Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.


Pada perkembangannya agama ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan,dari
wilayah yang tandus dengan kejahilan yang dilakukan oleh para orang kafirQuraisy, agama
Islam datang dengan kesejukan oase tauhid, meskipun padaawalnya dakwah yang dibawa
Nabi Muhammad SAW, mengalami hal yangmenyakitkan mulai dari dakwah yang ditentang oleh
kedua pamannya yaitu AbuJahal dan Abu Lahab. Tetapi demi memantapkan Dakwah tauhid, Nabi
SAW tidak putus asa, beliau melakukan dakwahnya secara sembunyi-sembunyi dahulu
dengansasaran dakwah keluarga Nabi SAW, pada perkembangan berikutnya dakwah
NabiSAW dilakukan dengan terbuka kepada masyarakat Makkah pada umunya,
tetapikenyataan yang didapatkan Nabi SAW adalah penolakan dari masyarakat Makkah,lalu
Nabi pun hijrah ke berbagai daerah, dan singkatnya hijrah Nabi ini diterima dikota Yastrib,
disana Nabi diterima dengan baik, dan masyarakat Yastrib yangmembantu Nabi SAW, dikenal
dengan kaum Ansor, sedangkan umat Nabi SAW,yang dibawa dari Makkah diberi nama kaum
Muhajirin, pada perkembanganselanjutnya kota Yastrib diberi nama kota Madinah. Di kota
Madinah Nabi SAWmembentuk sistem pemerintahan, pendidikan serta dakwah yang
dilakukan terusmenerus di kota sekitar Madinah, sehingga membuat kaum kafir Quraisy
menjadi benci dan marah sehingga terjadilah penyerangan-
penyerangan yang dilakukankaum Quraisy, tetapi Allah tetap menolong Nabi SAW dan
umatnya.

Pada waktu yang ditentukan Nabi dan para umat Islam dapat menaklukankota
Makkah, yang dikuasai oleh kaum Quraisy dengan cara menaklukan secaradamai, ketika
waktu yang ditentukan Allah untuk kewafatan Nabi SAW, umat Islamsangat merasa
kehilangan hal ini dikarenakan manusia yang mereka cintaimeninggal dunia, setelah wafatnya
Nabi SAW, masyarakat Islam bimbang ketikamenentukan siapa yang berhak menjadi
pengganti Nabi menjadi kepala negara,setelah melakukan musyawarah para shohabat
Nabi menentukan bahwa Abu Bakar yang berhak menjadi kepala negara, pada saat itu banyak
sekali umat Islam yangmenjadi murtad atau keluar dari Islam, hal itu membuat Abu Bakar
memerangimereka yang murtad. Bahkan ada pula seorang yang mengaku sebagai Nabi bernama
Musailamah. Namun, karena kuatnya umat Islam pada masa itu, akhirnya berhasil ditumpas.

Setelah kematian Abu Bakar, Shahabat Nabi mengangkat Umar Ibn khattabmenjadi
kepala negara di tangan Umar Ibn Khattab, umat muslim berhasil merebutBaitul Maqdis atau
Masjid Al Aqhsa. Umat Islam menjadi lebih makmur ketikamasa pemerintahan khalifah
Usman Ibn Affan yang mendirikan berbagai
sistem pertanian dan juga keuangan yang baik, tetapi hal tersebut menjadi bumerang ketika
banyak sanak saudara Usman Ibn Affan menjadi pemuka, kecemburan itu menjadi puncaknya
ketika ada terjadi pembunuhan yang menimpa khalifah Usman. Ali ibnAbi Thalib pun diangkat
menjadi khalifah. Khalifah Ali dituntut mencari siapa pembunuh Usman ibn Affan,
karena pergolakan politik yang hebat dan fitnah yangterjadi pada masa Ali ibn Abi Thalib,
terjadilah kekacauan karena Muawiyah IbnAbi Sufyan juga mengangakat dirinya menjadi
khalifah, dan Ali pun menyerahkankepemimpinan kepada Muawiyah, para pendukung setia
Khalifah Ali pun membuatkelompok yang dinamakan syi’ah sedangkan kelompok yang tidak
puas dengan Alimaupun Muawiyah mendirikan sekte sendiri yang dinamakan
Khawarij.Pergolakan politik dan fitnah itu pun melebar menjadi persoalan aqidah
denganmuculnya berbagai aliran atau sekte-sekte pemikiran dalam Islam.

