Anda di halaman 1dari 18

ASWAJA SEBAGAI MANHAJUL FIKR WAL HAROKAH

Pokok bahasan
Latar belakang sosio-politik dan sosio-kultur kemunculan Ahlussunnah wal
Jama'ah dan proses pelembagaan madzhab
Ahlussunnah wal Jama'ah sebagai doktrin
Sanad ke-Islaman dalam ajaran yang benar, yang dijalankan oleh Rosulullah SAW
dan para sahabat, Tabiin, Tabiit-tabiin, Ulama, dst
PMII sebagai organisasi pewaris Sanad Ajaran Islam yang benar, didirikan oleh
ulama dan mendapatkan mandat untuk memperjuangkan Islam Aswaja di Kampus
Ahlussunnah wal Jama'ah sebagai Manhajul Fikr (Metode berfikir) dan sebagai
Manhajul Harokah (Metode bergerak)
Memahami kerangka berfikir Ahlussunnah wal Jama'ah yang dinukil dari
perjalanan para Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah
Memahami dan mengimplementasikan metode berfikir Ahlussunnah wal Jama'ah
dalam berdakwah dan menyikapi persoalan Geo-Ekosospol
 ‫ قال رسول هللا (صلعم) إن بني إسرائيل افترقوا على احدى‬:‫قال‬, ‫عن عبد هللا بن عمرو رضي هللا عنه‬
:‫ قالوا من هي يارسول هللا‬،‫ وتفترق أمتي على ثالث وسبعين ملة كلهم في النار إال ملة واحدة‬,‫وسبعين ملة‬
‫قال ما انا عليه اليوم وأصحابي‬
Muqaddimah
Aswaja pada masa Rasulullah SAW masih hidup sudah pernah ada tetapi tidak
menunjuk pada kelompok tertentu atau aliran tertentu. Yang dimaksud dengan
Ahlussunah wal Jama’ah adalah orang-orang Islam secara keseluruhan, namun
demikian Istilah Aswaja itu sendiri pada saat Rasulullah Saw masih hidup belum
pernah ada. Karena istilah Ahlussunah wal Jama’ah muncul pada masa-masa akhir
Shahabat, yaitu pada masa setelah perang Shiffin hingga muncul berbagai aliran
politik (firqoh-firqoh) dalam Islam, itupun Istilah Aswaja baru dalam rangka
mendefinisikan para penganut ajaran Nabi yang masih murni dan konsekuen,
tidak tertarik untuk masuk dalam firqoh manapun, menjadi penjaga syari’at Islam
yang murni. Aswaja baru pada abad ke IV H dipakai untuk menisbatkan pada
golongan penganut aliran Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi yang
lebih dikenal dengan kaum Sunni, baru pada abad ke XIV secara lebih tegas oleh
Murtadho Al-Zabidi Ahlussunah Wal Jamah di pakai sebagai nama pengikut Imam
Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi, Ahlussunah wal jama’ah di
Indonesia oleh  faunding father Hadratus syaikh Hasyim Asy’ari pada tahun 1926
M disebut sebagai aliran Islam yang secara aqidah mengikuti Imam Abu Hasan Al-
Asy’ari dan abu Mansur Al-Maturidi dan secara Fiqh mengikuti Imam Hanafi,
Maliki, Hambali dan Imam Syafi’i serta secara Tasawuf mengikuti Imam Abu
Hamid Al-Ghozali dan Imam Junaedi Al-Baghdadi, Aswaja dalam PMII
bermetamorfosis sebagai Manhaj al-fikr dan Manhaj al-Taghayur Al-Ijtima’i dalam
mewujudkan Manhajul Harakah. Dalam materi ini akan dipaparkan Historitas
Aswaja dari masa kemasa dan perkembangannya hingga ke Indonesia sampai
melahirkan tradisi lokal, Islam Khas Indonesia, Islam Nusantara, Islam Ke-
Indonesiaan.
PENGERTIAN ASWAJA
Untuk memahami Ahlussunah Wal Jama’ah secara lebih konprehensif perlu
mengetahui pemaknaannya baik secara etimologis (lughowi) maupun
terminologis (isthilahi). Secara etimologis terdiri dari 3 kata bahasa Arab:
‫ اهل‬Ahlun :Scr etimologis memiliki beberapa makna, antara lain keluarga, pengikut
atau penganut, penguasa, Istri dan lain-lain. Sedangkan makna terminologinya
adalah pemeluk aliran atau pengikut madzhab.
‫ السنه‬Sunnah :Jalan, al-Hadits
‫ والجماعه‬Jama’ah :sekumpulan orang yang memiliki tujuan
Secara Terminologi, menyitir pendapat Al-Buraikan dalam, al-Madkhal li ‘Aqidah
Ahlal-Sunnahsebagai berikut:
‫ الملتزمون منهج الرسول صلى هللا عليه وسلم وأصحابه والتابعين‬،‫المتبعون للعقيدة اإلسالمية الصحيحة‬
‫وتابعيهم بإحسان إلى يوم الدين‬.
“Para pengikut akidah Islam yang benar, yakni orang-orang yang berpegang teguh
pada jalan (manhaj) yang ditempuh oleh rasulullah Saw. para sahabat, tabi’in,
pengikut tabi’in hingga hari kiamat”.Menurut al-Thabari ada empat pendapat:
Kelompok besar dari penganut agama Islam (al-sawad al-a’dzam min ahl al-Islam),
Mujtahid yang menempuh jalan kelompok yang selamat (a`immah al-‘ulama al-
mujtahidin al-mutabbi’in li manhaj al-furqah al-najiyah),
Sahabat secara khusus, dan
orang-orang yang menyepakati pemimpin syar’i.
