Anda di halaman 1dari 8

LEMBAR KERJA RESUME MODUL

A. Judul Modul : Al-Qur’an Hadits


B. Kegiatan belajar : 3-(Kriteria Kesahihan Hadits)
C. Butir Refleksi :
1. Pengetahuan awal yang saya miliki terkait dengan materi

 Dalam kedudukannya sebagai bayani maka dalam hubungannya dengan Al-Qur'an, Hadits
menjalankan fungsi sebagai berikut : Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut
dalam Al-Qur'an atau disebut fungsi ta'kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti
mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur'an.
 Untuk itu di butuhkan bahwa hadits-hadits yang sampai pada kita bener-bener merupakan
perkataan Rasulallah SAW. Dengan mengetahui kriteria kesahihannya yakni: tidak bertentangan
dengan petunjuk al-Qur'an; dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat; dengan akal yang sehat,
indera, dan sejarah; dan susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri.

2. Resume materi (minimal 1000 kata)


A. Kriteria Kesahihan Hadits
 Kata sahih dalam bahasa Arab diartikan orang sehat antonim dari kata al-saqim yang
berarti orang sakit, seolah-olah dimaksudkan hadis sahih adalah hadis yang sehat dan
benar-benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
 Adapun menurut istilah, hadis sahih adalah: “Hadis yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh orang adil dan dhabith (kuat daya ingatan) sampai kepada perawi
terakhirnya, serta tidak ada kejanggalan dan maupun cacat.” (al-Thahhan, t.th: 30)”
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa sebuah hadis dinilai sahih jika memenuhi lima
kriteria berikut, yaitu:
1) Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad)
2) Moralitas para perawinya baik (’adalah al-ruwwat)
3) Intelektualitas para perawinya mumpuni (dhabt al-ruwwat)
4) Tidak janggal (’adam al-syudzudz)
5) Tidak cacat (’adam al-’illah)
 Pertama, yang dimaksud sanadnya bersambung adalah seluruh mata rantai
periwayatnya dari setiap generasi ke generasi yakni nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’ al-
tabi’in tersambung tanpa ada satupun yang terputus. Jika ada satu mata rantai saja
terputus atau diragukan ketersambungannya karena perawi satu dengan berikutnya
tidak pernah bertemu tetapi hanya menyandarkan saja, maka kualitasnya bisa
dipastikan tidak akan mencapai derajat sahih.
 Kedua, kualitas perawi harus ‘adil. Ini bukanlah maksud adil dalam definisi
bahasa Indonesia. ‘Adil dalam istilah ulum al-hadits adalah kondisi perawi yang
beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama dan menjaga muru’ah
(Ismail, 1992: 129-134).
 Ketiga, dhab atau yang dalam bahasa Indonesia dabit merupakan kualitas
intelektualitas personal perawi. Secara harfiah, dhabt berarti kokoh, kuat dan tepat.
Sedang secara istilah adalah kekuatan hafalan perawi terhadap hadis yang
diterimanya secara sempurna, mampu menyampaikannya kepada orang lain dengan
tepat dan mampu memahaminya dengan baik. Muhammad Ibn ‘Alawi menyebutkan
bahwa dhabt terbagi dua, yakni dhabt shadr, yaitu kekuatan hafalan yang
dibuktikan dengan kemampuan melafalkan hadis yang dikuasainya kapanpun; dan
