Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Pada
perkembangannya agama ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan,
dari wilayah yang tandus dengan kejahilan yang dilakukan oleh para orang kafir
Quraisy, agama Islam datang dengan kesejukan oase tauhid, meskipun pada
awalnya dakwah yang dibawa Nabi Muhammad SAW, mengalami hal yang
menyakitkan mulai dari dakwah yang ditentang oleh kedua pamannya yaitu Abu
Jahal dan Abu Lahab. Tetapi demi memantapkan Dakwah tauhid, Nabi SAW tidak
putus asa, beliau melakukan dakwahnya secara sembunyi-sembunyi dahulu dengan
sasaran dakwah keluarga Nabi SAW, pada perkembangan berikutnya dakwah Nabi
SAW dilakukan dengan terbuka kepada masyarakat Makkah pada umunya, tetapi
kenyataan yang didapatkan Nabi SAW adalah penolakan dari masyarakat Makkah,
lalu Nabi pun hijrah ke berbagai daerah, dan singkatnya hijrah Nabi ini diterima di
kota Yastrib, disana Nabi diterima dengan baik, dan masyarakat Yastrib yang
membantu Nabi SAW, dikenal dengan kaum Ansor, sedangkan umat Nabi SAW,
yang dibawa dari Makkah diberi nama kaum Muhajirin, pada perkembangan
selanjutnya kota Yastrib diberi nama kota Madinah. Di kota Madinah Nabi SAW
membentuk sistem pemerintahan, pendidikan serta dakwah yang dilakukan terus
menerus di kota sekitar Madinah, sehingga membuat kaum kafir Quraisy menjadi
benci dan marah sehingga terjadilah penyerangan-penyerangan yang dilakukan
kaum Quraisy, tetapi Allah tetap menolong Nabi SAW dan umatnya.

Pada waktu yang ditentukan Nabi dan para umat Islam dapat menaklukan
kota Makkah, yang dikuasai oleh kaum Quraisy dengan cara menaklukan secara
damai, ketika waktu yang ditentukan Allah untuk kewafatan Nabi SAW, umat Islam
sangat merasa kehilangan hal ini dikarenakan manusia yang mereka cintai
meninggal dunia, setelah wafatnya Nabi SAW, masyarakat Islam bimbang ketika
menentukan siapa yang berhak menjadi pengganti Nabi menjadi kepala negara,
setelah melakukan musyawarah para shohabat Nabi menentukan bahwa Abu Bakar

1
yang berhak menjadi kepala negara, pada saat itu banyak sekali umat Islam yang
menjadi murtad atau keluar dari Islam, hal itu membuat Abu Bakar memerangi
mereka yang murtad. Bahkan ada pula seorang yang mengaku sebagai Nabi
bernama Musailamah. Namun, karena kuatnya umat Islam pada masa itu, akhirnya
berhasil ditumpas.

Setelah kematian Abu Bakar, Shahabat Nabi mengangkat Umar Ibn khattab
menjadi kepala negara di tangan Umar Ibn Khattab, umat muslim berhasil merebut
Baitul Maqdis atau Masjid Al Aqhsa. Umat Islam menjadi lebih makmur ketika
masa pemerintahan khalifah Usman Ibn Affan yang mendirikan berbagai sistem
pertanian dan juga keuangan yang baik, tetapi hal tersebut menjadi bumerang ketika
banyak sanak saudara Usman Ibn Affan menjadi pemuka, kecemburan itu menjadi
puncaknya ketika ada terjadi pembunuhan yang menimpa khalifah Usman. Ali ibn
Abi Thalib pun diangkat menjadi khalifah. Khalifah Ali dituntut mencari siapa
pembunuh Usman ibn Affan, karena pergolakan politik yang hebat dan fitnah yang
terjadi pada masa Ali ibn Abi Thalib, terjadilah kekacauan karena Muawiyah Ibn
Abi Sufyan juga mengangakat dirinya menjadi khalifah, dan Ali pun menyerahkan
kepemimpinan kepada Muawiyah, para pendukung setia Khalifah Ali pun membuat
kelompok yang dinamakan syi’ah sedangkan kelompok yang tidak puas dengan Ali
maupun Muawiyah mendirikan sekte sendiri yang dinamakan Khawarij.
Pergolakan politik dan fitnah itu pun melebar menjadi persoalan aqidah dengan
muculnya berbagai aliran atau sekte-sekte pemikiran dalam Islam.

Lalu, dalam perkembangan selanjutnya mulailah bermunculan sekte – sekte


seperti Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, dan Mu’tazilah. Mereka sama – sama
memiliki dasar dan pedoman yang sama dalam pendirian sektenya, yaitu berupa Al-
Qur’an dan Hadits. Lalu, di era kemunduran Mu’tazilah mulailah timbul gagasan
untuk mengambil jalan moderat oleh seorang mantan Mu’tazilah bernama Abu
Hasan Al Asy’ari yang memantapkan ajarannya yang masyhur dengan nama Ahlu
Sunnah wal Jamaah. Dalam perkembangan saat ini pun banyak sekte yang mengaku
sebagai aliran Islam yang sebenarnya atau banyak yang mengaku sebagai pengikut

2
setia ajaran Islam dan Sunnah Nabi SAW. Dan Siapakah disini yang disebut kaum
ahlusunnah wal jamaah, berdasarkan hadis:

“…dan sesungguhnya ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 di

antaranya di neraka dan hanya satu yang di surga yaitu al-Jama’ah”. (H.R. Abu
Dawud)

Maka makalah ini berusaha untuk menerangkan tentang siapakah


Ahlusunnah Wal Jamaah, siapa saja tokoh-tokohnya, dan segala sesuatu yang
berkenaan dengan Ahlu Sunnah wal Jamaah.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Apa dan Siapa Ahlu Sunnah wal Jamaah ?

1.2.2. Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan Ahlu Sunnah wal Jamaah ?

1.2.3. Apa saja ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah?

1.2.4. Apakah dasar-dasar pemikiran Ahlu Sunnah wal Jamaah?

1.3. Tujuan

1.3.1. Untuk mengetahui Apa dan Siapakah Ahlusunnah Wal Jamaah

1.3.2. Untuk mengetahui Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan Ahlu Sunnah


wal Jamaah

1.3.3. Untuk mengetahui . Apa saja ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah

1.3.4. Untuk mengetahui Apakah dasar-dasar pemikiran Ahlu Sunnah wal Jamaah

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Apa dan Siapa Ahlu Sunnah itu