MenurutAl-Syathibi ada lima pendapat, yaitu ditambah pendapat yang
mendefinisikan al-jama’ah dengan “mayoritas umat Islam (jama’ah ahl al-Islam”)
Selayang pandang sejarah Aswaja
Rasulullah Muhammad Saw adalah pembawa ajaran Islam yang murni, sehingga
kebenaran Islam ada pada setiap ajaran dari Rasul berbentuk Sunnah Nabi, Saat
Rasulullah masih hidup semua persoalan selesai di hadapan Nabi karena ada
bimbingan langsung dari Allah berupa Wahyu, namun pada saat Rasulullah Saw
telah wafat, kendatipun umat Islam sudah mendapatkan 2 warisan besar yang
dengannya kehidupan umat tidak akan sesat yaitu berupa Al-Qur’an dan Sunah
Nabi, Namun perpecahan Umat Islam toh dalam sejarah terjadi sedemikian
memilukan, tepatnya setelah terbunuhnya Khalifah Ustman ra perpecahan umat
Islam tidak bisa terhindarkan oleh karena terpilihnya Ali bin Abi Thalib yang tidak
didukung oleh sebagian tokoh Islam seperti Sayyidatina ‘Aisyah ra, meskipun
awalnya menyepakati dengan syarat akhirnya berujung terjadinya perang Jamal,
sama juga Gubernur Muawiyah yang sejak awal tidak sepakat Ali bin Abi Tahlib
sebagai Khalifah akhirnya memberontak dan terjadiah perang Shiffin (sekitar
tahun 35-40 H) yang berakhir dengan perundingan (Tahkim/Abritase) antara Abu
Musa Al-Asy’ari dari kubu Ali bin Abi Thalib dan Amri Bin Ash dari kubu Muawiyah,
secara siyasat politik Muawiyah lebih di untungkan dalam tahkim tersebut,
meskipun kubu Muawiyah sebetulnya secara jelas telah kalah perang dengan
kubu Ali Bn Abi Thalib, peperangan tersebut mengakibatkan ribuan umat Islam
meninggal dunia dengan sia-sia. Pada saat itulah muncul, firqoh-firqoh dalam
Islam, seperti Saba’iyah (Syiah) penggila Ali yang masih setia membuat firqoh
menentang pemerintahan Muawiyah hasil Tahkim, kelompok Khawarij yang
awalnya penggila Ali yang keluar membuat kelompok sayap politik diluar garis
penggila Ali dan memusuhi kubu Muawaiyah, karena menganggap Ali dan
Muawiyah membuat perundingan yang tidak berdasarkan Wahyu Allah (Al-
Qur’an), dari kelompok Muawiyah belakangan membuat sayap politik demi untuk
melegitimasi kelompoknya yang disebut Jabariyah yang mengakomodasi ajaran
Fatalisme (menganggap semua yang terjadi di dunia ini adalah taqdir Tuhan,
termasuk kemenangan Muawiyah dalam Tahkim terhadap Ali bin Abi Thalib
adalah Taqdir Tuhan yang harus diterima apa adanya), muncul juga kelompok
politik lain sebagai antitesis terhadap kelompok Jabariyah yaitu Qodariyah, yang
didirikan oleh cucu dari Ali bin Abi Thalib bernama Muhammad bin Ali bin
Muhammad bin Ali bin Abi Thalib,  yang berpendapat kebalikan dari paham
jabariyah yaitu bahwa segala sesuatu sesuai dengan kehendak manusia, Tuhan
tidak berpern apa-apa terhadap taqdir manusia karena taqdir ditentukan oleh
manusia itu sendiri. Semakin maraknya bermunculan firqoh-firqoh dalam Islam
tersebut yang masing-masing mengklaim dirinya palingg benar hingga sampai
pada pengkafiran dan pembunuhan kelompok lain di luar dirinya yang sebetulnya
masing-masing bertendensi Politik atau Kekuasaan, Namun ada beberapa
kelompok orang yang sama sekali tidak tertarik untuk ikut-ikutan hiruk-pikuk
politik yang terjadi pada dunia Islam masa itu, mereka lebih memilih
mempertahankan, mengembangkan, mengamalkan dan menegakkan kehidupan
keberagamaan Islam yang dilestarikan dan pertahankan murni dari Rasulullah
SAW, sehingga mereka lebih memilih untuk mensyi’arkan agama Islam dan
menjalankan secara konsekuen dari pada ikut-ikutan berebut kekuasaan dan
bergelut politik dengan firqoh-firqoh politik lain. Mereka lebih enjoy mendalami
al-Qur’an dan hadits-hadits nabi sehingga menjadi Ilmu dan pengetahuan untuk
kemudian diajarkan kepada murid dan sanak familinya, sehingga mereka ini
nantinya diakui sebagai penjaga syari’at Islam yang murni dari Rasulullah Saw
tanpa tercampuri oleh noda kepentingan politik sekalipun, mereka di motori oleh
para sahabat-sahabat generasi Junior (Sighar al-Shahabah) seperti Ibnu Abbas,
Ibnu Umar, Said al-Khudri dan lain-lain, golongan inilah nantinya menjadi cikal
bakal golongan Ahlussunah Wal Jama’ah yang memiliki ajaran Islam yang murni
dan konsekuen sesuai dengan manhaj Nabi Muhammad SAW.
