Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mayoritas ummat Islam sepakat bahwa wahyu Syari'ah yang diturunkan oleh
Tuhan hanya untuk para rasul, agar diajarkan kepada ummat mereka masing-masing.
Apabila kerasulan itu sudah diakhiri dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW., maka
tentunya setiap Muslim harus yakin bahwa wahyu Syari'ah itu tidak akan turun lagi. Dan
yang bisa berkembang bukanlah wahyu itu, tetapi interpretasi atau tafsirnya, wahyu yang
masih bersifat global itu perlu ditafsirkan dan diaktualisasikan penafsirannya sesuai dengan
tuntutan dan perkembangan zaman.

Mengenai Alquran, ummat Islam pada prinsipnya menerima Kitab Suci tersebut
untuk dijadikan pedoman dan rujukan dalam pelbagai persoalan keagamaan dan ilmu
pengetahuan dan disamping itu, ia diyakini sebagai yang memiliki nilai kebenaran
normatif mutlak, sedangkan hadis Nabi, menduduki ranking kedua sesudah al-Quran.
Golongan Sunni yang merupakan mayoritas ummat Islam, telah menerima konsensus
para sahabat di zaman Khalifah Usman, yang telah berhasil mendewakan kembali al-
Quran dalam bentuk yang seragam yang dikenal dengan Mushaf al-Quran. Mushaf ini,
dijadikan standar bagi penulisan al-Quran selanjutnya, sesudah ummat Islam dihadapkan
pada tantangan besar yang akan membawa mereka pada perpecahan karena
persengketaan mengenai Kitab Sucinya, sebagai yang dialami oleh ummat-ummat
sebelum Islam.

Adapun istilah Sunni, semata-mata muncul untuk membedakannya dengan golongan


Syiah dan Ahmadiyah serta golongan sesat lainnya. Sunni, yang merupakan golongan
mayoritas, menerima semua hadits, informasi, dan referensi dari berbagai sumber secara
lebih komprehensif dan adil. Tidak membeda-bedakan atau mengutamakan sumber-
sumber tertentu. Perbedaan di dalam Sunni lebih pada masalah penafsiran, bukan pada
ajaran madzhab tertentu yang diyakini secara membabi buta tanpa mau mengkonfirmasi
dengan sumber-sumber atau madzhab-madzhab yang lainnya. Semua madzhab pasti
bersumber pada ajaran Rasululloh meskipun informasi yang sampai boleh jadi dhaif, itu
hal yang wajar, karena manusia adalah makhluk yang sering lupa dan salah. Oleh
karenanya, sudah seharusnyalah umat muslim mengikuti ajaran Rasululloh dari manapun
sumbernya, sepanjang sumber-sumber tersebut shahih, saling mendukung atau terkait
satu dengan yang lainnya dan tidak bertentangan dengan Alquran.
B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana paham dan sejarah Syi’ah?
2. Bagaimana paham dan sejarah Sunni?
3. Bagaimana paham dan sejarah Ahmadiyah?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Paham dan Sejarah munculnya Syi'ah


Munculan syi’ah dalam sejarah terdapat perbedaan dikalangan ahli. Menurut Abu
Zahrah, syi’ah mulai muncul pasda masa akhir pemerintahan Usman bin Affaan
kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pewmerintahan Ali bin Abi Thalib,
adapun menurut Watt, syi’ah baru benar-benar. Muncul ketika berlangsung peperangan
antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Dalam peperangan ini,
sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbritase yang ditawarkan Mu’awiyah.
Pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua. Satu kelompok mendukung sikap Ali
(Syi’ah) dan kelompok menolak sikap Ali (Khawarij)1.

Kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan syi’ah berkaitan dengn


masalah penganti (Khilafah) Nabi SAW. Mereka menlak kekhalifahan Abu Bakar, Umar
bin Khathtab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi
Thalib yang berhak mengantikan Nabi SAW. Kepemimpinan Ali dalam pandangan
syi’ah tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan Nabi SAW, pada masa
hidupnya. Pada awal kenabian ketika Muhammad SAW diperintahkan menyampaikan
dakwah ke kerabatnya, yang pertama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan
bahwa Nabi pada saat itu mengatakan bahwa orang yang pertama menemui ajakannya
akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali
merupakan orang yang luar biasa besar2.

Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir
Khumm. Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir, dalam perjalanan dari
Mekkah ke Madinah di suatu padang pasir yang bernama Ghadir Khumm. Nabi memilih
Ali sebagai pengantinya dihadapan massa yang menyertai beliau. Pada peristiwa itu,
Nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagai pemimpin umum umat (walyat-i ‘ammali),
tetapi juga menjadikna Ali sebagaimana Nabi sendiri, sebagai pelindung (wali) mereka.
Namun realitasnya berbicara lain3.

1
Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Islam. Terj. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Logos,
1996), h. 34
2
Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, h.90 Anshariah, Qum, 1981). h
Berlawanan dengan harapan mereka, ketika nabi wafat dan jasadnya belum
dikuburkan, ada kelompok lain yang pergi ke masjid untuk menentukan pemimpin yang
baru karena hilangnya pemimpin yang secara tiba-tiba, sedangkan anggota keluarga nabi
dan beberapa sahabat masih sibuk dengan persiapan upacara pemakaman Nabi.
Kelompok inilah yang kemudian menjadai mayoritas bertindak lebih jauh dan dengan
sangat tergesa-gesa memilih pemimpin yang baru dengan alasan kesejahteraan umat dann
memcahkan masalah mereka saat itu. Mereka melakukan itu tanpa berunding dahulu
dengan ahlul bait, kerabat, atau pun sahabat yang pada saat itu masih mengurusi
pemakaman. Mereka tidak memberi tahu sedikitpun. Dengan demikian, kawan-kawan
Ali dihdapkan pada suatu hal yang sudah tak bias berubah lagi (faith accomply)4.

Karena kenyataan itulah muncul suatu sikap dari kalangan kaum muslimin yang
menentang kekhalifahan dan kaum mayoritas dalam masalah-masalah kepercayaan tertentu.
Mereka tetap berpendapat bahwa pengganti nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah
Ali. Mereka yakin bahwa semua masalah kerohanian dan agama harus merujuk
kepadanya dan mengajak masyarakat mengikutinya. Kaum inilah yang disebut dengan
kaum Syi’ah. Namun lebih dari pada itu, seperti yang dikatakan Nasr, sebab utama
munculnya Syi’ah terletak pada kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu islam
sendiri, sehingga mesti diwujudkan

Perbedaan pendapat di kalangan para ahli mengenai kalangan Syi’ah merupakan


sesuatu yang wajar. Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah “perpecahan” dalam
Islam yang memang mulai mencolok pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan
memperoleh momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi
Thalib, tepatnya setelah Perang Siffin. Adapun kaum Syi’ah, berdasarkan hadits-hadits
yang mereka terima dari ahl al-bait, berpendapat bahwa perpecahan itu sudah mulai
ketika Nabi SAW. Wafat dan kekhalifahan jatuh ke tangan Abu Bakar. Segera setelah itu
terbentuklah Syi’ah. Bagi mereka, pada masa kepemimpinan Al-Khulafa Ar-rasyidin
sekalipun, kelompok Syi’ah sudah ada. Mereka bergerak di bawah permukaan untuk
mengajarkan dan menyebarkan doktrin-doktrin syi’ah kepada masyarakat.

Syi’ah mendapatkan pengikut yang besar terutama pada masa dinasti Amawiyah.
Hal ini menurut Abu Zahrah merupakan akibat dari perlakuan kasar dan kejam dinasti ini
3 7
Hadits tentang Ghadir Khum ini terdapat dalam versi Sunni maupun Syi’ah dan semuanya merupakan hadits shahih. Lebih
dari seratus sahabat telah meriwayatkan hadits ini dalam berbagai sanad dan ungkapan. Lihat Muhammad Husai Thabathaba’i,
Shi’a,terj. Husain Nasr, (Anshariah, Qum, 1981). h.
4
Muhammad Husai Thabathaba’i, Shi’a,terj. Husain Nasr, h. 39-40
terdapat ahl al-Bait. Diantara bentuk kekerasan itu adalah yang dilakukan pengusaha bani
Umayyah. Yazid bin Muawiyah, umpamanya, pernah memerintahkan pasukannya yang
dipimpin oleh Ibn Ziyad untuk memenggal kepala Husein bin Ali di Karbala5.

