Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

FIRQOH / ALIRAN DALAM ISLAM DAN TOKOH-TOKOKHNYA

OLEH KELOMPOK 3
1. AGUS JAMALI
2. SITI AMARO

DOSEN PENGMPU : Drs. H. ZARKASYI SYAM, M.Pd.I

STAI MA’ARIF
2016/2017
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan pemikiran dalam Islam tidak terlepas dari perkembangan sosial dalam
kalangan Islam itu sendiri. Memang, Pembahasan pokok dalam Agama Islam adalah aqidah,
namun dalam kenyataanya masalah pertama yang muncul di kalangan umat Islam bukanlah
masalah teologi, melainkan persolaan di bidang politik, hal ini di dasari dengan fakta sejarah
yang menunjukkan bahwa, titik awal munculnya persolan pertama ini di tandai dengan
lahirnya kelompok-kelompok dari kaum muslimin yang telah terpecah yang kesemuanya itu
di awali dengan persoalan politik yang kemudian memunculkan kelompok-kelompok dengan
berbagai Aliran teologi dan berbagai pendapat-pendapat yang berbeda-beda.
Dalam sejarah agama Islam telah tercatat adanya firqah-firqah (golongan) di
lingkungan umat Islam, yang antara satu sama lain bertentangan pahamnya secara tajam yang
sulit untuk diperdamaikan, apalagi untuk dipersatukan.
Hal ini sudah menjadi fakta dalam sejarah yang tidak bisa dirubah lagi, dan sudah
menjadi ilmu pengetahuan yang termaktub dalam kitab-kitab agama, terutama dalam kitab-
kitab ushuluddin.
Barang siapa yang membaca kitab-kitab ushuluddin akan menjumpai didalamnya
perkataan-perkataan: Syiah, Khawarij, Qodariah, Jabariah, Sunny (Ahlussunnah Wal
Jamaaah), Asy-Ariah, Maturidiah, dan lain-lain.
Umat Islam, khususnya yang berpengetahuan agama tidak heran melihat membaca hal
ini karena Nabi Muhammad SAW sudah juga mengabarkan pada masa hidup beliau.
Untuk itu dalam makalah ini penulis hendak membahas tentang salah satu jenis firqah
diatas, yaitu golongan khawarij dan pemikirannya.
A. Sebab Munculnya Firqah dalam Islam
Timbulnya aliran-aliran teologi Islam tidak terlepas dari fitnah-fitnah yang
beredar setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah Saw wafat peran
sebagai kepala Negara digantikan oleh para sahabat-sahabatnya, yang disebut
khulafaur Rasyidin yakni Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali
bin Abi Thalib. Namun, ketika pada masa Utsman bin Affan mulai timbul adanya
perpecahan antara umat Islam yang disebabkan oleh banyaknya fitnah yang timbul
pada masa itu. Sejarah mencatat, akibat dari banyaknya fitnah yang timbulkan pada masa
itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari masalah politik sampai pada masalah
teologis.
Awal mula perpecahan bisa kita simak sejak kematian Utsman bin Affan r.a. Ahli
sejarah menggambarkan ‘Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup
menentang ambisi keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu untuk menjadi
gubernur. Tindakan-tindakan yang dijalankan Usman ini mengakibatkan reaksi yang
tidak menguntungkan bagi dirinya. Sahabat-sahabat nabi setelah melihat tindakan
Usman ini mulai meninggalkan khalifah yang ketiga ini. Perasaan tidak senang
akan kondisi ini mengakibatkan terjadinya pemberontakan, seperti adanya lima ratus
pemberontak berkumpul dan kemudian bergerak ke Madinah. Perkembangan
suasana di Madinah ini membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka
pemberontak di Mesir ini.
Setelah Usman wafat Ali sebagai calon terkuat menjadi khalifah keempat. Tetapi
segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi
khalifah, terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari
Aisyah. Tantangan ini dapat dipatahkan Ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak
tahun 656 M. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan Aisyah dikirim kembali ke
Mekkah.
Tantangan kedua datang dari Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga dekat
Usman. Ia menuntut Ali supaya menghukum pembunuh- pembunuh Usman, bahkan ia
menuduh bahwa Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu. Dalam pertempuran
yang terjadi antara kedua golongan ini di Siffin, tentara Ali mendesak tentara
Mu’awiyah sehingga yang tersebut akhir ini bersiap-siap untuk lari. Tetapi tangan
kanan Mu’awiyah Amr Ibn al-’As yang terkenal sebagai orang licik minta berdamai
dengan mengangkat al-Quran keatas. Qurra’ atau syi’ah yang ada dipihak Ali mendesak
Ali untuk mnerima tawaran itu dan dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbitase.
