Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

KESHAHIHAHN HADITS MUSLIM DAN BUKHORI


Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tafsir ayat Al-Qur’an dan Hadits Perdamaian
Dosen Pengampu : Muhammad Syaifuddin Zuhriy, M. Ag

Disusun Oleh:
Sri Nur Kayati 2204036006
Nailul Farhah 2204036015

STUDI AGAMA AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata shahih menurut bahasa dari kata shahha, yasihhu, suhhan wa shihhatan, yang
menurut bahasa berarti yang sehat, yang selamat, yang benar, yang sah, dan yang benar.
Para ulama biasa menyebut kata shahih itu sebagai lawan kata dari kata saqim (sakit). Maka
hadist shahih menurut bahasa berarti hadist yang sah, hadist yang sehat atau hadist yang
selamat. Hadist sahih di definiskan oleh ibnu Ash-Shaleh, sebagai berikut: “hadist yang di
sandarkan kepada nabi saw yang sanadnya bersambung, di riwayatkan oleh (perawi) yang
adil dan dhabit hingga sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan tidak berillat.”

Ibnu Hajar Al-Asqalani, mendefinisikan lebih ringkas yaitu: “hadist yang di riwayatkan
oleh orang-orang yang adil, sempurna kedzabitannya, bersambung sanadnya, tidak berillat,
dan tidak syadz.” Dari kedua pengertian di atas maka dapat di pahami bahwa hadist shahih
merupakan hadist yang di sandarkan ke Nabi Muhammad SAW. Sanadnya bersambung,
perawinya yang adil, kuat ingatannya atau keceerdasannya, dan tidak ada cacat atau rusak.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah semua hadits dalam shahih Al-Bukhori dan Muslim itu shahih?
2. Apa saja kriteria menetapkan hadits shahih?
3. Mengapa hadits Nabi dapat berbeda-beda?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apakah semua hadits dalam shahih Al-Bukhori dan Muslim itu
shahih atau tidak.
2. Untuk mengetahui apa saja kriteria dalam menetapkan hadits shahih.
3. Untuk mengetahui alasan mengapa hadits Nabi dapat berbeda-beda.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Keshahihan Hadits dalam Shahih al-Bukhori dan Muslim
Shahih merupakan salah satu terminologi yang digunakan sebagai penilaian derajat
Suatu hadist berdasarkan kualitas perawi. Secara bahasa, shahih berarti “sehat”, “yang
sehat”. Shahih menempati tingkatan pertama dari klasifikasi hadist ahad (tingkatan kedua
adalah hasan dan tingkatan ketiga adalah daif). Artinya, hadist yang shahih itu
mempunyai kualitas yang paling baik diantara hadist-hadsit ahad yang lainnya. Secara
umum, suatu hadist bisa dikatan sebagai hadist shahih jika memenuhi persyaratannya
yakni sanadnya bersambung dari awal hingga akhir, perawinya mempunyai kredabilitas
yang termanifestasikan dalam karakter ‘adalah (adil) dan dlabth (kuat hafalan) sementara
hadistnya terhindar dari syadz (janggal) dan ‘illah (cacat).

A. Hadist dalam Shahih al- bukhari nomor 115, di kitab Al-ilm tentang pembelaan
Abu Hurairah. Ini adalah hadist mauquf, bukan hadist marfuk, apalagi shahih.
B. Fath Al-Bari (1:47) mengomentari bahwa “iman itu perkataan dan perbuatan,
Bertambah dan berkembang” adalah ucapan para ulama di berbagai negeri
Sehingga jatuh pada hadis maktuk, bukan hadis marfuk apalagi shahih.

Imam Al-Nawawi dalam syarh shahih muslim juga berpendapat bawa tidak semua
Hadist dalam shahih muslim itu bernilai shahih. Syekh Al-Albani, yang dijadikan rujukan
oleh sebagian kawan, juga berpendapat serupa. Al-Albani menganggap daif pada hadist
dalam shahih muslim tentang pernyataan jika seorang makan dan minum sambil berdiri
lalu diperintah Nabi SAW. Untuk memuntahkan makan dan minum tersebut.