Secara etimologis, ada tiga kata untuk mengetahui ta’rif Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah. Pertama, Kata Ahl, dapat berarti pemeluk aliran 1 atau pengikut
madhhab. 2 Untuk arti tersebut, kata Ahl berfungsi sebagai badal nisbah, karena
dikaitkan dengan kata al-Sunnah yang berarti orang-orang yang berfaham Sunni(al-
Sunniyah). 3 Kedua, kata al-Sunnah di samping memiliki arti al-Hadith (ucapan,
cerita), ia juga bersinonim dengan kata al-Sirah (sejarah) dan al-Tariqah (jalan,
cerita, metode), al-Tabi’ah (kebiasaan), dan al-shari’ah (syariat). 4 Dari situ, maka
al-Sunnah bisa diartikan sebagai jalan nabi dan para shohabat (generasi salaf al-
salih). Ketiga, kata al-Jama’ah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. 5
Kata ini biasanya diidentikkan dengan penerimaan terhadap Ijma’ al-Shahabah
(consensus sahabat nabi) yang diakui sebagai salah satu sumber hukum, sehingga
bila kata ini dikaitkan dengan dengan madhab-madhab dalam Islam, maka ia
mengacu kepada arti kelompok Sunni. Hal itu karena kata al-Jamaah belum dikenal
dikalangan orang-orang Khawarij ataupun Rafidah (Shi’ah). Akan halnya untuk
kaum Mu’tazilah, karena mereka tidak menerima Ijma’ sebagai suatu sumber
hukum. 6

Al Qur’an tidak memberikan pengertian secara langsung (harfiyah) untuk


kata al-Sunnah dan al-Jamaah, seperti halnya yang menjadi pengertian popular
tentang dua kata tersebut. Dalam Al-Qur’an memang terdapat kata al-Sunnah di
banyak tempat, akan tetapi penyebutannya menunjukkan pengertian ketetapan
Allah bagi pola hidup manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Demikian
halnya dengan kata al-Jama’ah, tidak dijumpai dalam al-Qur’an sekalipun memang

1
Al-Fairuzabadi, Al-Qamus al-Muklit (Beirut :Muassasah al-Risalah, 1987), 1245
2
Ibrahim Anis, Al-Mu’jam al-Wasit, Vol.I (t.t.: Mujma’ al-Lughah, t.th), 31.
3
Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, Vol.IV (Beirut: Dar al-Kitab al ‘Arabi, 1953), 96.
4
Ibid
5
Ibrahim Anis, Op.Cit., 135.
6
Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah wa Al-
Jama’ah (Surabaya : Khalista, 2010), 32.

4
bayak kata derivasinya, seperti jami’an, yajma’un, jami’un, dan lain-lain dengan
pengertian yang beragam. 7

Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah 8 golongan mayoritas umat Muhammad.


The nearest equivalent is the phrase Ahl As-Sunna wa-l-Jama’a, ‘the people of
Sunna and the community. 9 Yaitu orang-orang yang menjalankan Sunnah dan
berkelompok. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka
dalam dasar-dasar aqidah. Merekalah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wasallam: "…maka barang siapa yang menginginkan tempat
lapang di surga hendaklah berpegang teguh pada al Jama’ah; yakni berpegang teguh
pada aqidah al Jama’ah”. (Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim, dan at-Tirmidzi
mengatakan hadits hasan shahih). Setelah tahun 260 H menyebarlah bid’ah
Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya. Maka dua Imam yang agung Abu al Hasan
al Asy’ari (W 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (W 333 H) –semoga Allah
meridlai keduanya- menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini
para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan
dalil-dalil naqli (nash-nash al Qur’an dan al hadits) dan ‘aqli (argumen rasional)
disertai dengan bantahan-bantahan terhadap syubhah-syubhah (sesuatu yang
dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah
dan lainnya, sehingga Ahlussunnah Wal Jama’ah dinisbatkan kepada keduanya.
Mereka (Ahlussunnah) akhirnya dikenal dengan nama al Asy’ariyyun (para
pengikut al Asy’ari) dan al Maturidiyyun (para pengikut al Maturidi). Jalan yang
ditempuh oleh al Asy’ari dan al Maturidi dalam pokok-pokok aqidah adalah sama
dan satu. Al Hafizh Murtadla az-Zabidi (W 1205 H) dalam al Ithaf juz II hlm. 6,
mengatakan: “Pasal Kedua: "Jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang
dimaksud adalah al Asy’ariyyah dan al Maturidiyyah”. Mereka adalah ratusan juta
ummat Islam (golongan mayoritas). Mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i,
para pengikut madzhab Maliki, para pengikut madzhab Hanafi dan orang-orang

7
Ibid.
8
Darul Fatwa, Aqidah Ahlusunnah wal jamaah. (Bekasi : Syamamah Press, 2003). Hlm. 25
9
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology An Extended Survey. (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1992). Hlm. 59

5
utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al Hanabilah). Sedangkan Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wasallam telah memberitahukan bahwa mayoritas umatnya tidak
akan sesat. Alangkah beruntungnya orang yang senantiasa mengikuti mereka.
Kelompok ini disebut Ahlus Sunnah wal Jama'ah karena pendapat mereka berpijak
pada pendapat-pendapat para sahabat yang mereka terima dari Rasulullah.
Kelompok ini disebut juga kelompok ahli hadits dan ahli fiqih karena merekalah
pendukung-pendukung dari aliran ini. Istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah mulai
dikenal pada saat pemerintahan bani Abbasiah dimana kelompok Mu'tazilah
berkembang pesat, sehingga nama Ahlus Sunnah dirasa harus dipakai untuk setiap
manusia yang berpegang pada Al-Quran dan Sunnah. Dan nama Mu'tazilah dipakai
untuk siapa yang berpegang pada lmu kalam (theologische dialektik), logika dan
rasio. 10

Ibnu Hajar al-Haitamiy menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah
wal Jama'ah adalah orang-orang yang mengikuti rumusan yang digagas oleh Imam
Asy'ariy dan Imam Maturidi. 11 Pendapat-pendapat mereka :

- Hukum Islam di dasarkan atas Al-Quran dan al-Hadits

- Mengakui Ijmak dan Qiyas sebagai salah satu sumber hukum Islam

- Menetapkan adanya sifat-sifat Allah

- Al-Quran adalah Qodim bukan hadits

- Orang Islam yang berdosa besar tidaklah kafir

Jadi dari berbagai pendapat dan sumber ini dapat diambil benang merah
bahwa yang dimaksud Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah Umat Islam yang
mengamalkan Sunnah-sunnah Rasul dan merupakan kelompok mayoritas dalam
umat Islam, serta mereka merupakan kelompok moderat yang tidak hanya terpaku
pada rasio seperti halnya Kaum Mu’tazilah, dan juga tidak terlalu Fatality seperti

10
Dr. Fuad. MF, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, hal :105
11
KH. Muhyiddin Abdushshomad, Fiqih Tradisionalis, hal 14

6
Jabariyah, namun menempatkan wahyu sebagai sumber utama dan landasan
berpikir serta menjadikan ra’yi atau akal pikiran untuk menguatkan wahyu.