Lalu, dalam perkembangan selanjutnya mulailah bermunculan sekte – sekteseperti


Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, dan Mu’tazilah. Mereka sama – samamemiliki dasar dan
pedoman yang sama dalam pendirian sektenya, yaitu berupa Al-Qur’an dan Hadits. Lalu, di
era kemunduran Mu’tazilah mulailah timbul gagasanuntuk mengambil jalan moderat oleh
seorang mantan Mu’tazilah bernama AbuHasan Al Asy’ari yang memantapkan ajarannya yang
masyhur dengan nama AhluSunnah wal Jamaah. Dalam perkembangan saat ini pun banyak
sekte yang mengakusebagai aliran Islam yang sebenarnya atau banyak yang mengaku sebagai
pengikut setia ajaran Islam dan Sunnah Nabi SAW. Dan Siapakah disini yang disebut
kaumahlusunnah wal jamaah, berdasarkan hadis:“…dan sesungguhnya ummat ini akan
terpecah menjadi 73 golongan, 72 diantaranya di neraka dan hanya satu yang di surga yaitu
al-Jama’ah”. (H.R. AbuDawud)Maka makalah ini berusaha untuk menerangkan tentang
siapakahAhlusunnah Wal Jamaah, siapa saja tokoh-tokohnya, dan segala sesuatu
yang berkenaan dengan Ahlu Sunnah wal Jamaah.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apa dan Siapa Ahlu Sunnah wal Jamaah ?
1.2.2. Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan Ahlu Sunnah wal Jamaah ?
1.2.3. Apa saja ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah?
1.2.4. Apakah dasar-dasar pemikiran Ahlu Sunnah wal Jamaah?
1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui Apa dan Siapakah Ahlusunnah Wal Jamaah
1.3.2. Untuk mengetahui Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan Ahlu Sunnahwal
Jamaah
1.3.3. Untuk mengetahui . Apa saja ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah
1.3.4. Untuk mengetahui Apakah dasar-dasar pemikiran Ahlu Sunnah wal Jamaah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Apa dan Siapa Ahlu Sunnah itu
Secara etimologis, ada tiga kata untuk mengetahui ta’rif Ahl al-Sunnah waal-Jama’ah
Pertama,Kata Ahl, dapat berarti pemeluk aliran atau pengikut madhhab. Untuk arti tersebut,
kata Ahl berfungsi sebagai badal nisbah, karena dikaitkan dengan kata al-Sunnah yang
berarti orang-orang yang berfaham Sunni (al-Sunniyah). Kedua, kata al-Sunnah di samping
memiliki arti al-Hadith (ucapan,cerita), ia juga bersinonim dengan kata al-Sirah (sejarah) dan
al-Tariqah (jalan,cerita, metode), al-Tabi’ah (kebiasaan), dan al-shari’ah (syariat). Dari situ,
makaal-Sunnah bisa diartikan sebagai jalan nabi dan para shohabat (generasi salaf al-salih).
Ketiga, kata al-Jama’ah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Kata ini biasanya
diidentikkan dengan penerimaan terhadap Ijma’ al-Shahabah (consensus sahabat nabi) yang
diakui sebagai salah satu sumber hukum,
sehingga bila kata ini dikaitkan dengan dengan madhab-madhab dalam Islam, maka ia
mengacu kepada arti kelompok Sunni. Hal itu karena kata al-Jamaah belum dikenal
dikalangan orang-orang Khawarij ataupun Rafidah (Shi’ah). Akan halnya untuk
kaum Mu’tazilah, karena mereka tidak menerima Ijma’sebagai suatu sumber hukum.
Al Qur’an tidak memberikan pengertian secara langsung (harfiyah) untuk kata al-
Sunnah dan al-Jamaah, seperti halnya yang menjadi pengertian popular tentang dua kata
tersebut. Dalam Al-Qur’an memang terdapat kata al-Sunnah
di banyak tempat, akan tetapi penyebutannya menunjukkan pengertian ketetapan Allah bagi
pola hidup manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Demikian halnya dengan kata
al-Jama’ah, tidak dijumpai dalam al-Qur’an sekalipun memang banyak
kata derivasinya, seperti jami’an, yajma’un, jami’un, dan lain-lain dengan pengertian yang
beragam.
Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan mayoritas umat Muhammad. The
nearest equivalent is the phrase Ahl As-Sunna wa-l-Jama’a, ‘the people of Sunna and the
community. Yaitu orang-orang yang menjalankan Sunnah
dan berkelompok. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka
dalam dasar-dasar aqidah. Merekalah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi
wasallam: "…maka barang siapa yang menginginkan tempat lapang di surga hendaklah
berpegang teguh pada al Jama’ah; yakni berpegang teguh pada aqidah al Jama’ah”.
(Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim, dan at-Tirmidzi mengatakan hadits hasan shahih).
Setelah tahun 260 H menyebarlah bid’ah Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya. Maka dua
Imam yang agung Abu al Hasanal Asy’ari (W 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (W 333 H)
–semoga Allah meridlai keduanya- menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang
diyakini para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan
dalil-dalil naqli (nash-nash al Qur’an dan al hadits) dan ‘aqli (argumen rasional) disertai
dengan bantahan-bantahan terhadap syubhah-syubhah (sesuatu yangdilontarkan untuk
mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah dan lainnya, sehingga
Ahlussunnah Wal Jama’ah dinisbatkan kepada keduanya. Mereka (Ahlussunnah) akhirnya
dikenal dengan nama al Asy’ariyyun (para pengikut al Asy’ari) dan al Maturidiyyun
(para pengikut al Maturidi). Jalan yang ditempuh oleh al Asy’ari dan al Maturidi dalam pokok-
pokok aqidah adalah samadan satu. Al Hafizh Murtadla az-Zabidi (W 1205 H) dalam al Ithaf
juz II hlm. 6,mengatakan: “Pasal Kedua: "Jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka
yangdimaksud adalah al Asy’ariyyah dan al Maturidiyyah”. Mereka adalah ratusan jutaummat
Islam (golongan mayoritas). Mereka adalah para pengikut madzhab
Syafi’i, para pengikut madzhab Maliki, para pengikut madzhab Hanafi dan orang-orang
utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al Hanabilah).
Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah memberitahukan bahwa
mayoritas umatnya tidakakan sesat. Alangkah beruntungnya orang yang senantiasa
mengikuti mereka. Kelompok ini disebut Ahlus Sunnah wal Jama'ah karena pendapat mereka
berpijak pada pendapat-pendapat para sahabat yang mereka terima dari Rasulullah.
Kelompok ini disebut juga kelompok ahli hadits dan ahli fiqih karena merekalah pendukung-
pendukung dari aliran ini.
Istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah mulai dikenal pada saat pemerintahan bani
Abbasiah dimana kelompok Mu'tazilah berkembang pesat, sehingga nama Ahlus Sunnah
dirasa harus dipakai untuk setiapmanusia yang berpegang pada Al-Quran dan Sunnah. Dan
nama Mu'tazilah dipakaiuntuk siapa yang berpegang pada lmu kalam (theologische dialektik),
logika dan rasio.
Ibnu Hajar al-Haitamiy menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnahwal
Jama'ah adalah orang-orang yang mengikuti rumusan yang digagas oleh Imam Asy'ariy dan
Imam Maturidi. Pendapat-pendapat mereka :
- Hukum Islam di dasarkan atas Al-Quran dan al-Hadits
- Mengakui Ijmak dan Qiyas sebagai salah satu sumber hukum Islam
- Menetapkan adanya sifat-sifat Allah
- Al-Quran adalah Qodim bukan hadits
- Orang Islam yang berdosa besar tidaklah kafir
Jadi dari berbagai pendapat dan sumber ini dapat diambil benang
merah bahwa yang dimaksud Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah Umat Islam yang
mengamalkan Sunnah-sunnah Rasul dan merupakan kelompok mayoritas dalam umat Islam,
serta mereka merupakan kelompok moderat yang tidak hanya terpaku pada rasio seperti
halnya Kaum Mu’tazilah, dan juga tidak terlalu Fatality sepertiJabariyah, namun
menempatkan wahyu sebagai sumber utama dan landasan berpikir serta menjadikan ra’yi
atau akal pikiran untuk menguatkan wahyu.Dari berbagai sumber Ahlu Sunnah berjamaah
dikelompokkan menjadi duagolongan yaitu Ahlu Sunnah wal Jamaah golongan Asy’ariyyah
dan Ahlu Sunnahgolongan Maturidiyah. Berikut ini adalah kedua golongan dalam faham
AhluSunnah wal Jamaah

2.1.1 Ahlusunnah Golongan Asy’ariyah


Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul
Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin
AbiBasyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin
AbiBurdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw.
Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian
menjadi pendiri madzhab Asy’ariy. Abul Hasan Al-Asya’ari
dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghd
ad padatahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang
fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam
dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah. Setelah ayahnya
meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang
pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan
permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan
kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi
Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul
Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan
keputusan untuk keluardari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa
sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah
ash-shalah dan ashlah(kemaslahatan). Para ahli sepakat bahwa Al-Asy’ari
keluar dari Mu’tazilah tepat pada bulan Ramadhan tahun 280 H. / 912 atau 300
H. / 915 saat usianya menginjak 40 tahun. Aliran ini diikutinya terus ampai
berusia 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang
buku-bukukemuktazilahan. namun pada tahun 912 dia mengumumkan keluar
dari paham Mu'tazilah, dan mendirikan teologi baru yang kemudian dikenal
sebagai Asy'ariah. Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya
selama 15 hari, kemudian pergi ke Masjid Basrah. Di depan banyak orang
iamenyatakan bahwa ia mula-mula mengatakan bahwa Quran adalah
makhluk; Allah Swt tidak dapat dilihat mata kepala; perbuatan buruk adalah
manusia sendiri yang memperbuatnya (semua pendapat aliran Muktazilah).
Kemudian iamengatakan: "saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat
tersebut; sayaharus menolak paham-paham orang Muktazilah dan
menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahanya".

