Anda di halaman 1dari 11

KARYA TULIS ILMIAH

MODERASI BERAGAMA SEBAGAI PEREKAT DAN


PEMERSATU BANGSA UNTUK MENJAGA
MARTABAT KEMANUSIAAN

DISUSUN OLEH:
Nama :Latifah Nur Solikah
Kelas :VII-i
No :19

MTS NEGERI 1 PURWOREJO


2022
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penguatan moderasi beragama menjadi salah satu indikator utama sebagai
upaya membangun kebudayaan dan karakter bangsa. Moderasi beragama juga menjadi
salah satu prioritas di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2020-2024 Kementerian Agama. Dalam konteks keIndonesiaan, moderasi beragama
dapat dijadikan sebagai strategi kebudayaan untuk merawat Indonesia yang damai,
toleran dan menghargai keragamaan. Moderasi Beragama adalah cara hidup untuk
rukun, saling menghormati, menjaga dan bertoleransi tanpa harus menimbulkan
konflik karena perbedaan yang ada. Dengan penguatan moderasi beragama diharapkan
agar umat beragama dapat memposisikan diri secara tepat dalam masyarakat
multireligius, sehingga terjadi harmonisasi sosial dan keseimbangan kehidupan sosial.
Keberhasilan Moderasi Beragama dalam kehidupan masyarakat Indonesia
dapat terlihat dari tingginya empat indikator utama berikut ini serta beberapa indikator
lain yang selaras dan saling bertautan: Pertama, Komitmen kebangsaan. Penerimaan
terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi: Pancasila, UUD
1945 dan regulasi di bawahnya Kedua,  Toleransi. Menghormati perbedaan dan
memberi ruang orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan
menyampaikan pendapat. Menghargai kesetaraan dan sedia bekerjasama.
Ketiga,  Anti kekerasan. Menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang
menggunakan cara-cara kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, dalam mengusung
perubahan yang diinginkan. Keempat,  Penerimaan terhadap tradisi. Ramah dalam
penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak
bertentangan dengan pokok ajaran agama
Urgensi moderasi beragama dalam kehidupan beragama dan berbangsa antara
lain: memperkuat esensi ajaran agama dalam kehidupan masyarakat, mengelola
keragaman tafsir keagamaan dengan mencerdaskan kehidupan keberagamaan,
merawat Keindonesiaan dalam bingkai NKRI. Namun disamping itu juga ada
tantangan dalam implementasi moderasi beragama, antara lain: berkembangnya cara
pandang, sikap dan praktik beragama yang berlebihan (ekstrem), yang
mengesampingkan martabat kemanusiaan; berkembangnya klaim kebenaran subyektif
dan pemaksaan kehendak atas tafsir agama serta pengaruh kepentingan ekonomi dan
politik berpotensi memicu konflik; berkembangnya semangat beragama yang tidak
selaras dengan kecintaan berbangsa dalam bingkai NKRI.
Tantangan dalam implementasi moderasi beragama tersebut sangat
bersinggungan dengan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia.
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) sebagai bagian dari Hak Asasi
Manusia (HAM) merupakan hak mendasar yang melekat dalam diri setiap manusia.
Setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih dan menjalankan agama atau
keyakinannya sesuai hati nurani masing-masing tanpa harus dihantui oleh rasa takut
mendapatkan ancaman, tekanan, paksaan dari luar dirinya, serta juga bebas dari
adanya perlakuan diskriminatif—baik itu dilakukan oleh kelompok-kelompok
mayoritas keagamaan dalam masyarakat atau bahkan oleh negara.
Di Indonesia, kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin penuh oleh
konstitusi dan sejumlah konvensi yang telah diratifikasi dan disahkan oleh pemerintah
Indonesia menjadi undang-undang. Dalam UUD 1945 pasca amandemen pasal 28E
ayat (1) ditegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya”. Pasal 28E ayat (2) juga menegaskan “Setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”.
