Anda di halaman 1dari 3

PENTINGNYA MODERASI

BERAGAMA DALAM
MENINGKATKAN PERDAMAIAN
Nama: Ilham Maulana R.
NIM: NIM:2204036017
Prodi: Studi Agama-Agama
Mata kuliah: Islam dan Moderasi Beragama
Pengampu: Thiyas Tono Taufiq S.Th.I. M.Ag
Kelas: SAA A1

Moderasi berasal dari Bahasa Inggris yaitu kata “moderation”, yang bermakna sikap
sedang dan tidak berlebih-lebihan. Kita mengenali istilah “moderator”, yang bermakna ketua,
pelerai, penengah. Secara lebih luas moderator dipahami sebagai orang yang bertindak sebagai
penengah,pemimpin sidang yang menjadi pengarah pada acara pembicaraan atau pendiskusian
masalah, alat pada mesin yang mengatur atau mengontrol aliran bahan bakar atau sumber tenaga.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “moderasi” dengan penghindaran kekerasan
atau penghindaran keekstreman. Sikap moderat dalam banyak hal memang baik dan diinginkan,
sementara ekstremisme dianggap menjadi sumber banyak masalah. Yang diperlukan untuk
mengatasi konflik sebenarnya adalah pembangunan relasi dan kerja sama. Sementara itu,
moderasi beragama justru bisa berpotensi mempertajam pembelahan karena label “moderat” dan
“tidak moderat”. Lagi pula, orang tidak harus menjadi moderat untuk bisa bekerja sama dan
orang moderat belum tentu bisa bekerja sama.
Moderasi beragama adalah sebuah cara pandang atau sikap dan praktik beragama yang
mengamalkan esensi ajaran-ajaran agama yang pada hakikatnya mengandung nilai-nilai
kemanusiaan dan menebarkan kemaslahatan bersama. Penguatan moderasi beragama di
Indonesia saat ini penting dilakukan didasarkan fakta bahwa Indonesia adalah bangsa yang
sangat majemuk dengan berbagai macam suku, bahasa, budaya dan agama. Indonesia juga
merupakan negara yang agamis walaupun bukan negara berdasarkan agama tertentu. Hal ini bisa
dirasakan dan dilihat sendiri dengan fakta bahwa hampir tidak ada aktivitas keseharian
kehidupan bangsa Indonesia yang lepas dari nilai-nilai agama. Keberadaan agama sangat vital di
Indonesia sehingga tidak bisa lepas juga dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama sendiri
merupakan sesuatu yang sudah sempurna karena datangnya dari Tuhan yang Maha Sempurna.
Namun cara setiap orang dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama memiliki perbedaan.
Hal ini karena keterbatasan manusia dalam menafsirkan pesan-pesan agama sehingga muncul
keragaman. Ada dua hal yang menjadi prinsip dan ciri moderasi beragama yang pada hakikatnya
merupakan ajaran agama itu sendiri. Pertama adalah adil yakni harus melihat secara adil dua
kutub yang ada dan kedua adalah berimbang dalam melihat persoalan yang ada. Artinya
memahami teks harus sesuai dengan konteks, memahami konteks harus sesuai dengan teks. Jika
pemahaman dan penafsiran yang muncul tidak sesuai dengan nilai-nilai agama tentu akan
terjebak pada pemahaman yang berimplikasi pada tindakan yang berlebih-lebihan. Inilah yang
kemudian dinamakan sebagai beragama yang ekstrem. Dalam Pasal 29 Undang-undang 1945
ditegaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Ide tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) sebetulnya telah ada sejak
Indonesia merdeka. UUD 1945 menjanjikan, “Kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Setelah 1998, konsep ini muncul lebih kuat sebagai bagian dari hak-hak asasi manusia dalam UU
HAM (1999) maupun Amandemen UUD 1945 (Pasal 28E Ayat 1 dan 2). Salah satu asas
terpenting kebebasan beragama—yaitu nondiskriminasi atas dasar agama atau kepercayaan—pun
muncul dalam banyak UU atau peraturan. Dalam Pasal 29 Undang-undang 1945 ditegaskan
bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu. Pasal ini menjadi dasar dan amanah agar negara menjamin kemerdekaan
terhadap dua hal yakni kebebasan memeluk agama dan kebebasan beribadah sesuai kepercayaan.