Walaupun begitu, harus diakui secara umum, hadist-hadist yang terdapat dalam
shahihain (shahih al-bukhari dan shahih muslim) bernilai shahih. Karena penilainannya
bersifat umum (aghlabiyah), penelitian ini secara khusus akan kedudukan satu hadist
dalam shahihain harus dilakukan. Maksud saya, sering kali kita langsung menganggap
shahih suatu hadist hanya karena diriwayatkan dalam dua kitab ini dan menganggap
hadist daif karean sejenis yang terdapat dalam kitab lain (sunan ibn majah, misalnya).
padahal belum tentu riwayat yang sampai pada ibnu majah itu lebih jelek ketimbang yang
di terima Al-Bukhari. Bahkan, boleh jadi, satu hadist dalam Sunan Al-Tirmidzi lebih valid
ketimbang dalam shahih muslim. Secara teori ‘ulum al-hadist, hal ini di benarkan.

B. Kriteria Hadits Shahih

Secara etimologi, kata shahih berarti sehat. Maka dapat dimaknai juga sebagai hadits
yang sehat, selamat, benar, sah dan sempurna. Mayoritas ahli hadits dalam
mendefinisikan hadits shahih menggunakan pengertian yang dikemukakan oleh Ibn Al-
Shalah yaitu, hadits shahih adalah hadits musnad yang bersambung isnadnya, yang
diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adl dan shabith sampai akhir sanad, dan tidak terdapat
kejanggalan (syadz) dan cacat (illat).
Semua ulama sepakat bahwa salah satu unsur kesahahihan hadits adalah apabila
diriwayatkan oleh perawiyang adil (‘adalah). Meskipun begitu, apa saja syarat-syarat
seorang perawi dapat dinyatakan adil? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Imam
Al-Hakim berpendapat bahwa mereka yang disebut adil itu memiliki kriteria sebagai
berikut; beragama Islam, tidak berbuat bid’ah dan tidak berbuat maksiat. Sementara itu,
Imam Al-nawawi berpendapat bahwa kriteria adil adalah mereka yang beragama Islam,
baligh, berakala, memelihara muruah (kehormatan atau harga diri) dan tidak fasik.1
Unsur lain yang menjadi perdebatan adalah masalah bersambungnya sanad sebagai
salah satu kriteria keshahihan suatu hadits. Imam Bukhori telah mempersyaratkan
kepastian bertemunya perawi dan gurunya paling tidak satu kali. Sementara Imam
Muslim hanya mengisyaratkan “kemungkinan” bertemunya perawi dan gurunya, bukan
kepastian betul-betul bertemu.
Al-Khatib juga memuat kriteria keshahihan hadits dalam kitabnya yaitu Al-Kifayah.
Namun, kriteria keshahihan hadits yang disebutkannya belum terformulasi secara jelas
dan tegas, serta belum tersistimatisir dengan baik. Kriteria ke-shahih-an sanad hadits
menurut Al-Khatib Al-Bahgdadi berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh para ahli
hadits yaitu sebagai berikut; sanad bersambung, periwayatnya bersifat adl, periwayat
bersifat dhabit.2
C. Alasan Hadits Nabi Berbeda-beda
Banyak hadits nabi yang memiliki redaksi yang berbeda-beda. Dalam hadits yang
sering kita temui memiliki makna yang sama namun berbeda-beda dalam matan (redaksi)
nya. Hal ini bisa saja terjadi karena ketika Rasul menyampaikan suatu hal yang berbeda
dalam dua riwayat, kadang kala juga sebuah hadits itu dalam jalur riwayat yang berbeda
dengan jalur riwayat lain.3
Perlu diketahui ketika Rasulullah berbicara, para sahabat memberitakan bahwa beliau
berbicara sangat jelas dengan bahasa yang indah dan sering mengulang kalimat-kalimat
yang diucapkan beliau lebih dari sekali yang menjadikan ucapan beliau mudah dihafal.
Meskipun begitu tentu saja ada ucapan beliau yang redaksinya tidak sepenuhnya sama
dengan apa yang beliau ucapkan, apalagi melihat kemampuan menghafal dan menangkap
makna urain antar para sahabat berbeda-beda. Oleh karena itu para sahabat berusaha
menyampaikan sepenuhnya apa yang mereka dengar dari Rasulullah, walaupun
kenyataannya tidak sedikit dari apa yang mereka sampaikan hanya meriapakan makna
dari apa yang diucapkan oleh Rasulullah, yakni tidak sepenuhnya sama dengan redaksi
yang beliau gunakan.4