Sedangkan, pasal  28I ayat (1) dalam konstitusi berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurang dalam keadaan apapun”. Dalam pasal yang sama pada ayat (2) juga
masih menekankan semangat serupa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) memiliki landasan yuridis
yang cukup kuat dalam hukum di Indonesia. Pentingnya perlindungan dan pemenuhan
hak mengenai Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) ini sepenuhnya dapat
dimengerti mengingat Indonesia adalah negara yang majemuk terdiri dari banyak
agama dan aliran kepercayaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Selain itu,
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) juga dipandang dapat mendorong
sebuah kehidupan yang harmonis karena berperan penting dalam mengangkat dan
menghormati martabat manusia. Dengan sikap saling menghormati satu sama lain atas
nama kemanusiaan, keharmonisan dalam konteks kehidupan antar umat beragama dan
berkeyakinan akan menjadi landasan utama bagi terwujudnya kerukunan dalam
masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia.
Kerukunan yang dimaksud adalah dalam konteks dipenuhinya hak Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Mengingat Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan (KBB), dipandang dapat mendorong terciptanya kerukunan sosial
karena mengangkat dan menghormati martabat manusia. Selain itu, juga mengingat
bahwa keharmonisan dan kerukunan umat beragama dan berkeyakinan bukan kondisi
stagnan, tetapi bersifat dinamis dan sangat dipengaruhi serta tergantung dari berbagai
faktor. Selain faktor internal dan relasional dari pemeluk-pemeluk agama untuk selalu
menjaga keharmonisan dan kerukunan dalam hubungannya dengan pemeluk agama
lainnya, juga sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti perubahan kondisi sosial,
politik dan ekonomi
BAB II
INTI PEMBAHASAN
A. Pengertian Moderasi Beragama
1. Moderasi
Secara Bahasa
1) Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin Moderatio, yang memiliki arti “sedang”
(tidak berlebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti penguasaan diri (dari
sikap sangat kelebihan dan kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
menyediakan dua pengertian kata moderasi, yakni: 1. pengurangan kekerasan, dan
2. penghindaran keekstreman. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, kalimat
itu berarti bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak ekstrem.
2) Dalam bahasa Inggris, kata moderation sering digunakan dalam pengertian average
(ratarata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak berpihak). Secara
umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral,
dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika
berhadapan dengan institusi negara.
3) Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau
wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah),
i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang). Orang yang menerapkan prinsip wasathiyah
bisa disebut wasith. Dalam bahasa Arab pula, kata wasathiyah diartikan sebagai
“pilihan terbaik”. Apa pun kata yang dipakai, semuanya menyiratkan satu makna
yang sama, yakni adil, yang dalam konteks ini berarti memilih posisi jalan tengah
di antara berbagai pilihan ekstrem.
Secara Istilah
Pertama, moderasi adalah sikap dan pandangan yang tidak berlebihan, tidak
ekstrem dan tidak radikal (tatharruf). Berdasar dalam Q.s. al-Baqarah: 143 yang
merujuk pengertian bahwa moderasi di sini menjelaskan keunggulan umat Islam
dibandingkan umat lain. Dalam hal apa saja? Al-Qur'an mengajarkan keseimbangan
antara kebutuhan manusia akan sisi spiritualitas atau tuntutan batin akan kehadiran
Tuhan, juga menyeimbangkan tuntutan manusia akan kebutuhan materi. Disebutkan
dalam hadits, ada sekelompok orang mendatangi Nabi Muhammad untuk
menunjukkan bahwa mereka adalah orang kuat beribadah, sampai tidak menikah.
Nabi menjawab, yang benar adalah keseimbangan antara ibadah dan pemenuhan
materi. Itulah sunnah beliau. Dalam hal moral, al-Qur'an juga mengajarkan hal
keseimbangan, seperti menekankan sikap tidak berlebihan.
Seseorang tidak perlu terlalu dermawan dengan menyedekahkan hartanya
sehingga dia sendiri menjadi bangkrut dan tidak punya apa-apa. Tetapi, ia juga
jangan kikir dan terlalu pelit, sehingga hanya menjadi kaya sendiri, karena dalam
harta yang kita miliki terdapat harta bagi orang yang membutuhkan. Demikian,
pesan yang tersampaikan dalam ayat al-Qur'an. Kedua, moderasi adalah sinergi
antara keadilan dan kebaikan. Inti pesan ini diambil dari penjelasan para penafsir
al-Qur'an terhadap ungkapan ummatan wasathan. Menurut mereka, maksud
ungkapan ini adalah bahwa umat Islam adalah orang-orang yang mampu berlaku
adil dan merupakan orang yang berperilaku baik.
