiki
pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat
Allah.
6. Mu’tazilah
Secara Etimologi, Mu’tazilah berasal dari kata “i’tizal” yang artinya menunjukkan
kesendirian, kelemahan, keputus-asaan, atau mengasingkan diri.
Mereka di sebut kaum mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang dosa besar
bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya menurut
versi mereka disebut kaum mu’tazilah karena mereka menbuat orang yang berdosa besar
jauh dari (dalam arti tidak masuk )golongan mukmin dan kafir.
Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H,
tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam
Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan
Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal
Mu’tazilah sebenarnya merupakan gerakan keagamaan semata tidak seperti aliran-aliran
atau kelompok-kelompok teologi yang lainya adanya sebab politik dan penyesuaian kondisi
pada saat itu.
Aliran Mu’tazilah sering menyelesaikan persoalan-persoalan teologi memakai akal dan
logika sehingga mereka dijuluki sebagai “kaum rasionalis Islam“. Penghargaan mereka yang
tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul banyak perbedaan pendapat di
kalangan mereka sendiri, hal ini disebabkan keberagaman akal manusia dalam berfikir.
Bahkan perbedaan tersebut telah melahirkan sub-sub sekte (aliran) mu’tazilah baru yang
tidak sedikit jumlahnya.
7. Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Pengertian Ahlus Sunnah wal Jama’ah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara,
apakah jalan itu baik atau buruk. Dan Definisi Aswaja Secara umum adalah: satu kelompok
atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan Thariqah para
shabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik (fiqih) dan hakikat (Tasawwuf dan Akhlaq)
Sedangkan definisi Aswaja secara khusus adalah: Golongan yang mempunyai
I’tikad/keyakinan yang searah dengan keyakinan jamaah Asya’irah dan Maturidiyah.
Pelopor pembukuan akidah Aswaja adalah Syaikh Abu Alhasan Al ASy'ari (260-324 H).
dan Syaikh Abu Mansur Al Maturidi (333 H). Dua tokoh Kharismatik Ulama ini yang
kemudian menghasilkan kodifikasi metodologi akidah Aswaja yang selanjutnya dijadikan
sebagai referensi utama umat islam karena ajaran yang diajarkannya sesuai dengan Alqur'an
dan As-sunnah. Syaikh Abu Hasan Al Asy'ari mendokumentasikan akidah Aswaja dalam
berbagai kitab beliau. diantaranya: Al Luma' fi Ar Raddi "Ala Ahli Az-Zaighi Wa Al Bida'i,
Ali banah 'An Ushul Ad-diyanah, dan Maqalat Ali Slamiyyin, sedangkan, Syaikh Abu
Mansur Al Maturidi mendokumentasikan akidah Aswaja dalam kitab karangannya, antara
lain: At-Tauhid, Ta'wilat Ahlis Sunnah, Bayan Wahmi Almu'tazilah, dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah wafatnya ‘Utsman bin Affan, kemudian kekhalifahan digantikan oleh ‘Ali bin Abi
Thalib, tetapi karena adanya keinginan dari sahabat lain yang ingin menjadi khalifah, di
antaranya Talhah dan Zubair yang disokong ‘Aisyah, maka terjadilah peperangan antara mereka
di Irak pada tahun 656 M (perang jamal), akhirnya ‘Ali bisa mengalahkan mereka. Selanjutnya
‘Ali berhadapan dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang masih keluarga ‘Utsman. Diakhir
perang ini kelompok Ali terpecah menjadi dua. Kelompok yang pertama setia kepada Ali yaitu
Syiah dan yang sebaliknya disebut Khawarij.
Secara garis besar Firqoh-firqoh (golongan) teologi dalam islam terbagi menjadi 7 yakni,
Syi’ah, Khawarij, Qadariyah, Jabariyah, Mur’jiah, Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Kemudian hari yang muncul lagi adalah turunan dari ketujuh firqoh-forqoh tersebut

Referensi
Nasution, Harun, Teologi islam: Aliran-aliran sejarah perbandingan, Jakarta: Ui Press, 1986.
http://masrilangkat.blogspot.co.id/2015/12/akar-persoalan-teologi-dalam-islam.html

Anda mungkin juga menyukai