Latar belakang sosio-politik dan sosio-kultur kemunculan Ahlussunnah wal
Jama'ah dan proses pelembagaan madzhab
Latar belakang munculnya ASWAJA erat hubunganya dengan kemunculan
persoalan Kalam. Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu
oleh persoalan politik yang mengangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan
yang berujung pada penolakan Mu’awiyah terhadap kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib. Ketegangan ini mengakibatkan timbulnya perang siffin yang berakhir
dengan keputusan tahkim(arbitrase).
Kemudian hal ini mengakibatkan perpecahan di pasukan Ali sehingga pasukan Ali
terbagi menjadi dua. Yang tetap mendukung keputusan Ali disebut golongan
Syi’ah sedangkan yang tidak setuju dan keluar dari pasukan Ali disebut golongan
Khawarij.
Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul
adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang tidak kafir. Persoalan ini telah
menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam, yaitu:
Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti
telah keluar dari islam(murtad)dan wajib di bunuh.
Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap
mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa besar yang dilakukannya, hal itu
terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
Aliran Mu’tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat diatas. Bagi mereka,
orang yang berbuat dosa besar bukan kafir tapi bukan pula mukmin. Mereka
mengambil posisi antara mukmin dan kafir yang dalam bahasa arabnya dikenal
dengan istilah al-manzilah manzilatain.
Dalam islam kemudian muncul lagi dua aliran yaitu Qadariyah dan Jabariyah.
Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan
perbuatannya. Sedangkan Jabariyah berpendapat sebaliknya yaitu manusia tidak
punya kemerdekaan berkehendak dan berbuat.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan dari golongan
hambal yang mengambil bentuk aliran tradisional yang dipelopori oleh Abu Hasan
Al-Asy’ari(935 M).dan juga dari teologi Maturidiyah yang didirikan oleh Abu
Mansur Muhammad Al-Maturidi.
Aliran-aliran Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi saat
ini, kecuali  dalam sejarah. Adapun yang masih ada sampai saat ini adalah aliran
Asy’ariyah dan Maturidiyah yang dikenal dengan ahlusunnah wal jama’ah.
Khawarij
Subsekte khawarij yang sangat ekstrim yaitu Azariqah, menggunakan istilah yang
lebih mengerikan daripada kafir yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi
siapa saja yang tidak mau bergabung dalam barisan mereka, sedangkan pelaku 
dosa besar dalam pandangan mereka disebut kafir millah(agama), dan itu artinya
dia sudah keluar dari islam. Si kafir semacam ini kekal di neraka bersama orang
kafir lainnya.
Subsekte Najdah tak jauh berbeda dari Azariqah. Jika Azariqah memberi predikat
kepada umat islam yang tidak masuk dalam kelompok mereka, Najdah pun
memberi predikat  yang sama terhadap orang yang melakukan dosa kecil secara
berkesinambungan. Akan halnya dengan dosa besar yang dilakukan tidak terus
menerus, pelakunya dipandang kafir dan jika dilakukan secara kontinu dipandang
musyrik.
Iman dalam pandangan khawarij tidak hanya percaya kepada Allah, mengerjakan
segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Dengan
demikian, siapapun yang menyatakan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
tetaapi tidak melaksanakan kewajiban agama malah melakukan perbuatan dosa,
ia dipandang kafir oleh khawarij.
Subsekte Khawarij yang sangat moderat (Ibadiyah) memilikki pandangan yang
berbeda bahwa setiap pelku dosa besar tetap sebagai muwahhid (yang
mengesakan Tuhan), tetapi bukan mukmin atau disebut kafir nikmat dan bukan
nikmat millah(agama). Siksaannya di neraka selamanya bersama orang kafir
lainnya.
Murji’ah
Subsekte Murji’ah ekstrim(Murji’ah Bid’ah) berpendapat bahwa keimanan
terletak dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya
menggambarkan apa yang ada didalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan
perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti
menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna
dalam pandangan Tuhan.
Kredo kelompok Murji’ah ekstrim yang terkenal adalah “Perbuatan tidak dapat
menggugurkan keimanan, sebagaimana ketaatan pun tidak dapat membawa
kekufuran .“ Dapat disimpulkan bahwa kelompok ini memandang bahwa pelaku
dosa besar akan disiksa di neraka.
Sementara Murji’ah moderat berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah
menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung
pada dosa yang dilakukannya. Kendati pun demikian, masih terbuka kemungkinan
bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga bebas dari siksa neraka.
Pendapat Abu Hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman tidak jauh
berbeda dengan kelompok Murji’ah moderat lainnya. Ia berpendapat bahwa
seorang pelaku dosa besar masih tetap mukmin, tetapi bukan berarti bahwa dosa
yang diperbuatnya tidak berimplikasi. Andaikata masuk neraka, karena Allah
menghendakinya, ia tak akan kekal didalamnya. Disamping itu, iman menurut Abu
Hanifahadalah iqrar dan tashdiq. Ditambahkannya pula bahwa iman tidak
berkurang dan tidak bertambah. Agaknya ini merupakan sikap umum yang
ditunjukkan oleh Murji’ah baik ekstrim maupun moderat.
Paham Qadariyah dan Jabariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya
kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminology, Qadariyah
adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
diinterverensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat tiap-tiap orang adalah pencipta
bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendak sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa
Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas
kebebasan dan kekuasaan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai Qudrah atau kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia
terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Jabariayah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Didalam Al-munjid,
dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti
memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Lebih lanjut Asy-Syahratsan
menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia
dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata
lain, manusia mengerjakn perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa
inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang
menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha
dan qadar Tuhan.
Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan
moderat. Diantara doktrin Jabariyah ekstrim adala pendapatnya bahwa segala
perbuatan manusia  bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauan
sendiri, tapi timbul karena qadha dan qadar  Tuhan yang menghendaki demikian.
Berbeda dengan jabariyah ekstrim, jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan
memang menciptakan perbuatan, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik,
tetapi manusia punya bagian dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri
manusia yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab(acquisitin). Menurut faham
kasab, manusia tidaklah majbur(dipaksa Tuhan), tidak seperti wayang yang
dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi
manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.
Mu’tazilah
Secara harfiyah kata mu’tazilah berasal dari kata I’tazila yang berarti berpisah
atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Ajaran
dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-ushul al-khamsah adalah :
At-tauhid
At-tauhid (pengesaan Tuhan)merupakan prinsip utama dan intisari ajaran
Mu’tazilah. Bagi mu’tazilah tauhid memiliki arti yang sfesifik. Tuhan harus di
sucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi kemahaesaan-Nya. Oleh
karena itu, hanya Dialah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka
telah terjadi ta’addud al-qudama.
Untuk memurnikan keesan Tuhan (tanzih), mu’tazilah menolak konsef Tuhan
memiliki sifat-sifat penggambaran fisik Tuhan (antromorfisme tajassum), dan
Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Dia maha melihat, mendengar, kuasa,
mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat melainkan dzat-Nya.
Al-Adl
Al-Adl berarti Tuhan maha adi. Adil ini merupakan sifat yang gambling untuk
menunjukkan kesempurnaan. Tuhan dipendang adil apabila bertindak hanya yang
baik(ash-shalah) dan terbaik (al-ashlah0, dan bukan yang tidak baik.
Al-wa’d wa al-wa’id
Al-wa’d wa al-wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha
bijaksana, tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi
oleh janji-Nya sendiri, yaitu member pahala surge bagi yang berbuat baik(al-
muthi) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al-ashi).
Al-Manzilah bain al-manzilatain
Ajaran ini terkenal dengan status orang mukmin yang melakukan dosa besar.
Pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan belum
tobat buakan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasik.
Al-Amr bi al-ma’ruf wa An-Nahy an Munkar
Ajaran dasar kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang kemungkaran (Al-
Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar. Ajaran ini menekankan keberpihakan
kepada kebenaran dan kebaikan. Perbedaan mazhab mu’tazilah dengan mazhab
lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut
mu'tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk
mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah mencatat kekerasan yang pernah
dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.
Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah adalah aliran sinkretis yang berusaha mengambil sikap tengah-
tengah antara dua kutub akal dan naql, antara kaum Salaf dan kaum Mu’tazilah.
Kaum Asy’ariyah puas dengan menyelaraskan antara kedua belah pihak,
mencapai pandangan tengah-tengah yang akhirnya dijadikan prinsip yang
dipegangi secara teguh oleh generasi kemudian dan menjadi mantap khususnya
di abad-abad terakhir.
Gerakan Asy’ariyah mulai abad ke-4 H. terlibat dalam konflik dengan kelompok-
kelompok lai, khususnya Mu’tazilah.hingga hari ini, pendapat Asy’ariyah tetap
menjadiakidah ahl as-sunnah. Pendapatnya dekat sekali dengan pendapat
Maturidi yang satu saat pernah ia disebabkan persaingan dalam masalah fiqh,
karena ia mewakili orang-orang Syafi’iah dan Malikiah mendominasi pendapat
Asy’ari.
Para pengikut imam Syafi’i dan Maliki mendukung kaum Asy’ariyah, dan berjuang
keras untung menyebarkannya hingga ke Andalusia dan Afrika Utara.
Maturidiyah
Al-Maturidi merupakan salah satu sekte ahl as-sunnah wal jama’ah, yang tampil
bersama dengan Asy’ariyah. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan
mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstriminitaskaum
rasional dimana yang berada di barisan depan adalah Mu’tazilah, maupun
ekstriminitas kaum tekstualis dimana yang berada pada barisan paling depan
adalah kaum Hanabilah (imam Hambal).
Ahlussunnah wal Jama'ah Sebagai Doktrin
Lahirnya Nama Aswaja
Term Ahlussunah wal Jama’ah pada masa Nabi Muhammad Saw masih hidup
belum dikenal, bahkan istilah ini tidak pernah ada di Al-Qur’an dan Al-Hadits,
namun istilah yang sepadan dengan ini sekaligus menjadi hujjah adanya Istilah
Ahlusunah wal Jama’ah adalah Hadits dari Abdullah Ibn Umar yang berbunyi ‫ما انا‬
‫عليه اليوم وأصحابي‬.hadits tersebut menjelaskan bahwa bahwa golongan yang
selamat ketika umat berpecah-belah adalah golongan yang konsisten dan selalu
mengikuti ajaran Nabi dan ajaran Sahabatnya.
Setelah terjadi perpecahan umat Islam dengan ditandai munculnya banyak firqoh-
firqoh dalam Islam, maka pada akhir periode generasi sahabat Nabi istilah
Ahlussunah wal Jama’ah mulai banyak diperbincangkan dan dipopulerkan sebagai
nama bagi kaum Muslimin yang masih berpegang teguh dengan ajaran Islam yang
murni dan tidak terpengaruh dengan ajaran-ajaran baru yang keluar dari
mainstrem. Dalam pada itu Istilah ASWAJA untuk kali pertama digunakan oleh
sahabat Ibnu Abbas (selaku salah satu Shighar al-Shahabah), dalam menafsirkan
ayat al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 106 sebagai berikut:
‫) فاما الذين‬106 ‫ ال عمران‬:‫(سورة‬: ‫ يوم تبيض وجوه وتسود وجوه‬: ‫قال ابن عباس رض في قوله تعالي‬
‫ واماللذين اسودت وجوههم فاهل البدع والضال لة‬, ‫ابيضت وجوههم فاهل السنة والجماعة واولوالعلم‬.