Sebagai pengantara diangkat dua orang, yaitu Amr Ibn al-‘As dari pihak Mu’awiyah dan
Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr
mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan bahwa keduanya terdapat
pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan
Mu’awiyah.Tradisi menyebutkan bahwa Abu Musa terlebih dahulu mengumumkan
kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu.
Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amr mengumumkan hanya menyutujui
penjatuhan Ali yang telah di umumkan Abu Musa, tetapi menolak penjatuhan
Mu’awiyah. Peritiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah.
Khalifah yang sebenarnya adalah Ali, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya tak lebih
dari Gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan
adanya arbitase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi.
Sikap Ali yang menerima dan mengadakan arbitase ini, sungguhpun dalam
keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa
hal serupa itu idak dapat diputuskan oleh arbitase manusia. Putusan hanya datang
dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran. La hukma
illa lillah (tidak ada hukum selain hukum dari Allah) atau la hakama illa Allah (Tidak ada
pengantar selain dari hukum Allah), menjadi semboyan mereka.
Mereka memandang Ali telah berbuat salah, oleh karena itu mereka
meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah islam terkenal dengan
nama al-Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri. Karena memandang Ali
bersalah dan berbuat dosa, mereka melawan Ali. Ali sekarang menghadapi dua musuh,
yaitu Mu’awiyah dan Khawarij.karena selalu mendapat serangan dari kedua pihak
ini Ali terlebih dahulu memusatkan usahanya untuk menghancurkan Khawarij.
Setelah Khawarij kalah Ali terlalu lelah untuk meneruskan pertempuran dengan
Mu’awiyah. Mu’awiyah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah Ali wafat ia dengan
mudah dapat memperoleh pengakuan sebagai khalifah umat Islam pada tahun 661 M.
B. Firqah dan Tokoh-Tokohnya
1. Khawarij
a. Pengertian Khawarij
Kata khawarij menurut bahasa merupakan jamak dari ‫ خرجي‬secara harfiah
berarti orang-orang yang keluar, mengungsi atau mengasingkan diri. Istilah ini
bersifat umum yang mencakup semua aliran dalam Islam yang memisahkan diri
atau keluar dari jamaah ummat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy-
Syahrastani:
‫كل من خرج على اال ما مم الحق الذ ى ا تفقت الخما عة علية يسمي خارخيا‬
(Tiap yang memberontak kepada imam yang benar yang disepakati oleh
jamaah dinamakan khawarij)
Jadi khawarij adalah firqah bathil yang keluar dari dinul Islam dan pemimpin
kaum muslimin. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam
kitabnya Al-Fatawa, ‘Bidah yang pertama muncul dalam Islam adalah bidah
khawarij.
b. Sebab-sebab Berdirinya Kelompok Khawarij
1) Perseteruan sekitar masalah khilafah. kemungkinan ini merupakan sebab yang
paling kuat dalam kemunculan Khawarij dan pemberontakan mereka, karena
mereka memiliki pandangan yang khusus dan keras dalam hal ini,sehingga
menganggap penguasa yang ada pada waktu itu tidak berhak menjadi khalifah
bagi kaum muslimin ditambah juga dengan keadaan politik yang tidak
menentu yang membuat mereka berani untuk memberontak terhadap para
penguasa.
2) Permasalahan tahkim. inipun menjadi sebab yang kuat dari pemberontakan
dan kemunculan Khawaarij, karena mereka mengkafirkan Ali lantaran
keridhoan beliau terhadap perkara ini
3) Kedzaliman para penguasa dan tersebarnya kemungkaran yang banyak
dikalangan manusia. Demikianlah slogan dan propaganda mereka dalam
khutbah-khutbah dan tulisan-tulisan mereka untuk mengambil simpati umat
Islam dengan mengatakan bahwa para penguasa telah berbuat kedzaliman dan
kemaksiatan telah menyebar dan merebak pada masyakat yang ada sehingga
perlu mencegahnya,akan tetapi pada hakikatnya apa yang mereka lakukan
dengan memberontak terhadap penguasa itu lebih besar dari pada
kemungkaran dan kedzoliman yang ada,karena mereka menganggap bahwa
membunuh orang yang menyelisihi mereka merupakan satu ketaatan yang bisa
mendekatkan diri mereka kepada Allah dan menganggap semua penguasa
mulai dari Ali kemudian Bani Umayah dan Abasiyah adalah dzolim tanpa
klarifikasi dan kehati-hatian.
