Anda di halaman 1dari 16

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama islam yang di bawa oleh Rasulullah SAW merupakan kesatuan yang utuh dari 3
unsur, yaitu iman, islam dan ikhsan. Dalam agama islam tidak ada yang di pertentangkan,
apabila terjadi hal yang kurang dapat di pahami, maka seluruh persoalan itu di kembalikan
kepada Rasululloh SAW.

Setelah Rasululloh SAW wafat bibit perselisihan di antara umat islam mulai tampak
yang pertama kali tampak mengenai tempat Rasululloh SAW di makamkan dan siapa yang
berhak menggantikan beliau, yang kemudian menyebabkan timbulnya firqah dikalangan umat
islam.

Sahabat anshor memandang bahwa jabatan kholifah harus dari klangan mereka.
Mereka telah menolong dan melindungi dawah nabi sehingga islam bisa berkembang pesat.
Kemudian di lain pihak berpendapat bahwa ke khalifahan harus berada di tangan Bani
Hasyim.

Perselisihan akhirnya dapat di atasi dengan terpilihnya sayyidina Abu bakar asidiq dan
kemudian di teruskan oleh umar bin khottob akan tetapi pada masa khalifah utsman bin affan
timbul berbagai perpecahan di kalangan umat islam secara lebih serius hingga muncul seorang
yahudi kelahiran yaman yang bernama Abdullah bin sabba, yang mengaku telah masuk islam
dan ia dengan gencar mempropagandakan semangat anti khalifah Ustman bin affan. Sejak itu
munculah aliran syiah dan selanjutnya di susul aliran lain sebagai reaksi terhadap aliran syiah.

Dari akar permasalahan ini kemudian timbul usaha membentengi ajaran dengan
rumusan hujjah. Maka lahirlah fiqoh satau madzab baik di bidang fiqih maupun
akhlak/tassawuf. Oleh karena itu pengertian dari firqoh secara etimologi atau bahasa adalah
kelompok, rombongan, kumpulan atau golongan sedangkan secara terminology (istilah) firqoh
berarti golongan atau kaum yang mengikuti pemahaman atau pendapat yang keluar dari
pemahaman jama‟ah muslimin dan mereka kemudian memisahkan diri dari ikatan keutamaan
dalam islam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah timbulnya firqoh dalam islam ?

1
2. Apa saja sebab-sebab timbulnya firqoh dalam islam ?

3. Apa firqoh-firqoh yang berpengaruh ?

4. Bagaimana sikap NU terhadap firqoh dalam islam ?

Tujuanpenulisan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini menurut rumusan masalah tersebut,
adalah untuk:

1. Mengetahui sejarah timbulnya firqoh dalam islam.

2. Mengetahui sebab-sebab timbulnya firqoh dalam islam.

3. Mengetahui firqoh-firqoh yang berpengaruh.


Mengetahui sikap-sikap NU yang harus dilakukan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Timbulnya Firqoh Islam