Pada generasi Tabi’in dan Ulama Salaf sesudahnya istilah ASWAJA semakin
populer seperti : Khalifah Yang Shaleh Umar bin Abdul Aziz, Al-Imam al-Hasan bin
Yasar al-Bashri, al-Imam Muhamad bin Sirin, Imam Sufyan bin Sa’id al-Tsauri,
Imam Malik bin Anas dan lain.
Al-Asy’ari (260H/873M - 324H/935M) dan Al-Maturidi (260H/873M - 324H/935M)
Paham Qodariyah pada gilirannya nanti dijadikan sebagai paham resmi negara
pada Dinasti Abasiyah yang biasa dikenal dengan aliran Mu’tazilah, sebuah aliran
rasionalis hingga memposisikan akal melebihi Wahyu, dan segala sesuatu harus
sesuai dengan akal termasuk Wahyu, jika tidak sesuai meski Wahyu sekalipun
harus di tolak. Demi tegak nya paham ini bahkan dinasti Abasiyah memberlakukan
Mignah kepada para penentang paham Mu’tazilah tersebut. Pada saat gencarnya
aliran Mu’tazilah ini kemudian muncullah Ulama besar pada abad yang mulanya
pengikut sekaligus penjaga aliran Mu’tazilah yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari yang
keluar dari Mu’tazilah kemudian menjadi penjaga Sunah Nabi, Beliau
memproklamasikan kembali pada “maa anna alaihi wa ashabihi” sebuah
kelompok dimana Rasulullah dan para Sahabat berada di dalamnya. Nah paham
tengah ini yang merujuk kepada maa alaihi wa ashabihi yang kemudian oleh Abu
Hasan Al Asy’ari ini disebut sebagai Ahlussunah wal Jama’ah, Ulama yang
sezaman dengan corak idiologi yang sama dengan Asya’ri juga diakui sebagai
penjaga Sunah Nabi yang lain adalah Abu Mansur Al-Maturidi.
Kemudian dalam bidang Fiqih lahirlah ulama-ulama besar yang merumuskan fiqih
dengan mendasarkan kepada Ahlussunah, artinya kepada kebiasaan-kebiasaan
Rasulullah dan para Sahabat (para Sahabat itu artinya wal Jama’ah) seperti Imam
Abu Hanifah, kemudian Imam Malik, Imam Syafi’i, kemudian Imam Ahmad bin
Hanbal yang merupakan korban dari kekuasaan Bani Abassiyah ketika
mengharuskan warganya menggunakan aliran yang dikembangkan oleh
Mu’tazilah dalam bidang Fiqih. Dan masih banyak imam-imam yang lain tetapi
yang paling kita kenal adalah ini, yang kita sebut dengan empat madzhab.
Sehingga orang Ahlussunah wal Jama’ah sering dikatakan: “orang Islam yang
secara teologi(aqidah) mengikuti ijthad Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al
Maturidi dan secara Fiqih mengikuti ijtihad salah satu madzhab yang empat yaitu
Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Maliki kemudian
dalam bidang tasawuf mengikuti ijtihad ulama besar Imam Al Ghazali dan al-
Junaydi .
Istilah Aswaja kemudian secara lebih spesifik pada abad ke XIV sampai sekarang
digunakan untuk istilah para pengikut Abu Hasan Al-Asy’ri dan Abu Mansur Al-
Maturidi sebagaimana di sebutkan oleh Al-Murtadho Al-Zabidi Sebagai Berikut:
‫إذا أطلق أهل السنة والجماعة فالمراد بهم األشاعرة والماتردية‬
Ketika diucapkan secara mutlak istilah Ahlussunnah wal Jama'ah, maka yang
dikehendaki mereka ialah kelompok penganut paham Al-'asy'ari dan Al-Maturidi.
Perkembangan ASWAJA di Indonesia.
Menilik perjalanan ASWAJA sebagai sebuah pola berfikir dan bertindak adalah
tidak lepas dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia, dengan corak ke-sunni-
annya (Ahlussunah Wal Jama’ah). Di mana ulama sunni, baik dari cina, India,
maupun timur tengah sambil berdagang mampu menyebarkan Islam ala Sunni,
dengan prinsip moderat-nya, sehingga Islam bisa diterima masyarkat pribumi
dengan elegan tanpa paksaan dan kekerasan. Islam mampu berdialektika dengan
budaya lokal yang sudah berkembang, Hindu, Budha, Animisme, Dinamisme, dan
adat Istiadat masyarakat Indonesia lainnya. Begitu pula yang dilakukan oleh para
Wali Songo, mereka mampu meng-islam-kan Jawa dengan wajah moderatnya.
Artinya sebenarnya model Islam yang seperti itulah, (sunni, moderat,
mengedepankan maslahah, menghilangkan madlarat) yang sejak awal
berkembang dan bisa diterima oleh masyarkat Indonesia. Sehingga nilai Islam
sebagai Agama Universal (rahmatan lil ‘alamin) menjadi kelihatan semakin nyata.