Diceritakan bahwa setelah dipenggal, kepala Husein dibawa ke hadapan Yazid dan
dengan tonkatnya Yazid memukul kepala cucu Nabi SAW. Yang pada waktu kecilnya

sering dicium Nabi. Kekejaman seperti ini menyebabkan kebagian kaum muslimin
tertarik dan mengikuti mazhab Syi’ah, atau paling tidak menaruh simpati mendalam
terhadap tragedy yang menimpa ahl al-bait6.

Dalam perkembangan selain memperjuangkan hak kekhalifahan ahl-al bait


dihadapan dinasti Ammawiyah dan Abbasiyah, syi’ah juga mengembangkan doktrin-
doktrinnya sendiri. Berkitan dengan teologi, mereka mempunyai lima rukun iman, yakni
tauhid (kepercayaan kepada kenabian), Nubuwwah (Percaya kepada kenabian), Ma’ad
(kepercyaan akan adanya hidup diakhirat), imamah (kepercayaan terhadap adanya
imamah yang merupakan ahl-al bait), dan adl (keadaan ilahi). Dalam Ensiklopedi Islam
Indonesia ditulis bahwa perbedaan antara sunni dan syi’ah terletak pada doktrin

imamah. Meskipun mempunyai landasan keimanan yang sama, syi’ah tidak dapat
mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejrah, kelompok ini akhirnya tepecah
menjadi beberapa sekte. Perpecahan ini terutama dipicu oleh masalah doktrin imamah.
Diantara sekte-sekte syi’ah itu adalah Itsna Asy’ariyah, Sab’iyah. Zaidiyah, dan Ghullat7.

5
Abdur Razak dan Rosihan Anwar ,Ilmu Kalam. h. 92
6
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5, h. 135-136
7
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo
Persada,2010), h. 82
1. Pokok-pokok pikiran Syi'ah
Kaum Syi’ah memiliki 5 pokok pikiran utama yang harus dianut oleh para
pengikutnya diantaranya yaitu at tauhid, al ‘adl, an nubuwah, al imamah dan al ma’ad.
a. At tauhid
Kaum Syi’ah juga meyakini bahwa Allah SWT itu Esa, tempat bergantung semua
makhluk, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak serupa dengan makhluk
yang ada di bumi ini. Namun, menurut mereka Allah memiliki 2 sifat yaitu al-tsubutiyah
yang merupakan sifat yang harus dan tetap ada pada Allah SWT.

Sifat ini mencakup ‘alim (mengetahui), qadir (berkuasa), hayy (hidup), murid
(berkehendak), mudrik (cerdik, berakal), qadim azaliy baq (tidak berpemulaan, azali dan
kekal), mutakallim (berkata-kata) dan shaddiq (benar). Sedangkan sifat kedua yang
dimiliki oleh Allah SWT yaitu al-salbiyah yang merupakan sifat yang tidak mungkin
ada pada Allah SWT. Sifat ini meliputi antara tersusun dari beberapa bagian,
berjisim, bisa dilihat, bertempat, bersekutu, berhajat kepada sesuatu dan merupakan
tambahan dari Dzat yang telah dimilikiNya.8

b. Al ‘adl
Kaum Syi’ah memiliki keyakinan bahwa Allah memiliki sifat Maha Adil. Allah
tidak pernah melakukan perbuatan zalim ataupun perbuatan buruk yang lainnya. Allah
tidak melakukan sesuatu kecuali atas dasar kemaslahatan dan kebaikan umat manusia.
Menurut kaum Syi’ah semua perbuatan yang dilakukan Allah pasti ada tujuan dan
maksud tertentu yang akan dicapai, sehingga segala perbuatan yang dilakukan Allah Swt
adalah baik. Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep keadilan Tuhan
yaitu Tuhan selalu melakukan perbuatan yang baik dan tidak melakukan apapun yang
15
buruk.Tuhan juga tidak meninggalkan sesuatu yang wajib dikerjakanNya.