2. Beragama
Secara Bahasa
Beragama berarti menganut atau memeluk agama. Beragama itu menebar
kedamaian, menebar kasih sayang, kapanpun dimanapun dan kepada siapapun.
Beragama itu bukan untuk menyeragamkan keberagaman, tetapi untuk memahami
berbagai keberagaman dengan penuh kearifan. Agama hadir ditengah-tengah kita agar
harkat, derajat dan martabat kemanusiaan kita senantiasa terjamin dan terlindungi.
Oleh karena itu, jangan gunakan agama sebagai alat untuk menegasi dan saling
merendahkan dan meniadakan satu dengan yang lain. Maka dari itu, mari senantiasa
menebarkan kedamaian dengan siapapun, dimanapun dan kapanpun. Beragama itu
menjaga, menjaga hati, menjaga perilaku diri, menjaga seisi negeri dan menjaga jagat
raya ini.
Jadi Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara
moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem,
baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian
(hate speech), hingga retaknya hubungan antar umat beragama, merupakan problem
yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini.

B. Alasan Moderasi Beragama Perlu Diterapkan


Secara umum, alasan moderasi beragama perlu diterapkan khususnya di Indonesia
adalah karena keragaman dalam beragama itu niscaya, tidak mungkin dihilangkan.
Jika dielaborasikan lebih lanjut ada tiga alasan utama mengapa moderasi beragama
perlu diterapkan:
a. Pertama, moderasi beragama menjadi cara untuk mengembalikan praktik
beragama agar sesuai dengan esensinya, dan agar agama benarbenar berfungsi
menjaga harkat dan martabat manusia.
b. Kedua, moderasi agama penting untuk menyelamatkan peradaban manusia agar
tidak musnah akibat konflik berlatar belakang agama.
c. Ketiga, khusus dalam konteks Indonesia moderasi beragama diperlukan sebagai
strategi kebudayaan dalam merawat keindonesiaan. Indonesia bukan negara
agama, namun juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari
warganya.
Dalam lingkup pendidikan islam, alasan penting moderasi beragama perlu
dikuatkan adalah karena pemahaman keagamaan memiliki hubungan yang tidak bisa
dipisahkan dengan upaya untuk menanggulangi munculnya pemikiran keagamaan
konservatif yang masih enggan menerima relitas keragaman dan perbedaan. Untuk
itu moderasi beragama hadir sebagai narasi penyeimbang untuk menjembatani
kemunculan wacana-wacana paham keagamaan yang membawa paham radikal,
ekstrem, dan intoleran.
C. Konsep Moderasi Beragama Moderasi
Beragama merupakan istilah yang sering di dengar beberapa kurun waktu terakhir
ini. Moderasi dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-wasathiyah dimana kata al-
Wasath bermakna terbaik dan paling sempurna. Sementara dalam bahasa latin kata
moderasi berasal dari moderation yang artinya kesedang-an (tidak kurang dan tidak
lebih). Moderasi beragama merupakan istilah yang dikemukakan oleh Kementerian
Agama RI yang diartikan sebagai sikap, cara pandang dan perilaku yang selalu
mengambil tengah, bertindak adil, serta tidak ekstrem dalam beragama.
Menurut Lukman Hakim Saifuddin moderasi beragama adalah proses memahami
dan mengamalkan ajaran agama sekaligus secara adil dan seimbang, sikap seperti ini
bertujuan agar terhindar dari prilaku ekstrem atau berlebih-lebihan saat
megimplementasikan agama. Sikap dan cara pandang yang moderat dalam beragama
ini sangat penting bagi masyarakat multikultural seperti di Indonesia, sebab dengan
sikap dan cara pandang yang moderat sebuah keragaman dapat disikapi dengan bijak,
serta keadilan dan toleransi dapat terwujud.