c. Tokoh-tokoh Kelompok Khawarij
1. Al-Muhakkimah adalah Golongan Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-
pengikut Ali, disebut golongan Al-Muhakkimah. Bagi mereka Ali,
Mu’awiyah, kedua pengantara Amr Ibn Al-As dan Abu Musa Al-Asy’ari dan
semua orang yang menyetujui paham bersalah itu dan menjadi kafir.
2. Al-Azariqah adalah Golongan yang dapat menyusun barisan baru dan besar
lagi kuat sesudah golongan Al-Muhakkimah hancur adalah golongan Al-
Azariqah. Daerah kekuasaan mereka terletak diperbatasan Irak dengan Iran.
Nama ini diambil dari Nafi’ Ibn Al-Azraq.Khalifah pertama yang mereka pilih
ialah Nafi’ sendiri dan kepadanya mereka beri gelar Amir Al-Mu’minin. Nafi’
meninggal dalam pertempuran di Irak pada tahun 686 M. mereka menyetujui
paham bersalah itu dan menjadi musyrik
3. Al-Nadjat adalah Najdah bin Ibn ‘Amir Al-Hanafi dari Yamamah dengan
pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin menggabungkan diri dengan
golongan Al-Azariqah. Tetapi dalam golongan yang tersebut akhir ini timbul
perpecahan. Sebagian dari pengikut-pengikut Nafi’ Ibn Al-Azraq, diantaranya
Abu Fudaik, Rasyid Al-Tawil dan Atiah Al-Hanafi, tidak menyetujui paham
bahwa orang Azraqi yang tidak mau berhijrah kedalam lingkungan Al-
Azariqah adalah musyrik. Akan tetapi mereka berpendapat bahwa orang
berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang
Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Adapun pengikutnya jika
mengerjakan dosa besar, benar akan mendapatkan siksaan, tetapi bukan dalam
neraka, dan kemudian akan masuk surga.
4. Al-Ajaridah adalah Mereka adalah pengikut dari Abd Al-Karim Ibn Ajrad
yang menurut Al-Syahrastani merupakan salah satu teman dari Atiah Al-
Hanafi. Menurut paham mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban
sebagai diajarkan oleh Nafi’ Ibn Al-Azraq dan Najdah, tetapi hanya
merupakan kebajikan. Kaum Ajaridah boleh tinggal diluar daerah kekuasaan
mereka dengan tidak dianggap menjadi kafir. Harta boleh dijadikan rampasan
perang hanyalah harta orang yang telah mati.
5. Al-Sufriah adalah Pemimpin golongan ini ialah Ziad Ibn Al-Asfar. Dalam
paham mereka dekat sama dengan golongan Al-Azariqah.
6. Al-Ibadiyah adalah Golongan ini merupakan golongan yang paling beda dari
seluruh golongan Khawarij. Namanya diambil dari Abdullah Ibn Ibad yang
pada tahun 686 M. memisahkan diri dari golongan Al-Azariqah.
2. Murji’ah
a. Asal-usul dan sejarah munculnya
Nama Murjiah berasal dari kata irja atau arja’a yang bermakna
penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Memberi harapan dalam artian
member harapan kepada para pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan
Allah Swt. Selain itu, irja’a juga bisa memiliki arti meletakkan di belakang atau
mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dan iman. Oleh karena itu,
Murjiah berarti orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang
bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing, ke hari
kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang mengemukakan asal-usul adanya aliran Murjiah.
Teori pertama mengatakan bahwa gagasan Irja’a atau arja dikembangkan
oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat
Islam ketika terjadinya pertikaian politik dan juga bertujuan untuk
menghindari sektarianisme. Diperkirakan Murjiah ini muncul bersamaan
dengan munculnya Khawarij.