1
Nadirsyah Hosen, Saring Sebelum Sharing (Yogyakarta: PT Bentang Pustaka, 2019) cet. 1, hlm. 8
2
Agus, “Kriteria Ke-shahih-an Hadis menurut Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Kitab Al-Kifayah Fi’ilm Al-Riwayah,”
Jurnal Ushuluddin, Vol. 24, No. 2 (2016) hlm. 168
3
NU online, “Jika ada Hadits yang Berbeda, apakah Secara Otomatis Bertentangan?” https://islam.nu.or.id/ilmu-
hadits/jika-ada-hadits-yang-berbeda-apakah-secara-otomatis-bertentangan-9NY2w diakses pada 30 Maret 2023
4
Hidayatuna.com “Mengapa Banyak Hadits Nabi yang Berbeda Redaksi?” https://hidayatuna.com/mengapa-
banyak-hadis-nabi-yang-berbeda-redaksi/ diakses pada 1 April 2023
Dari sini dapat kita temukan perbedaan-perbedaan redaksi hadits antara seorang
perawi dan perawi lainnya atau ada yang menyampaikan secara sempurna namun ada
yang lupa beberapa bagian. Meski begitu, perbedaan tersebut sangat kecil dan biasanya
hanya dalam satu atau dua kata, begitupun dengan makna yang sama atau mirip.
KESIMPULAN
Tidak semua hadits dalam shahih Bukhori dan shahh Muslim itu shahih. Walaupun secara
umum, hadits-hadits di dalam shahih Bukhori dan shahih Muslim itu bernilai shahih. Kriteria
hadits shahih sendiri antara lain yaitu, perawi yang adil, bersambungnya sanad, periwayatnya
bersifat dhabit seperti yang dikemukakan oleh Al-Khatib Al-Bahgdadi berdasarkan standar yang
telah ditetapkan oleh para ahli hadits. Walaupun hadits-hadits Nabi banyak memiliki perbedaan
dalam redaksinya karena perbedaan kemampuan para sahabat dalam menyampaikan dan
menghafal. Meski begitu, perbedaan tersebut sangat kecil dan biasanya hanya dalam satu atau
dua kata, begitupun dengan makna yang sama atau mirip.
DAFTAR PUSTAKA
Hosen, Nadirsyah. Saring Sebelum Sharing (Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2019) cet. 1
Agus, “Kriteria Ke-shahih-an Hadis menurut Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Kitab Al-Kifayah
Fi’ilm Al-Riwayah,” Jurnal Ushuluddin, Vol. 24, No. 2 (2016)
NU online, “Jika ada Hadits yang Berbeda, apakah Secara Otomatis Bertentangan?”
https://islam.nu.or.id/ilmu-hadits/jika-ada-hadits-yang-berbeda-apakah-secara-otomatis-
bertentangan-9NY2w diakses pada 30 Maret 2023

Hidayatun.com “Mengapa Banyak Hadits Nabi yang Berbeda Redaksi?”


https://hidayatuna.com/mengapa-banyak-hadis-nabi-yang-berbeda-redaksi/ diakses pada 1 April
2023

Anda mungkin juga menyukai