Timbulnya aliran-aliran teologi Islam tidak terlepas dari fitnah-fitnah yang beredar
setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah Saw wafat peran sebagai kepala
Negara digantikan oleh para sahabat-sahabatnya, yang disebut khulafaur Rasyidin yakni Abu
Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Namun, ketika pada
masa Utsman bin Affan mulai timbul adanya perpecahan antara umat Islam yang disebabkan
oleh banyaknya fitnah yang timbul pada masa itu. Sejarah mencatat, akibat dari banyaknya fitnah
yang timbulkan pada masa itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari masalah politik
sampai pada masalah teologis.
Awal mula perpecahan bisa kita simak sejak kematian Utsman bin Affan r.a. Ahli sejarah
menggambarkan „Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup menentang ambisi
keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu untuk menjadi gubernur. Tindakan-tindakan yang
dijalankan Usman ini mengakibatkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Sahabat-
sahabat nabi setelah melihat tindakan Usman ini mulai meninggalkan khalifah yang ketiga
ini. Perasaan tidak senang akan kondisi ini mengakibatkan terjadinya pemberontakan, seperti
adanya lima ratus pemberontak berkumpul dan kemudian bergerak ke Madinah. Perkembangan
suasana di Madinah ini membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka- pemuka pemberontak
di Mesir ini.
Setelah Usman wafat Ali sebagai calon terkuat menjadi khalifah keempat. Tetapi segera
ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah
dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Tantangan ini dapat
dipatahkan Ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak tahun 656 M. Talhah dan Zubeir
mati terbunuh dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.[1]
Tantangan kedua datang dari Mu‟awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga dekat
Usman. Ia menuntut Ali supaya menghukum pembunuh- pembunuh Usman, bahkan ia menuduh
bahwa Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu. Dalam pertempuran yang terjadi antara
kedua golongan ini di Siffin, tentara Ali mendesak tentara Mu‟awiyah sehingga yang tersebut
akhir ini bersiap-siap untuk lari. Tetapi tangan kanan Mu‟awiyah Amr Ibn al-‟As yang terkenal

3
sebagai orang licik minta berdamai dengan mengangkat al- Quran keatas. Qurra‟ atau syi‟ah yang
ada dipihak Ali mendesak Ali untuk mnerima tawaran itu dan dicarilah perdamaian dengan
mengadakan arbitase. Sebagai pengantara diangkat dua orang, yaitu Amr Ibn al-„As dari
pihak Mu‟awiyah dan Abu Musa al-Asy‟ari dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan
Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan bahwa keduanya terdapat
pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Mu‟awiyah.Tradisi
menyebutkan bahwa Abu Musa terlebih dahulu mengumumkan kepada orang ramai
putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa
yang telah disetujui, Amr mengumumkan hanya menyutujui penjatuhan Ali yang telah di
umumkan Abu Musa, tetapi menolak penjatuhan Mu‟awiyah. Peritiwa ini merugikan bagi Ali
dan menguntungkan bagi Mu‟awiyah. Khalifah yang sebenarnya adalah Ali, sedangkan
Mu‟awiyah kedudukannya tak lebih dari Gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada
Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitase ini kedudukannya telah naik menjadi
khalifah yang tidak resmi.
Sikap Ali yang menerima dan mengadakan arbitase ini, sungguhpun dalam keadaan
terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu
idak dapat diputuskan oleh arbitase manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali
kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain
hukum dari Allah) atau la hakama illa Allah (Tidak ada pengantar selain dari hukum Allah),
menjadi semboyan mereka.
Mereka memandang Ali telah berbuat salah, oleh karena itu mereka meninggalkan
barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah islam terkenal dengan nama al-Khawarij,
yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri. Karena memandang Ali bersalah dan berbuat dosa,
mereka melawan Ali. Ali sekarang menghadapi dua musuh, yaitu Mu‟awiyah dan Khawarij
karena selalu mendapat serangan dari kedua pihak ini Ali terlebih dahulu memusatkan usahanya
untuk menghancurkan Khawarij. Setelah Khawarij kalah Ali terlalu lelah untuk meneruskan
pertempuran dengan Mu‟awiyah. Mu‟awiyah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah Ali
wafat ia dengan mudah dapat memperoleh pengakuan sebagai khalifah umat Islam pada tahun
661 M.

4
B. Sebab-Sebab Timbulnya Firqoh Dalam Islam

Dari akar permasalahan ini kemudian timbul usaha membentengi ajaran dengan
rumusan hujjah. Maka lahirlah fiqoh satau madzab baik di bidang fiqih maupun
akhlak/tassawuf. Adapun sebab-sebab timbulnya firqoh yaitu :

1. Fanatisme kesukuan bangsa arab

Pada masa Rasululloh SAW fanatisme kesukuan bangsa arab dapat di redam. Hal ini
merupakan keberhasilan beliau memerangifanatisme kesukuan. Hal ini berlanjut sampai pada
pemerintahan Ustman bin affan dan bangkit kembali dengan pertentangan bani Umayyah
danbani Hasyim.
2. Perebutan jabatan kholifah