dhabt kitabah yaitu kekuatan tulisan yang dibuktikan dengan buku yang dia miliki
(Al-Maliki, t.th: 26).
 Keempat, tidak boleh ada syadz (kejanggalan). Imam al-Syafi’i sebagaimana dikutip
al-Naisaburi menjelaskan bahwa kejanggalan dalam periwayatan adalah apabila
sebuah hadis diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah, namun bertentangan dengan
mayoritas riwayat lain yang juga tsiqah (al- Naisaburi, t.th: 199).
 Kelima, tidak boleh ada ‘illat (kecacatan). Cacat dalam periwayatan hadis bisa berupa
sanad yang tampak tersambung dan sampai kepada Nabi, namun pada kenyataannya
hanya sampai kepada sahabat atau tabi’in. Kecacatan juga bisa juga terjadi berupa
kerancuan karena percampuran dengan hadis lain atau kekeliruan dalam menyebutkan
nama periwayat yang memiliki kemiripan atau kesamaan dengan periwayat lain
yang kualitasnya berbeda (Ismail, 2007: 85).
Seluruh lima kriteria tersebut harus terpenuhi agar sebuah hadis dinilai sahih. Jika
satu kondisi seluruhnya terpenuhi, hanya saja pada syarat ketiga yakni kualitas
intelektual personal perawi (dhabt) tidak sebaik yang seharusnya, maka
kualitas hadisnya bisa menjadi hasan. Namun, apabila ada salah satu syarat atau
kriteria tidak terpenuhi, seperti terputus sanadnya atau didapati perawi yang benar-
benar lemah atau juga terdapat kejanggalan maupun kecacatan, maka kualitas hadisnya
bisa berkategori daif (lemah) bahkan maudhu’ (palsu). Agar lebih jelas mari pelajari
jenis hadis berdasarkan kualitasnya berikut ini.
B. Jenis-Jenis Hadits
berdasarkan kualitasnya, hadis terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Hadits Sahih
a. Pengertian
Hadis bernilai sahih adalah hadis yang memenuhi lima kriteria atau syarat
kesahihan hadis yang meliputi ketersambungan sanad, perawi yang adil, perawi yang
sempurna kedabitannya, tidak ada syaz dan tidak terdapat ‘Illat.
b. Pembagian Hadis Sahih
Perlu di ketahui hadis sahih terbagi menjadi dua:
1) hadis sahih li dzatihi
Jika sebuah hadis memenuhi lima syarat kesahihan secara sempurna sebagaimana
yang disebutkan di atas, maka disebut hadis sahih li dzatihi, atau dalam bahasa
sederhana sahih karena sendirinya.
2) hadis sahih li ghayrihi..
Adapun jika sebuah hadis memenuhi lima kriteria tadi hanya saja tidak sempurna
dalam hal kedabitan (yang kemudian disebut dengan hadis hasan) tetapi memiliki
riwayat lain dari sanad yang berbeda baik dengan kualitas sama atau lebih baik,
maka disebut hadis sahih li ghayrihi. Dengan kata lain, hadis sahih li ghayrihi adalah
hadis yang menjadi sahih bukan karena sendirinya, melainkan dukungan dari jalur
lain.
Terkait status kehujahan, hadis sahih li ghayrihi memiliki kualitas lebih rendah
dari hadis sahih li dzatihi. Namun, hadis ini tetap berkualitas lebih tinggi jika dibanding
dengan hadis hasan pada umumnya. Dari itu, dari sisi hukum pengamalan, hadis sahih
baik li dzatihi maupun li ghayrihi wajib diamalkan berdasarkan kesepatakan para ulama
ahli hadis, ulama ahli ushul dan fuqaha.
c. Contoh Hadis Sahih
Untuk memudahkan pemahaman kita tentang hadis sahih, perhatikan contoh berikut,
sebuah hadis yang diriwayatkan al-Bukhari dalam al-Jami’ al-Shahih al-Bukhari nomor
723:

ُ ‫ال َس ِمع‬
‫ْت‬ ْ ‫ب ع َْن ُم َح َّم ِد ب ِْن ُجبَي ِْر ْب ِن ُم‬
َ َ‫ط ِع ٍم ع َْن َأبِي ِه ق‬ ٍ ‫ك ع َْن ا ْب ِن ِشهَا‬ ٌ ِ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ يُوسُفَ قَا َل َأ ْخبَ َرنَا َمال‬
‫ور‬ ُّ ِ‫ب ب‬
iِ ‫الط‬ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَ َرَأ فِي ْال َم ْغ ِر‬
َ ِ ‫َرسُو َل هَّللا‬
“Diriwayatkan dari ‘Abdullah Ibn Yusuf dari Malik dari Ibn Syihab dari Muhammad Ibn
Jubayr Ibn Muth’im dari ayahnya bahwa ia mendengar Rasulullah saw membaca surat al-
Thur pada salat Maghrib.”
Mahmud al-Thahhan menjelaskan bahwa hadis di atas bernilai sahih karena seluruh
periwayatnya mendengar dan menerima langsung dari gurunya dan tidak terindikasi
sebagai mudallis atau perekayasa hadis. Kemudian dari aspek keadilan dan kedabitan,
setiap perawinya termasuk perawi yang adil dan dabit sebagaimana penilaian para ulama
kritikus hadis. ‘Abdullah Ibn Yusuf berpredikat tsiqah mutqin; Malik Ibn Anas
berpredikat imam hafidh; Ibn Syihab al-Zuhri seorang faqih, hafidh dan disepakati
keluhuran dan penguasaannya; Muhammad Ibn Jubayr berpredikat tsiqah; dan Jubayr Ibn
Muth’im adalah seorang sahabat yang berdasarkan konsensus bahwa seluruh sahabat adil.
Selanjutnya, secara kandunganpun hadis tersebut tidak bertentangan dengan riwayat yang
lebih kuat dan tidak pula ditemukan kecacatan (al-Thahhan, tth: 31).
Berdasarkan penjelasan di atas terlihat bahwa hadis tersebut memenuhi seluruh
kriteria kesahihan hadis. Oleh karena itu, hadis tersebut dapat dikategorikan sebagai
hadis sahih, dan sebab dabit para perawinya sempurna, maka disebut hadis sahih li
dzatihi.
d. Kitab Hadis Sahih
Kitab-kitab yang memuat hadis-hadis sahih di dalamnya di antaranya adalah al-
Jami’ al-Shahih karya imam al-Bukhari (w. 256 H.), Shahih Muslim karya imam Muslim
(w. 271 H) Shahih Ibn Khuzaymah karya Ibn Khuzaymah (w. 311 H) dan Shahih Ibn
Hibban karya Ibn Hibban (w. 354 H.
3. Hadits Hasan
a. Pengertian
Al-Hasan secara bahasa al-jamal yang berarti sesuatu yang baik atau indah. Sedang
menurut istilah ahli hadis, didapati beberapa definisi tentang hadis hasan.
 Pertama, hadis hasan merupakan hadis yang diketahui sumbernya, diketahui para
perawinya serta menjadi pokok pembicaraan bagi mayoritas ahli hadis dan riwayat
tersebut diterima oleh kalangan ulama juga banyak digunakan oleh para Fuqaha.
Pengertian ini digagas oleh al-Khattabi.
 Kedua, hadis hasan didefinisikan dengan setiap hadis yang diriwayatkan bukan oleh
orang yang diduga berdusta (muttaham bi al- kadzib), tidak terdapat syadz serta
memiliki riwayat dari jalur yang lain. Definisi yang cenderung berbeda dengan yang
pertama ini disampaikan
oleh al-Tirmidzi.
 Ketiga, hadis hasan adalah hadis ahad yang memenuhi kriteria hadis sahih, hanya
saja kurang baik secara intelektualitas atau hafalannya atau tidak sempurna
kedabitannya. Pengertian ini merupakan definisi yang diberikan oleh Ibn Hajar
al-‘Asqalani (Herlambang & Anwar, 2019: 50).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa hadis hasan adalah hadis yang hampir mendekati
kualitas sahih karena terpenuhinya seluruh kriteria kesahihah. Namun, sebab
kedabitannya tidak sebaik yang seharusnya, maka kualitasnya tidak sahih melainkan
hasan.