Dari berbagai sumber Ahlu Sunnah berjamaah dikelompokkan menjadi dua


golongan yaitu Ahlu Sunnah wal Jamaah golongan Asy’ariyyah dan Ahlu Sunnah
golongan Maturidiyah. Berikut ini adalah kedua golongan dalam faham Ahlu
Sunnah wal Jamaah

2.1.1 Ahlusunnah Golongan Asy’ariyah

Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul


Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi
Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi
Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw.
Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian
ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah. Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan
pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada
tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih
madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari
Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah. Setelah ayahnya meninggal,
ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar
Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam
sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi
senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah. Al-Asy’ari yang
semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab
yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah
mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar
dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan
antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah
(kemaslahatan). Para ahli sepakat bahwa Al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah
tepat pada bulan Ramadhan tahun 280 H. / 912 atau 300 H. / 915 saat usianya

7
menginjak 40 tahun. 12 Aliran ini diikutinya terus ampai berusia 40 tahun, dan
tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku
kemuktazilahan. namun pada tahun 912 dia mengumumkan keluar dari paham
Mu'tazilah, dan mendirikan teologi baru yang kemudian dikenal
sebagai Asy'ariah.Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya
selama 15 hari, kemudian pergi ke Masjid Basrah. Di depan banyak orang ia
menyatakan bahwa ia mula-mula mengatakan bahwa Quran adalah makhluk;
Allah Swt tidak dapat dilihat mata kepala; perbuatan buruk adalah manusia
sendiri yang memperbuatnya (semua pendapat aliran Muktazilah). Kemudian ia
mengatakan: "saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat tersebut; saya
harus menolak paham-paham orang Muktazilah dan menunjukkan keburukan-
keburukan dan kelemahan-kelemahanya". 13

Murid-Murid Al-Asy’ari :

1. Al-Imam ibn Mujahid (w. 370 H/980 M)


2. Al-Imam Abu Zaid al-Mawarzi (301-371 H/913-982 M)
3. Al-Imam Ibn al-Dhabbi (276-371 H/890-982 M)
4. Al-Hafizh Abu Bakar al-Ismaili (277-371 H/890-982 M)
5. Al-Imam Abu al-Hasan al-Bahilli
6. Ai-Imam Bundar al-Syrazi al-Sufhi (w. 353H/964 M)
7. Al-Imam Ali bin Mahdi al-Thabari
2.1.2. Ahlusunnah Golongan Maturidiyah

Aliran Maturidiyah lahir di Samarkand pada pertengahan abad IX M.


Pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad Ibnu Muhammad ibn Mahmud
Al-Maturidi. 14 Maturidiyah semasa hidupnya dengan Asy’ary, hanya dia
hidup di Samarkand sedangkan Asy’ary hidup di Basrah. Asy’ary adalah
pengikut Syafii dan Maturidy pengikut Mazhab Hanafy. Karena itu
kebanyakan pengikut Asy’ary adalah orang-orang Syafiiyyah, sedang

12
Alumni Madrasah Aliyah Hidayatul Mubtadien, Aliran-aliran Teologi Islam, hal. 229
13
Hanafi Ahmad: "Teologi Islam (Ilmu Kalam)", hal 65-77,2001, Penerbit Bulan Bintang
14
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia, 1998,) hlm. 189.

8
pengikut pengikut Maturidy adalah orang-orang Hanafiah. 15 Maturidiyah
muncul sebagai reaksi terhadap pemikiran Mu’tazilah. Reaksi ini timbul
karena adanya perbedaan pendapat antara aliran Mu’tazilah dan aliran
Maturidiyah diantaranya, yaitu : 16 Maturidiyah berpendapat bahwa
kewajiban megenai Allah mungkin dapat diketahui oleh akal. Dalam hal ini,
Maturidiyah tidak menggunakan tern wajib seperti yang digunakan oleh
Mu’tazilah. Sementara Asy’ariyyah berpendapat kewajiban mengetahui
‘tidak mungkin’ melalui akal. berdasarkan prinsip pendiri aliran
Maturidiyah mengenai penafsiran Al-Qur’an yaitu kewajiban melakukan
penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran Al-Qur’an. Dalam
menfsirkan Al-Qur’an al-Maturidi membawa ayat-ayat
yang mutasyabih (samar maknanya) pada makna yang muhkam (terang dan
jelas pengertiannya). Ia menta’wilkan yang muhtasyabih berdasarkan
pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang mikmin tidak
mempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya, maka bersikap menyerah
adalah lebih selamat. 17
Aliran Maturidiyah terbagi lagi menjadi dua, yaitu :
2.1.2.1.Aliran Samarkand
Yang menjadi golongan ini dalah pengikut Al-Maturidi
sendiri, golongan ini cenderung ke arah paham Mu’tazilah,
sebagaimana pendapatnya soal sifat-sifat Tuhan, Maturidi dan
Asy’ary terdapat kesamaan pandangan, menurut Maturidi, Tuhan
mempunyai sifat-sifat, tuhan mengetahui bukan dengan zatnya,
melainkan dengan pengetahuannya.
Begitu juga tuhan berkuasa dengan zatnya. Mengetahui
perbuatan-perbuatan manusia maturidi sependapat dengan golongan
Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya mewujudkan perbuatan-

15
Ahmad Hanafi, Theology Islam, Bulan Bintang : Jakarta, 1996, hlm. 70.
16
Suryan A.Jamrah, Studi Ilmu Kalam, Program Pascasarjana UIN Suska Riau dan LSFK2P,
Pekanbaru : 2007, hlm. 144.
17
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru Jakarta, 2003), h. 212

9
perbutannya. Apabila ditinjau dari sini, Maturidi berpaham
Qadariyah. Maturidi menolak paham-paham Mu’tazilah, antara lain
Maturidiyah tidak sepaham mengenai pendapat mu’tazilah yang
mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Aliran Maturidi juga
sepaham dengan Mu’tazilah dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa
janji dan ancaman Tuhan, kelak pasti terjadi. Demikian pula masalah
antropomorphisme. Dimana maturidi berpendapat bahwa tangan
wajah tuhan, dan sebagainya seperti pengambaran al-qur’an. Mesti
diberi arti kiasan (majazi). Dalam hal ini. Maturidi bertolak belakang
dengan pendapat Asy’ary yang menjelaskan bahwa ayat-ayat yang
menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tak dapat diberi
interpretasi (ditakwilkan).
2.1.2.2. Aliran Bukhara
Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al-yusr
Muhammad Al-Bazdawi. “Abu-l-Yusf al-Pzdawi (c.1030-1100)
belonged to a family of scholars, his great-grandfather having been
a pupil of Al-Maturidi. He probably spent most of his life in
Bukhara, but was qadi of Samarqand for a period round about 1088.
In his book, Usul ad-din, ‘the principles of religion’, he discusses 96
points of doctrine, giving the Hanafite-Maturidite position on each,
and then divergent views and refustations of these. The views are
those of Mu’tazilities and other theologians of the ‘classical’ period
prior to al-Ash’ari, together with those of Al-Ash’ari himself, the
Ash’arites, the Karramites and the ‘philosophers’. In the case of
these three groups no individual names are mentioned. It is
oteworthy that the ‘philosophers’ are mentioned and argured
against, but al-Ghazali would doubtless have found the arguments
unsatisfactory. A pupil of his, Najm-Ad-Din Abu Hafs an-Nasafi
(1068-1142) , composed a short creed, Al-‘Aqaid, which has been

10
the subject of many commentaries and supercommentaries. 18 Dia
merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik
dalam pemikirannya. Buyut Al-Bazdawi menjadi salah satu murid
Maturidi. Dari orang tuanya, Al-Bazdawi dapat menerima ajaran
aturidi. Dengan demikian yang di maksud golongan Bukhara adalah
pengikut-pengikut Al-Bazdawi di dalam aliran Al-maturidiyah,
yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat
Al-asy’ary.
Namun walaupun sebagai aliranMmaturidiyah. Al-Bazdawi
tidak selamanya sepaham dengan Maturidi. Ajaran-ajaran
teologinya banyak dianut oleh sebagian umat Islam yang bermazhab
Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran Maturidiya sampai sekarang
masih hidup dan berkembang dikalangan umat Islam.