c. An nubuwwah
Kepercayaan kaum Syi’ah terhadap keberadaan Nabi juga tidak berbeda halnya
dengan kaum muslimin yang lain. Menurut mereka Allah mengutus nabi dan rasul untuk
membimbing umat manusia. Rasul-rasul itu memberikan kabar gembira bagi mereka-
mereka yang melakukan amal shaleh dan memberikan kabar siksa ataupun ancaman bagi
mereka-mereka yang durhaka dan mengingkari Allah SWT. Dalam hal kenabian, Syi’ah
berpendapat bahwa jumlah Nabi dan Rasul seluruhnya yaitu 124 orang, Nabi terakhir
adalah nabi Muhammad SAW yang merupakan Nabi paling utama dari seluruh Nabi

8
Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam h. 94
yang ada, istri-istri Nabi adalah orang yang suci dari segala keburukan, para Nabi
terpelihara dari segala bentuk kesalahan baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi
Rasul, Al Qur’an adalah mukjizat Nabi Muhammad yang kekal, dan kalam Allah adalah
hadis (baru), makhluk (diciptakan) hukian qadim dikarenakan kalam Allah tersusun atas
huruf-huruf dan suara-suara yang dapat di dengar, sedangkan Allah berkata-kata tidak
16
dengan huruf dan suara.

d. Al-Imamah
Bagi kaun Syi’ah imamah berarti kepemimpinan dalam urusan agama sekaligus
dalam dunia.Ia merupakan pengganti Rasul dalam memelihara syari’at, melaksanakan
hudud (had atau hukuman terhadap pelanggar hukum Allah), dan mewujudkan kebaikan
serta ketentraman umat. Bagi kaum Syi’ah yang berhak menjadi pemimpin umat
hanyalah seorang imam dan menganggap pemimpin-pemimpin selain imam adlah
pemimpin yang ilegal dan tidak wajib ditaati. Karena itu pemerintahan Islam sejak
wafatnya Rasul (kecuali pemerintahan Ali Bin Abi Thalib) adalah pemerintahan yang
tidak sah. Di samping itu imam dianggap ma’sum, terpelihara dari dosa sehingga imam
tidak berdosa serta perintah, larangan tindakan maupun perbuatannya tidak boleh
17
diganggu gugat ataupun dikritik.

e. Al-Ma’ad
Secara harfiah al ma’dan yaitu tempat kembali, yang dimaksud disini adalah
akhirat. Kaum Syi’ah percaya sepenuhnya bahwahari akhirat itu pasti terjadi. Menurut
keyakinan mereka manusia kelak akan dibangkitkan, jasadnya secara keseluruhannya
akan dikembalikan ke asalnya baik daging, tulang maupun ruhnya. Dan pada hari kiamat
itu pula manusia harus memepertanggungjawabkan segala perbuatan yang telah
dilakukan selama hidup di dunia di hadapan Allah SWT. Pada saaat itu juga Tuhan akan

B. Paham dan Sejarah munculnya Sunni

Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mereka yang menempuh seperti apa yang
pernah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya
Radhiyallahu anhum. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan
berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya
Radhiyallahu anhum. As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara, apakah
jalan itu baik atau buruk .
dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, baik
tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah As- Sunnah
yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang yang menyalahinya
akan dicela9.

Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat


795H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh
kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya
yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah As-
Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan As-
Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan
dari Imam Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’i (wafat th.157 H) dan
Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H)10.

Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau


berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang
berpegang kepada) al-haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan
36
mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah. Jama’ah menurut
ulama ‘aqidah (terminologi) adalah generasi pertama dari ummat ini, yaitu kalangan
Sahabat, Tabi’ut Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari
Kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran11

Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak generasi pertama Islam pada
kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi Sahabat, Tabi’in dan Tabiut
49
Tabi’in Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata ketika menafsirkan
firman Allah Azza wa Jalla QS. Ali ‘Imran/4: 106.:

terjemahan : pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula
muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada
mereka dikatakan): "Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? karena itu rasakanlah
azab disebabkan kekafiranmu itu".