D. Prinsip Moderasi Beragama
Dalam penelitian Mustaqim Hasan, prinsip moderasi beragama meliputi 6 hal
berikut:
a. Tawasuth (mengambil jalan tengah) Yaitu pandangan yang mengambil jalan
pertengahan dengan tidak berlebih lebihan dalam beragama dan tidak mengurangi
ajaran agama, jalan tengah ini dapat berarti pemahaman yang memadukan antara
teks ajaran agama dan konteks kondisi masyarakat. Sehingga "wasathiyah" ialah
suatu pandangan ataupun perilaku yang senantiasa berupaya mengambil posisi
tengah dari perilaku yang berseberangan serta kelewatan sehingga salah satu dari
kedua perilaku yang diartikan tidak mendominasi dalam benak serta perilaku
seorang.
b. Tawazun (seimbang) Tawazun merupakan pandangan keseimbangan tidak keluar
dari dari garis yang telah di tetapkan. Jika di telusuri istilah tawazun berakar dari
kata mizan yang berarti timbangan. Tawazun dalam konteks moderasi dapat
dipahami sebagai berperilaku adil, seimbang tidak berat sebelah, dibarengi dengan
kejujuran sehingga tidak bergeser dari garis yang telah ditentukan. Sebab ketidak
adilan merupakan cara merusak keseimbangan dan kesesuaian jalanya alam raya
yang telah ditetapkan oleh Allah sang maha kuasa.
c. I’tidal (lurus dan tegas) Istilah I’tidal berasal dari kata bahasa arab yaitu adil yang
berarti sama, dalam kamus besar bahasa Indonesia adil berarti tidak berat sebelah,
tidak sewenang wenang
d. Tasamuh (toleransi) Tasamuh jika ditinjau dari bahasa arab berasal dari kata
samhun yang berarti memudahkan. Sedangkan menmurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia toleransi berarti bersifat menghargai, membiarkan, membolehkan,
sesuatu berbeda ataupun berlawanan dengan pendirian sendiri. Jadi dapat
disimpulkan bahwa toleransi merupakan perilaku menghargai pendirian orang lain
menghargai bukan berarti membetulkan terlebih bersepakat mengikuti dan
membenarkanya.
e. Musawah (persamaan)
Musawah berarti persamaan derajat, islam tidak pernah membeda bedakan
manusia dari segi personalnya semua manusia memiliki derajat yang sama
diantara manusia lainya tidak pandang jenis kelamin, ras, suku, tradisi, budaya,
pangkat karena semuanya telah ditentukan oleh sang pencipta manusia tidak dapat
hak untuk merubah ketetapan yang telah di tetapkan. Jika kita meninjau sejarah
nusantara bahwa para wali songo sebagai penyebar agama islam juga sangat
intens mengajarkan persamaan derajat. Tidak ada yang lebih tinggi mulia derajat
seseorang diantara sesama manusia, tidak ada kawula dan tidak ada gusti dirubah
menjadi Rakyat yang berasal Dari kata Roiyat yang berarti pemimpin yang
memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama berkerjasama saling bahu
membahu sehingga disebut masyarakat dan istilah ini digunakan sampai saat ini.
f. Syuro (musyawarah)
Istilah Syuro berakar dari kata Syawara – Yusawiru yang memiliki arti
memberikan penjelasan, menyatakan atau mengambil sesuatu. Dalam konteks
moderasi, musyawarah merupakan solusi untuk meminimalisir dan mengilangkan
prasangka dan perselisihan antar individu dan kelompok, karena musyawarah
mampu menjalin komunikasi, keterbukaan, kebebasan berpendapat, serta sebagai
media silaturahmi.