2.2. Tahapan-tahapan perkembangan faham Ahlu Sunnah wal Jamaah


Pada masa Rasulullah SAW masih hidup, istilah Aswaja
sudah pernah ada tetapi tidak menunjuk pada kelompok tertentu
atau aliran tertentu. Yang dimaksud dengan Ahlussunah wal
Jama’ah adalah orang-orang Islam secara keseluruhan.
Ada sebuah hadits yang mungkin perlu dikutipkan telebih dahulu:

‫إن ﺑﻨﻲ إﺳﺮاﺋﯿﻞ ﺗﻔﺘﺮق ﻋﻠﻰ ﺛﻨﺘﯿﻦ وﺳﺒﻌﯿﻦ ﻣﻠﺔ وﺳﺘﻔﺘﺮق أﻣﺘﻲ ﻋﻠﻰ ﺛﻼث وﺳﺒﻌﯿﻦ‬
‫ ﻗﺎل ﻣﺎ اﻧﺎ ﻋﻠﯿﮫ‬:‫ ﻗﺎﻟﻮا ﻣﻦ ھﻲ ﯾﺎرﺳﻮل ﷲ‬،‫ﻣﻠﺔ ﻛﻠﮭﻢ ﻓﻲ اﻟﻨﺎر إﻻ ﻣﻠﺔ واﺣﺪة‬
‫وأﺻﺤﺎﺑﻲ‬

Artinya : Rasulullah SAW bersabda: “ Sesungguhnya bani Israil akan


terpecah menjadi 70 golongan dan ummatku terpecah menjadi 73 golongan
dan semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Para Shohabat bertanya

18
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology An Extended Survey(Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1992). Hlm. 105

11
: Siapa yang satu golongan itu? Rasulullah SAW. menjawab : yaitu
golongan dimana Aku dan Shahabatku berada. Mengenai tahapan-tahapan
aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah, bila kita tinjau dari periodisasinya, maka
dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode Proto Sunnisme,
Konsolidasi Sunnisme, dan Pelembagaan Sunnisme.
2.2.1. Proto Sunnisme19 :
Ditengah-tengah polarisasi dan pertentangan antarkelompok
itu, terdapat sejumlah sahabat nabi yang mencoba menghindarkan diri
dan kemudian melakukan gerakan-gerakan kultural dan menekuni
bidang keilmuan dan keagamaan. Mereka Antara lain adalah Umar bin
Abbas, Ibnu Mas’ud, Dan Lain-lain. Kegiatan serupa juga
dikembangkan oleh generasi tabi’in yang dipelopori oleh Hasan Al-
Basri (w. 110/728 H) bersama para tabi’in lainnya. Arus baru inilah
yang oleh para peneliti disebut Proto Sunnism 20 atau yang oleh
Marshall G.S. Hodgson disebut Jama’I e Sunni. 21
Dari kegiatan mereka inilah kemudian lahir sekelompok
muhaddithun (para ahli hadits), fuqaha, dan mufassirun. Termasuk di
dalam kelompok ini adalah empat imam madhab, yakni Abu Hanifah,
Malik bin Annas, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, dan Ahmad bin
Muhammad bin Hambal. Mereka menghasilkan banyak sekali karya.
Selain pada spesialisasi mereka, masin-masing juga menulis ‘Ilm
Kalam´ untuk memberikan sanggahan argumentative terhadap
pendapat-pendapat yang dinilai memiliki kecenderungan mengabaikan
sunnah Nabi dan para sahabat dalam menginterpretasikan ayat-ayat Al-
Qur’an mengenai persoalan-persoalan pokok agama (al-Usul al-Din).
Golongan yang mengikuti pola inila yang kemudian dikenal dengan
sebutan Ahlu Sunnah.

19
Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah wa Al-
Jama’ah (Surabaya : Khalista, 2010), 44.
20
Muhammad Qasim Zaman, Religion and Politics under the Early ‘Abbasids : The Emergence of
the Proto-Sunni Elite (Leiden :Brill Academic Publisher, incorporated, t.t).
21
Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 1 (Chicago: chicago University Press,
1971), 267-268

12
Secara metodologis, keberadaan Ahlu Sunnah wal Jama’ah
dalam pengertian Proto Sunnisme dipertegas oleh Ahmad bin Hambal
yang memiliki kredibilitas sebagai Ahlul Hadith lawan dari Ahlul
Kalam. Ia dianggap mempresentasikan sebuah gerakan pemikiran baru
yang disinyalir merupakan gabungan dari berbagai kelompok besar
maupun kecil pada abad ke-2 sampai abad ke-4 Hijriyah. Paradigma
Ahlu Sunnah wal Jama’ah era ini adalah taqdim al-Nass ‘ala al-‘Aql
(mendahulukan nass dari pada akal). Mereka lebih berpegang kepada
yang ma’thur (tekstual) daripada yang ma’qul´(rasional) ;
mendahulukan riwayah (eksistensi, keberadaan teks) daripada dirayah
(substansi, kandungan teks); mengutamakan dalil nass (Al-naql)
daripada nalar (al-‘aql), dan ememahami nass secara zahir (eksplisit)
saja. Demikian, Ahlu Sunnah wal Jamaah sebelum abad ke-5 Hijriyah
masih tertuju atau identic pada Ahlul Hadits. 22
Sepanjang abad ke-4 sampai ke-5 Hijriyah, Ahlu Sunnah wal
Jamaah adalah suatu komuitas Muslim yang secara ekstrem anti Syiah
dan menjadi kelompok oposisi terhadap Bani ‘Abbasiyah pendukung
faham Qadiriyah-Mu’tazilah dan Bani Buwaih yang berfaham Syi’ah.
Pada era itu, kelompok Sunni ahlul Hadits ini mengadakan perlawanan
bersenjata anti Syi’ah, Mu’tazilah, dan Mutakallimun (para teolog),
termasuk Al Ash’ari dan Asy’ariyah. 23
Sekilas, bila kita amati, terjadi keganjilan pada peristiwa ini
yaitu terjadinya pergolakan Antara pendukung Imam Ahmad bin
Hambal dengan para pendukung Asy’ariyah. Padahal, dalam
perkembangan selanjutnya kedua kelompok ini diidentifikasikan
sebagai bagian dari Ahlu Sunnah wal Jamaah.Ironinya, pada masa itu,
24
kedua belah pihak itu sampai saling mengkafirkan. Hal ini terjadi
karena kehadiran Al Asy’ari diwarnai dengan upaya rasionalisasi

22
Achmad Muhibbin Zuhri, Op.Cit. hlm. 46.
23
Ibid. hlm. 47
24
Syafiq A. Mughi, Hanbali Movement from al-Barbahari to Abu Ja’far al Hashimi (California :
Disertasi P. hd., University of California, 1992), 95