Murid-Murid Al-Asy’ari :
1. Al-Imam ibn Mujahid (w. 370 H/980 M)
2. Al-Imam Abu Zaid al-Mawarzi (301-371 H/913-982 M)
3. Al-Imam Ibn al-Dhabbi (276-371 H/890-982 M)
4. Al-Hafizh Abu Bakar al-Ismaili (277-371 H/890-982 M)
5. Al-Imam Abu al-Hasan al-Bahilli.
6. Ai-Imam Bundar al-Syrazi al-Sufhi (w. 353H/964 M)7
7. Al-Imam Ali bin Mahdi al-Thabari2
2.1.2. Ahlusunnah Golongan Maturidiyah
Aliran Maturidiyah lahir di Samarkand pada pertengahan abad IX M.
Pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad Ibnu Muhammad ibn Mahmud
Al-Maturidi. Maturidiyah semasa hidupnya dengan Asy’ary, hanya dia hidup di
Samarkand sedangkan Asy’ary hidup di Basrah. Asy’ary
adalah pengikut Syafii dan Maturidy pengikut Mazhab Hanafy. Karena itu
kebanyakan pengikut Asy’ary adalah orang-orang Syafiiyyah, sedang
pengikut pengikut Maturidy adalah orang-orang Hanafiah. Maturidiyah
muncul sebagai reaksi terhadap pemikiran Mu’tazilah. Reaksi ini timbul karena
adanya perbedaan pendapat antara aliran Mu’tazilah dan aliran Maturidiyah
diantaranya, yaitu :
Maturidiyah berpendapat bahwa kewajiban megenai Allah mungkin
dapat diketahui oleh akal. Dalam hal ini,Maturidiyah tidak menggunakan tern
wajib seperti yang digunakan olehMu’tazilah. Sementara Asy’ariyyah
berpendapat kewajiban mengetahui‘tidak mungkin’ melalui akal. berdasarkan
prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al-Qur’an yaitu
kewajibanmelakukan penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran
Al-Qur’an. Dalam menfsirkan Al-Qur’an al-Maturidi membawa ayat-ayat yang
mutasyabih (samar maknanya) pada makna yang muhkam (terang
dan jelas pengertiannya). Ia menta’wilkan yang Muhtasyabih
berdasarkan pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang
mikmin tidakmempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya, maka bersikap
menyerah adalah lebih selamat.

Aliran Maturidiyah terbagi lagi menjadi dua, yaitu :


1) Aliran Samarkand
Yang menjadi golongan ini dalah pengikut Al-Maturidisendiri, golongan
ini cenderung ke arah paham Mu’tazilah,sebagaimana pendapatnya soal
sifat-sifat Tuhan, Maturidi danAsy’ary terdapat kesamaan pandangan,
menurut Maturidi, Tuhanmempunyai sifat-sifat, tuhan mengetahui bukan
dengan zatnya,melainkan dengan pengetahuannya.Begitu juga tuhan
berkuasa dengan zatnya. Mengetahui perbuatan-perbuatan manusia
maturidi sependapat dengan golonganMu’tazilah, bahwa manusialah
sebenarnya mewujudkan
perbuatan- perbutannya. Apabila ditinjau dari sini, Maturidi berpahamQ
adariyah. Maturidi menolak paham-paham Mu’tazilah, antara
lainMaturidiyah tidak sepaham mengenai pendapat mu’tazilah
yangmengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Aliran Maturidi
jugasepaham dengan Mu’tazilah dalam soal al-waid wa al-waid.
Bahwa janji dan ancaman Tuhan, kelak pasti terjadi. Demikian pula masal
ahantropomorphisme. Dimana maturidi berpendapat bahwa tanganwajah
tuhan, dan sebagainya seperti pengambaran al-qur’an. Mestidiberi arti
kiasan (majazi). Dalam hal ini. Maturidi bertolak belakangdengan
pendapat Asy’ary yang menjelaskan bahwa ayat-ayat
yangmenggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tak dapat
diberiinterpretasi (ditakwilkan).

2) Aliran Bukhara
Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al-yusrMuhammad
Al-Bazdawi. “Abu-l-Yusf al-Pzdawi (c.1030-1100)belonged to a family
of scholars, his great-grandfather having beena pupil of Al-Maturidi.
He probably spent most of his life
in Bukhara, but was qadi of Samarqand for
a period round about 1088. In his book, Usul ad-din,
‘the principles of religion’, he discusses 96 points of doctrine, giving the
Hanafite-Maturidite position on each,and then divergent views and
refustations of these. The views arethose of Mu’tazilities and other
theologians of the ‘classical’ period prior to al-
Ash’ari, together with those of Al-
Ash’ari himself, the Ash’arites, the Karramites and the ‘philosophers’. In
the case ofthese three groups no individual names are mentioned.
It isoteworthy that the ‘philosophers’ are mentioned and arguredagainst,
but al-Ghazali would doubtless have found the argumentsunsatisfactory.
A pupil of his, Najm-Ad-Din Abu Hafs an-Nasafi(1068-1142) , composed
a short creed, Al-‘Aqaid, which has beenhe subject of many commentaries
and supercommentaries.