Perbedaan pendapat tentang masalah siapa yang paling berhak menggantikan


Rasululloh SAW timbul sejak beliau wafat. Akan tetapi pertentangan tersebut tumbuh dan
semakin berkembang pada masalah jabatan kholifah.
3. Masuknya agama lain ke agama islam

Sebagai akibat kekuasan wilayah islam, pemeluk agama terdahulu seperti yahudi,
nasrani, dan majusi banyak yang memeluk islam. Dalam benak mereka masih tersisa tradisi
dan pemikiran agama mereka sebelumnya, sehingga mempegaruhi pemikiran keislaman.
4. Penerjemah buku filsafat

Pada akhir pemerintahan Bani Umayyah, umat islam mulai menerjemahkan buku
filsafat. Usaha tersebut berpengaruh terhadap perbedaan pendapat dalam islam. Sejak itu lahir
para filosuf dan ulama kalam yang menggunakan pemikiran filsafat di bidang akhidah islam.

5. Adanya ayat-ayat mutasyabihad

Dalam al-qur‟an tedapat ayat muhkamat dan mutasyaihabihat. Ayat muhkamat adalah
ayat yang artinya sudah jelas, sedangkan mutasyabihat adaah ayat yang belum jelas artinya.
Akibatnya mereka berbeda pendapat mengenai makna yang di maksud.
6. Intishbath hukum syar‟i

5
Sumber hukum islam adalah al qur‟an dan hadist yang bersifat umum dan global,
sementara persoalan yang di hadapi umat terus berkembang . kerena menetapkan persoalan
tersebut membutuhkan hukum syari . para ulama; menggali hukum mengunakan metode yang
berbeda,oleh sebab itu timbullah instibhat yang berbeda
7. Munculnya para pendongeng

Para pendomgeng mulai dikenal pada masa pemerintahan utsman bin affan.karena
banyak ceriata bohomg dan khurafat yang di smpaikan ,pada Masa Ali bin abi thalib para
pendongeng mulai di berantas. Cerita dongeng menyebabkan masuknya cerita usr aliyah dan
khayal ke dalam kitab tafsir dan sejarah islam

C. Firqoh-Firqoh Yang Berpengaruh

Siapapun yang membaca kitab-kitab Ushuluddin akan menjumpai di dalamnya


perkataan-perkataan : Syia‟ah, Khawarij, Mu‟tazilah, Qodariyah, Jabariyah, Ahlusunnah
wal Jamaah (sunny), Mujassimah, Bahaiyah, Ahmadiyah, Wahabiyah, dsb nya.

A. Khawarij

Pada thun 657 M terjadi perng siffin antara pasukan Ali melawan pasukan Mu‟awiyah
ketika perang memuncak pasukan muawiyah terdesak ,tiba-tiba beberapa orang mengangkat
mushaf dengan ujung tombak sebagai tanda damai. Akan tetapi sekelompok orang pasukan
beliau memuntut agar menerima tafkim sehingga beliau menerimannya Tahfkim di laksanakan
di daumatul jandal dan masing maing pihak mengangkat seorang hakim .tapi khalifah ali
menolak tuntutan sehingga mereka mrnyatakan keluar dari golongan ali

Selanjutnya mereka berhimoun di harura, dekat kota khufah dengan mengangkat


abdullah bin abdul wahab arrasbi sebagai imam sehingga mereka di kenal dengan Al hurruyah
mereka dikenal juga dengan sebutan Al muahkiamah.