13
terhadap teologi Sunni yang sebelumnya diwakili oleh ahli ahlul Hadits.
Kritiknya terhadap kalangan Hanabilah sebagai “bodoh” –karena
mereka agak fanatik dan tidak mau menggunakan ta’wil (interpretasi),25
membuat mereka marah, dan terjadilah ketegangan.
Di pihak pemikiran teologi Asy’ariyah memang memiliki
banyak pendukung. Teologi Asy’ariyah mengalamai penyempurnaan
oleh Al-Maturidi, Al-Baqilani, dan Al-Juwayni atau Imam Haramain.
Akan tetapi, kelompok ini tidak cukup kuat untuk bertahan ketika harus
menghadapi arus besar Hanabilah yang pada waktu itu didukung oleh
kekuatan penguasa khalifah Al-Qa’im selama paruh pertama abad ke-5
Hijriyah. Teologi Asy’ari dan Al-Maturidi baru mengalami
perkembangannya pada masa Al-Ghazali pada akhir abad ke-5 Hijriyah,
karena mendapat dukungan tidak langsung dari wazir Nizamul Muluk.
2.2.2. Konsolidasi Sunnisme
Dalam wilayah teologi, Ahlu Sunnah wal Jamaah telah
menemukan bentuknya yang lebuh sempurna oleh hadirnya Abu Hasan
Al-Asy’ari. Ahlusunah wal Jamaah pasca Asy’ari ini telah mengalamai
rasionalisasi dari pola pemahaman para Ahlul Hadits. Mengapa bisa
dikatakan sempurna karena saat itu Aliran ini mampu menjawab
persoalah teologis yang sedang berkembang. Masdar Farid Mas’udi
menyebit masa ini sebagai “masa konsolidasi doktrin Sunisme”. 26 Corak
moderat di dalam menyikapi persoalan-persoalan teologi, kemudian
dijadikan acuan pemikiran Ahlu Sunnah wal Jamaah berikutnya. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa Ahlu Sunah wal Jamaah sebagai
symbol sosial keagamaan baru dapat terkonsolidasi pada masa Al-
Asy’ari.
Meskipun teologi Asy’ariyah dibangun dari rasionalisasi pola
tekstual kaum Ahlul Hadits, namun ia tetap menyatakan posisinya

25
Mahmudah Gharabah, Abu Hasan al-Ash’ari (Kairo: Majma’ Buhuth al-Islamiyyah, 1973), 76-80
26
Masdar Farid Mas’udi, “ NU&Teologi Asy’ari, Kajian Melalui al-Ibanah an Ushul al-Diniyah”,
dalam Pesantren, No.4, Vol. III (Jakarta: P3M, 1996), 87.

14
sebagai pelanjut tradisi Ahlu Sunnah wal Jamaah Ahmad bin Hambal.
Secara tegas, Al-Asy;ari menulis dalam kiabnya al-Ibanah ‘an Usul al-
Diniyyah:
Ajaran dan keyakinan Agama yang kami anut adalah sebagai
berikut : berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad, serta ajaran para shabat, tabi’in, dan apra ahli hadits.
Semua hal itu kami pegangi dan kami jadikan sandaran, termasuk
ajaran-ajaran yang disampaikan Abu Abdullah Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal. Semoga Allah meberkatina… 27
Pernyataan al Asy’ari tersebut menunjukkan posisi
pandangan teologisnya untuk memoderasi pandangan orthodox Ahlul
Hadits dan pandangan rasionalis Mu’tazilah. Di satu sisi Al-Asy’ari
ingin tetap mempertahankan pijakan kakinya pada Ahlu Sunnah wal
Jamaah dalam kerangka Ahlul Haditsm sementara itu di sisi lain ia ingin
melangkah ke kalam rasionalis Mu’tazilah.
2.2.3. Pelembagaan Sunnisme
Perkembangan Ahlu Sunah wal Jamaah berikutnya ditandai
dengan mulai terjalinnya hhubungan simbiosis mutualisme antar tokoh
faham Aswaja dengan para penguasa. Jika pada masa Asy’ari mereka
selalu beroposisi terhadap penguasa, maka tidak demikian dengan
keberadaan Ahlu Sunnah wal Jamaah di era berikutnya. Ahlu Sunnah
wal Jamaah mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Terutama pada
masa pemerintahan Al-Qadir (w.422 H/1031 M) dari Dinasti
28
‘Abbasiyah sebagai faham resmi negara. Penegasan ini tertuang
dalam Maklumat atau Deklarasi Al-Qadir (al-Qadir creed 29 ).
Fenomena ini sangat penting dalam perkembangan Ahlu
Sunnah wal Jamaah, karena diskursus Ahlu Sunnah wal Jama’ah

27
Abu Hasan Ali Al-Asy’ari, al-Ibanah ‘an Usul al-Dinniyah (Kairo: Dar al-Anshar, 1977), 8-9.
28
Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari tentang Ahl Al-Sunnah wa Al-
Jama’ah (Surabaya : Khalista, 2010), 49.
29
George Makdisi, “The Sunni Revival”, dalam Islamic Civilization 950-1150 (Papers on Islamic
History III), ed. D.H. Richards (Oxford: Cassirer – The Near East Center University of
Pennsylvania, 1973), 164.

15
menjadi lebih komprehensif. Jika sebelumnya Ahlu Sunnah wal Jamaah
selalu identik dengan teologi, aqidah, atau Kalam, maka berikutnya
berkembang di wilayah fiqh, tasawuf, dan bidang sosial-politik.
Pelembangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam berbagai bidang itu,
tidak bisa dinafikan dari peran dkungan penguasa.
Pada masa kekhalifahan Al-Qadir, telah terjadi pelembagaan
Ahlu Sunnah wal Jama’ah di bidang Fiqh, yakni melalui pengakuan
terhadapterhadap empat madhab (Hanafi, Maliki, Hanbali, dan Syafi’i).
Kemungkinan besar pengakuan Al-Qadir terhadap empat madhab itu
disebabkan saat itu madhab-madhab lainnya tidak lagi actual
dikarenakan tidak adanya dukungan luas di kalangan umat Islam.
Al-Qadir pernah meminta kepada empat orang ulama
mewakili empat madhab untuk menyusun pokok-pokok pemikiran
hukum madhabnya masing-masing. Karya al-Mawrdi yang mewakili
madhab Syafi’I pada saat itu memperoleh penghargaan sebagai karya
terbaik, hingga megantarkannya untuk menduduki jabatan Qadi al-
Quddat(hakim agung) dalam pemerintahan Al-Qadir. 30
Dengan demikian, karena kekhalifahan Al-Qadir hanya
mengakui empat madhab di bidang fiqh, sementara ia sendiri
menyatakan Ahlu Sunnah wal Jamaah sebagai faham resmi negaranya,
maka terjadilah pelembagaan Ahlu Sunnah wal Jama’ah di bidang fiqh.
Pelembagaan dalam artian Ahlu Sunnah wal Jamaah di bidang fiqh
adalah mengikuti empat madhab, sehingga dapat dimaklumi jika pada
perkembangan selanjutnya sampai saat ini, terjadi penisbatan Ahlu
Sunnah wal Jamaah di bidang fiqh terhadap empat madhab.