E. Indikator Moderasi Beragama Moderasi
Beragama dipahami sebagai sebuah pemahaman keagamaan yang mengambil
posisi tengah (netral) tidak condong ke kiri maupun ke kanan. Dalam konteks islam
wasathiyyah pemahaman ini mengandung prinsip keagamaan yang mengarah pada
kehidupan yang seimbang dalam mengamalkan ajaran islam. Karena mengutamakan
pemahaman keagamaan yang seimbang dan adil, maka indikatornya akan tampak jika
paham keagamaan tersebut searah dengan penerimaannya terhadap nilai budaya dan
kebangsaan. Berdasarkan realitas tersebut, indikator moderasi beragama dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Komitmen Kebangsaan
Komitmen kebangsaan adalah salah satu indikator yang sangat penting untuk
melihat sejauh mana ekspresi dan cara pandang keagamaan seseorang ataupun
kelompok terhadap ideologi kebangsaan. Yang paling utama dalam hal ini yaitu
terletak pada komitmen dalam menerima pancasila sebagai dasar dalam
bernegara. Persoalan komitmen kebangsaan ini sangat penting untuk
diperhatikanketika muncul paham-paham baru keagamaan yang tidak akomodatif
terhadap ideologi kebangsaan. Orientasi, gerakan dan pemikiran keagamaan yang
seperti ini memiliki cita-cita untuk mendirikan negara dengan sistem khilafah,
daulah islamiyyah maupun imamah, yang mana hal ini berseberangan dengan
prinsip negara dan bangsa Indonesia. Dalam hal inilah komitmen kebangsaan
menjadi penting adanya sebagai salah satu indikator moderasi beragama, guna
menjauhkan individu maupun kelompok masyarakat dari ideologi yang ingin
mendirikan sebuah negara diluar sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
pancasila.
b. Toleransi
Toleransi adalah sikap memberi ruang sekaligus tidak mengusik orang lain
ketika mengekspresikan keyakinannya ataupun menyampaikan pendapatnya
meskipun pendapat tersebut berbeda dengan apa yang diyakini oleh kita. Dalam
kehidupan demokrasi toleransi menjadi urgen yaitu ketika menghadapi berbagai
tantangan yang muncul karena adanya perbedaan. Dalam konteks yang lebih luas,
toleransi tidak hanya berhubungan dengan keyakinan beragama, namun juga
mengarah pada perbedaan, ras, jenis kelamin, perbedaan orientasi seksual,
budaya, dan sebagainya. Dengan demikian, indikator moderasi beragama terkait
toleransi merupakan sebuah kemampuan dalam menunjukkan ekspresi dan sikap
keagamaan untuk menghormati perbedaan yang terjadi di tengah masyarakat.
c. Anti Kekerasan dan Radikalisme
Radikalisme dan kekerasan dalam konteks moderasi beragama dianggap
muncul sebagai akibat dari kesalahpahaman dalam memahami agama, dalam hal
ini agama cenderung diartikan dalam makna yang sempit. Akibat kesalahpaham
dalam memahami agama ini akan terbentuk sikap dan ekspresi yang cenderung
ekstrim, ingin melakukan perubahan total dalam kehidupan politik dan
masyarakat dengan menggunakan cara kekerasan baik fisik maupun nonfisik.
Faktor lain yang menyebabkan terbentuknya sikap radikalisme adalah pemahaman
mengenai keagamaan dengan prinsip revivalisme yaitu ingin mendirikan negara
islam (khilafah, imamah, daulah islamiyah, dan sebagaimanya)
d. Akomodatif terhadap budaya local
Perilaku dan praktik keagamaan yang akomodatif terhadap budaya dan tradisi
lokal dapat digunakan untuk melihat sejauh mana ia bersedia untuk menerima
praktik keagamaan yang mengakomodasi budaya dan tradisi lokal. Sesorang yang
memiliki sikap moderat cenderung bersikap ramah terhadap budaya dan tradisi
lokal dalam sikap keagamaannya, selama hal tersebut tidak bertentangan dengan
prinsip dasar agama. Ciri-ciri pemahaman agama yang tidak kaku adalah
kesediaan untuk menerima perilaku dan praktik yang tidak hanya menekankan
pada kebenaran paradigma keagamaan yang normatif, tapi juga paradigma
kontekstualis yang positif
F. Bentuk-Bentuk Moderasi Beragama.
Bentuk-bentuk moderasi beragama terkait hubungan antar umat beragama dengan
tujuan terciptanya kerukunan antar umat beragama, dan munculnya sikap saling
menghormati antara kepercayaan masing-masing umat beragama, dapat diramu
sebagaimana berikut:
a. Sikap menghormati terhadap penganut agama lain.