9
Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah h. 16.
10
Ibnu Manzhur. Lisaanul ‘Arab (VI/331) karya (wafat th. 711 H)
11
Ibnu Rajab. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam tahqiq dan ta’liq Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, (cet. II-Daar Ibnul
Jauzy-th. 1420 H) h. 495
Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
adapun orang yang hitam wajahnya mereka adalah Ahlul Bid’ah dan sesat.” Kemudian
istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama Salaf ‫ﻢﮭﻤﺣر ﷲ‬, di antaranya:

1. Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata: “Apabila aku
dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus Sunnah seolah-olah hilang
salah satu anggota tubuhku.”

2. Sufyan ats-Tsaury rahimahullah (wafat th. 161 H) berkata: “Aku wasiatkan


kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah dengan baik, karena mereka
52
adalah al-ghurabaa’. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

53
3. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah (wafat th. 187 H) berkata: “Berkata Ahlus

Sunnah: Iman itu keyakinan, perkataan dan perbuatan.”

4. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam rahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata
54
dalam muqaddimah kitabnya, al-Iimaan : Maka sesungguhnya apabila engkau
bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman,
bertambah dan berkurangnya iman dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau
berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari
yang demikian...”

55
5. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (hidup th. 164-241 H), beliau berkata
dalam muqaddimah kitabnya, As-Sunnah: “Inilah madzhab ahlul ‘ilmi, ash-
haabul atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, dari semenjak zaman
para Sahabat Radhiyallahu anhumg hingga pada masa sekarang ini”.

6. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata: Adapun
yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum Mukminin akan
melihat Allah pada hari Kiamat, maka itu merupakan agama yang kami beragama
dengannya, dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat
bahwa penghuni Surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang shahih dari
56
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

7. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawi rahimahullah (hidup th.
239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab ‘aqidahnya yang masyhur
(al-‘Aqiidatuth Thahaawiyyah): “ Ini adalah penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah.”

Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus Sunnah
sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal ummat ini) dan para ulama sesudahnya.
Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak sebagai lawan kata Ahlul Bid’ah.
Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah agar ummat
faham tentang ‘aqidah yang benar dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlul
Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahari,
Imam ath-Thahawi serta yang lainnya.BDan ini juga sebagai bantahan kepada orang yang
berpendapat bahwa istilah Ahlus Sunnah pertama kali dipakai oleh golongan
Asy’ariyyah, padahal Asy’ariyyah timbul pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah. 12

Pada hakikatnya, Asy’ariyyah tidak dapat dinisbatkan kepada Ahlus Sunnah,


karena beberapa perbedaan prinsip yang mendasar, di antaranya:

1. Golongan Asy’ariyyah menta’wil sifat-sifat Allah Ta’ala, sedangkan Ahlus


Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah
dan Rasul-Nya, seperti sifat istiwa’ , wajah, tangan, Al-Qur-an Kalamullah,
dan lainnya.

2. Golongan Asy’ariyyah menyibukkan diri mereka dengan ilmu kalam, sedangkan


ulama Ahlus Sunnah justru mencela ilmu kalam, sebagaimana penjelasan Imam
asy-Syafi’i rahimahullah ketika mencela ilmu kalam.

3. Golongan Asy’ariyyah menolak kabar-kabar yang shahih tentang sifat-sifat


Allah, mereka menolaknya dengan akal dan qiyas (analogi) mereka

12
Lihat Muhammad Baa Karim Muhammad Baa ‘Abdullah. kitab Wasathiyyah Ahlis Sunnah bainal
Firaq. h. 41-44
C.Sejarah Munculnya Ahmadyah
Ahmadiyyah (Urdu: ‫ )ﺔﯾﺪﻤﺣأ‬atau sering pula disebut Ahmadiyah, adalah jama’ah
muslim yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di desa
kecil bernama Qadian, Punjab, India. Ia mengaku sebagai Mujaddid, Al-Masih dan Al
mahdi.

Anehnya, Mirza sendiri kemudian mengklaim bahwa dirinya adalah nama yang
dimaksud tersebut yang diutus oleh Tuhan. Lahirnya aliran Ahmadiyah merupakan
serentetan peristiwa sejarah dalam Islam, yang kemunculannya tidak terlepas dari situasi
dan kondisi umat Muslim sendiri pada saat itu. Sejak kekalahan Turki Usmani dalam
serangannya ke benteng Wina tahun 1683, pihak barat mulai bangkit menyerang
kerajaan tersebut dan serangan itu lebih efektif lagi di abad ke-18. Bangsa Eropa secara
agresif menjarah daerah-daerah Islam di satu pihak, hingga akhirnya Inggris dapat
merampas India dan Mesir.