30
Qamaruddin Khan, Almawardi’s Theory of The State (Lahore: Ba’zam-I Iqbal, t.t.), 1.

16
2.3. Pemikiran dan Doktin-doktrin Ahlu Sunnah wal Jamaah

Dalam pemikiran Ahlu Sunnah wal Jamaah sebenarnya lebih


didominasi oleh pemikiran Asy’ariay dikarenakan pemikiran al-
Maturidiyah sebagian besar menyempurnakan pemikiran Asy’ariyah.
Namun, walaupun demikian, ada perbedaan di Antara keduanya. Berikut
adalah pemikiran Asy’ariyah dan Al-Maturidiyah :

2.3.1. Pemikiran atau Doktrin Aliran Asy’ariyah 31:


2.3.1.1. Tuhan dan sifat-sifatnya
Al-Asy’ari mengakui sifat-sifat Tuhan yang sesuai dengan Zat Tuhan
sendiri, dan sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Tuhan
mendengar, tidak seperti kita mendengar dan seterusnya.
2.3.1.2. Kebebasan dalam berkehendak (free will)
Al-Asy’ari menyatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan
sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh (kasb) sesuatu perbuatan.
2.3.1.3. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah
mengutamakan akal. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk
harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkan
pada akal.
2.3.1.4. Qodimnya Al-quran
Al-Asy’ari mengatakan bahwa al quran terdiri atas kata-kata, huruf
dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan
karenanyatidak qadim.
2.3.1.5. Melihat Allah
Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak
dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala
Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia
menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.

31
Rosihon Ahmad. Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia, 2012). hal 147-150

17
2.3.1.6. Keadilan
Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Ia
adalah Penguasa Mutlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa
Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki
dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik
mutlak.
2.3.1.7. Kedudukan orang yang berdosa
Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa adalah
mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa
selain kufr.

Bila kita cermati, pemikiran Asy’ariah ini memang moderat (tawassut)


jika dibandingkan Mu’tazilah yang lebih mengutamakan rasio dan para
ahlul Hadits (golongan Ahmad bin Hanbal) yang mengutamakan tekstual.
Pemikiran-pemikiran dari Asy’ariyah ini mendapat tanggapan dari beberapa
ulama. 32

As-Subki dalam Thabaqatnya berkata: "Ketahuilah bahwa Abu al-


Hasan al-Asy'ari tidak membawa ajaran baru atau madzhab baru, beliau
hanya menegaskan kembali madzhab salaf, menghidupkan ajaran-ajaran
sahabat Rasulullah. Penisbatan nama kepadanya karena beliau konsisten
dalam berpegang teguh ajaran salaf, hujjah (argumentasi) yang beliau pakai
sebagai landasan kebenaran aqidahnya juga tidak keluar dari apa yang
menjadi hujjah para pendahulunya, karenanya para pengikutnya kemudian
disebut Asy'ariyyah. Abu al-Hasan al-Asy'ari bukanlah ulama yang pertama
kali berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama'ah, ulama-ulama sebelumya
juga banyak berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama'ah. Beliau hanya lebih
memperkuat ajaran salaf itu dengan argumen-argumen yang kuat.
Bukankah penduduk kota Madinah banyak dinisbatkan kepada Imam
Malik, dan pengikutnya disebut al Maliki. Ini bukan berarti Imam Malik

32
Darul fatwa. Firqoh Annajiyah. (Bekasi: Syahamah Press, 2003.) Hlm. 6

18
membawa ajaran baru yang sama sekali tidak ada pada para ulama
sebelumnya, melainkan karena Imam Malik menjelaskan ajaran-ajaran lama
dengan penjelasan yang lebih rinci dan sistematis, demikian juga yang
dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari".

Habib Abdullah ibn Alawi al-Haddad menegaskan bahwa


"kelompok yang benar adalah kelompok Asy'ariyah yang dinisbatkan
kepada Imam Asy'ari. Aqidahnya juga aqidah para sahabat dan tabi'in,
aqidah ahlul haqq dalam setiap masa dan tempat, aqidahnya juga menjadi
aqidah kaum sufi sejati. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Imam Abul
Qasim al-Qusyayri. Dan Alhamdulillah aqidahnya juga menjadi aqidah
kami dan saudara-saudara kami dari kalangan habaib yang dikenal dengan
keluarga Abu Alawi, juga aqidah para pendahulu kita.

Kemudian beliau melantunkan satu bait sya'ir:

‫ﻫﻮ إﻧﻪ اﻋﺘﻘﺎدك ﰲ أﺷﻌﺮﻳﺎ وﻛﻦ‬

2.3.2. Pemikiran atau doktrin golongan Maturidiyah:


2.3.2.1.Mengenai sifat-sifat Allah Swt.
Mengenai sifat-sifat Allah Swt., aliran Asy’ariyah mengatakan sifat-
sifat Allah Swt. itu merupakan sesuatu yang berada di luar Dzat.
Mereka juga menetapkan adanya qudrah, iradah,’ ilm, bayah, sama’,
basher dan kalam pada Dzat Allah Swt. Kata mereka, semua itu
merupakan sesuatu di luar Dzat-Nya. Mu’tazilah mengatakan bahwa
tidak ada sesuatu di luar Dzat-Nya. Adapun yang disebutkan dalam
Al-Qur’an, seperti:’Alim(Maha mengetahui), Khabir(Maha
mengenal), Hakim(Maha bijaksana), Bashir(Maha melihat),
merupakan nama-nama bagi Dzat Allah Swt. 33

33
Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam (Jakarta:
Logos Publishing House, 1996), h. 218

19
2.3.2.2.Melihat Allah SWT.
Ada beberapa nash Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah Swt.
dapat dilihat, seperti firtman Allah:
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah, 75: 22-23)
Berdasarkan firman tersebut, al-Maturidi menetapkan bahwa Allah
dapat dilihat pada hari kiamat. Ini dikarenakan pada hari kiamat itu
merupakan salah satu keadaan khusus. 34
2.3.2.3.Pelaku dosa besar
Al-Maturidi mengatakan bahwa orang mu’min yang berdosa adalah
menyerahkan persoalan mereka kepada Allah Swt. Jika Allah Swt.
menghendaki maka Dia mengampuni mereka sebagai karunia,
kebaikkan dan rahmat-Nya. Sebaliknya, jika Allah Swt. menghendaki,
maka Dia menyiksa mereka sesuai dengan kadar dosa mereka. Dengan
demikian, orang mu’min berada di antara harapan dan kecemasan.
Allah boleh saja menghukum dosa kecil dan mengampuni dosa
besar, 35 sebagaimana Dia telah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa
yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah,
Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’, 4:
48).

Secara umum, doktrin atau pemikiran Antara Asy’ariyah dan Al


Maturidiyyah memiliki banyak kesamaan diantaranya tentang Sifat-sifat
Allah, pelaku dosa besar, dan keyakinan tentang melihat Allah SWT di
akhirat. Namun, selain persamaan itu, ada pula perbedaan Antara keduanya.

Perbedaan tersebut Nampak jelas dalam soal-soal berikut : 36

34
Ibid hlm 220
35
Ibid hlm 222
36
Ahmad Hanafi M.A. Theology Islam(Ilmu Kalam) (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996). Hlm 71.