Model Islam sunni/Islam ASWAJA inilah yang kemudian mendorong lahirnya
ornganisasi kemasyarakatan yang ber-visi sosil-keagamaan, yakni Nahdlatul
Ulama’ (NU), yang sampai sekarang memegang teguh identitas tersebut sebagai
senuah Nilai, idiologi, dan doktrin kedisiplinan kaum ASWAJA di Indonesia. dan
PMII adalah bagi dari dinamika perkembangan ke-NU-an di kalangan pemuda,
terutama Mahasiswa (simak sejarah lahirnya PMII).Pada perkembangan
berikutnya lahirlah doktrin ASWAJA an-Nahdliyah yang dimotori oleh (alm.) K.H.
Hasyim Asy’ari (Ra’is Akbar NU pertama). Dengan secara tekstual menjadikan al-
Qur’an dan al-Hadits sebagai landasan utamanya. Serta fiqih/usul fiqih (Ijama’ dan
Qiyas, serta maslahatul mursalah) sebagai landasan kontekstualnya, sehingga dari
kedua landasan tersebut, lahir dialektika antara teks dan konteks dalam
mengambil keputusan, tindakan, pemikiran, dll. Maka tidak ada lain pola fikir yang
dikedepankan adalah menolak bahaya (madlarat), mendatangkan kebaikan
(maslahah). Dengan mengedepankan prinsip umum “al-muhafadzotu alaa qodimi
al-sholikh, wal akhdzu bi al-jadiidil aslakh”, Yakni menjaga tradisi lama yang baik,
dan mengembangkan (kreatif) sesuatu baru yang lebih baik”.
Aswaja sebagai Manhajul Fikr dan Manhaj At-Taghayyur al-Ijtima’i
Dari sinilah maka kemudian PMII juga memaknai Aswaja sebagai manhaj tagayyur
al ijtima;i yaitu pola perubahan yang berdimensi sosial-kemasyarakatan-
kemanusiaan yang sesuai dengan nafas perjuangan rasulullah yang dilanjutkan
para sahabat penerusnya sampai diera kontemporer. Yang mana metode ini tidak
hanya tetumpu pada aspek fiqih dan usul fikih saja, namun memodifikasikannya
dengan keilmuan yang lain baik itu datangnya dari para pemikir muslim ataupun
non-muslim dengan tetap mempertahankan dimensi historisitas dari keilmuan
fiqih dan juga barang tentu teologi dan tasawuf yang disusun beberapa abad
tahun yang lalu untuk diajarkan terus menerus pada era sekarang setelah
permasalahan zaman terus berevolusi.
Kemudian, rangkaian histories-empiris-fleksibilitas epistemologi dan metodologi
yang sesuai situasi politik dan sosial yang meliputi masyarakat muslim waktu itu.,
mulai dari Rasulullah sampai manhaj at-taghayyur al-ijtima’I yang terbingkai
dalam landasan (al-tawassuth) netral/proporsional (al-Tawazun), keadilan (al-
Ta’adul) dan toleran (al-Tasamuh). itulah yang oleh PMII dimaknai Aswaja sebagai
manhajul fikr yaitu metode berpikir yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan
tabi’in yang sangat erat kaitannya dengan situasi politik dan sosial yang meliputi
masyarakat muslim waktu itu.
Dari manhajul fikr inilah lahir pemikiran-pemikiran keIslaman baik di bidang
aqidah, syari’ah, maupun akhlaq/tasawuf, dan barang tentu juga ilmu-ilmu sosial
humaniora walaupun beraneka ragam tetap berada dalam satu ruh. Inti yang
menjadi ruh dari Aswaja baik sebagai manhajul fikr maupun manhaj taghayyur al-
ijtima’i adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah : ma ana ‘alaihi wa
ashabi (segala sesuatu yang datang dari rasul dan para sahabatnya.
Jadi, Benang merah yang bisa ditarik dari manhaj al-fikr para Imam dan pemikir
tersebut adalah sebuah metode berfikir yang “eklektik” (mencoba mencari titik
temu dari sekian perbedaan dengan pembacaan jeli, sampai melahirkan tawaran
alternatif). Dan posisi pemikiran mereka dalam dialektika pemikiran dan kuasa
maknanya baik kebebasan berpikir, berucap, bertindak/bersikap, berhubungan,
barmasyarakat, berberbangsa dan bernegara selalu terbingkai dalam landasan;
(al-tawassuth) netral/proporsional (al-Tawazun), keadilan (al-Ta’adul) amarma’ruf
nahi munkar, istiqamah dan toleran (al-Tasamuh).
Argumen ini kemudian menjadi dasar pijak untuk tidak terlalu mempersoalkan
apakah yang diadopsi itu barasal dari epistemologi yang berlatang belakang
sebagaimana Qonun Asasi atau dari luar Qanun Asai tersebut, seperti mu’tazilah,
khawarij, syiah dan lain-lainnya. Bahkan barang tentu metode ilmu-ilmu sosial
humanistic yang datang dari barat. Yang dalam hal ini focus utamanya adalah
sejauh mana metodologi-metodologi itu dapat diimplementasikan secara nyata
dan memberi manfaat kapada umat manusia secara universal.

3. Landasan (bingkai) dan prinsip dasar Aswaja

Dalam Arus Sejarah

1. Tawassuth
Tawassuth bisa dimaknai sebagai berdiri di tengah, moderat, tidak ekstrim (baik
ke kanan maupun ke kiri), tetapi memiliki sikap dan pendirian. Khairul umur
awsathuha (moderat adalah sebaik-baik perbuatan). Tawassuth merupakan
landasan dan bingkai yang mengatur bagaimana seharusnya kita mengarahkan
pemikiran kita agar tidak terjebak pada pemikiran agama an sich. Dengan cara
menggali&meelaborasi dari berbagai metodologi dari berbagai disiplin ilmu baik
dari Islam maupun barat. Serta mendialogkan agama, filsafat dan sains.