b. Pembagian Hadis Hasan
Sebagaimana hadis sahih, hadis hasan terbagi ke dalam dua, yaitu:
1) Hasan li dzatihi
Yang dimaksud dengan hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang diriwayatkan
oleh para perawi yang baik secara kualitas moral, namun kurang secara
kekuatan hafalan, bersanad yang tersambung, tidak berillat dan tidak ada
kejanggalan. Secara sederhana, hadis hasan li dzatihi adalah hadis hasan yang
memiliki kriteria standar hasan yang sesungguhnya sebagaimana telah
dijelaskan; atau hadis yang hasan karena sendirinya
2) Hasan li ghayrihi..
Adapun yang disebut dengan hadis hasan li ghayrihi sejatinya merupakan
hadis daif namun diriwayatkan melalui banyak jalur dan penyebab kedaifannya
bukan karena kefasikan atau kebohongan perawinya (faktor ‘adalah). Dengan
kata lain, hadis hasan li ghayrihi adalah hadis daif yang memiliki jalur riwayat
lain dengan kualitas setara atau lebih baik sehingga menguatkan jalur yang
bersangkutan.
c. Contoh Hadis Hasan
Sebuah hadis berikut diriwayatkan oleh al-Tirmidzi nomor 1031:
i‫ َح َّدثَنَا‬i‫ر قَالُوا‬iٍ َ‫د بْنُ َج ْعف‬iُ ‫ي َو ُم َح َّم‬iٍّ ‫ن بْنُ َم ْه ِد‬iِ ‫د َو َع ْب ُد الرَّحْ َم‬iٍ ‫ بْنُ َس ِعي‬i‫ يَحْ يَى‬i‫ار َح َّدثَنَا‬ iٍ ‫ش‬ َّ َ‫ ُم َح َّم ُد بْنُ ب‬i‫َح َّدثَنَا‬
i‫ر ْب ِن َربِي َعةَ ع َْن َأبِي ِه َأ َّن ا ْم َرَأةً ِم ْن بَنِي‬iِ ‫د هَّللا ِ ْبنَ عَا ِم‬iَ ‫ت َع ْب‬ iُ ‫د هَّللا ِ قَال َس ِم ْع‬iِ ‫م ْب ِن ُعبَ ْي‬iِ ‫ص‬ ِ ‫ش ْعبَةُ ع َْن عَا‬ ُ
‫ك بِنَ ْعلَ ْي ِن‬
iِ ِ‫ك َو َمال‬ iِ ‫ت ِم ْن نَ ْف ِس‬iِ ‫ضي‬ ِ ‫م َأ َر‬iَ َّ‫ هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسل‬i‫صلَّى‬
َ ِ ‫ل هَّللا‬iُ ‫ نَ ْعلَ ْي ِن فَقَا َل َرسُو‬i‫ت َعلَى‬ iْ ‫ تَ َز َّو َج‬iَ‫فَ َزا َرة‬
ُ‫ل فََأ َجا َزه‬iَ ‫م قَا‬iْ ‫ت نَ َع‬ ْ َ ‫ق َا ل‬
Artinya:
“Diriwayatkan dari Basysyar, dari Yahya Ibn Sa’id dan ‘Abd al-Rahman Ibn Mahdi
dan Muhammad Ibn Ja’far, mereka menerima dari Syu’bah, dari “Ashim Ibn
‘Ubaydillah, dari ‘Abdullah Ibn ‘Amir Ibn Rabi’ah dari ayahnya bahwa seorang
perempuan dari Bani Fazarah telah menikah dengan mahar sepasang sandal.
Kemudian Rasulullah saw bersabda: apakah engkau rida dirimu dan hartamu dibayar
dengan sepasang sandal? Ia menjawab, ya. Maka Rasulullah saw membolehkannya.”
Di antara perawi dalam rangkaian sanad tersebut terdapat ‘Ashim Ibn
‘Ubaydillah yang dipredikati daif oleh ulama kritikus hadis karena memiliki kualitas
hafalan yang buruk. Dengan demikian hadis ini daif. Akan tetapi, al-Tirmidzi
menyebut bahwa hadis tersebut diriwayatkan pula melalui jalur lain, sehingga
kualitasnya naik menjadi hadis hasan li ghayrihi (Herlambang & Anwar, 2019: 50).
d. Kitab Hadis Hasan
Di antara kitab-kitab yang memuat hadis-hadis hasan yaitu Sunan Abi Dawud karya
Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H), Sunan al- Tirmidzi karya al-Tirmidzi (w. 279 H)
dan Sunan al-Daruquthni karya al- Daruquthni (w. 385 H.)
4. Hadits Daif
a. Pengertian
Secara bahasa, daif berarti lemah karena merupakan antonim dari al-qawiyy (kuat).
Sedangkan menurut istilah, Al-Nawawi menyebut bahwa hadis daif adalah hadis yang di
dalamnya tidak terdapat syarat- syarat hadis sahih maupun syarat-syarat hadis hasan.
Searah dengannya, Nur al-Din ‘Itr mendefinisikan hadis daif sebagai hadis yang hilang
salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul (sahih atau hasan). Jika kita
menyepakati definisi yang terakhir ini yang secara tegas menyebut bahwa hadis daif
adalah hadis yang tidak memenuhi salah satu dari syarat kesahihan hadis, maka apabila
lebih dari satu syarat yang tidak terpenuhi, kategori hadis tersebut bisa sangat lemah
(Suparta, 2016: 150).
b. Jenis Hadis Daif
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan sebuah hadis dinilai daif sekaligus
mengklasifikannya menjadi macam-macam hadis daif. Munzier Suparta (Suparta, 2016:
150-151) merincikannya sebagai berikut:
 Pada Sanad
a) Sanadnya tidak tersambung
1. Gugur pada sanad pertama, hadisnya disebut mu’allaq.
2. Gugur pada sanad terakhir (tingkat sahabat), hadisnya disebut mursal.
3. Gugur dua orang atau lebih dari rangkaian perawinya secara berurutan, hadisnya
disebut mu’dhal.
4. Gugur dua orang atau lebih dari rangkaian perawinya secara tidak berurutan,
hadisnya disebut munqathi’.
b) Kecacatan pada keadilan dan atau kedabitan perawi
1. Dusta, hadis yang rawinya berdusta disebut maudhu’.
2. Tertuduh dusta, maksudnya perawi tersebut dikenal sering berdusta dalam
kehidupan sehari-hari walau belum diketahui dia melakukan kedustaan dalam
periwayatan atau tidak. Hadis daif sebab ini disebut matruk.
3. Fasik
4. Banyak salah
5. Lengah dalam menghafal, hadisnya disebut munkar.
6. Banyak wahm (kekeliruan tersembunyi), hadisnya disebut dengan mu’allal.
7. Menyalahi riwayat yang lebih tsiqah. Bentuk menyalahinya dapat berupa ada
penambahan atau sisipan, maka hadisnya disebut mudraj. Bila karena
diputarbaikkan, hadisnya disebut maqlub. Sebab rawi-rawinya tertukar-tukar disebut
mudhtarib, sementara bila yang tertukar adalah huruf-syakal disebut muharraf;
dan bila penambahan itu berupa titik atau kata disebut mushahhaf.
8. Tidak diketahui identitasnya, hadisnya disebut mubham.
9. Penganut bidah.
10. Tidak baik hafalannya, hadisnya disebut syadz dan mukhallith.
 Pada Matan
1. Mauquf, hadis yang secara kandungan hanya disandarkan sampai sahabat.
2. Maqthu’, hadis yang secara kandungan hanya disandarkan sampai tabi’in.
Selanjutnya, berkenaan dengan hukum dari hadis daif ini, secara
periwayatan para ahli hadis membolehkan untuk meriwayatkannya sekalipun
dengan tanpa dijelaskan kedaifannya, kecuali yang berkategori maudhu’ harus
disertai dengan penjelasannya. Kebolehan ini berlaku bia memenuhi dua syarat.
Pertama, hadis daif tersebut tidak berkaitan dengan ‘akidah, seperti sifat Allah dan
sebagainya; Kedua, tidak menjelaskan hukum syariat yang berkenaan dengan
halal dan haram. Dari itu, hadis daif diperbolehkan untuk disampaikan yang
kandungannya berisi tentang nasihat, motivasi, ancaman, kisah dan serupa itu.
Kemudian perlu diperhatikan juga saat meriwayatkan atau menyampaikan hadis
daif untuk tidak mengatakan “qala Rasulullah (Rasul berkata)”, tetapi cukup
katakan diriwayatkan dari Rasul atau sampai kepada kami sebuah riwayat dan
kalimat-kalimat serupa yang tidak menghubungkan secara langsung bahwa
hadis daif tersebut berasal dari Rasulullah saw (al-Thahhan, tth: 54).
c. Contoh Hadis Daif
Perhatikan sebuah hadis riwayat al-Tirmidzi nomor 125 berikut:

ُ‫د بْن‬iُ ‫ َح َما‬i‫ َح َّدثَنَا‬i‫د قَالُوا‬iٍ ‫ز بْنُ َأ َس‬iُ ‫ي َوبَ ْه‬


iٍّ ‫د َو َع ْب ُد الرَّحْ َم ِن بْنُ َم ْه ِد‬iٍ ‫ بْنُ َس ِعي‬i‫ يَحْ يَى‬i‫ر َح َّدثَنَا‬iٌ ‫ بُ ْندَا‬i‫ح َّدثَنَا‬
‫ل‬iَ ‫م قَا‬iَ َّ‫ هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسل‬i‫صلَّى‬ َ ‫ هُ َر ْي َرةَ ع َْن النَّبِ ِّي‬i‫ي ع َْن َأبِي‬ iِّ ‫م ع َْن َأبِي تَ ِمي َمةَ الهُ َج ْي ِم‬iِ ‫يم اَأْل ْث َر‬iٍ ‫َسلَ َم ِة ع َْن َح ِك‬
‫م‬iَ َّ‫ هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسل‬i‫صلَّى‬ ‫ُأ‬
َ ‫د‬iٍ ‫ ْن ِز َل َعلَى ُم َح َّم‬i‫د َكفَ َر بِ َما‬iْ َ‫و َكا ِهنًا فَق‬iْ ‫ َأ‬i‫ ُدب ُِرهَا‬i‫ َأوْ ا ْم َرَأةً فِي‬i‫ضا‬ ً ‫ َحاِئ‬i‫َم ْن َأتَى‬

“Barangsiapa yang berhubungan badan dengan wanita haid atau melalui duburnya
atau mengadu kepada dukun, makai ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw.”
Dalam hadis tersebut, al-Tirmidzi langsung menjelaskan bahwa hadis ini tidak
diriwayatkan kecuali hanya melalui Hakim al-Atsram – Abu Tamimah al-Hujaymi
– Abu Hurayrah. Al-Bukhari mendaifkan hadis ini sebab Hakim al-Astram para
kritikus hadis sebagai perawi daif. Ibn Hajar al-‘Asqalanipun menilainya dengan
“fih layyin” (padanya terdapat kelemahan) (Thahhan, tth: 53).
d. Kitab Hadis Daif
Di antara kitab-kitab yang memuat hadis-hadis daif adalah al- Marasil karya Abu
Dawud al-Sijistani (w. 275 H), al-‘Ilal karya al- Daruquthni (w. 385 H) dan Silsilah
al-Ahadits al-Dha’ifah wa al-Mawdhu’ah karya al-Albani (w. 1420 H).

C. Hadits tentang Kewajiban Mencari Ilmu: Analisis Kesahihan Hadtis


Dalam menguji matan, Salah al-Din Ibn Ahmad al-Adlabi dalam Manhaj Naqd al-
Matan ‘ind ‘Ulama al-Hadits al-Nabawi menjelaskan empat aspek yang perlu diperhatikan.
1. Pertama, makna hadis tidak bertentangan dengan petujuk al-Qur’an.
2. Kedua, makna hadis tidak bertentangan dengan hadis sahih lainnya dan sirah Nabi.
3. Ketiga, makna hadis tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan fakta sejarah.
4. Keempat, susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian (Al-Adlabi, 1983:
230).
Selanjutnya, sebagai praktik analisis, mari kita telaah hadis tentang kewajiban
mencari ilmu. Di antara hadis yang sangat populer tentang kewajiban mencari ilmu adalah
riwayat Ibn Majah sebagai berikut:
ِ ‫يرينَ ع َْن َأن‬
‫َس‬ iٍ ‫ار َح َّدثَنَا َح ْفصُ بْنُ ُسلَ ْي َمانَ َح َّدثَنَا َكثِي ُر بْنُ ِش ْن ِظ‬
ِ ‫ير ع َْن ُم َح َّم ِد ب ِْن ِس‬ ٍ ‫ح َّدثَنَا ِه َشا ُم بْنُ َع َّم‬
‫يضةٌ َعلَى ُكلِّ ُم ْسلِ ٍم‬َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم طَلَبُ ْال ِع ْل ِم فَ ِر‬
َ ِ ‫ك قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬ ٍ ِ‫ْب ِن َمال‬
“Rasulullah saw bersabda: mencari ilmu itu wajib atas setiap orang Muslim” (HR. Ibn
Majah, 220)
Hadis yang diriwayatkan pertama kali oleh Anas bin Malik salah seorang sahabat
terdekat Rasulullah ini dapat dijumpai di banyak kitab hadis, antara lain di Sunan Ibn Majah
yang merupakan salah satu di antara enam kitab Hadis (al-Kutub al-Sittah) yang mu’tabar
yakni diakui dan dijadikan referensi. Selain Anas bin Malik, sahabat Rasulullah yang juga
meriwayatkan hadis ini adalah Abu Said al-Khudri sebagaimana disebutkan dalam
kitab Musnad al-Syihab karya Muhammad Ibn Salamah Ibn Ja’far. Karena banyaknya kitab
yang mencantumkan hadis ini, maka hadis inipun sangat sering dikutip dalam karya-
karya ilmiah, buku-buku maupun tulisan populer serta kerap juga diungkap dalam seminar
dan ceramah-ceramah. Namun demikian, Ibn Majah sendiri menganggap hadis ini termasuk
hadis daif. Kelemahan hadis ini terletak pada seorang rawinya yang ada pada rangkaian
sanad yaitu Hafash bin Sulaiman yang dinilai tidak tsiqah oleh Yahya bin Ma’in dan
dikatakan matruk oleh Ahmad bin Hanbal dan al-Bukhari.