20
• Menurut aliran Asy’ariyyah, mengetahui Tuhan diwajibkan
syara’, sedangkan menurut Maturidiyyah diwajibkan akal
• Menurut golongan Asy’ariyyah, sesuatu perbuatan tidak
mempunyai sifat baik dan buruk. Baik dan buruk tidak lain
karena diperintahkan syara’ atau dilarangnya. Menurut
Maturidiyyah, pada tiap-tiap perbuatan itu sendiri ada sifat-
sifat baik dan sifat-sifat buruk.
• Sama dengan al-Asy’ari, al-Maturidi menolak ajaran
Mu’tazilah tentang al-salah wa al-aslah, tetapi di samping
itu al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
kewajiban-kewajiban tertentu. 37
• Dalam soal al wa’d wa al wa’id al Maturidi sepaham dengan
Mu’tazilah. Janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tak
boleh tidak mesti terjadi kelak. Dan juga dalam
atromorphisme al-Maturidi sealiran dengan Mu’tazilah. Ia
tidak sependapat dengan al-Asy’ari bahwa ayat-ayat yang
menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tak
dapat diberi interpretasi atau ta’wil. Menurut pendapatnya,
tangan, wajah, dan sebagainya mesti diberi arti majazi atau
kiasan. 38
2.4. Dasar-Dasar Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah

Prinsip keyakinan yang berhubungan dengan tauhid, syari‟at dan


lain-lain menurut Ahlussunnah wal Jamaah harus dilandasi dengan dalil
dan argumentasi yang bersumber dari al-Qur‟an, al-Hadits, Ijma‟ ulama,
dan Qiyas. Sebagaimana yang dikatakan Imam Ghozali dalam ar-Risalah
al-Ladduniyah :

37
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press,
2011). Hal.77
38
Ibid., 78

21
“Ahli nazhar dalam ilmu aqidah ini pertama kali berpegang dengan
ayat-ayat al-Qur‟an, kemudian dengan hadits-hadits Rasul dan terakhir
dengan dalil-dalil rasional dan argumentasi analogis”.

Berikut adalah dasar-dasar yang digunakan Ahlussunnah wal


jamaah : 39

2.4.1. Al-Qur’an

Al-Qur‟an merupakan sumber hukum fiqh utama dan paling agung,


yang merupakan hujjah paling agung antara manusia dan Allah SWT, al-Qur‟an
juga merupakan tali yang kuat dan tidak akan putus. Allah SWT berfirman:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan


janganlah kamu bercerai-berai”. (QS. Ali Imran:103)

Al-Qur‟an adalah pokok dari semua dalil argumentasi. Sebagaimana


dalam al-Qur‟an: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikan ia kepada Allah (al-Qur‟an) dan Rasul-Nya (al-Hadits).” (QS.
An-Nisa‟: 59)

Adapun para ulama terkemuka dalam bidang tafsir al-Qur‟an yang


mengikuti madzhab al-Asy‟ari dan al-Maturidi diantaranya adalah:

 Al-Imam Abu Laits Nashr bin Muhammad al-Samarqandi (w. 393 H/


1002 M), pengarang tafsir Bahrul Ulum
 Al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi (w. 468 H/ 1076 M)
pengarang tafsir al-Basith, al-Wasith, al-Wajiz dan asbabunnuzul
 Al-Imam al-Hafidh Muhyissunnah Abu Muhammad al-Husain bin Mas‟ud
al-Baghawi (433-516 H/ 1041-1122 M) pengarang tafsir Ma‟alimuttanzil
 Al-Hafidh Ibnu al-Jauzi al-Hanbali, pengarang Zadul Masir fi Ilmittafsir.

39
H. Muh. Najih Maimoen, Ahlu Sunnah wal Jamaah Aqidah, Syari‟at, Amaliyah. (Rembang :
Ribath Darusshohihain Pon. Pes. Al-Anwar). Hlm. 20-26

22
 Al-Imam Abu Muhammad Abdul Haq bin Ghalib bin Abdurrahman bin
Athiyah al-Gharnathi al-Andalusi (481-542 H/ 1088-1148 M) pengarang
al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz.
 Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Maliki al-Qurthubi (w.
671 H/ 1273 M) pengarang tafsir al-Jami‟ li Ahkamil Qur‟an.
 Al-Imam Nashiruddin Abu Sa‟ad Abdullah bin Umar al-Syairazi al-
Baidlawi al-Syafi‟I (w. 685 H/ 1286 M) pengarang tafsir Anwaruttanzil
wa Asrarutta‟wil.
 Al-Imam Hafizhuddin Abu al-Barakat Abdullah bin Ahmad bin Mahmud
al-Nasafi al-Hanafi (w. 710 H/ 1310 H) pengarang Madarik al-Tanzil wa
Haqaiq al-Ta‟wil.
 Al-Imam Alauddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Khazin al-
Baghdadi (678-741 H/ 1279-1340 M) pengarang Lubab al-Ta‟wil fi
Ma‟ani al-Tanzil
 Al-Imam Abu Hayyan Muhammad bin Hayyan al-Andalusi (654-745 H/
1256-1344 M) pengarang al-Bahr al-Muhith.
 Al-Imam al-Hafizh Abu al-Fida‟ Ismail bin Katsir al-Dimasyqi (700-774
H/ 1301-1373 M) pengarang Tafsir al-Qur‟an al-Adzim.
 Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, pengarang Tafsir al-Jalalain.
 Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib al-Syirbini (w.
977 H/ 1570 H) pengarang al-Siraj al-Munir.
 Al-Imam Abu al-Su‟ud Muhammad bin Muhammad bin Musthafa al-
Imadi pengarang Irsyad al-Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim.
 Al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin Umar al-Jamal al-Ujaili al-
Syafi‟i(w.1204 H/ 1790 M) pengarang al-Futuhat al-Ilahiyah bi Taudlihi
Tafsir al-Jalalain bi al-Daqaiq al-Khafiyah.
 Al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki (1175-1241 H/
1761-1825 M) pengarang Hasyiah ala Tafsir al-Jalalain.

23
2.4.2. Al-Hadits

Hadits adalah dalil kedua dalam penetapan aqidah-aqidah dalam Islam.


Hadits yang dapat dijadikan dasar adalah hadits yang perawinya disepakati
dapat dipercaya oleh para ulama. Hadits Nabi berfungsi untuk menjelaskan
hukum-hukum al-Qur‟an yang bersifat global dan general. Karena syari‟at
islam diturunkan secara bertahap untuk menunjukkan kasih sayang Allah SWT
kepada hamba-Nya. Bentuk kasih sayang tersebut adalah menjelaskan al-
Qur‟an yang masih global tersebut. Allah berfirman:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Al-Hafidh al-Khatib al-Baghdadi mengatakan dalam kitabnya al-Faqih


wa al-Mutafaqqih:

“Sifat Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan pendapat seorang


shahabat atau tabi‟in. sifat Allah hanya dapat ditetapkan berdasarkan hadits-
hadits Nabi yang marfu‟, yang perawinya disepakati dapat dipercaya. Jadi
hadits dha‟if dan hadits yang perawinya diperselisihkan tidak dapat dijadikan
hujjah dalam masalah ini, sehingga apabila ada sanad yang diperselisihkan, lalu
ada hadits yang menguatkannya maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan
hujjah.”