Sesudah India menjadi koloni Inggris, keadaan kaum Muslim India semakin
memburuk, berbeda dengan umat hindu yang lebih bersikap kooperatif sehingga dapat
diajak bekerja sama dengan pemerintahan Inggris. Karena sikap nonkooperatif umat
Muslim India saat itu, sehingga semakin memojokkan posisi mereka dan membawanya
ke dalam keterasingan di negeri sendiri. Situasi umat Muslim India saat itu tidak jauh
berbeda dengan keadaan umat Muslim Indonesia di zaman pemerintahan kolonial
Belanda. Di sini Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku telah diangkat sebagai al-Mahdi
dan al-Masih oleh Tuhan, merasa mempunyai tanggung jawab moral untuk memajukan
Islam dan umat Muslim dengan memberi interpretasi baru terhadap ayat-ayat al-qur’an
sesuai tuntutan zamannya, sebagaimana yang diilhamkan Tuhan kepadanya. Motif Mirza
ini tampaknya didorong oleh gencarnya serangan kaum misionaris Kristen dan
propaganda kaum Hindu terhadap umat Muslim saat itu.

Ahmadiyah lahir menjelang akhir abad ke-19 di tengah huru-hara runtuhnya


masyarakat Islam lama dan infiltrasi budaya dengan sikapnya yang baru, serangan gencar
kaum misionaris Kristen (terhadap Islam) dan berdirinya Universitas Aligarh yang baru,
maka lahirnya Ahmadiyah adalah sebagai protes terhadap keberhasilan kaum misionaris
Kristen memperoleh pengikut-pengikut baru. Juga sebagai protes terhadap paham
rasionalis dan westernisasi yang dibawa oleh Sayyid Ahmad Khan dengan Aligarhnya.
Di samping itu lahirnya Ahmadiyah juga sebagai protes atas kemerosotan Islam pada
umumnya. 13 Sayangnya pembaharuan al-Mahdi Ahmadiyah ini menyentuh keyakinan
umat Muslim yang sangat sensitif, yaitu masih adanya nabi dan wahyu yang diturunkan
Tuhan sesudah al-Qur’an dan sesudah kerasulan Nabi Muhammad.

Gerakan Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Lahir pada 15


Februari 1835M di Qadian. Mirza Ghulam Ahmad adalah putera Mirza Ghulam
Murtadha. Leluhurnya telah bermigrasi di tahun 1530 dari Samarkand ke India, sewaktu
pemerintahan Mughal Raja Babur dan menetap di distrik Gurdaspur, Punjab, India. Di
sini mereka mendirikan kota yang sekarang disebut Qadian, yang aslinya bernama ‘Islam
Pur Qadi’. Nama ini diperpendek sebagai Qadi, kemudian sebagai Kadi, dan akhirnya
menjadi Qadian. Keluarganya termasuk kaum Mughal, keturunan Barlas. Keluarga Mirza
Ghulam Ahmad sebenarnya keturunan orang Persia, oleh karena itu Ghulam Ahmad dan
keluarganya disebut Mirza, dan atas dasar ini pula Ghulam Ahmad dikenal orang dengan
nama Mirza Ghulam Ahmad. 14

Tampaknya keluarga Mirza ini pernah menjadi pembantu setia pemerintah


kolonial Inggris di India. Jauh sebelum itu, keluarga tersebut sudah menjalin kerja sama
yang erat dengan pimpinan kaum Sikh, Ranjat Singh. Dengan demikian tidak pelak lagi
jika aliran Ahmadiyah bersikap kooperatif dengan pemerintah Inggris. Tentunya sikap
kooperatif tersebut, berbeda dengan sikap kooperatif yang dijalankan oleh Sayyid Ahmad
Khan. Apabila Ahmad Khan menginginkan agar Umat Muslim bisa memperoleh kemajuan
dan kesuksesan sebagaimana yang dicapai oleh bangsa Eropa, dengan mendirikan
Universitas Aligarh, maka Mirza Ghulam Ahmad dengan Ahmadiyahnya ingin
mendapat perlindungan secara politis, sehingga bebas dan dapat mempertahankan aliran
yang didirikannya.

