Anda di halaman 1dari 5

IMPLEMENTASI MODERASI BERAGAMA

MELALUI LEMBAGA PENDIDIKAN

LATAR BELAKANG
Agama merupakan substansi kehidupan bagi setiap diri pribadi dalam menjalankan
kehidupan selama di dunia. Setiap diri yang terikat dengan aturan serta tatanan agama
tertentu akan menjadi bahagian keseimbangan dalam hubungan baik secara vertikal kepada
Tuhan Yang Maha Esa maupun dalam hubungan sesama makhluk. Kata ägama”sendiri yang
berasal dari bahasa sansekerta memiliki arti “a = tidak” dan “gama = kacau” atau secara
keseluruhan berarti aturan agar tidak terjadi kekacauan. Agama menjaga agar fungsi
kekhalifahan berjalan sesuai kehendak Rab Sang Pencipta, bukan kehendak manusia yang
dipenuhi nafsu dan keinginan menguasai yang berpotensi mengakibatkan kerusakan di muka
bumi. Sesungguhnya inilah substansi yang tercetus oleh para pendiri NKRI sejak dulu dengan
meletakkan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” , yaitu agar setiap insan anak bangsa
memiliki nilai-nilai keagamaan dalam dirinya agar tidak mengacau proses pembangunan
negara.
Islam merupakan agama Rahmatan lil álamin yang memiliki tatanan aturan lengkap
untuk menjadi ikutan bagi penganutnya dalam menjaga keseimbangan kehidupan di muka
bumi. Islam mengajarkan bagaimana cara membangun hubungan baik dengan sang pencipta
maupun dengan sesama makhluk agar tidak terjadi kerusakan sosial dan lingkungan. Islam
juga mengajarkan bagaimana menyikapi perbedaan yang pasti ada dalam hubungan sosial
kemasyarakatan. Islam tidak memandang rendah penganut berkeyakinan agama lain, bahkan
memberikan penghormatan sepatutnya atas setiap perbedaan keyakinan. Lihatlah bagaimana
tindakan mulia Rasulullah shalallahu álaihi wasallam saat penaklukan kota Mekah atau
fathu makkah tahun 8 H/ 630 M. Rasulullah shalallahu álaihi wasallam dengan sifat
kemuliaan akhlaknya memberikan amnesti bagi penduduk kafir Quraisy Mekah yang dahulu
menentang dan memerangi beliau. Tidak seorangpun kafir Quraisy Mekah yang dilukai,
bahkan beliau menyebut hari itu sebagai al-yaum yaum al-marhamah (hari ini adalah hari
kasih sayang).
Inilah pelajaran besar bagi ummat Islam dalam memandang perbedaan keyakinan.
Sang Nabi yang muliapun tidak memaksakan keyakinan Islam dengan kekerasan kepada
kaum kafir yang sudah kalah, karena Rasulullah shalallahu álaihi wasallam sangat mengerti
jika Islam tidak bisa dipaksakan. Penganut Islam harus tumbuh dari kesadaran diri akan
kesempurnaan ajarannya dan pertolongan hidayah Allah taála. Ini pula yang kemudian
dipraktekkan oleh Muhammad al Fatih saat telah menaklukkan Konstanstinopel pada tahun
1453. Pasca penaklukan, al-Fatih mengundang uskup dari kerajaan Romawi dan menyatakan
keinginannya agar penduduk Kristen tetap menjalankan ibadahnya dengan baik. Ia ingin
menghilangkan perselisihan antara Islam dan Kristen. Al-Fatih memberi kebebasan pada

