Anda di halaman 1dari 5

Nama : Nur Hikmayanti

NIM : 60500119021
Kelas : KIMIA-A
RESUME AKIDAH AKHLAK

MUNCULNYA PESOALAN TEOLOGI DALAM ISLAM

Nabi Muhammad selama di Mekkah hanya mempunyai fungsi sebagai kepala agama dan
bukan sebagai kepala pemerintahan, karena kekuasaan politik yang ada di sana belum dijatuhkan
pada waktu itu. Sedangkan saat di Madinah, Nabi Muhammad menjadi kepala agama sekaligus
kepala pemerintahan. Beliau yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota tersebut.
Sebelum itu, Madinah tak ada kekuasaan politik. Daerah kekuasaan Madinah tidak hanya sebatas
kota itu saja tapi meliputi seluruh semenanjung Arabia. Menurut W.M. Watt, Negara Islam saat
itu merupakan kumpulan suku-suku bangsa Arab yang mengikat tali persekutuan dengan Nabi
Muhammad dalam berbagai bentuk dengan masyarakat Madinah bahkan mungkin masyarakat
Mekkah sebagai intinya.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad, masyarakat Madinah sibuk memikirkan pengganti
beliau untuk mengepalai Negara yang baru lahir itu. Maka muncul persoalan khalifah yang akan
menggantikan Nabi Muhammad sebagai kepala Negara. Abu Bakar dipilih sebagai khalifah
pertama oleh masyarakat Islam waktu itu. Kemudian Abu Bakar diganti oleh Umar bin Khattab
dan Umar diganti oleh Utsman bin Affan.
Utsman bin Affan termasuk dalam golongan Quraisy yang kaya. Kaum keluarganya
terdiri dari orang aristokrat Mekkah yang berpengalaman dalam berdagang dan mempunyai
pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan ini sangat bermanfaat dalam memimpin
administrasi daerah-daerah di luar semenanjung Arabia yang masuk ke bawah kekuasaan Islam.
Ahli sejarawan menggambarkan bahwa Utsman termasuk orang yang lemah dan tak dapat
berkutik dalam menghadapi ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia pun
mengangkat gubernur-gubernur di daerah kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang pernah
diangkat oleh Umar bin khattab, khalifah yang terkenal kuat dan tak memikirkan kepentingan
keluarganya dijatuhkan oleh Utsman Bin Affan.
Kebijakan politik yang dilakukan Utsman menimbulkan reaksi-reaksi yang tidak
menyenangkan. Perasaan tidak senang dan kecewa muncul di daerah-daerah. Seperti di Mesir,
lima ratus pemberontak berkumpul dan kemudian menuju ke Madinah karena gubernur Mesir,
Umar Ibn al-‘As digantikan oleh Abdullah Ibn-Sa’d Abi-Sarh yang merupakan salah satu
anggota keluarga Utsman. Selanjutnya, perkembangan suasana di Madinah membawa pada
pembunuhan Utsman oleh pemuka-pemuka pemberontakan Mesir ini.
Ali menjadi calon terkuat sebagai khalifah keempat setelah Utsman wafat. Tetapi, ia
mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin menjadi khalifah terutama dari Talhah dan
Zubeir dari Mekkah yang mendapat dukungan dari ‘Aisyah. Tantangan berlanjut hingga
pertempuran di Irak tahun 656 M. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan ‘Aisyah dikirim kembali
ke Mekkah.
Tantangan selanjutnya datang dari Mu’awiyah yang merupakan Gubernur Damaskus dan
keluarga dekat Utsman. Ia tidak mengakui Ali sebagai khalifah dan menuntut kepada ‘Ali untuk
menghukum pembunuh-pembunuh Utsman, bahkan ia menuduh Ali turut andil dalam
pembunuhan tersebut. Salah seorang pemuka pemberontak Mesir yang datang ke Madinah dan
membunuh Utsman adalah Muhammad Ibn Abi Bakri, anak angkat Ali bin Abi Thalib. Ali tidak
mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu dan mengangkat Muhammad
Ibn Abi Bakri sebagai gubernur Mesir. Desakan Mu’awiyyah akhirnya tertumpah dalam perang
Shiffin.
Dalam pertempuran Shiffin, pasukan Mu’awiyyah hampir dikalahkan oleh pasukan Ali.
Tetapi berkat siasat penasehat Mu’awiyyah, Amr Ibn al-‘As yang terkenal sebagai orang yang
licik, agar pasukannya minta berdamai dengan mengangkat al-Qur’an ke atas. Qurra’ yang ada di
pihak Ali mendesak agar Ali menerima tawaran itu dan dicarilah perdamaian dengan