2. Tasamuh
Tasamuh adalah toleran, tepa selira. Sebuah landasan dan bingkai yang
menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri.
Nilai yang mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam hidup sehari-hari,
khususnya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Tujuan akhirnya
adalah kesadaran akan pluralisme atau keragaman, yang saling melengkapi bukan
membawa kepada perpecahan. Dalam kehidupan beragama, tasamuh
direalisasikan dalam bentuk menghormati keyakinan dan kepercayaan umat
beragama lain dan tidak memaksa mereka untuk mengikuti keyakinan dan
kepercayaan kita. Dalam kehidupan bermasyarakat, tasamuh mewujud dalam
perbuatan-perbuatan demokratis yang tidak mengutamakan kepentingan pribadi
di atas kepentingan bersama. Dan setiap usaha bersama itu ditujukan untuk
menciptakan stabilitas masyarakat yang dipenuhi oleh kerukunan, sikap saling
menghargai, dan hormat-menghormati. Di berbagai wilayah, tasamuh juga hadir
sebagai usaha menjadikan perbedaan Agama, Negara, ras, suku, adat istiadat, dan
bahasa sebagai élan dinamis bagi perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Perbedaan itu berhasil direkatkan oleh sebuah cita-cita bersama untuk
membentuk masyarakat yang berkeadilan, keanekaragaman saling melengkapi.
Unity in diversity.

3. Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan dalam bergaul dan berhubungan, baik yang
bersifat antar individu, antar struktur sosial, antara Negara dan rakyatnya,
maupun antara manusia dan alam. Keseimbangan di sini adalah bentuk hubungan
yang tidak berat sebelah (menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak
yang lain). Tetapi, masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai
dengan fungsinya tanpa mengganggu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang
diharapkan adalah terciptanya kedinamisan hidup.

4. Ta’adul/‘Adalah
Yang dimaksud dengan ta’adul adalah keadilan, yang merupakan ajaran universal
Aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan
landasan ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan sosial.
Yaitu landasani kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi,
budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sejarah membuktikan bagaimana Nabi
Muhammad mampu mewujudkannya dalam masyarakat Madinah. Bagitu juga
Umar bin Khattab yang telah meletakkan fundamen bagi peradaban Islam yang
agung.
Keempat landasan tersebut dalam prosesnya harus berjalan bersamaan dan tidak
boleh ada dari satupun bingkai ini tertinggal. Karena jika yang satu tidak ada maka
Aswaja sebagai MAnhaj fikr akan pincang.

 Implementasi Landasan Aswaja dalam konteks Gerakan


Aswaja sebagai manhaj fikr dan manhaj taghayyur al-ijtima’ bisa kita tarik dari
nilai-nilai perubahan yang diusung oleh Nabi Muhammad dan para sahabat ketika
merevolusi masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang tercerahkan oleh
nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan universal. Ada dua hal pokok yang menjadi
landasan perubahan itu :
 Basis epistemologi, yaitu cara berfikir yang sesuai dengan kebenaran qur’ani dan
sunnah nabi yang diimplementasikan secara konsekwen dan penuh komitmen
oleh para pemikir dalam historisitas asawaja yang terbingkai dalam enam poin
tersebut.
 Basis realitas, yaitu Dialektika antara konsep dan realita yang selalu terbuka
untuk dikontekstualkan sesuai dinamika perubahan dan lokalitas serta
keberpihakan kepada kaum tertindas dan masyarakat lapisan bawah.
Dua basis ini terus menjadi nafas perubahan yang diusung oleh umat Islam yang
konsisten dengan aswaja, termasuk di dalamnya PMII. Konsistensi di sini hadir
dalam bentuk élan dinamis gerakan yang selalu terbuka untuk dikritik dan
dikonstruk ulang, sesuai dengan dinamika zaman dan lokalitas. Dia hadir tidak
dengan klaim kebenaran tunggal, tetapi selalu berdialektika dengan realitas, jauh
dari sikap eksklusif dan fanatik. Maka empat landasan yang dikandung oleh
aswaja, untuk konteks sekarang harus kita tafsirkan ulang sesuai dengan
perkembangan teori-teori sosial dan ideologi-ideologi dunia.
Tawassuth harus kita maknai sebagai tidak mengikuti nalar kapitalisme-liberal di
satu sisi dan nalar sosialisme di sisi lain. Kita harus memiliki cara pandang yang
otentik tentang realitas yang selalu berinteraksi dalam tradisi. Pemaknaannya ada
dalam paradigma yang dipakai oleh PMII yaitu paradigma kritis transformatif.
Walaupun dalam kerangka konseptual Aswaja menekan pandangan yang sangat
moderat, itu tidak bisa diartikan secara serampangan sebagai sikap sok bijak dan
mencari selamat serta cenderung oportunis. Tetap ada prinsip-prinsip dasar yang
harus dipegang dalam Aswaja. Selengkapnya lihat tabel:
Aqidah Sosial/Politik Istinbath al-ahkam
• Uluhiuat
• Nubuwat
• al-Ma’ad
(Eskatologis) • Al-Syura
• Al-Adl
• Al- Hurriyah
• Al-Musawah
• Ilimu sosial humaniora • Al-Qur’an
• Al-Hadits
• Al-Ijma’
• Al-Qiyas
• Ilimu sosial humaniora
Jadi misalnya, dalam Aswaja tidak ditekankan bentuk negara macam apayang
dibentuk: republik, Federal, Islam atau apa pun. Akan tetapi bagi Aswaja apa pun
bentuk negaranya yang terpenting prinsip-prinsip di atas teraplikasikan oleh
pemerintah dan segenap jajarannya. Sekaligus, juga Aswaja tidak melihat apakah
pemimpin itu muslim atau bukan asal bisa memenuhi prinsip di atas.