b. Sikap yang baik terhadap sesama manusia dalam kehidupan bersosial (hablum
minan nas).
c. Sikap inklusif terhadap adanya keberagaman.
d. Mencari titik kesamaan ditengah-tengah perbedaan.
e. Mengakui keberadaan pihak lain.
f. Memiliki sikap toleran yang tinggi
BAB III

KESIMPULAN
Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat,
yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem
kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hate speech),
hingga retaknya hubungan antar umat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia saat ini. Moderasi beragama mengajarkan bagaimana cara pandang kita
dalam kehidupan beragama yang baik dan benar, tidak ekstrem apalagi radikal. Moderasi
beragama pun memberitahu kita sebagai seorang muslim untuk bertoleransi antar sesama
umat beragama, tidak diskriminasi antar ras, suku, agama, juga mengajarkan bagaimana
cara kita berpikir dinamis dan inovatif.
Dalam menghadapi kemajemukan dan keberagaman masyarakat, senjata yang
paling ampuh untuk mengatur agar tidak terjadi bentrokan dan radikalisme, adalah melalui
pendidikan Islam yang moderat dan inklusif. Selain itu ajaran Islam sebagai rahmatan lil
alamin, rahmat bagi segenap alam semesta. Islam Wasathiyah atau yang berarti “Islam
Tengah” adalah suatu yang menjadi terwujudnya umat terbaik (khairu ummah). Allah
SWT menjadikan umat Islam pertengahan (wasath) dalam segala urusan agama, seperti
dalam hal kenabian, syariat dan lainnya. Pemahaman dan praktik amaliyah keagamaan
Islam Wasathiyah memiliki beberapa karakteristik, seperti berikut:
1. Tawassuth (moderat)
2. Tawazun (ber keseimbangan)
3. I’tidâl (lurus dan tegas)
4. Tasamuh (toleran)
5. Musawah (egaliter dan non diskriminasi)
6. Syuro (Musyawarah)
Konsep tersebut diharapkan mampu untuk diterapkan dalam kehidupan bernegara
dan berbangsa. Sehingga dengan konsep moderasi ini akan membawa Indonesia ke arah
yang lebih baik, sehingga tidak ada diskriminasi dalam keberagaman dan menimbulkan
rasa aman dan nyaman.
DAFTAR PUSTAKA
(Yulianto, 2020)Yulianto, R. (2020). Implementasi Budaya Madrasah dalam Membangun
Sikap Moderasi Beragama. Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran, 1(1), 111–123.
Rahayu, luh riniti, & Lesmana, putu surya wedra. (2019). Moderasi Beragama di Indonesia.
Intizar, 25(2), 95–100.
(Karim, 2019)Karim, H. A. (2019). Implementasi Moderasi Pendidikan Islam Rahmatallil
’Alamin dengan Nilai-Nilai Islam. Ri’ayah: Jurnal Sosial Dan Keagamaan, 4(01), 1.
https://doi.org/10.32332/riayah.v4i01.1486
(Akhmadi, 2019)Akhmadi, A. (2019). Moderasi Beragama Dalam Keragaman Indonesia
Religious Moderation in Indonesia ’ S Diversity. Jurnal Diklat Keagamaan, 13(2), 45–
55.
Kementerian Agama Republik Indonesia, Moderasi Beragama (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementerian RI, 2019), 8–10
Kementerian Agama Republik Indonesia, Implementasi Moderasi Beragama Dalam
Pendidikan Islam (Jakarta: Lembaga Daulat Bangsa, 2019), 1–2.
Agus Akhmadi, “Moderasi Beragama Dalam Keragaman Indonesia Religious Moderation in
Indonesia’s Diversity,” Jurnal Diklat Keagamaan 13, no. 2 (2019): 45–55.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Pedoman
Implementasi Moderasi Beragama Dalam Pendidikan Islam, 7–10.
Mustaqim Hasan, “Prinsip Moderasi Beragama Dalam Kehidupan Berbangsa,” Mubtadiin 7,
no. 2 (2021): 110–123.

Anda mungkin juga menyukai