mengadakan arbitrase. Maka diangkat Amr Ibn al-‘As dari pihak Mu’awiyyah dan Abu Musa al-
Asy’ari dari pihak Ali sebagai pengantara. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr
mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan di antara keduanya terdapat
kemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, yaitu Ali dan Mu’awiyyah.
Tradisi menyebutkan bahwa Abu Musa al-Asy’ari, sebagai yang tertua terlebih dahulu
mengumumkan kepada khalayak ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan
itu. Sedangkan Amr Ibn al-‘As mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali yang telah
diumumkan al-Asy’ari tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyyah.
Peristiwa tersebut merugikan Ali dan menguntungkan pihak Mu’awiyyah. Sikap Ali yang
menerima tipu muslihat Amr Ibn al-‘As untuk mengadakan arbitrase, dalam keadaan terpaksa
dan tidak disetujui oleh sebagian tentranya. Mereka berpendapat bahwa hal tersebut tidak dapat
diputuskan oleh arbitrase manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali pada
hukum-hukum Allah yang ada pada al-Qur’an. Mereka memandang Ali telah berbuat salah maka
mereka meninggalkan barisannya. Golongan ini terkenal dengan nama Al-Khawarij, yaitu orang
yang keluar dan memisahkan diri.
Sejak saat itu, Ali mendapat perlawanan dari dua pihak yaitu dari pihak Mu’awiyyah dan
pihak Al-Khawarij. Karena selalu mendapatkan perlawanan dari dua pihak, maka Ali
memusatkan usahanya untuk menggempur habis orang-orang Khawarij dan pihak Khawarij
berhasil membunuh khalifah Ali, tetapi tentara Ali terlalu capai untuk meneruskan pertempuran
dengan Mu’awiyyah. Mu’awiyyah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah Ali bin Abi Thalib
wafat ia dengan mudah mendapat pengakuan sebagai khalifah umat Islam pada tahun 661 M.
Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik menimbulkan persoalan-
persoalan dalam teologi. Muncul persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam
arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawarij
memandang Ali, Mu’awiyyah, Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan orang-orang yang
menerima arbitrase adalah kafir. Kaum Khawarij mengambil semboyan La hukma illa lillah
berdasarkan potongan ayat Q.S al-Ma’idah ayat 4. Karena keempat pemuka Islam tersebut telah
dipandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar dari Islam maka mereka mesti dibunuh.
Maka kaum Khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut
sejarah hanya orang yang ditugasi membunuh Ali bin Abi thalib yang berhasil dalam tugasnya.
Kemudian kaum Khawarij terpecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir juga
mengalami perubahan. Kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-
Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar yaitu murtakib al-kaba’ir juga dipandang sebagai
kafir.
Persoalan orang berbuat dosa mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi
dalam Islam. Permasalahannya adalah apakah seseorang masih dipandang sebagai seorang
mukmin atau ia sudah kafir karena berbuat dosa besar?.
Persoalan tersebut menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama aliran khawarij
yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir atau tegasnya ia murtad karena itu ia
wajib dibunuh.
Aliran kedua adalah aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berdosa besar
tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.
Aliran ketiga adalah aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat di atas.
Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir juga bukan mukmin. Menurut mereka, orang
yang seperti ini berada di antara kedua posisi yakni mukmin dan kafir yang dalam bahasa
arabnya terkenal dengan istilah almanzilah bain almanzilatain (posisi di antara dua posisi).
Muncul pula dalam Islam dua aliran dalam teologi Islam yang terkenal dengan nama al-