Ajaran yang bertentangan dengan ASWAJA yaitu

a. Hanya mengakui sahnya kahalifah abu bakar, umar bin khatab dan enam
tahun pertama masa khalifah utsman bin affan
b. Mengutuk sayyiatina aisyah ra umulmuminin karena melakukan

6
pemberontakan pada perang jamal
c. Dengan mudah mengafirkan orang yang tidak sefaham

d. Orang yang tidak mengerjakan amal ibadah wajib dianggap kafir

B. Syi‟ah

Syiah artinya kelompok atau pengikutb ali bin abi tholib.inti ajaran syiah adalah
masalah imamah yang harus berdasarkan syara‟, dari ajaran tersebut melahirkan beberapa
faham dalam aqidah dan ibadah, misalnya :

a. Nabi berwasiat bahwa yang menggantikan sebagai imam adalah syaidina ali
bin abi thalib.
b. Imam pengganti nabi adalah kepala negara, seorang imam ma‟sum dan
tidak dapat di ganggu gugat.
c. Sebagai golongan syiah beranggapan bahwa syaidina ali dipercayai
memiliki sifat ketuhanan.
d. Menghalalkan nikah muthah‟ah.

e. Tidak menerima ijma‟ dan kiyas

C. Mu‟tazilah

Aliran yang muncul di basrah pada abad ke-2 hijriyah. Mu‟tazilah dikenal sebagai
golongan yang menganut kebebasan berfikirdan mendewakan akal. Aliran mu‟tzilah memiliki
prinsip yaitu :
a. At-tauhid, artinya allah maha esa tanpa memiliki sifat lainnya.
b. Al-adl, artinya tuhan maha adil.
c. Al-watwalwaid, artinya tuhan pasti melaksanakan jaji dan ancamannya.
d. Al-manzilah bainal manzilati, artinya posisi di antara iman dan kufur.
e. Al-amru bil ma‟ruf wal nahyu anil munkar, artinya menyuruh berbuat baik
danmencegah kemunkaran.

7
D. Wahabiyah
Nama wahabiyah dinisbatkan dengan nama pendirinya yaitu Muhammad bin Abdul
Wahab. Aliran ini mengaku sebagai golongan Ahlussunah waljamaah dengan mengikuti hasil
pikiran Imam Ahmad bin Hanbal menurut Ibnu taimiyah. Penganut paham wahabi
berpendapat bahwa semua bid‟ah adalah sesat.

E. Aswaja
Aswaja sebanarnya sudah ada sejak zaman Rosulullah SAW, sebagai gerakan
pemurnian islam. Golongan Aswaja selalu berpedoman pada dalil naqli dan dalil aqli.

F. Qadariyah dan Jabariyah


Qodariyah adalah paham yang berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah kehendak
kemauan nya sendiri. Sedangkan Jabariyah adalah paham yang berpendapat bahwa manusia
tidak memiliki daya upaya dan iqtiar dalam perbuatannya. Manusia tinggal menerima apa
adanya.
Firman Allah dalam Qs.3 Al-Imran:103 yang artinya: "Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, tali (agama) Allah
adalah Al-Quran Jadi dalam Islam, seharusnya tidak boleh ada perpecahan, tidak boleh ada
sekte atau golongan- golongan.
Jadi terpecah-belah dan membuat golongan-golongan sendiri dalam Islam, hukumnya
Haram. Oleh karena itu, semua Muslim harus mengikuti Al-Quran dan Al-Hadits (hadits yg
shahih). Ulama manapun di dunia ini, jika mengatakan sesuatu yg sesuai dengan Qur'an dan
Hadits sahih, maka kau ikuti. Jika tak sesuai, maka tolaklah.

D. Sumber ajaran aswaja an-nahdliyah

Di dalam menentukan hukum fiqih, mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja)


bersumber kepada empat pokok; Al-Qur’an, Hadits/as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Secara singkat,
paparannya sebagai berikut;

1. Al-Qur’an

8
Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena
Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan
diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat
2; Al-Maidah Ayat 44-45, 47 :

َ‫ْب فِ ْي ِه هُدًى لِ ْل ُمتَّقِ ْين‬ َ ‫ذلِكَ ْال ِكت‬


َ ‫َب الَ َري‬

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (QS.
Al-Baqarah: 2)

َ‫َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أَ ْن َز َل هللاُ فَأُوْ لئِكَ هُ ُم ْالكفِرُوْ ن‬

“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka adalah golongan orang-orang kafir”.