Dia merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang


baikdalam pemikirannya. Buyut Al-Bazdawi menjadi salah satu murid
Maturidi. Dari orang tuanya, Al-Bazdawi dapat menerima ajaran aturidi.
Dengan demikian yang di maksud golongan Bukhara adalah pengikut-
pengikut Al-Bazdawi di dalam aliran Al-maturidiyah, yang mempunyai
pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al-asy’ary. Namun
walaupun sebagai aliran Mmaturidiyah. Al-Bazdawi tidak selamanya
sepaham dengan Maturidi. Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh
sebagian umat Islam yang bermazhabHanafi. Dan pemikiran-pemikiran
Maturidiya sampai sekarangmasih hidup dan berkembang dikalangan
umat Islam.
2.2. Tahapan-tahapan perkembangan faham Ahlu Sunnah wal Jamaah
Pada masa Rasulullah SAW masih hidup, istilah Aswaja sudah pernah ada tetapi tidak
menunjuk pada kelompok tertentuatau aliran tertentu. Yang dimaksud dengan
Ahlussunah walJama’ah adalah orang-orang Islam secara keseluruhan. Ada sebuah hadits yang
mungkin perlu dikutipkan telebih dahulu:

Yang artinya : Rasulullah SAW bersabda: “ Sesungguhnya bani Israil akan terpecah
menjadi 70 golongan dan ummatku terpecah menjadi 73 golongan dan semuanya masuk
neraka kecuali satu golongan. Para Shohabat bertanya : Siapa yang satu golongan itu?
Rasulullah SAW. menjawab : yaitugolongan dimana Aku dan Shahabatku berada”.
Mengenai tahapan-tahapan aliran Ahlu Sunnah wal Jamaah, bila kita tinjau dari
periodisasinya, maka dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu periode Proto
Sunnisme,Konsolidasi Sunnisme, dan Pelembagaan Sunnisme.
1) Proto Sunnisme

Ditengah-tengah polarisasi dan pertentangan antarkelompokitu, terdapat


sejumlah sahabat nabi yang mencoba menghindarkan diridan kemudian melakukan
gerakan-gerakan kultural dan menekuni bidang keilmuan dan keagamaan. Mereka
Antara lain adalah Umar binAbbas, Ibnu Mas’ud, Dan Lain-lain. Kegiatan serupa
jugadikembangkan oleh generasi tabi’in yang dipelopori oleh Hasan Al-Basri (w.
110/728 H) bersama para tabi’in lainnya. Arus baru
inilahyang oleh para peneliti disebut Proto Sunnism atau yang olehMarshall G.S.
Hodgson disebut Jama’I e Sunni.
Dari kegiatan mereka inilah kemudian lahir sekelompok muhaddithun (para
ahli hadits), fuqaha, dan mufassirun. Termasuk didalam kelompok ini adalah empat
imam madhab, yakni Abu Hanifah,Malik bin Annas, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I,
dan Ahmad binMuhammad bin Hambal. Mereka menghasilkan banyak sekali
karya.Selain pada spesialisasi mereka, masin-masing juga menulis‘IlmKalam´ untuk
memberikan sanggahan argumentative terhadap pendapat-pendapat yang dinilai
memiliki kecenderungan mengabaikansunnah Nabi dan para sahabat
dalam menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an mengenai persoalan-persoalan
pokok agama (al-Usul al-Din). Golongan yang mengikuti pola inila yang kemudian dikenal
dengan sebutan Ahlu Sunnah.
Secara metodologis, keberadaan Ahlu Sunnah wal Jama’ahdalam pengertian
Proto Sunnisme dipertegas oleh Ahmad bin Hambal yang memiliki kredibilitas sebagai
Ahlul Hadith lawan dari AhlulKalam. Ia dianggap mempresentasikan sebuah gerakan
pemikiran baruyang disinyalir merupakan gabungan dari berbagai kelompok
besarmaupun kecil pada abad ke-2 sampai abad ke-4 Hijriyah. ParadigmaAhlu Sunnah
wal Jama’ah era ini adalah taqdim al-Nass ‘ala al-‘Aql (mendahulukan nass dari pada
akal). Mereka lebih berpegang kepadayang ma’thur (tekstual) daripada yang
ma’qul´ (rasional) ;mendahulukan riwayah (eksistensi, keberadaan teks) dari pada
dirayah(substansi, kandungan teks); mengutamakan dalil nass (Al-naql) daripada nalar
(al-‘aql), dan ememahami nass secara zahir (eksplisit)saja. Demikian, Ahlu Sunnah wal
Jamaah sebelum abad ke-5 Hijriyahmasih tertuju atau identic pada Ahlul Hadits.
Sepanjang abad ke-4 sampai ke-5 Hijriyah, Ahlu Sunnah walJamaah adalah
suatu komuitas Muslim yang secara ekstrem anti Syiahdan menjadi kelompok oposisi
terhadap Bani ‘Abbasiyah pendukungfaham Qadiriyah-Mu’tazilah dan Bani Buwaih
yang berfaham Syi’ah.Pada era itu, kelompok Sunni ahlul Hadits ini mengadakan
perlawanan bersenjata anti Syi’ah, Mu’tazilah, dan Mutakallimun (para teolog),term
asuk Al Ash’ari dan Asy’ariyah.
Sekilas, bila kita amati, terjadi keganjilan pada peristiwa iniyaitu terjadinya
pergolakan Antara pendukung Imam Ahmad binHambal dengan para pendukung
Asy’ariyah.Padahal,dalam perkembangan selanjutnya kedua kelompok ini diidentifik
asikan sebagai bagian dari Ahlu Sunnah wal Jamaah.Ironinya, pada masa itu,kedua
belah pihak itu sampai saling mengkafirkan. Hal ini terjadikarena kehadiran Al Asy’ari
diwarnai dengan upaya rasionalisasi terhadap teologi Sunni yang sebelumnya diwakili
oleh ahli ahlul Hadits.Kritiknya terhadap kalangan Hanabilah sebagai “bodoh” –karena
mereka agak fanatik dan tidak mau menggunakan ta’wil (interpretasi), membuat
mereka marah, dan terjadilah ketegangan.
Di pihak pemikiran teologi Asy’ariyah memang
memiliki banyak pendukung. Teologi Asy’ariyah mengalamai penyempurnaanoleh Al-
Maturidi, Al-Baqilani, dan Al-Juwayni atau Imam Haramain.Akan tetapi, kelompok ini
tidak cukup kuat untuk bertahan ketika harusmenghadapi arus besar Hanabilah yang
pada waktu itu didukung olehkekuatan penguasa khalifah Al-Qa’im selama
paruh pertama abad ke-5Hijriyah. Teologi Asy’ari dan Al-Maturidi baru
mengalami perkembangannya pada masa Al-Ghazali pada akhir abad ke-5
Hijriyah,karena mendapat dukungan tidak langsung dari wazir Nizamul Muluk.
2) Konsolidasi Sunnisme
Dalam wilayah teologi, Ahlu Sunnah wal Jamaah telah menemukan bentuknya
yang lebuh sempurna oleh hadirnya Abu Hasan Al-Asy’ari. Ahlusunah wal Jamaah
pasca Asy’ari ini telah mengalami rasionalisasi dari pola pemahaman para Ahlul Hadits.
Mengapa bisa dikatakan sempurna karena saat itu Aliran ini mampu
menjawab persoalah teologis yang sedang berkembang. Masdar Farid Mas’udi
menyebut masa ini sebagai “masa konsolidasi doktrin Sunisme”. Corakmoderat di
dalam menyikapi persoalan-persoalan teologi, kemudiandijadikan acuan pemikiran
Ahlu Sunnah wal Jamaah berikutnya. Olehkarena itu, dapat dikatakan bahwa Ahlu
Sunah wal Jamaah sebagaisymbol sosial keagamaan baru dapat terkonsolidasi pada
masa Al-Asy’ari.
Meskipun teologi Asy’ariyah dibangun dari rasionalisasi polatekstual kaum
Ahlul Hadits, namun ia tetap menyatakan posisinya sebagai pelanjut tradisi Ahlu
Sunnah wal Jamaah Ahmad bin Hambal.Secara tegas, Al-Asy;ari menulis dalam
kiabnya al-Ibanah ‘an Usul al- Diniyyah:

Ajaran dan keyakinan Agama yang kami anut adalah sebagaiberikut :


berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad, serta ajaran
para shabat, tabi’in, dan apra ahli hadits.Semua hal itu kami pegangi dan kami
jadikan sandaran, termasukajaran-ajaran yang disampaikan Abu Abdullah
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Semoga Allah meberkatina…

Pernyataan al Asy’ari tersebut menunjukkan posisi pandangan teologisnya


untuk memoderasi pandangan orthodox AhlulHadits dan pandangan rasionalis
Mu’tazilah. Di satu sisi Al-Asy’ariingin tetap mempertahankan pijakan kakinya pada
Ahlu Sunnah walJamaah dalam kerangka Ahlul Haditsm sementara itu di sisi lain
ia inginmelangkah ke kalam rasionalis Mu’tazilah.
3) Pelembagaan Sunnisme
Perkembangan Ahlu Sunah wal Jamaah berikutnya ditandaidengan mulai
terjalinnya hhubungan simbiosis mutualisme antar tokohfaham Aswaja dengan para
penguasa. Jika pada masa Asy’ari merekaselalu beroposisi terhadap penguasa, maka
tidak demikian dengankeberadaan Ahlu Sunnah wal Jamaah di era berikutnya. Ahlu
Sunnahwal Jamaah mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Terutama padamasa
pemerintahan Al-Qadir (w.422 H/1031 M) dari Dinasti‘Abbasiyah sebagai faham resmi
negara. Penegasan ini tertuangdalam Maklumat atau Deklarasi Al-Qadir (al-
Qadir creed).
Fenomena ini sangat penting dalam perkembangan AhluSunnah wal Jamaah,
karena diskursus Ahlu Sunnah wal Jama’ah menjadi lebih komprehensif.
Jika sebelumnya Ahlu Sunnah wal Jamaah selalu identik dengan teologi, aqidah, atau
Kalam, maka berikutnya berkembang di wilayah fiqh, tasawuf, dan bidang sosial-
politik. Pelembangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam berbagai bidang itu,tidak bisa
dinafikan dari peran dukungan penguasa.
Pada masa kekhalifahan Al-Qadir, telah terjadi pelembagaanAhlu Sunnah wal
Jama’ah di bidang Fiqh, yakni melalui pengakuanterhadapterhadap empat madhab
(Hanafi, Maliki, Hanbali, dan Syafi’i).Kemungkinan besar pengakuan Al-Qadir terhadap
empat madhab itudisebabkan saat itu madhab-madhab lainnya tidak lagi
actualdikarenakan tidak adanya dukungan luas di kalangan umat Islam.
Al-Qadir pernah meminta kepada empat orang ulamamewakili empat madhab
untuk menyusun pokok-pokok pemikiranhukum madhabnya masing-masing. Karya al-
Mawrdi yang mewakilimadhab Syafi’I pada saat itu memperoleh penghargaan sebagai
karyaterbaik, hingga megantarkannya untuk menduduki jabatan Qadi al-
Quddat(hakim agung) dalam pemerintahan Al-Qadir.
Dengan demikian, karena kekhalifahan Al-Qadir hanyamengakui empat
madhab di bidang fiqh, sementara ia sendirimenyatakan Ahlu Sunnah wal Jamaah
sebagai faham resmi negaranya,maka terjadilah pelembagaan Ahlu Sunnah wal
Jama’ah di bidang fiqh.Pelembagaan dalam artian Ahlu Sunnah wal Jamaah di bidang
fiqhadalah mengikuti empat madhab, sehingga dapat dimaklumi jika
pada perkembangan selanjutnya sampai saat ini, terjadi penisbatan AhluSunnah wal
Jamaah di bidang fiqh terhadap empat madhab

2.3. Pemikiran dan Doktin-doktrin Ahlu Sunnah wal Jamaah


Dalam pemikiran Ahlu Sunnah wal Jamaah sebenarnya lebihdidominasi oleh
pemikiran Asy’ariay dikarenakan pemikiran al-Maturidiyah sebagian besar
menyempurnakan pemikiran Asy’ariyah. Namun, walaupun demikian, ada perbedaan
di Antara keduanya. Berikut adalah pemikiran Asy’ariyah dan Al-Maturidiyah :

a) Pemikiran atau Doktrin Aliran Asy’ariyah


1. Tuhan dan sifat-sifatnya
Al-Asy’ari mengakui sifat-sifat Tuhan yang sesuai dengan Zat Tuhansendiri, dan
sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Tuhanmendengar, tidak seperti kita
mendengar dan seterusnya.
2. Kebebasan dalam berkehendak (free will)
Al-Asy’ari menyatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakansesuatu,
tetapi berkuasa untuk memperoleh (kasb) sesuatu perbuatan.
3. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilahmengutamakan akal.
Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan burukharus berdasarkan pada wahyu,
sedangkan Mu’tazilah mendasarkan pada akal.
4. Qodimnya Al-quran
Al-Asy’ari mengatakan bahwa al quran terdiri atas kata-kata, hurufdan bunyi,
semua itu tidak melekat pada esensi Allah dankarenanyatidak qadim.
5. Melihat Allah
Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidakdapat
digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakalaAllah sendiri yang
menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Iamenciptakan kemampuan
penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
6. Keadilan
Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Iaadalah
Penguasa Mutlak. Dengan demikian, jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan
keadilan dari visi manusia yang memilikidirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari
visi bahwa Allah adalah pemilikmutlak.
7. Kedudukan orang yang berdosa
Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa adalahmukmin yang
fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.
Bila kita cemati pemikiran Asy’ariah ini memang
moderat(tawassut) jika dibandingkan Mu’tazilah yang lebih mengutamakan rasio dan
paraahlul Hadits (golongan Ahmad bin Hanbal) yang mengutamakan
tekstual.Pemikiran-pemikiran dari Asy’ariyah ini mendapat tanggapan dari beberapa
ulama.
As-Subki dalam Thabaqatnya berkata: "Ketahuilah bahwa Abu al-Hasan al-
Asy'ari tidak membawa ajaran baru atau madzhab baru, beliauhanya menegaskan
kembali madzhab salaf, menghidupkan ajaran-ajaransahabat Rasulullah. Penisbatan
nama kepadanya karena beliau konsistendalam berpegang teguh ajaran salaf, hujjah
(argumentasi) yang beliau pakaisebagai landasan kebenaran aqidahnya juga tidak
keluar dari apa yangmenjadi hujjah para pendahulunya, karenanya para pengikutnya
kemudiandisebut Asy'ariyyah.