Pada masa remaja, Mirza Ghulam Ahmad atas perintah ayahnya, telah disibukkan
dengan urusan tanah pertanian, suatu hal yang tidak disukainya. Untuk memenuhi
kehendak ayahnya pula, Mirza Ghulam Ahmad menjadi pegawai pemerintah di Sialkot,
dan bertempat tinggal di sana dari tahun 1864 sampai 1868. Selama bertempat tinggal di
Sialkot Mirza Ghulam Ahmad banyak terlibat dalam perdebatan dengan para misionaris
Kristen. Setelah itu Mirza Ghulam Ahmad meninggalkan pekerjaannya dan kembali ke
Qadian serta mulai mengawasi lahan tanah pertanian miliknya. Di samping pekerjaannya
13
Wilfred Cantwell Smith, Modern Islam in India, (New Delhi: Usha Publication, 1979), h. 368
14
Maulana Muhammad Ali, Gerakan Ahmadiyah, (Jakata: Darul Kutubil Islamiyah, 2002), h, 1.
sehari-hari, pada periode ini ia mengisi waktunya untuk merenungkan Al-Qur’an serta
mempelajari tafsir dan hadis15.

Tahun 1878 Mirza Ghulam Ahmad membuat tulisan-tulisan sanggahan cemerlang di surat
kabar-surat kabar atas serangan-serangan pemikiran yang dilakukan oleh Swami Daynanda
Sarasvat, anggota kelompok hindu Bombay dengan nama Arya Samaj yang didirikan oleh

Ram Mohan Roy di Calcutta pada tahun 1828. Pada tahun 1880, Mirza Ghulam Ahmad
menulis bukunya yang pertama dengan judul Burahini Ahmadiyah. Buku ini
menjelaskan dengan cemerlang berdasarkan argumen yang kuat terhadap

1. Pokok – pokok pikiran Ahmadiyah

1. Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya Nabi dan Rasul utusan Tuhan. Dia
mengaku dirinya menerima wahyu yang turunnya di India, kemudian wahyu- wahyu itu
dikumpulkan seluruhnya, sehingga merupakan sebuah kitab suci dan mereka beri nama
kitab suci Tadzkirah. Tadzkirah itu lebih besar dari pada kitab suci Al-Qur’an.

2. Mereka meyakini bahwa kitab suci Tadzkirah sama sucinya dengan kitab suci Al-
Qur’an karena sama-sama wahyu dari Tuhan.

3. Wahyu tetap turun sampai hari kiamat begitu juga Nabi dan Rasul tetap diutus
sampai hari kiamat juga

4. Mereka mempunyai tempat suci tersendiri yaitu Qadian dan Rabwah.

5. Mereka mempunyai surga sendiri yang letaknya di Qadian dan Rabwah dan sertifikat
kavling surga tersebut dijual kepada jamaahnya dengan harga yang sangat mahal.

6. Wanita Ahmadiyah haram nikah dengan laki-laki yang bukan Ahmadiyah, tetapi
lelaki Ahmadiyah boleh kawin dengan perempuan yang bukan Ahmadiyah.

7. Tidak boleh bermakmum dengan (di belakang) imam yang bukan Ahmadiyah.

8. Ahmadiyah mempunyai tanggal, bulan, dan tahun sendiri yaitu nama


bulan:1.nSuluh 2. Tabligh 3. Aman 4. Syahadah 5. Hijrah 6. Ikhsan. 7. 8. Zuhur 9. T