Adapun ulama madzhab al-Asy‟ari yang menulis komentar (syarh)


terhadap kitab hadits yang terkemuka adalah:

 Al-Hafidh Abu Sulaiman al-Khaththabi al-Busti al-Syafi‟I, pengarang


ma‟alim al-Sunan [Syarh Sunan Abi Dawud].

24
 Al-Hafidh Abul al-Walid Sulaiman bin Khalaf al-Baji al-Maliki,
pengarang kitab al-Muntaqa fi Syarh al-Muwattha‟.
 Al-Hafidh al-Nawawi al-Syafi‟i, pengarang Syarh Shohih Muslim.
 Al-Hafidh Taqiyyuddin as-Subki, pengarang Imta‟ al-Asma‟ bima lil ar-
Rasul minal Abna‟ wa al-Ahwal wa al-Hafadhah wa al-Mata‟.
 Al-Hafidh Tajuddin as-Subki, pengarang Jam‟ul Jawami‟
 Al-Hafidh al-„Iroqi, pengarang Takhrij Ahaditsil Ihya‟.
 Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqollani al-Syafi‟i, pengarang Fath al-Bari
Syarh Shohih Bukhori.
 Al-Hafidh Syaikh Islam Abu Yahya Zakaria bin Muhammad al-Anshari
al-Syafi‟i, pengarang kitab Syarh Shohih Muslim.
 Al-Imam Izzuddin ibn Abdissalam, pengarang Qowaidul Ahkam fi
Masholihil Anam
 Al-Imam Mulla Ali bin Sulthan Muhammad al-Qari al-Harawi al-Hanafi,
Pengarang kitab Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashobih.

2.4.3. Ijma’ Ulama

Ijma’ adalah konsensus para mujtahid sepeninggal Rasulullah dari


masa ke masa atas satu hukum. Dalil kehujjahan ijma‟ ini berdasarkan sabda
Nabi Muhammad :

“Dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak


akan mengumpulkan umatku dalam kesesatan. Pertolongan Allah selalu
bersama jama‟ah. Dan barangsiapa yang mengucilkan diri dari jama‟ah, maka
ia mengucilkan dirinya ke neraka.” (HR. Tirmidzi)

Ijma’ ulama yang mengikuti ajaran Ahlul Haqq dapat dijadikan


argumentasi dalam menetapkan aqidah. Dalam hal ini seperti dasar yang
melandasi penetapan bahwa sifat-sifat Allah itu qadim (tidak ada permulaanya)
adalah ijma’ ulama yang qoth’i. Dalam konteks ini Imam al-Subki menulis
dalam kitabnya Syarh ‘Aqidah Ibn al-Hajib:

25
“Ketahuilah, sesungguhnya hukum Jauhar dan „aradh adalah baru.
Oleh karena itu, semua unsur-unsur alam adalah baru. Hal ini telah menjadi
ijma’ kaum muslimin, bahkan ijma’ seluruh penganut agama (di luar Islam).
Barang siapa yang menyalahi kesepakatan ini, maka dia dinyatakan kafir,
karena telah menyalahi ijma’ yang qoth’i.

2.4.4. Qiyas

Qiyas adalah menyamakan masalah baru dengan masalah yang sudah


jelas ketetapan hukumnya dalam agama yang didasarkan pada illat yang
menyatukan dua masalah dalam hukum tersebut. Qiyas yang bisa dibuat hujjah
adalah qiyas yang berlandaskan pada nash, ijma‟. Allah berfirman:

“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-


orang yang mempunyai wawasan.” (QS. Al-Hasyr: 2)

26
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Ahlu
Sunnah wal Jamaah adalah mayoritas umat Islam yang berfahamkan teologi
Asy’ariyyah dan Maturidiyyah dalam ranah Teologi, serta bermadhabkan empat
imam madhab yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali dalam bidang fiqh.
Menurut mayoritas ulama baik salaf maupun kholaf, Ahlu Sunnah wal Jamaah
merupakan golongan yang moderat jika dibandingkan pendahulunya. Sehingga
ajarannya banyak diterima masyarakat hingga saat ini.

Ajaran-ajaran pokok Ahlu Sunnah diantaranya:

• Menetapkan adanya sifat-sifat Allah


• Al-Quran adalah Qodim bukan hadis
• Orang Islam yang berdosa besar tidaklah kafir
• Kewajiban mengetahui Tuhan melalui wahyu
• Allah dapat dilihat di akhirat nanti

Dasar-dasar dari ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah diantaranya :

• Al-Qur’an
• Al-Hadist
• Ijma’
• Qiyas.

3.2. Saran
Dalam memahami tentang teologi islam kita memang harus benar-benar
bersikap netral agar tidak menimbulkan suatu pemikiran yang negatif terhadap
aliran yang tidak sefaham dengan kita. Aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah dalam
doktrinnya memberikan alternatif jalan tengah untuk menghindari perpecahan
agama dan kehancuran dalam hal akidah. Kita harus bisa memilah-milah mana yang
baik dan yang tidak baik dari aliran tersebut. Wallahu a’lam bishowab.

27
Daftar Pustaka

Ahmad, M. (1998). Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.

Anwar, R. (2012). Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.

Asy'ari, A. H. (1977). al-Ibanah 'an Usul al-Diniyyah. Kairo: Dar al-Ansar.

Dahlan, A. R., & Qarib, A. (1996). Aliran Politik dan 'Aqidah dalam Islam.
Jakarta: Logos Publishing House.

Fatwa, D. (2003). Firqoh Annajiyah. Bekasi: Syahamah Press.

Gharabah, M. (1973). Abu Hasan al-Ash'ari. Kairo: Majma' Buhuth al-


Islamiyyah.

Hodgson, M. G. (1971). The Venture of Islam (Vol. 1). (A. B. Khoiri, Trans.)
Chicago: Chicago University Press.

Khan, Q. (n.d.). Almawardi's Theory of The State. Lahore: Ba'zam-l Iqbal.

M.A, A. H. (1996). Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Maimoen, M. N. (n.d.). Ahlu Sunnah wal Jamaah Aqidah, Syari'at, Amaliyah.


Rembang: Ribath Darushohihain Pon Pes Al-Anwar.

Mas'udi, M. F. (1996). NU & Teologi Asy'ari (Vol. III). Jakarta: P3M.

Mughni, S. A. (1992). Hanbali Movement from al-Barbahari to Abu Ja'far al


Hashimi. California: University of California.

Nasution, H. (2011). Teologi Islam Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.


Jakarta: UI-Press.

Watt, W. M. (1985). Islamic Philosophy and Theology An Extended Survey.


Edinburgh: Edinburgh University Press.

Zaman, M. Q. (n.d.). Religion and Politics under The Early 'Abbasids: The
Emergence of the Proto-Sunni Elite. Leiden: Brill Academic Publisher,
Incorporated.

Zuhri, A. M. (2010). Pemikiran KH. M. Hasyim Asy'ari Tentang Ahlu Sunnah wal
Jamaah. Surabaya: Khalista.

28

Anda mungkin juga menyukai