Tasamuh harus kita maknai sebagai bersikap toleran dan terbuka terhadap semua
golongan selama mereka bisa menjadi saudara bagi sesama. Sudah bukan
waktunya lagi untuk terkotak-kotak dalam kebekuan golongan, apalagi agama.
Seluruh gerakan dalam satu nafas pro-demokrasi harus bahu membahu
membentuk aliansi bagi terbentuknya masyarakat yang lebih baik, bebas dari
segala bentuk penindasan dan penjajahan. PMII harus bersikap inklusif terhadap
sesama pencari kebenaran dan membuang semua bentuk primordialisme dan
fanatisme keagamaan.
Tawazun harus dimaknai sebagai usaha mewujudkan egalitarianisme dalam ranah
sosial, tidak ada lagi kesenjangan berlebihan antar sesama manusia, antara laki-
laki dan perempuan, antara kelas atas dan bawah. Di wilayah ekonomi PMII harus
melahirkan model gerakan yang mampu menyeimbangkan posisi Negara, pasar
dan masyarakat. Berbeda dengan kapitalisme yang memusatkan orientasi
ekonomi di tangan pasar sehingga fungsi negara hanya sebagai obligator belaka
dan masyarakat ibarat robot yang harus selalu menuruti kehendak pasar; atau
sosialisme yang menjadikan Negara sebagai kekuatan tertinggi yang mengontrol
semua kegiatan ekonomi, sehingga tidak ada kebebasan bagi pasar dan
masyarakat untuk mengembangkan potensi ekonominya. Di wilayah politik, isu
yang diusung adalah mengembalikan posisi seimbang antara rakyat dan negara.
PMII tidak menolak kehadiraan negara, karena Negara melalui pemerintahannya
merupakan implementasi dari kehendak rakyat. Maka yang perlu dikembalikan
adalah fungsi negara sebagai pelayan dan pelaksana setiap kehendak dan
kepentingan rakyat. Di bidang ekologi, PMII harus menolak setiap bentuk
eksploitasi alam hanya semata-mata demi memenuhi kebutuhan manusia yang
berlebihan. Maka, kita harus menolak nalar positivistik yang diusung oleh neo-
liberalisme yang menghalalkan eksploitasi berlebihan terhadap alam demi
memenuhi kebutuhan bahan mentah, juga setiap bentuk pencemaran lingkungan
yang justru dianggap sebagai indikasi kemajuan teknologi dan percepatan
produksi.
Ta’adul sebagai keadilan sosial mengandaikan usaha PMII bersama seluruh
komponen masyarakat, baik nasional maupun global, untuk mencapai keadilan
bagi seluruh umat manusia. Keadilan dalam ranah ekonomi, politik, sosial,
budaya, pendidikan, dan seluruh ranah kehidupan. Dan perjuangan menuju
keadilan universal itu harus dilaksanakan melalui usaha sungguh-sungguh, bukan
sekadar menunggu anugerah dan pemberian turun dari langit.
Kemudian dari keempat landasan (bingkai) dan prinsip dalam hal perubahan inilah
yang menurunkan Nilai-nilai pergerakan.
Catatan Akhir :
Berdasarkan uraian diatas, kita dapat memahami bahwa Aswaja sebagia manhajul
fikr dalam Historisitasnya berusaha dengan sungguh-sungguh menyusun agenda
metodologis yang sesuai dengan perubahan zaman dengan mencoba
menggabungkan dari berbagai metodologi-ulama pada zaman sekarang dan
sebelumnya. Dengan melacak akar historisnya, karena sejarah adalah sistem yang
membangun masa kini dan yang akan datang. Metodologi yang dimaksud disini
adalah menjadikan al-Qur’an, hadits dan metodologi-ulama baik dari Timur
maupun barat sebagai kerangka Epistemologi dan Aksiologi bagi kader PMII dalam
menafsirkan dan mentransformasikan realitas. Sehin
gga epistemologi ini tampak abstrak karena terdapat berbagai varian metodologi
yang kesemuanya masih dalam Lingkup Aswaja dan sulit ditemukan benang
merahnya. Bahkan sampai sekarang, metodologi tersebut belum ditemukan. Hal
ini berbeda ketika Aswaja sebagai manhaj mazhab, disini metolodogi sangat jelas
yakni berdasarkan metodologi yang disusun oleh para Imam Mazhab (Qonun
Asasi) semisal kaidah uul fiqh dan Qiyasnya Syafi;I, istihsanya maliki, masalaha
mursalah, dll. Sedangkan paradigmanya dan orientasinya adalah fiqh. Meski
dalam perjalanannya dianggap tidak relevan.
Maka menjadi tugas kita bersamalah untuk membuat satu tawaran alternatif
metodologi baru bagi ruh perjuangan PMII yang mampu mengkombinasikan
antara barat dan timur yang sesuai dengan konteks Masyarakat Indonesia pada
khusunya dan Umat muslim pada umumnya. Yang pada gilirannya Para kader
PMII khusunya di Jogjakarta tidak kebingungan dalam hal metodologi baik dalam
menafsirkan teks maupun membaca realitas dengan komitmen sosial yang tinggi.
Wallahu a’lam wi al-shawab.

Anda mungkin juga menyukai