Abu al-Hasan al-Asy'ari bukanlah ulama yang pertamakali berbicara tentang


Ahlussunnah walJama'ah, ulama-ulama
sebelumya juga banyak berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama'ah. Beliau hanya lebi
h memperkuat ajaran salaf itu dengan argumen-argumen yang kuat. Bukankah
penduduk kota Madinah banyak dinisbatkan kepada Imam Malik, dan pengikutnya
disebut al Maliki. Ini bukan berarti Imam Malik membawa ajaran baru yang sama sekali
tidak ada pada para ulamasebelumnya, melainkan karena Imam Malik menjelaskan
ajaran-ajaran lama dengan penjelasan yang lebih rinci dan sistematis, demikian juga
yangdilakukan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari".

Habib Abdullah ibn Alawi al-Haddad menegaskan bahwa"kelompok yang benar


adalah kelompok Asy'ariyah yang dinisbatkankepada Imam Asy'ari. Aqidahnya juga
aqidah para sahabat dan tabi'in,aqidah ahlul haqq dalam setiap masa dan tempat,
aqidahnya juga menjadiaqidah kaum sufi sejati. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh
Imam AbulQasim al-Qusyayri. Dan Alhamdulillah aqidahnya juga menjadi aqidahkami
dan saudara-saudara kami dari kalangan habaib yang dikenal dengankeluarga Abu
Alawi, juga aqidah para pendahulu kita.

Kemudian beliau melantunkan satu bait sya'ir:

b) Pemikiran atau doktrin golongan Maturidiyah:


1. Mengenai sifat-sifat Allah Swt.
Mengenai sifat-sifat Allah Swt., aliran Asy’ariyah mengatakan sifat-sifat Allah Swt.
itu merupakan sesuatu yang berada di luar Dzat. Mereka juga menetapkan adanya
qudrah, iradah,’ ilm, bayah, sama’,basher dan
kalam pada Dzat Allah Swt. Kata mereka, semua itu merupakan sesuatu di luar
Dzat-Nya. Mu’tazilah mengatakan bahwa tidak ada sesuatu di luar Dzat-Nya. Adapun
yang disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti:’Alim(Maha mengetahui),
Khabir (Mahamengenal), Hakim(Maha bijaksana), Bashir(Mahamelihat), merupakan
nama-nama bagi Dzat Allah Swt
2. Melihat Allah SWT.
Ada beberapa nash Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah Swt.dapat dilihat,
seperti firtman Allah:“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-
seri.Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah, 75: 22-23)Berdasarkan
firman tersebut, al-Maturidi menetapkan bahwa Allahdapat dilihat pada hari kiamat.
Ini dikarenakan pada hari kiamat itumerupakan salah satu keadaan khusus.

3. Pelaku dosa
besarAl-Maturidi mengatakan bahwa orang mu’min yang berdosa adalah
menyerahkan persoalan mereka kepada Allah Swt. Jika Allah Swt.menghendaki maka
Dia mengampuni mereka sebagai karunia,kebaikkan dan rahmat-Nya. Sebaliknya,
jika Allah Swt. menghendaki,maka Dia menyiksa mereka sesuai dengan kadar dosa
mereka. Dengandemikian, orang mu’min berada di antara harapan dan
kecemasan.Allah boleh saja menghukum dosa kecil dan mengampuni
dosa besar, sebagaimana Dia telah berfirman:“Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan Diamengampuni segala dosa yang selain dari (syirik)
itu, bagi siapayang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan
Allah,Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’, 4:48).
Secara umum, doktrin atau pemikiran Antara Asy’ariyah dan AlMaturidiyyah
memiliki banyak kesamaan diantaranya tentang Sifat-sifatAllah, pelaku dosa besar,
dan keyakinan tentang melihat Allah SWT diakhirat. Namun, selain persamaan
itu, ada pula perbedaan Antara keduanya.
Perbedaan tersebut Nampak jelas dalam soal-soal berikut :
 Menurut aliran Asy’ariyyah, mengetahui Tuhan diwajibkan syara’, sedangkan
menurut Maturidiyyah diwajibkan akal
• Menurut golongan Asy’ariyyah, sesuatu perbuatan tidak mempunyai sifat baik
dan buruk. Baik dan buruk tidak lainkarena diperintahkan syara’ atau
dilarangnya. MenurutMaturidiyyah, pada tiap-tiap perbuatan itu sendiri ada
sifat-sifat baik dan sifat-sifat buruk.
• Sama dengan al-Asy’ari, al-Maturidi menolak ajaranMu’tazilah tentang al-salah
wa al-aslah, tetapi di sampingitu al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan
mempunyaikewajiban-kewajiban tertentu.
• Dalam soalal wa’d wa al wa’id al Maturidi sepaham dengan Mu’tazilah. Janji-janji
dan ancaman-ancaman Tuhan, tak boleh tidak mesti terjadi kelak. Dan juga dalam
atromorphisme al-Maturidi sealiran dengan Mu’tazilah. Ia tidak sependapat
dengan al-Asy’ari bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai
bentuk jasmani takdapat diberi interpretasi atau ta’wil. Menurut
pendapatnya,tangan, wajah, dan sebagainya mesti diberi arti majazi ataukiasan.

2.4. Dasar-Dasar Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah


Prinsip keyakinan yang berhubungan dengan tauhid, syari‟at danlain-lain menurut
Ahlussunnah wal Jamaah harus dilandasi dengan dalildan argumentasi yang bersumber
dari al-Qur‟an, al-Hadits, Ijma‟ ulama, dan Qiyas. Sebagaimana yang dikatakan Imam
Ghozali dalam ar-Risalahal-Ladduniyah :
“Ahli nazhar dalam ilmu aqidah ini pertama kali berpegang denganayat-ayat
al-Qur‟an, kemudian dengan hadits-hadits Rasul dan terakhir dengan dalil-dalil rasional
dan argumentasi analogis”.
Berikut adalah dasar-dasar yang digunakan Ahlussunnah wal jamaah :