Menurut Watt, 20 tahun setelah kematian Muawiyah, dunia Islam dikoyak
oleh pertikayan sipil. Al-Mukhtar membawa paham Syiah ke Kufah dari
tahun 685-687; Ibn Zubair mengklaim kekhalifahan di mekah hingga yang
berada dibawah kekuasaan Islam. Sebagai respon dari keadaan ini, muncul
gagasan irja atau penangguhan (postponenment). Gagasan ini pertama kali
digunakan tahun 695 olleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad
Al-Hanafiyah, dalam sebuah surat pendeknya. Dalam surat ini Al Hasan
menunjukan sikap politiknya dengan mengatakan, “ Kita mengakui Abu Bakar
dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada
konflik sipil yang pertama yang melibatkan Utsman, Ali, dan Zubair. ”
Dengan sikap politik ini, Al-Hasan mencoba untuk menanggulangi
perpecahan umat Islam. Ia pun mengelak berdampingan dengan kelompok
Syiah yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta
menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengaki kekhalifahan
Muawiyah dengan alasan bahwa dia adalah keturunan si pendosa Utsman.
Teori lain mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan Ali dan Muawiyah,
dilakukan Tahkim atas usulan Amr bin Ash, pengikut Muawiyah. Kelompok
Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra
akhirnya keluar dari Ali, yaitu kelompok Khawarij, yang memandang
bahwa keputusan takhim bertentangan dengan al-Quran. Oleh karena
itu, pelakunya melakukan dosa besar dan pelakunya dapat dihukumi kafir.
Pendapat ini ditolak oleh sebagian sahabat yang kemudian disebut
Murjiah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetaplah mukmin, tidak
kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan
mengampuninya atau tidak.
b. Doktrin-doktrin Murjiah
Menurut W. M. Watt, doktrin-doktin Murjiah secara umum sebagai
berikut:
1. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah yang
memutuskannya di hari kiamat kelak.
2. Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat al-
Khalifah ar-Rasyidun.
3. Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk
mendapat ampunan dan rahmat dari Allah Swt.
4. Doktrin-doktrin Murjiah menyerupai pengajaran (mazdhab) para skeptik
dan empiris dari kalangan Helenis.
Sementara Abu A’la al Maududi menyebutkan dua ajaran paling pokok
Murjiah, yaitu :
1. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal dan
perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Seseorang
tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang diwajibkan
dan melakukan dosa besar.
2. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati,
setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat atas seseorang. Untuk
mendapat ampunan, manusia hanya cukup dengan menjauhkan diri dari
syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
3. Mu’tazilah
a. Asal-usul dan sejarah munculnya Mu’tazilah
Secara harfiayah kata Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala yang berarti
berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.
Secara teknis, Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan, yaitu :
1. Golongan pertama, muncul sebagai respon politik, yaitu bersifat lunak dalam
menyikapi pertentangan antara Ali dan lawan-lawannya. Menurut
Abdul Rozak, golongan inilah yang pertama-tama disebut Mu’tazilah
karena mereka menjaukan diri dari pertikaian masalah Imamah.
2. Golongan kedua, muncul sebagai respon persoalan teologis yang
berkembang di kalangan khawarij dan Murjiah tentang pemberian status
kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah inilah yang akan
dibahas kemudian.
Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah (golongan kedua) ini,
merujuk pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin A’tha, Amr bin Ubaid dan
Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika Washil mengikut pengajaran yang
diberikan oleh Hasan al-Basri tentang dosa besar. Ketika Hasan Basri masih
berpikir. Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan, “ Saya
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar, bukan mukmin dan bukan
pula kafir, tetapi berada dalam posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan
tidak kafir.” Kemudian Washil menjauhkan diri dari Hasan Basri dan pergi di
tempat lain di lingkungan masjid.
Disana Washil mengulangi pendapatnya di depan para pengikutnya.
Dengan peristiwa ini, Hasan Basri berkata,” Wazhil menjauhkan diri dari kita
(I’tazaala anna). Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang menjauhkan diri
inilah yang kemudian disebut sebagai Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan lain, mereka disebut kaum
Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa besar
bukan mukmin dan juga bukan kafir, tetapi mengambil posisi diantara kedua
posisi itu (al-mazilah bain al-manzilatain).
Golongan Mu’tazilah juga dikenal dengan nama lain seperti Ahl al-Adl
yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl al-
tawhid wa al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keesaan
murni dan keadilan Tuhan. Mereka juga sering disamakan dengan paham
Qadariyah yang menganut paham free act dan free will. Selain itu mereka
juga dinamai al- Mua’tillah karena golongan Mu’tazilah berpendapat
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat yang memiliki wujud diluar
zat Tuhan. Mereka juga diberi nama dengan Wa’diyyah, karena mereka
berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa orang-orang yang
tidak taat akan hukum-hukum Tuhan.