1
pemeluk Kristen untuk memilih sendiri siapa yang akan menjadi pemuka agama. Inilah
sebuah catatan emas toleransi beragama yang pernah ada dalam sejarah Islam.
Lebih lanjut, toleransi beragama saat ini juga tidak hanya dalam konteks perbedaan
agama. Toleransi beragama juga juga harus diwujudkan dalam konsteks sesama pemeluk
agama yang sama agar tidak saling menyalahkan pemahaman satu dan yang lainnya.
Kecenderungan ini tumbuh ketika seseorang merasa apa yang diyakininya adalah pasti benar
dan apa yang dipraktekkan orang lain yang berbeda faham dengannya pasti salah. Dampak
yang timbul yaitu memandang orang lain salah dan selanjutnya menjadi aksi untuk
menyerang kefahaman orang lain dengan dalil-dalil sepihak. Hal inilah yang kemudian
tumbuh menjadi sikap radikalisme dan intoleran. Sikap pribadi ini menjadi lebih berbahaya
ketika tumbuh dalam bentuk kelompok yang kemudian secara terang-terangan berani
menyalahkan orang lain yang berbeda dari kelompok atau komunitasnya. Bahkan dalam
ukuran yang ekstrim, tindakan komunitas yang terdoktrin hanya mereka yang benar dapat
berwujud menjadi aksi penghilangan nyawa manusia.
Inilah pentingnya pemahaman moderasi beragama secara mendalam dan menyeluruh
agar tidak menjadikan setiap perbedaan menjadi awal permusuhan. Perlu kefahaman bahwa
perbedaan adalah sebuah bahagian dalam kehidupan yang tidak mungkin tidak ada dan wajib
untuk diterima dengan kebesaran hati. Pemeluk Islam harus memiliki sifat inklusif dalam
beragama dan bukan sifat eksklusif. Sifat inklusif secara sederhana diterjemahkan sebagai
sikap keterbukaan dalam perbedaan yang ada, menerima perbedaan keyakinan dan
kefahaman beragama (manhaj dan mazhab) sebagai akibat perbedaan penafsiran dari
perbedaan guru atau ulama yang diikuti. Perbedaan ini tidak menjadikan seseorang yang
inklusif merasa paling benar dan yang lainnya salah, namun merasa semua pemahaman benar
selama mengikuti nash-nash yang jelas dan dari ulama yang diyakini memiliki kefahaman
agama yang baik.
Untuk itu sangat perlu pengembangan serta penguatan moderasi beragama sejak dini,
terutama melalui lembaga pendidikan. Ini penting agar peserta didik dikemudian hari tumbuh
sebagai pribadi muslim yang cerdas dan inklusif (terbuka) Pribadi yang memahami
perbedaan dengan arif bijaksana, tidak melihat perbedaan keyakinan serta kefahaman
beragama sebagai sebuah ranah yang harus dibentur-benturkan. Siswa yang memiliki sifat
moderasi beragama akan mampu tumbuh menjadi generasi penyeimbang dan penengah
dalam perbedaan serta membawa rahmat bagi lingkungannya. Sesuai arti kata moderasi yang
berasal dari bahasa latin moderatio yang berarti tidak kelebihan dan tidak kekurangan.
Sementara dalam bahasa al Qurán sifat moderasi ini merujuk dari kata wasathan yang berarti
pertengahan. Inilah sikap beragama yang paling ideal dalam pengertian teguh dalam
pendirian agama namun bersikap toleran atas perbedaan.

2
PERKEMBANGAN MODERASI BERAGAMA DI INDONESIA
Indonesia sesungguhnya secara implisit sudah membangun konsep moderasi
beragama sejak lama, istilah umum yang kita kenal yaitu toleransi beragama. Hal ini bisa kita
lihat saat penyusunan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang sila pertamanya berbunyi
“Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Meski terdapat bunyi kalimat syariat Islam, para anggota BPUPKI yang beragama Kristen
yaitu A.A. Maramis tidak berkeberatan dengan sila tersebut. Hal ini karena A.A Maramis
menyadari besarnya ummat Islam di Indonesia. Namun suatu ketika Bung Hatta mendapat
kritikan atas kalimat tersebut yang dipandang diskriminatif, maka Bung Hatta sebagai
seorang negarawan yang memiliki keterampilan memahami sangat baik segera memberikan
responnya. Ia berdialog dengan wakil-wakil dari umat Protestan dan Katolik. Bung Hatta
bersifat terbuka dan membuka diri terhadap berbagai kemungkinan makna yang muncul dan
berbagai kemungkinan akibat yang muncul di kemudian hari. Bung Hatta menyatakan bahwa
kalau Indonesia tidak bisa bersatu, maka bisa dipastikan daerah-daerah di luar Jawa dan
Sumatera (tempat domisili penduduk non-Muslim) akan kembali dikuasai oleh Belanda.
Bersama dengan 5 anggota BPUPKI lainnya, Bung Hatta merubah sila pertama
tersebut menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kalimat ini lebih universal dan dapat
diterima oleh semua agama. Tidak lagi dinilai diskriminatif atau hanya untuk ummat Islam
semata, namun mengikat semua pemeluk agama di Indonesia. Semangat keterbukaan dan
menerima perbedaan inilah bentuk toleransi yang dibangun oleh Bung Hatta dan anggota
BPUPKI lainnya. Tujuannya tidak lain adalah untuk menyatukan semua perbedaan yang ada
menjadi satu semangat membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dan
maju.
Tahun 2011, Hasil Survey Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) dgn
responden guru PAI dan siswa SMP Sejadebotabek menunjukkan adanya potensi radikal
yang kuat di kalangan guru dan pelajar dengan indikasi resistensi yang lemah terhadap
kekerasan atas nama agama, intoleransi, sikap ekslusif serta keraguan terhadap ideologi
Pancasila. Catatan hasil survey ini menunjukkan kepada kita bahwa potensi-potensi
pemahaman radikal dapat tumbuh dimanapun termasuk di lingkungan pendidikan.
Maka dalam pandangan kami, lembaga pendidikan merupakan wadah yang paling
efektif untuk menyebarkan pemikiran ideal moderasi beragama. Para siswa merupakan insan-
insan yang masih dalam pencarian jati diri beragama, oleh karena itu memberikan
pemahaman yang benar tentang Islam sebagai agama rahmatan lil álamin adalah sesuatu
yang sangat penting. Jika dalam pemahaman mereka melalui informasi dan doktrin yang
keliru bahwa Islam adalah agama radikal atau garus keras, maka mereka akan menjadi sosok
yang juga akan demikian. Namun jika mereka mendapatkan pemahaman bahwasanya Islam
adalah ajaran rahmatan lil álamin, ajaran kasih sayang, dan saling menghormati, maka

3
mereka nantinya juga akan menjadi bahagian masyarakat yang bersikap toleransi dan inlusif
dengan tetap berpegang teguh dengan syariat Islam.