1. Al-Qur’an
Al-Qur‟an merupakan sumber hukum fiqh utama dan paling agung, yang
merupakan hujjah paling agung antara manusia dan Allah SWT, al-Qur‟an juga
merupakan tali yang kuat dan tidak akan putus. Allah SWT berfirman:“Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-
berai”. (QS. Ali Imran:103)Al-Qur‟an adalah pokok dari semua dalil argumentasi.
Sebagaimana dalam al-Qur‟an: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah (al-Qur‟an) danRasul-Nya (al-Hadits).”
(QS.An-Nisa‟: 59) Adapun para ulama terkemuka dalam bidang tafsir al-Qur‟an yang
mengikuti madzhab al-Asy‟ari dan al-Maturidi diantaranya adalah:
Al-Imam Abu Laits Nashr bin Muhammad al-Samarqandi (w. 393 H/1002 M),
pengarang tafsir Bahrul Ulum
Al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi (w. 468 H/ 1076 M) pengarang tafsir
al-Basith, al-Wasith, al-Wajiz dan asbabunnuzul
Al-Imam al-Hafidh Muhyissunnah Abu Muhammad al-Husain bin Mas‟ud al-Baghawi
(433-516 H/ 1041-1122 M) pengarangtafsir Ma‟alimuttanzil
Al-Hafidh Ibnu al-Jauzi al-Hanbali, pengarang Zadul Masir fi Ilmittafsir.
Al-Imam Abu Muhammad Abdul Haq bin Ghalib bin Abdurrahman binAthiyah al-
Gharnathi al-Andalusi (481-542 H/ 1088-1148 M) pengarangal-Muharrar al-Wajiz fi
Tafsir al-Kitab al-Aziz.
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Maliki al-Qurthubi (w.671 H/ 1273
M) pengarang tafsir al-Jami‟ li Ahkamil Qur‟an.
Al-Imam Nashiruddin Abu Sa‟ad Abdullah bin Umar al-Syairazi al-Baidlawi al-
Syafi‟I (w. 685 H/ 1286 M) pengarang tafsir Anwaruttanzilwa Asrarutta‟wil.
Al-Imam Hafizhuddin Abu al-Barakat Abdullah bin Ahmad bin Mahmudal-Nasafi al-
Hanafi (w. 710 H/ 1310 H) pengarang Madarik al-Tanzil waHaqaiq al-
Ta‟wil.
Al-Imam Alauddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Khazin al-Baghdadi (678-741
H/ 1279-1340 M) pengarang Lubab al-Ta‟wil fiMa‟ani al-Tanzil
Al-Imam Abu Hayyan Muhammad bin Hayyan al-Andalusi (654-745 H/1256-1344 M)
pengarang al-Bahr al-Muhith.
Al-Imam al-Hafizh Abu al-Fida‟ Ismail bin Katsir al-Dimasyqi (700-774H/ 1301-1373
M) pengarang Tafsir al-Qur‟an al-Adzim.
Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, pengarang Tafsir al-Jalalain.
Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib al-Syirbini (w.977 H/ 1570
H) pengarang al-Siraj al-Munir.
Al-Imam Abu al-Su‟ud Muhammad bin Muhammad bin Musthafa al-Imadi
pengarang Irsyad al-Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim.
Al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin Umar al-Jamal al-Ujaili al-Syafi‟i(w.1204 H/ 1790
M) pengarang al-Futuhat al-Ilahiyah bi TaudlihiTafsir al-Jalalain bi al-Daqaiq al-
Khafiyah.
Al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki (1175-1241 H/1761-1825 M)
pengarang Hasyiah ala Tafsir al-Jalalain.
2. Al-Hadits
Hadits adalah dalil kedua dalam penetapan aqidah-aqidah dalam Islam.Hadits
yang dapat dijadikan dasar adalah hadits yang perawinya disepakatidapat dipercaya
oleh para ulama. Hadits Nabi berfungsi untuk menjelaskanhukum-hukum al-Qur‟an
yang bersifat global dan general. Karena syari‟at islam diturunkan secara bertahap
untuk menunjukkan kasih sayang Allah SWTkepada hamba-Nya. Bentuk kasih sayang
tersebut adalah menjelaskan al-Qur‟an yang masih global tersebut.
Allah berfirman:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yangdilarangnya bagimu,
maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah amat keras
hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Al-Hafidh al-Khatib al-Baghdadi mengatakan dalam kitabnya al-Faqihwa al-
Mutafaqqih:“Sifat Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan pendapat
seorangshahabat atau tabi‟in. sifat Allah hanya dapat ditetapkan berdasarkan hadits
-hadits Nabi yang marfu‟, yang perawinya disepakati dapat dipercaya. Jadihadits
dha‟if dan hadits yang perawinya diperselisihkan tidak dapat dijadikanhujjah dalam
masalah ini, sehingga apabila ada sanad yang diperselisihkan, laluada hadits yang
menguatkannya maka hadits tersebut tidak dapat dijadikanhujjah.”Adapun ulama
madzhab al-Asy‟ari yang menulis komentar (syarh)terhadap kitab hadits yang
terkemuka adalah:
 Al-Hafidh Abu Sulaiman al-Khaththabi al-Busti al-Syafi‟I, pengarangma‟alim al-Sunan
[Syarh Sunan Abi Dawud]. Al-Hafidh Abul al-Walid Sulaiman bin Khalaf al-Baji al-
Maliki, pengarang kitab al-Muntaqa fi Syarh al-Muwattha‟.
 Al-Hafidh al-Nawawi al-Syafi‟i, pengarang Syarh Shohih Muslim.
 Al-Hafidh Taqiyyuddin as-Subki, pengarang Imta‟ al-Asma‟ bima lil ar -Rasul minal
Abna‟ wa al-Ahwal wa al-Hafadhah wa al-Mata‟.
 Al-Hafidh Tajuddin as-Subki, pengarang Jam‟ul Jawami‟
 Al-Hafidh al-„Iroqi, pengarang Takhrij Ahaditsil Ihya‟.
 Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqollani al-Syafi‟i, pengarang Fath al-BariSyarh Shohih
Bukhori.
 Al-Hafidh Syaikh Islam Abu Yahya Zakaria bin Muhammad al-Ansharial-Syafi‟i,
pengarang kitab Syarh Shohih Muslim.
 Al-Imam Izzuddin ibn Abdissalam, pengarang Qowaidul Ahkam fiMasholihil Anam
Al-Imam Mulla Ali bin Sulthan Muhammad al-Qari al-Harawi al-Hanafi,Pengarang
kitab Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashobih.
3. Ijma’ Ulama
Ijma’ adalah konsensus para mujtahid sepeninggal Rasulullah dari masa ke masa atas
satu hukum. Dalil kehujjahan ijma‟ ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad :“Dari
Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidakakan mengumpulkan umatku
dalam kesesatan. Pertolongan Allah selalu bersama jama‟ah. Dan barangsiapa yang
mengucilkan diri dari jama‟ah, maka ia mengucilkan dirinya ke neraka.” (HR.
Tirmidzi)Ijma’ ulama yang mengikuti ajaran Ahlul Haqq dapat dijadikanargumentasi
dalam menetapkan aqidah. Dalam hal ini seperti dasar yangmelandasi penetapan bahwa
sifat-sifat Allah itu qadim (tidak ada permulaanya)adalah ijma’ ulama yang qoth’i. Dalam
konteks ini Imam al-Subki menulisdalam kitabnya Syarh ‘Aqidah Ibn al-Hajib.
“Ketahuilah, sesungguhnya hukum Jauhar dan „aradh adalah baru.Oleh karena itu,
semua unsur-unsur alam adalah baru. Hal ini telah menjadiijma’ kaum muslimin, bahkan
ijma’ seluruh penganut agama (di luar Islam).Barang siapa yang menyalahi kesepakatan
ini, maka dia dinyatakan kafir,karena telah menyalahi ijma’ yang qoth’i.
4. Qiyas
Qiyas adalah menyamakan masalah baru dengan masalah yang
sudah jelas ketetapan hukumnya dalam agama yang didasarkan pada illat yangmenyatu
kan dua masalah dalam hukum tersebut. Qiyas yang bisa dibuat hujjah adalah qiyas yang
berlandaskan pada nash, ijma‟. Allah berfirman:
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang
mempunyai wawasan.” (QS. Al-Hasyr: 2)
BAB 111