BAB III

15
Sayid Abul Hasan Ali Nadwi, Tikaman Ahmadiyah terhadap Islam, (Jakarta: Fadlindo Media Utama,
2005), h. 12
PENUTUP
Kesimpulan
1.Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah
sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah
Nabi Muhammad SAW, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah. Secara
khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu
Nabi Muhammad SAW dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan
setelah Nabi Muhammad SAW, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh
Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh
Nabi Muhammad SAW, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah. Munculan syi’ah
dalam sejarah terdapat perbedaan dikalangan ahli. Menurut Abu Zahrah, syi’ah mulai
muncul pasda masa akhir pemerintahan Usman bin Affaan kemudian tumbuh dan
berkembang pada masa pewmerintahan Ali bin Abi Thalib, adapun menurut Watt, syi’ah
baru benar-benar. Muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang
dikenal dengan perang Shiffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas
penerimaan Ali terhadap arbritase yang ditawarkan Mu’awiyah. Pasukan Ali
diceritakan terpecah menjadi dua. Satu kelompok mendukung sikap Ali (Syi’ah) dan
kelompok menolak sikap Ali (Khawarij).

2. Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter
mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara yang
baru dan bid’ah dalam agama. Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti)
kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak
Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’.
Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaa-ifatul Manshuurah (golongan
yang mendapatkan per-tolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat),
Ghurabaa' (orang asing)

3. Gerakan Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Lahir pada 15 Februari
1835M di Qadian. Mirza Ghulam Ahmad adalah putera Mirza Ghulam Murtadha.
Leluhurnya telah bermigrasi di tahun 1530 dari Samarkand ke India, sewaktu
pemerintahan Mughal Raja Babur dan menetap di distrik Gurdaspur, Punjab, India. Di sini
mereka mendirikan kota yang sekarang disebut Qadian, yang aslinya Bernama

‘Islam Pur Qadi’. Nama ini diperpendek sebagai Qadi, kemudian sebagai Kadi, dan
akhirnya menjadi Qadian. Keluarganya termasuk kaum Mughal, keturunan Barlas.
Keluarga Mirza Ghulam Ahmad sebenarnya keturunan orang Persia, oleh karena itu
Ghulam Ahmad dan keluarganya disebut Mirza, dan atas dasar ini pula Ghulam
Ahmad dikenal orang dengan nama Mirza Ghulam Ahmad. Ahmadiyah di Indonesia
terbagi menjadi dua bagian,yaitu 1. Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) berdiri tahun
1925, berpusat di parung-Bogor sebagai gerakan dari Ahmadiyah Qodiani. 2.
Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) berdiri tahun 1928, berpusat di kota Yogyakarta
sebagai gerakan dari Ahmadiyah Lahor

DAFTAR PUSTAKA

Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, cet ke-2, Bandung: Puskata Setia, 2006
Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2007
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, cet ke-
5,Jakarta: UI-Press, 1986
Ibnu Rajab. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam tahqiq dan ta’liq Thariq bin ‘Awadhullah bin
Muhammad, cet. II-Daar Ibnul Jauzy-th. 1420 H Jalaluddin As-Suyuti, Durul Mansur
Maulana Muhammad Ali, Gerakan Ahmadiyah, Jakata: Darul Kutubil Islamiyah, 2002
Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, cet.1. Jakarta : Logos
Publishing House, 1996
Muhammad Husai Thabathaba’i, Shi’a,terj. Husain Nasr, Anshariah, Qum, 1981
Muslih Fathoni, Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1994
S. Ali Yasir, Gerakan Pembaharuan dalam Islam, vol. I, Yogyakarta: PP. Yayasan
Perguruan Islam Republik Indonesia,1978), hlm. 71-2; Saleh A. Nahdi,
Ahmadiyah Selayang Pandang, (Yogya: Rapem, 1979
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 201
Sayid Abul Hasan Ali Nadwi, Tikaman Ahmadiyah terhadap Islam, Jakarta: Fadlindo
Media Utama, 2005.
Sir Muhammad Iqbal, Islam dan Ahmadiyah, Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Solah Abu Su’ud, As’ Syiah An Nasyaah As Syiasiyah wal Aqidah Ad’ Diniyah,
Giza:Maktabah Nafidah, 2004
Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil
dari kitab Firaq Mu'ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin 'Ali Al-Awaji Sayyid
Muhibudin al-khotib, Mengenal Pokok-pokok Ajaran Syi'ah Al-Imamiyah,
Surabaya:PT.bina ilmu, 1984
Wilfred Cantwell Smith, Modern Islam in India, New Delhi: Usha Publication, 1979.

Anda mungkin juga menyukai