Tentu dalam hal ini yang bersangkutan dengan akidah, lalu;

َ‫زَل هللاُ فَأُوْ لئِكَ هُ ُم الظّلِ ُموْ ن‬


َ ‫َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أَ ْن‬

“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka
mereka adalah orang-orang yang zalim”.

Dalam hal ini urusan yang berkenaan dengan hak-hak sesama manusia

ِ ‫زَل هللاُ فَأُوْ لئِكَ هُ ُم ْا‬


‫لفسقُوْ ن‬ َ ‫َ َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أَ ْن‬

“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka
mereka adalah golongan orang-orang fasik”.

Dalam hal ini yang berkenaan dengan ibadat dan larangan-larangan Allah.

2. Al-Hadis/Sunnah
Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah Saw. Karena
Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki

9
tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44 dan al-
Hasyr ayat 7, sebagai berikut:

َ‫اس َمانُ ِز َل اِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُوْ ن‬ َ ‫َواَ ْن َز ْلنَا اِلَ ْي‬
ِ َّ‫ك ال ِذ ْك َر لِتُبَيِنَ لِلن‬

“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl : 44)

ِ ‫ اِ َّن هللاَ َش ِد ْيد ُْا ِلعقَا‬,َ‫َو َما َءاتَ ُك ُم ال َّرسُوْ ُل فَ ُخ ُذوْ هُ َو َمانَه ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهَوْ ا َواتَّقُوْ اهللا‬
‫ب‬

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras sikapnya”.
(Al-Hasyr: 7)

Kedua ayat tersebut di atas jelas bahwa Hadis atau Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-
Qur’an dalam menentukan hukum.

3. Al-Ijma’
Ijma’ ialah kesepakatan para ulama atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad
SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali
kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan
para Mujtahid. Kemudian ijma’ ada 2 macam, yaitu:

 Ijma’ Bayani (‫ )االجماع البياني‬ialah apabila semua mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik
berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan kesepakatannya.
 Ijma’ Sukuti (‫ )االجماع السكوتي‬ialah apabila sebagian mujtahid mengeluarkan pendapatnya
dan sebagian yang lain diam, sedang diamnya menunjukkan setuju, bukan karena takut
atau malu.
Dalam ijma’ sukuti ini ulama masih berselisih faham untuk diikuti, karena setuju dengan
sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma’ bayani telah disepakati suatu hukum, wajib bagi
ummat Islam untuk mengikuti dan menta’ati. Karena para ulama mujtahid itu termasuk orang-
orang yang lebih mengerti dalam maksud yang dikandung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadis, dan

10
mereka itulah yang disebut ulil amri minkum (‫ )اولى االمر منكم‬Allah berfirman dalam Al-Qur’an
surat An-Nisa’ ayat : 59

‫ياأَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ أَ َمنُوْ ا أَ ِط ْيعُوْ ا هللاَ َوأَ ِط ْيعُوْ ا ال َّرسُوْ َل َوأُوْ لِى ْاألَ ْم ِر ِم ْن ُك ْم‬

“Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu”.

Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma’ apabila terjadi suatu masalah yang tidak
ada dalam Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah Saw. Pada zaman sahabat Abu Bakar dan sahabat
Umar r.a jika mereka sudah sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh ummat Islam. Inilah
beberapa Hadits yang memperkuat Ijma’ sebagai sumber hokum, seperti disebut dalam Sunan
Termidzi Juz IV hal 466.