5. Konsep/teori/istilah pada modul yang memiliki perbedaan dengan pengetahuan awal Anda
(miskonsepsi)

 Dalam mengklasifikasikan kedoifan sutu hadis Sebagian ahli hadis menghimpunya dan
terkumpul 381 bentuk hadis daif. Namun, bentuk-bentuk tersebut mayoritas tidak aktual dan
tidak menunjukkan ciri-ciri yang spesifik. Oleh karena itu, Ibnu Salah yang kemudian
diikuti oleh al-‘Iraqisecara lebih realistis menyebut jumlah hadis daif tidak lebih dari 42 macam
(al-Shalih, 2002: 158)
 Dalam menilai hadis Di antara perawi dalam rangkaian sanad tersebut terdapat ‘Ashim Ibn
‘Ubaydillah yang dipredikati daif oleh ulama kritikus hadis karena memiliki kualitas
hafalan yang buruk. Dengan demikian hadis ini daif. Akan tetapi, al-Tirmidzi
menyebut bahwa hadis tersebut diriwayatkan pula melalui jalur lain, sehingga kualitasnya
naik menjadi hadis hasan li ghayrihi (Herlambang & Anwar, 2019: 50)

6. Konsep/teori/istilah pada modul yang masih sulit Anda pahami atau membutuhkan penjelasan lebih
lanjut (sebagai bahan diskusi)
• Adil : Sifat perawi berkenaan dengan moralitasnya
• Dabit : Sifat perawi berkenaan dengan intelektualitasnya
• Daif : Jenis hadis yang berkualitas lemah
• Hasan: Jenis hadis yang berkualitas baik di bawah sahih
• Illat : Kecacatan pada sanad atau matan had
• Maudhu’ : Bagian dari jenis hadis daif yang sangat buruk; hadis palsu
• Matan : Kandungan hadis
• Rawi : Periwayat hadis
• Sahih : Jenis hadis yang berkualitas baik, di atas hasan
• Sanad: Sandaran hadis; rangkaian periwayat dalam hadis
• Syadz : Kejanggalan dalam sanad atau matan hadis

7. Setelah membaca modul, apa yang Anda harapkan/yang akan Anda lakukan di/pada tempat Anda
bekerja saat ini?

 Setelah mempelajari modul belajar kriteria kesahihan hadits dengan harapan saya menambah
metode atau kegiatan belajar trutama penerapan dalam pelajara pendidikan Agama Islam di
sekolah kami.
 Dengan itu Studi Hadits Ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad
dan matan, apakah diterima atau ditolak, mana hadits sahih, hasan dan da’if. secara harfiah hadits
dimaknai perkataan atau perbuatan serta ketetapan Rasulullah SAW. Para siswa semakin senang
dan semangat untuk memperdalam atau menghapal hadits-hadits Rasulallah.
 Untuk menghidupkan kembil girah atau semangat menutut ilmu terutama ilmu al-Qur’an dan
Hadits.

Tangerang, 12 September 2023


Mahasiswa

(Abdul Aziz)

Anda mungkin juga menyukai