qadariah dan al-jabariah. Menurut al-qadariah manusia mempunyai kemerdekaan dalam
kehendak dan perbuatannya. Sedangkan al-jabariah memandang manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Menurut paham jabariah segala tingkah laku
manusia atas paksaan dari Tuhandan segala gerak-gerik manusia ditentukan oleh Tuhan. Paham
ini dalam bahasa inggris disebut paham predestination atau fatalism.
Setelah buku-buku falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab, kaum Mu’tazilah terpengaruh oleh pemakaian rasio atau akal yang mempunyai kedudukan
tertinggi dalam kebudayaan Yunani klasik tersebut. Kaum Mu’tazilah membawa kepercayaan
pada rasio ini ke dalam penerapan teologi Islam sehingga teologi mereka bercorak teologi liberal,
dalam arti bahwa walaupun kaum Mu’tazilah banyak menggunakan rasio, mereka tidak
meninggalkan wahyu. Dalam pemikiran-pemikiran mereka selamanya terikat kepada wahyu
yang ada dalam Islam. Kaum Mu’tazilah sebagai golongan yang percaya pada kekuatan dan
kemerdekaan akal berpikir mengambil paham Qadariah.
Teologi kaum Mu’tazilah yang bersifat rasional dan liberal menarik perhatian kaum
intelegensia yang ada dalam lingkungan pemerintahan Abbasiyah dipermulaan abad ke-9.
Khalifah al-Ma’mun (813-833 M) yang merupakan putra dari khalifah Harun al-Rasyid
(766-809 M) pada tahun 827 M menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai mazhab resmi yang
dianut dalam Negara. Kaum Mu’tazilah pun mulai menyiarkan teologi mereka secara paksa
terutama paham mereka bahwa al-Qur’an bersifat makhluq, yaitu diciptakan dan bukan bersifat
qadim dalam arti kekal dan tidak diciptakan.
Golongan Hambali yaitu pengikut-pengikut dari mazhab Ibn Hambal menolak keras
aliran Mu’tazilah ini. Politik menyiarkan aliran Mu’tazilah dengan kekerasan berkurang setelah
al-Ma’mun meninggal pada tahun 833 dan akhirnya khalifah al-Mutawakkil membatalkan aliran
Mu’tazilah sebagai mazhab resmi pada tahun 856 M. Kaum Mu’tazilah kembali pada
kedudukannya semula, tetapi mereka mempunyai lawan yang tidak sedikit di kalangan umat
Islam.
Perlawanan tersebut membentuk aliran teologi tradisional yang disusun oleh Abu al-
Hasan al-Asy’ari (935 M) yang dulunya juga seorang Mu’tazilah. Menurut riwayatnya, ia
mendapat mimpi bahwa Nabi Muhammad mencap ajaran-ajaran Mu’tazilah sebagai ajaran yang
sesat maka ia pun meninggalkan ajaran tersebut dan membentuk ajaran baru yang kemudian
terkenal dengan nama teologi Al-Asy’ariah atau al-Asya’irah.
Muncul juga aliran di Samarkand yang menentang aliran Mu’tazilah dan didirikan oleh
Abu Mansur Muhammad al-Maturidi. Aliran ini terkenal dengan nama al-Maturidiah, dimana
alirannya tidak setradisional aliran al-Asya’irah dan tidak seliberal aliran Mu’tazilah. Sebenarnya
aliran ini terbagi menjadi dua cabang Samarkand yang bersifat agak liberal dan cabang Bukhara
yang bersifat tradisional.
Al-Tahawi yang merupakan seorang teolog dari Mesir juga ikut menentang ajaran-ajaran
kaum Mu’tazilah. Ia merupakan pengikut dari Abu Hanifah sama seperti al-Maturidi. Tetapi
ajaran-ajaran al-Tahawi tidak menjelma sebagai aliran teolog dalam Islam.
Dengan demikian aliran-aliran teolog dalam Islam antara lain aliran Khawarij, Murji’ah,
Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah. Aliran-aliran yang masih ada sampai sekarang adalah
aliran-aliran Asy’ariah dan Maturidiah, dan keduanya disebut Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran
Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam bermazhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariah dianut
oleh umat Islam Sunni lainnya. Dengan masuknya kembali paham-paham rasionalisme ke dalam
Islam melalui kebudayaan Barat Modern maka ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai kembali muncul
terutama di kalangan kaum intelegensia Islam yang mendapat pendidikan Barat. Kata neo-
Mu’tazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam.

Anda mungkin juga menyukai