‫ َويَ ُدهللاِ َم َع ْالَ َجما َع ِة‬,‫ضالَ لَ ٍة‬ ِ ‫اِ َّن هللاَ الَ يَجْ َم ُع اُ َّم‬
َ ‫تى عَل َى‬

“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas kesesatan dan perlindungan Allah
beserta orang banyak. Selanjutnya, dalam kitab Faidlul Qadir Juz 2 hal 431

َ ‫اختِالَ فًا فَ َعلَ ْي ُك ْم بِالس ََّوا ِد ْا ألَ ْع‬


‫ظ ِم‬ ْ ‫ضالَ لَ ٍة فَا ِء َذا َرأَ ْيتُ ُم‬ ِ ‫اِ َّن اُ َّم‬.
َ ‫تى الَتَجْ تَ ِم ُع عَل َى‬

“Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka apabila engkau melihat
perselisihan, maka hendaknya engkau berpihak kepada golongan yang terbanyak”.

4. Al-Qiyas
Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata
Qasa (‫)قاس‬. Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam
hukum karena adanya sebab yang antara keduanya. Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-
far’u, al-hukmu dan as-sabab. Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan
dalam suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah beras (tidak
tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya,
as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan pokok. Dengan demikian, hasil gandum itu
wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan hadits Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib
dikeluarkan zakat. Meskipun, dalam hadits tidak dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras

11
dan gandum itu kedua-duanya sebagai makanan pokok. Di sinilah aspek qiyas menjadi sumber
hukum dalam syareat Islam. Dalam Al-Qur’an Allah Swt. berfirman :

‫ار‬ َ ‫فَا ْعتَبِرُوْ ا يأُوْ لِى ْاألَي‬


ِ ‫ْص‬

“Ambilah ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (Al-
Hasyr : 2)

َ َ‫ب هللاِ ق‬
‫•ال‬ ِ ‫ض•ى بِ َكتَ•ا‬ ِ ‫ض•ا ٌء ؟ قَ•ا َل اَ ْق‬َ َ‫ض ق‬ َ ‫ض•ى اِ َذا ع‬
َ ‫َ•ر‬ ِ ‫ َك ْيفَ تَ ْق‬:‫ال‬ َ َ‫ لَ َما بَ َعثَهُ النَّبِ ُّى صلى هللا عليه وسلم اِل َى ْاليَ َمنِى ق‬: ‫ال‬ َ َ‫ع َْن ُم َعا ٍذ ق‬
َ‫•ر ْأيِى َوال‬
َ •ِ‫ب هللاِ ؟ قَ•ا َل اَجْ تَ ِه• ُد ب‬ِ ‫فى ِكتَ••ا‬ِ َ‫ قَا َل فَا ِء ْن لَ ْم تَ ِج ْد فِى ُسنَّ ِة َر ُس•وْ ِل هللاِ َوال‬,ِ‫ب هللاِ ؟ قَا َل فَبِ ُسنَّ ِة َرسُوْ ِل هللا‬
ِ ‫فَا ِء ْن لَ ْم تَ ِج ْد فِى ِكتَا‬
‫ رواه‬.ِ‫ض•اهُ َر ُس•وْ ُل هللا‬ َ ْ‫ق َرسُوْ َل َر ُس•وْ ِل هللاِ لِ َم••ا يَر‬َ َّ‫ص ْد َرهُ َوقَا َل ْال َح ْم ُد هللِ الَّ ِذى َوف‬
َ ‫ب َرسُوْ ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬ َ ‫ض َر‬ َ َ‫الُوْ قَا َل ف‬
‫أحمد وابو داود والترمذى‬.

“Dari sahabat Mu’az berkata; tatkala Rasulullah Saw mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda
bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’az menjawab;
saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? Mu’az menjawab; dengan Sunnah Rasulullah
Saw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam
kitab Allah? Mu’az menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak
kembali; Mu’az berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’az berkata;
Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang
Rasulullah meridlai-Nya. Kemudian Al-Imam Syafi’i memperkuat pula tentang qiyas dengan
firman Allah Swt dalam Al-Qur’an :

‫ص ْي َد َواَ ْنتُ ْم ُح ُر ٌم َو َم ْن قَتَلَهُ ِم ْن ُك ْم ُمتَ َع ِمدًا فَ َجزَا ٌء ِم ْث ُل َما قَتَ َل ِمنَ النَّ َع ِم يَحْ ُك ُم بِ ِه َذ َوا َع ْد ٍل ِم ْن ُك ْم‬
َّ ‫ياأَيُّهَااَّل ِذ ْينَ َء ا َمنُوْ ا الَتَ ْقتُلُوْ اا ل‬

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu
sedang ihram, barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah
mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut
putusan dua orang yang adil di antara kamu”. (Al-Maidah: 95).