Indonesia sendiri memiliki relasi yang khas antara agama dengan negara. Indonesia bukan
negara sekuler dan juga bukan negara agama yang berdasar pada agama tertentu. Sehingga
negara memposisikan diri terhadap agama pada tiga ranah yakni pertama menjamin
kemerdekaan terhadap dua hal yakni kebebasan memeluk agama dan kebebasan beribadah sesuai
kepercayaan
Moderasi beragama merupakan usaha kreatif untuk mengembangkan suatu sikap
keberagamaan di tengah berbagai desakan ketegangan, seperti antara klaim kebenaran absolut
dan subjektivitas, antara interpretasi literal dan penolakan yang arogan atas ajaran agama, juga
antara radikalisme dan sekularisme. Komitmen utama moderasi beragama terhadap toleransi
menjadikannya sebagai cara terbaik untuk menghadapi radikalisme agama yang mengancam
kehidupan beragama dan pada gilirannya, berimbas terhadap kehidupan persatuan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Apabila istilah moderasi digabungkan dengan agama
dan sikap dalam beragama maka menjadi moderasi beragama yang bermakna “Sikap mengurangi
kekerasan, atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama”. Istilah ini merujuk kepada
sikap dan upaya menjadikan agama sebagai dasar dan prinsip untuk selalu menghindarkan
perilaku atau pengungkapan yang ekstrem (radikalisme) dan selalu mencari jalan tengah yang
menyatukan dan membersamakan semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara,
dan berbangsa Indonesia. Dalam beragama kita tidak boleh terlalu “ekstrim” baik ke kiri ataupun
ke kanan. Apalagi dalam konteks keindonesiaan yang multi kultur dan plural, moderasi menjadi
sebuah keniscayaan menurut mereka.
Dalam moderasi beragama, kita harus bisa mengambil sikap netral untuk bisa menjadi
pelerai apabila terjadi kericuhan antar agama, karena kekerasan dalam beragama dapat berakibat
buruk bagi umat beragama itu sendiri dalam berbagai aspek kehidupan. Kekerasan dalam
beragama biasanya timbul dikarenakan adanya aliran-aliran radikal yang menjadi paham didalam
suatu umat beragama, menurut Khammami aliran radikal timbul karena dua faktor yaitu faktor
internal dari dalam umat beragama karena adanya penyimpangan norma agama dengan
pemahaman agama yang terlalu sempit dan formalistik dan bersifat kaku dalam memahami suatu
ajaran. Faktor kedua yaitu berasal dari kondisi eksternal diluar umat beragama yang disebabkan
oleh kondisi lingkungan yang terdapat disekitar mereka.
Kembali kepada makna moderasi beragama, sejatinya Islam telah sempurna dan lengkap
sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al-Maidah:3 “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi
agama bagimu”. Merujuk pada ayat ini maka Islam sudah sempurna, mengatur seluruh sendi
kehidupan manusia termasuk dalam sikap beragama. Baik sikap beragama secara individual,
komunal dan kemasyarakatan. Demikian pula sikap beragama dengan sesama Islam serta dengan
pemeluk agama lainnya, Islam telah mengatur semuanya. yang terutama menjadi target
moderasi beragama adalah sikap individu. Dalam kebijakan-kebijakan terkait terorisme dan
ekstremisme beberapa tahun terakhir ini, kerap muncul asumsi bahwa sumber utama
permasalahan adalah pemikiran seseorang yang dianggap tidak moderat. Padahal, penyebab
persoalan-persoalan itu bersifat multidimensi. Karenanya, penekanan pada satu dimensi
moderasi jelas tidak akan efektif.
kesimpulannya adalah bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, tidak boleh
setiap muslim meyakini ada kebenaran dalam agama lain. Namun, sebagai muslim kita juga
harus menghormati agama dan kepercayaan orang lain dengan tidak mengganggu mereka untuk
beribadah serta tidak mencampuri urusan agama lain.

Anda mungkin juga menyukai