Ajaran-ajaran Mu’tazilah mendapat dukungan dan penganut dari penguasa
Bani Umayyah, yakni khalifah Yazib bin Walid (125-227H). Sedangkan dari Bani
Abbasiyah yaitu : Al-Makmun (198-218H), Al-Mu’tasim billah (218-227H), dan
Al-Watsiq ( 227-232H).
b. Tokoh – Tokoh Mu’tazilah
Firqoh-firqoh mu’tazilah mempunyai pusat pergerakan, yaitu:
a. Di Basroh; pada permulaan abad II H, dipempin oleh wasil bin ataho’ dan
amr bin ubaid dan diperkuat oleh murid-muridnya Ustman at-Thawwil,
Hafish bin salim, Hasan Bin Zakwan, Kholil bin Sofwan, dan Ibrahim Bin
yahya Al-Madani.
b. Pada permulaan abad III H, mu’tazilah yang berpusat di basroh dipimpiin oleh
abu Hudzail al-Allaf (W. 235 H), Ibrahim bin sayar an-nazham(W. 221 H) ,
Abu Basyar Al- Marisi (W. 128 H), Ustman Al Jahiz (W. 225 H),Ibnu Al
Muaamar(W. 210 H), dan Abu Ali-juba’I (W. 303 H).
c. Dibagdad; dipimpin oleh Bashar bin Almu’ta mar, dibantu oalh Abu Musa Al
Murdan, Ahmad bin Abu Daud (W. 240 H), Ja’far bin Mubasysyar (W. 234
H) dan Ja’far bin Harib al-Hamdani (W. 235 H).
4. Qodariryah
a. Asal-usul paham Qodariyah
Qodariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu Qadara, yang artinya
kemampuan dan kekuatan. Menurut terminology, Qodariyah adalah suatu aliran
yang percaya bahwa segala perbuatan manusia tidak diintervensi oleh
Tuhan. Jadi, tiap-tiap orang adalah pencipta dari perbuatannya.
Para pakar sejarah teologi Islam tidak mengetahui secara pasti kapan
paham ini timbul, tetapi menurut keterangan ahli lainnya, paham Qodariyah
diperkirakan timbul pertama kali oleh seorang bernama Ma’bad al-
Juhani, menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al-Juhani dan temannya, Ghailan al-
Dimasyiqi mengambil paham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di
Irak. Dan Menurut Zahabi, Ma’bad adalah seorang tabi’i yang baik dan ia pun
menentang kekuasaan Bani Umayah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjad tahun
80 H, dia mati terbunuh.
b. Doktrin-doktrin Qodariyah
Secara garis besar, doktrin-doktrin Qodariah pada dasarnya berkisar
tentang takdir Tuhan, yaitu :
1. Manusia berkuasa atas segala perbuatannya;
2. Takdir adalah ketentuan Allah Swt yang diciptakan-Nya bagi seluruh alam
semesta beserta seluruh isinya, sejak zaman azali, yaitu hukum dalam istilah
al-Quran disebut Sunatullah.
Dalam perkembangannya, paham qodariyah seringkali disebut dengan
paham Mu’tazilah seperti yang dijelaskan Asy-Syahrastani yang menyatukan
pembahasan Mu’tazilah dengan pembahasan Qodariyah. Hal ini
disebabkan karena paham qodar dijelaskan lebih luas pada aliran Mu’tazilah.
5. Jabariyah
a. Asal-usul dan sejarah munculnya
Kata Jabariyah berasal dari kata Jabara yang mengandung arti memaksa dan
mengharuskan melakukan sesuatu. Asy-Syahrastani mengartikan Jabariah
sebagai menolak adanya perbuatan dan menyadarkan semua perbuatan
kepada Allah Swt. Berdasarkan hal ini, Asy-Syahrastani membagi Jabariah
dalam dua bentuk, yaitu :
1. Jabariah Murni, yang menolak adanya perbuatan berasal dari manusia
dan memandang manusia tidak memiliki kemampuan untuk berbuat,
2. Jabariah Pertengahan (Moderat), yang mengakui adanya perbuatan manusia
namun perbuatan manusia tidak membatasi. Namun, orang yang mengakui
adanya perbuatan makhluk yang mereka namakan “kasb” bukan termasuk
Jabariyah.
