Disusun oleh :
Agnes Novia (1162070004)
Iqbal Ramdhany (1162070036)
Selama di mekkah nabi Muhammad SAW hanya mempunyai fungsi kepala agama, dan
tak mempunyai fungsi kepala pemerintahan, karena kekuasaan politik yang ada disana belum
dapat dijatuhkan pada waktu itu. Di Madinah sebaliknya, nabi Muhammad SAW, disamping
menjadi kepala agama juga menjadi kepala pemerintahan.
Ketika beliau wafat tahun 632 M daerah kekuasaan Madinah bukan hanya terbatas pada kota itu
saja, tetapi boleh dikatakan meliputi seluruh semenanjung Arabia.Jadi tidak mengherankan kalau
masyarakat Madinah pada waktu wafatnya nabi Muhammad SAW sibuk memikirkan pengganti
beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu, sehingga penguburan nabi Muhammad SAW
merupakan soal kedua bagi mereka. Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar-lah yang disetujui
oleh masyarakat islam di waktu itu menjadi pengganti atau kholifah nabi dalam mengepalai
negara mereka.Kemudian Abu Bakar digantikan oleh ‘Umar Ibn al-Khattab dan ‘Umar oleh
Utsman Ibn ‘Affan.
Setelah wafatnya ‘Utsman, kemudian kekhalifahan digantikan oleh ‘Ali bin Abi Thalib,
tetapi karena adanya keinginan dari sahabat lain yang ingin menjadi khalifah, di antaranya
Talhah dan Zubair yang disokong ‘Aisyah, maka terjadilah peperangan antara mereka di Irak
pada tahun 656 M, akhirnya ‘Ali bisa mengalahkan mereka.
Peperangan Ali melawan Talhah dan Zubair yang disokong ‘Aisyah itu berakhir. Namun,
datang lagi tantangan dari salah seorang yang masih termasuk keluarga ‘Utsman, yaitu
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, hingga terjadi perang yang terkenal dengan perang shiffin.
Diakhir Perang shiffin muncul kekecewaan karena perundingan itu tidak disenangi oleh
pasukan Ali secara keseluruhan dengan demikaian ada proses penghiantan oleh Mu’awiyah
secara sepihak ia menurunkan Ali dari jabatan khalifah. Padahal isi perjajianya (Ali
mengirimkan Abu Musa al-Asy’ari dan Mu’awiyah mengirimkan Amr bin Ash sebagai hakim
dalam perundingan tersebut) bahwa keduanya antara Ali dan Mu’awiyah akan meletakkan
jabatan masing-masing dan akan dilakukan pemilihan pemimpin selanjutnya dengan cara adil.
Umat islam yang berpihak pada Ali terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali
kelak disebut Syi’ah, dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak disebut Khawarij. Berdasar
dari kejadian inilah maka permasalahan Teologi dalam Islam mulai muncul.
Referensi
Nasution, Harun, Teologi islam: Aliran-aliran sejarah perbandingan, Jakarta: Ui Press, 1986.
http://masrilangkat.blogspot.co.id/2015/12/akar-persoalan-teologi-dalam-islam.html