RENCANA AKSI
Upaya menyebarluaskan moderasi beragam ini akan dilaksakan dalam sebuah
kegiatan komunitas organisasi agar lebih terarah dan terprogram dengan baik. Untuk itu kami
telah mempersiapkan sebuah kelembagan yang kami sebut CIRCLe Community.
CIRCLe Community (Community for Islam Rahmatan Lil Álamin with
Competency and Learning) merupakan kumpulan individu-individu siswa yang peduli dalam
pembangunan moderasi beragama, bermaksud untuk ikut serta menularkan konsep pemikiran
moderasi beragama secara utuh kepada siswa-siswa di sekolah. Tujuan yang ingin dicapai
yaitu membangun kefahaman siswa bahwa perbedaan agama dan perbedaan manhaj atau
mazhab dalam Islam adalah sunnatullah yang harus diterima dengan kasih sayang dan tidak
menjadikannya benih-benih perpecahan sesama ummat.

Berikut tentang CIRCLe Community


Visi
Membumikan Islam sebagai Rahmatan lil älamin dalam kedamaian melalui kecerdasan
emosional dan spiritual.

Misi
1. Menanamkan nilai-nilai Islam sebagai agama Rahmatan lil álamin
2. Membangun konsep da’wah ala Rasulullah (dakwah bil hikmah dan bil hal)
3. Membangun konsep Islam Inklusif untuk generasi muda Islam
4. Memperkuat kompetensi dan semangat belajar generasi muda Islam

Tujuan
CIRCLe Community hadir untuk memberikan pemahaman bahwa Islam adalah dien
Rahmatan lil álamin dengan figur sentral Rasulullah shalallahu álaihi wasallam, bukan
ajaran radikal (garis keras) dan konservatif (menentang modernitas), akan tetapi Islam adalah
dien yang inklusif (terbuka) atas dasar Al Qurán dan as Sunnah.

Departemen
1. Dakwah dan Pendidikan
2. Pengembangan Kompetensi

4
3. Dunia Usaha & Pemberdayaan Ummat

Rencana Program
1. Membangun jaringan kerjasama dengan organisasi masyarakat yang sesuai dengan
tujuan Circle Community.
2. Membangun jaringan kerjasama dengan organisasi Rohani Islam (Rohis) Sekolah
3. Membangun link media sosial sebagai sarana informasi untuk menyebarluaskan
pemikiran Moderasi Islam menuju Islam rahmatan lilálamin.
4. Agenda pertemuan secara off line dan webinar/ zoom meeting
5. Pelatihan-pelatihan peningkatan kapasitas dan kompetensi dalam berbagai bidang

Pembiayaan Kegiatan
Pembiayaan kegiatan dilakukan dengan kegiatan-kegiatan produktif yang menghasilkan
keuantungan dan dukungan donasi yang tidak mengikat dari berbagai pihak.

PENUTUP
Moderasi Islam adalah sesuatu yang sangat diperlukan saat ini dimana ummat Islam sedang
dimasuki oleh berbagai faham dan aliran yang bersifar eksklusif. Bahkan sebahagian lainnya
juga banyak melakukan takfiri (mengkafirkan) atau menganggap praktek ibadah yang
berbeda dengan mereka adalah sesat. Lebih ekstrim kita melihat terjadi hal-hal yang bersifat
radikal dengan aksi yang bahkan berakibat hilangnya nyawa manusia.

Kita ingin Indonesia yang aman, nyaman, dan maju. Kita ingin sesama ummat Islam saling
menghormati perbedaan manhaj (cara beragama) atau thariqoh (jalan beragama) yang
ditempuh setiap muslim. Tidak ada lagi bahasa kami yang paling benar dan yang lain sesat.
Kemudian dalam hubungan perbedaan agama, kita ingin Islam menjadi contoh toleransi
antar ummat beragama yang baik tanpa harus mengorbankan nilai-nilai keyakinan sesuai
alqurán dan sunnah. Kita ingin Islam tumbuh sebagai agama rahmatan lilálamin yang
membawa kebaikan bagi dunia, sebagaimana diutusnya Sang Nabi Mulia Rasulullah
shalallahu álaihi wasallam.

Disusun Oleh,

Alifa Wahdini
Kls XI ASC 2 MAN I Pekanbaru

Anda mungkin juga menyukai