Paham al-Jabr pertama kali diperkenalkan oleh Ja’ad bin Dirham
kemudian disebarluaskan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam
perkembangannya paham ini juga dikembangkan oleh tokoh lainnya, diantaranya
al-Husain bin Muhammad an-Najjar dan Ja’ad bin Dirrar. Pendapat yang
lain mengatakan bahwa kemunculan paham Jabariyah terpengaruh dari paham
ajaran Yahudi dan Nasrani. Yaitu Yahudi sekte Qurro dan agama Nasrani yang
bersekte Ya’cubiyah.
Mengenai paham Jabariyah ini, para ahli sejarah teologi Islam ada yang
berpendapat bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikelilingi gurun sahara
telah mempengaruhi cara hidup mereka. Kebergantungan mereka terhadap gurun
sahara yang panas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
b. Doktrin-doktrin Jabariyah.
Doktrin-doktrin Jabariyah secara umum dapat dipaparkan sebagai berikut, yaitu :
1. Fatalisme, yakni kepasrahan total yang menganggap manusia tidak dapat
melakukan apa-apa, tidak memiliki daya, dan dipaksa berbuat oleh Allah Swt.
2. Surga dan Neraka tidak kekal, tidak ada yang kekal selain Allah Swt.
3. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini,
pendapat ini sama dengan konsep iman yang di ajarkan Murji’ah.
4. Kalam Tuhan adalah Makhluk.
5. Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat.
6. Ahlussunnah Wal jama’ah
a. Sejarah Timbulnya
Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah berasal dari kata-kata :
1) Ahl (ahlun), berarti golongan atau pengikut.
2) Al Sunnah berarti tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang mencakup
ucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW.
3) Wa huruf ‘athaf yang berarti dan atau serta.
4) Al Jama’ah berarti jama’ah, yakni jama’ah para sahabat Rasul Saw.
Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat.
Secara etimologis, istilah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah berarti golongan
yang senantiasa mengikuti jalan hidup Rasulullah SAW dan jalan hidup para
sahabatnya. Atau golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul SAW dan
sunnah para sahabat, lebih khusus lagi sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As
Siddiq, Umar bin Khatab, Ustman bin ‘Afan dan Ali Bin Abi Thalib.
Selanjutnya jalan hidup Rasulullah SAW tidak lain adalah ekspresi nyata
dari kandungan al Qur’an. Ekspresi nyata tersebut kemudian biasanya disitilahkan
dengan al Sunnah atau al Hadis.Kemudian Al Qur’an sebagai kalamullah,
terkemas sendiri dalam mushaf Al Qur’an Al karim. Sedangkan ekspresi nyatanya
pada diri Rasulullah SAW pun terkemas secara terpisah dalam kitab-kitab hadis,
seperti sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Al turmudzi,
Sunan An Nasai dan Sunan Ibnu Majah, serta kitab hadis-hadis lainnya yang
disusun oleh para ulama lainnya.
Di samping itu para sahabat, khususnya sahabat empat adalah generasi
pertama dan utama dalam melazimi perilaku Rasulullah SAW, sehingga jalan
hidup mereka praktis merupakan penjabaran ynata dari petunjuk Al Qur’an dan
As Sunnah.Setiap langkah hidupnya, praktis merupakan aplikasi dari norma-
norma yang terkandung dan terkehendaki oleh ajaran Islam, serta mendapat
petunjuk dan control langsung dari baginda Rasulullah Saw.Oleh karena itu, jalan
hidup mereka relatif terjamin kelurusannya dalam mengamalkan ajaran Islam,
sehingga jalan hidup mereka pulalah yang paling tepat menjadi rujukan utama
setelah jalan hidup Rasulullah Saw.Sendiri. Dalam hadis diterangkan :
)‫خير القرون قرني الذى بعثت فيهم ثم لذين يلونهم ثم الذين يلونهم (متفق عليه‬
“sebaik-baik priode adalah hidupku yang mana aku (Nabi) diutus kepada mereka
(Sahabat) dan kemudian preode berikutnya lagi (Tabi’in)” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Jumlah para sahabat Rasul, tentulah cukup banyak, ketika Nabi
Saw.melakukan haji Wada’ menurut suatu riwayat adalah bersama 114.000
sahabatnya. Ini belum terhitung mereka yang tidak ikut berangkat menunaikan
haji karena keadaan, mereka yang telah meninggal dunia sebelumnya, baik
sebagai syuhada’ maupun meninggal dunia karena sakit atau lainnya. Selama
perilakunya tetap berpegang teguh kepada Al Qur’an dan al Sunnah meskipun
Rasulullah saw. telah wafat, maka semua perilaku mereka itu akan diikuti oleh
kaum muslimin yang berfaham Ahlus Sunnah Waljama’ah. Namun, mengingat
banyaknya jumlah mereka dan tidak mudahnya mengidentifikasi perilaku satu
persatu dari mereka, maka yang menjadi rujukan utama ialah sahabat empat yang
dikenal sebagai al Khulafa’ Al Rasyidin (para khalifah yang terpercaya), yakni
sahabat : Abu Bakar Siddiq Ra., Umar Ibnu Khatab Ra., Utsman Bin Affan
Ra., dan Ali bin Abi Thalib Karramallahuwajhah.