Sebagaimana mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah lebih mendahulukan dalil Al-Qur’an dan
Al-Hadis dari pada akal. Maka dari itu mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah mempergunakan Ijma’

12
dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash yang shareh (jelas) dari Al-Qur’an dan As-
Sunnah.

Sementara prosedur perumusan hukum dan ajaran Ahlus sunnah wal Jama’ah dalam
tradisi jam’iyyah Nahdlatul Ulama sangat bergantung pada pola pemecahan masalahnya antara:
pola maudlu’iyah (tematik) atau terapan (qanuniyah) dan waqi’iyah (kasuistik). Pola
maudhu’iyah pendeskripsian masalahnya berbentuk tashawur lintas disiplin keilmuan empirik.
Ketika rumusan hukum atau ajaran Islam dikaitkan dengan kepentingan terapan hukum positif
(RUU/Raperda), maka pendekatan masalahnya berintikan “tathbiq al-syari’ah” disesuaikan
dengan kesadaran hukum kemajemukan bangsa. Apabila langkah kerjanya sebatas merespon
kejadian faktual (waqi’iyah) yang bersifat regional (kedaerahan) atau insidental, cukup
menempuh penyelesaian metode takhayyur (elektif) yaitu memilih kutipan doktrin yang siap
pakai (instan). Berikut diuraikan cara merujuk (menggali sumber referensi) dan langkah istinbath
(deduktif) atau istidlal (induktif) yang menjadi tradisi keagamaan Nahdlatul Ulama dalam
mengembangkan paham Ahlus sunnah wal Jama’ah.

5. Mazhab Qauli
Pendapat atau pandangan keagamaan ulama yang teridentitas sebagai “ulama sunni”
dikutip secara utuh qaulnya dari kitab mu’tabar dalam mazhab. Seperti mengutip dari kitab “Al-
Iqtishad fi al-I’tiqad” karangan Abu Hamid al-Ghazaliy yang menjabarkan paham aqidah
Asy’ariyah atau kitab “al-‘Umm” yang menghimpun qaul Imam Syafi’i. Sekira umat diperlukan
perluasan doktrin (elaborasi) seyogyanya merujuk ke kitab syarah yang disusun oleh ulama sunni
dalam mazhab yang sama. Seperti Kitab al-Majmu karya Imam al-Nawawi yang mengulang
pandangan fiqih Imam al-Syairazi dalam al-Muhazzab.
Agar terjaga keutuhan paham mazhabsunni harus dihindarkan pengutipan pendapat (qaul) dari
kitab yang penulisnya bermazhab lain. Misalnya mengutip pendapat Imam Malik dari
kitab Fiqhu al-Sunnah karya Sayid Sabiq, atau pensyarahan atas hadis koleksi Ibnu Daqiq al-Ied
bertitel Muntaqa al-Akhbar dari ulasan al-Syaukani dalam Nayl al-Awthar.

6. Mazhab Manhaji

13
Ketika upaya merespon masalah kasuistik dipandang perlu menyertakan dalil nash syar’i
berupa kutipan ayat Al-Quran, nuqilan matan Sunnah atau hadis, untuk mewujudkan citra
muhafazah maka langkah kerjanya sebagai berikut:

Pertama, kutipan ayat dari mushaf dengan rasam ‘Usmaniy lengkap dengan petunjuk nama surat
dan nomor urut ayat serta menyertakan terjemah standard eks Depaertemen Agama RI; kutip
pula tafsir atas ayat tersebut oleh Mufassir Sunni dari kitab tafsir yang tergolong mu’tabar.
Keunggulan tafsir bila ditelusuri dari sumber dan media yang diperbantukan serta penerapan
kaidah istinbath atas nash ungkapan Alquran. Integritas mufassir sebagai ulama sunni diperlukan
sebagai jaminan atas mutu penafsiran dan pentakwilan. Sebagaimana diketahui pada jajaran
ulama Syi’ah Imamiyah (Ja’fariyah dan Itsna Asy’ariyah) telah memperluas sifat kema’shuman
melampaui wilayah nubuwwah, dan terjadi pentakwilan oleh ulama bathiniyah yang keluar dari
bingkai aqidah Ahlus sunnah wal Jama’ah.

Kedua, Penuqilan matan sunnah/hadis harus berasal dari kitab ushulul hadis (kitab hadis
standard) berikut mencantumkan narasumber Nabi atau Rasulullah SAW. serta nama
periwayat/nama mukharrij (kolektor). Pemberdayaan nash sunnah atau nash hadis sebagai hujjah
syar’iyah harus mempertimbangkan data hasil uji kehujjahannya sebagai sahih, hasan atau da’if.
Penarikan kesimpulan atas konsep substansi nash bermuara pada pensyarahan oleh Muhadditsin
yang paham keagamaannya diakui sebagai sunni.
Ketiga, Pengutipan ijma’ perlu memisahkan kategori ijma’ shahabi yang diakui tertinggi mutu
kehujjahannya dari ijma’ mujtahidin. Sumber pengutipan ijma’ sebaiknya mengacu pada kitab
karya mujtahid muharrir mazhab seperti Imam Nawawi dan lain-lain. Pengintegrasian tafsir
untuk ayat yang dirujuk berikut data kritik serta syarah hadis guna mengimbangi kondisi para
pelaku penggalian ajaran dengan cara manhaji pada masa sekarang belum memenuhi kualifikasi
mujtahid level manapun.

Pengembangan Asas Ijtihad Mazhabi


Pada tataran aplikasi hukum (tathabiq al-syar’iyah) terkait proses penyusunan
RUU/Raperda mungkin pilihan jatuh pada kreasi mengembangkan asas-asas ijtihad yang dikenal
pada jajaran ulama sunni. Misalnya: ‘Umumu al-Balwa, Qaul Sahabi, Qaul Tabi’in, Mura’atu al-

14
Khilaf, Kondisi Dharurat, asas ‘Urf/Ta’amul, ‘Amalu Ahli al-Madinah, Istihsan, Syar’u al-
Dzara’i, Istishhab, Mashalih Mursalah, Maqashid al-Syari’ah, Siyasah Syar’iyah dan lain
sebagainya.

Operasionalisasi asas-asas ijtihad tersebut perlu didukung kearifan mengenali bobot


masalah ijtihadiyah terutama: Frame (bingkai) masalah, Konteks (keterkaitan) dengan
kepentingan individu atau kebijakan publik, dampak pada sektor aqidah dan ghirah diniyah,
kadar kesulitan dalam pelaksanaan, membuka peluang hilah hukum dan resiko berjangka
panjang. Oleh karena itu kompleksitas masalah di negara plural agamanya, maka perumusan
hukum yang memberdayakan asas ijtihad harus dilakukan secara kolektif (jama’iy) dan terjamin
taat kaidah istidlal.

15
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Jadi firqah adalah sebuah paham keagamaan yang di anut oleh orang islam,yang
memiliki kepercayaan yang berbeda tentang masalah (pandangan) terhadap hukum islam yang
kurang begitu jelas. Tapi perlu di ingat kita tidak boleh menyalahkan begitu saja orang yang
tidak sepaham dengan kita ,karena semua adalah benar dan yang salah adalah orang yang
menyalahkan hal-hal tersebut.

B. Saran

Demikian Dalam kesempatan ini, penulis mengucapakan terimakasih atas


bantuan dan saran nya. Maka dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan
kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.

16

Anda mungkin juga menyukai