RIWAYAT HIDUP IMAM ASYARI DAN IMAM MATURIDI

1. Riwayat Hidup Al -- Asy'ari

Nama lengkap Al -- Asy'ari adalah Abu Al -- Hasan' Ali bin Isma'il bin Ishaq bin
Salim bin Isma'il bin ' Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al --
Asy'ari. Menurut beberapa riwayat, Al -- Asy'ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875
M. Setelah berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana
pada tahun 324 H/935 M.

Menurut Ibu' Asakir ( w. 571 H ), Ayah Al -- Asy'ari adalah seorang yang


berpaham Ahlussunnah dan ahli hadis. Ia wafat ketika Al -- Asy'ari masih kecil.
Sebelum wafat, ia sempat berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama
Zakaria bin Yahya As -- Saji agar mendidik Al -- Asy'ari. Aliran ini diikutinya terus ampai
berusia 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku-
buku kemuktazilahan. namun pada tahun 912 dia mengumumkan keluar dari paham
Mu'tazilah, dan mendirikan teologi baru yang kemudian dikenal
sebagai Asy'ariah.Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama
15 hari, kemudian pergi ke Masjid Basrah. Di depan banyak orang ia menyatakan
bahwa ia mula-mula mengatakan bahwa Quran adalah makhluk; Allah Swt tidak dapat
dilihat mata kepala; perbuatan buruk adalah manusia sendiri yang memperbuatnya
(semua pendapat aliran Muktazilah). Kemudian ia mengatakan: "saya tidak lagi
memegangi pendapat-pendapat tersebut; saya harus menolak paham-paham orang
Muktazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahanya".

Dia cenderung kepada pemikiran Aqidah Ahlussunnah Wal jama'ah dan telah
mengembangkan ajaran seperti sifat Allah 20. Banyak tokoh pemikir Islam yang
mendukung pemikiran-pemikiran dari imam ini, salah satunya yang terkenal adalah
"Sang hujjatul Islam" Imam Al-Ghazali, terutama di bidang ilmu kalam/ilmu
tauhid/ushuludin.
Walaupun banyak juga ulama yang menentang pamikirannya,tetapi banyak
masyarakat muslim yang mengikuti pemikirannya. Orang-orang yang
mengikuti/mendukung pendapat/paham imam ini dinamakan kaum/pengikut
"Asyariyyah", dinisbatkan kepada nama imamnya. Di Indonesia yang mayoritas
penduduknya muslim banyak yang mengikuti paham imam ini, yang dipadukan
dengan paham ilmu Tauhid yang dikembangkan oleh Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Ini terlihat dari metode pengenalan sifat-sifat Allah yang terkenal dengan nama "20
sifat Allah", yang banyak diajarkan di pesantren-pesantren yang berbasiskan
Ahlussunnah Wal Jama'ah dan Nahdhatul Ulama (NU) khususnya, dan sekolah-
sekolah formal pada umumnya.

2. Riwayat Hidup Al – Maturidi

Abu Mashur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah


Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut
Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan
sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M.

Ia adalah pendiri dari aliran Al-Maturidiyah salah satu golongan aliran dari
madzhab Ahlussunnah. Tidak seorangpun secara pasti mengetahui tahun
kelahirannya. Ini adalah sebuah observasi penting karena ini berarti bahwa orang yang
membuat isnad tidak mengetahui cukup informasi tentangnya untuk menjadikannya
sebagai sumber, artinya tidak ada seorang alim pun yang pernah mengenalnya.

Maturidi hidup sezaman dengan Asy'ari, hanya saja maturidi tinggal di


samarqand sedangkan asy'ari tinggal bashrah. Asy'ari adalah pengikut dari madzhab
syafi'iyah sedangkan maturidi adalah pengikut dari madzhab hanafiyah. Boleh jadi ada
beberapa perbedaan pendapat antara kedua orang tersebut, karena adanya
perbedaan pendapat antara syafi'i dan abu hanifah sendiri.
Karir pendidikan Al-Mutaridi dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi
daripada fiqh, sebagai usaha memperkuat pengetahuannya untuk menghadapi
paham-paham teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat Islam, yang
dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara'
Sebagai pengikut abu hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan
keagamaannya, al maturidi banyak pula memakai akal dalam sistim teologinya.
Maturidi mendasarkan fikiran-fikirannya dalam soal-soal kepercayaan kepada fikiran-
fikiran Imam Abu Hanifah yang tercantum dalam kitabnya "al-fiqh al-akbar" dan "al-
fiqh al-absat" dan memberikan ulasan-ulasannya terhadap kedua kitab tersebut. Oleh
karena itu antara teologi maturidi dan asy'ari terdapat perbedaan, sungguhpun
keduanya timbul sebagai reaksi terhadap aliran Mu'tazilah.

Kitab-kitab yang pernah dikarang oleh al Maturidi diantaranya adalah ;


· Kitab Al Tawhid
· Kitab Radd Awa'il al-Adilla
· Radd al-Tahdhib fi al-Jadal
· Kitab Bayan Awham al-Mu'tazila
· Kitab Ta'wilat al-Qur'an
· Kitab al-Maqalat
· Ma'akhidh al-Shara'i' in
· Al-Jadal fi Usul al-Fiqh
· Radd al-Usul al-Khamsa
· Radd al-Imama
· Al-Radd 'ala Usul al-Qaramita
· Radd Wa'id al-Fussaq

Anda mungkin juga menyukai