Bahkan hanya keempat sahabat itulah yang disifati oleh
Rasulullah Saw.sebagai al Mahdiyyin (sahabat utama yang mendapat petunjuk)
serta diperintahkan supaya diikuti perilakunya, sebagaimana diungkapkan dalam
hadis yang berbunyi :
‫فَعَلَ ْي ُك ْم‬
ِ ‫علَ ْيهَابِالنَّ َو‬
)‫اجذ(رواابوداود‬ َ ‫عضُّوا‬
َ ‫َاو‬ َّ ‫شدِينَت َ َم‬
َ ‫سكُوابِه‬ َّ ‫اءا ْل َم ْه ِديِِّي َن‬
ِ ‫الرا‬ ِ ‫سنَّ ِةا ْل ُخلَ َف‬ َ ِ‫س َّنت‬
ُ ‫يو‬ ُ ِ‫ب‬
“Maka, hendaklah kalian berpegang dengan sunahku, sunah para khalifah yang
lurus dan mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah
dengan gigi geraham.”
b. Tokoh
Sejak agama Islam masuk Indonesia telah dikenal pula tokoh-tokoh al
Asy’ariyah seperti : syaikh Sanusi, Syaikh Dasuki, Syaikh Al Bajuri, Syaikh
Nawawi Banten, Syaikh al Tarabulisi, Syaikh Al Fatani, dan lain-lain.
Pemikiran kalam mereka ada kemungkinan sebagian ada yang berbeda dengan
pemikiran kalam al Asy’ari sendiri atau setidaknya bernuansa lain.
Bahwa umat Islam Indonesia sebagai mayoritas warga Negara dan bakan
merupakan jumlah terbanyak Negara yang penduduknya beragama Islam. Dalam
paham keagamaanya, hampir seluruh Muslim Indonesia adalah berpaham teologi
Ahlussunah Wal Jama’ah atau Sunni, dan sedikit sekalimereka yang mengaku
berpaham Syiah, Liberalisme (tahririyah), radikalisme (ushuliyah) dan lain-lain.
Mereka yang disebut terakhir ini, sebenarnya jumlah pengikutnya itu tidaklah
banyak.Hanya saja mereka tertata rapi, disiplin, fanatik dan memiliki komitmen
tinggi terhadap kelompoknya, sehingga mereka tampak bergaung dan hebat.
A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian uraian yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Kelompok khawarij lahir dari kekisruhan politik yang terjadi setelah mangkatnya
khalifah Usman bin Affan, yaitu terjadi perselisihan antara Khalifah Ali bin Abi Thalib
dengan Muawiyah pada perang siffin
2. Berdirinya kelompok khawarij bukan hanya berdampak pada perbedaan politik, akan tetapi
juga berkembang pada permasalahan teologis yang memiliki perbedaan yang tidak mungkin
untuk disatukan.
3. Pemikiran-pemikiran kelompok khawarij merupakan doktrin-dokrin yang bersifat ekstrim
yang berkaitan dengan persoalan-persoalan seperti tentang khalifah, fatwa kafir, dosa serta
iman dan ibadah
http://nurkhairiyah3.blogspot.co.id/2013/09/makalah-ilmu-kalam-aliran-khawarij.html
https://aswajacenterpati.wordpress.com/2012/04/02/hello-world/
http://learninformatika.blogspot.co.id/2012/03/makalah-sejarah-aliran-tiologi-dalam.html

Anda mungkin juga menyukai