Anda di halaman 1dari 19

B.

Hadis ṢaḥīH
1. Pengertian Hadis Ṣaḥīḥ

Hadis ṣaḥīḥ adalah hadis yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan ḍābith
dari rawi lain yang (juga) adil dan ḍābith sampai akhir sanad, dan hadis itu tidak janggal serta tidak mengandung
cacat (illat).1
Kata ṣaḥīḥ dari kata ‫ الصحيح‬yang berarti selamat dari penyakit, dan bebas dari aib. Menurut Ibn Ṣalāh
bahwa yang dimaksud dengan hadis ṣaḥīḥ adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh
periwayat yang adil dan ḍābith dari awal hingga akhir sanadnya serta tidak ada syādz dan tidak ada ‘illat.2
Sedangkan Subhῑ al-Sālih memberikan pengertian hadis ṣaḥīḥ, yaitu hadis yang sanadnya bersambung,
dikutip oleh periwayat yang adil dan cermat dari orang yang sama sampai berakhir pada Rasūlullāh Ṣalla Allāh
‘Alayhi wa Sallam atau kepada sahabat dan tabi’ῑn, bukan hadis yang syādz (kontroversial) dan tidak ada ‘illat. 3
2. Syarat Hadis Ṣaḥīḥ
Definisi di atas mengandung lima sifat yang harus dimiliki oleh suatu hadis, agar dapat dikategorikan
sebagai hadis ṣaḥīḥ, yaitu sebagai berikut:
a. Bersambung Sanadnya
Yang dimaksud dengan ketersambungan sanad adalah bahwa setiap rowi hadis yang bersangkutan
benar-benar menerimanya dari rawi yang berada di atasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara
yang pertama. Dalam definisi ini tidak mencakup hadis mursal dan munqaṭī’ dalam berbagai variasinya.
Sanad suatu hadis dianggap tidak bersambung apabila terputus salah seorang atau lebih dari rangkaian
para rawinya. Boleh jadi rawi yang dianggap putus itu adalah seorang rawi yang ḍa’īf, sehingga hadis yang
bersangkutan tidak ṣaḥīḥ.4
b. Keadilan Para Rawi-nya
Uraian arti adil dan perincian syarat-syaratnya telah disebutkan di muka. Keadilan rawi merupakan
faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat, karena keadilan itu merupakan suatu sifat yang mendorong
seseorang untuk bertakwa dan mengekangnya dari berbuat maksiat, dusta, dan hal-hal lain yang merusak harga
diri (mūrū’ah) seseorang.
Dengan persyaratan ini, maka definisi di atas tidak mencakup hadis maudu’ dan hadis-hadis daif yang
disebabkan rawinya dituduh fasik, rusak mūrū’ah-nya, dan sebagainya.5
c. Ke-Ḍābiṭ-an Para Rawi-nya
Yang dimaksud dābiṭ ialah bahwa rawi hadis yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik,
baik dengan hafalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkan kembali
ketika meriwayatkannya. Persyaratan ini menghendaki agar seorang rawi tidak melalaikannya dan tidak
semaunya ketika menerima dan menyampaikanya, dan sebagainya.6
d. Tidak Rancu
Kerancuan (syudzudz) adalah suatu kondisi dimana seorang rowi lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi
ini dianggap rancu karena apabila dia berbeda dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya , baik dari segi
kekuatan daya hafalannya atau jumlah mereka yang lebih banyak, para rawi itu harus diunggulkan, dan ia
sendiri disebut syadz atau rancu,. Dan karena kerancuannya maka menimbulkan penilaian negatif terhadap
periwayatan hadis yang bersangkutan.7
e. Tidak Ada Cacat
Maksudnya adalah bahwa hadis yang bersangkutan terbebas dari cacat ke ṣaḥīḥan-nya. Yakni hadis itu

1
Nuruddin, ‘Ulumul Hadis, (Bandung: PT Remaja rosdakarya, 2017), 240.
2
Marhumah, ulumul hadis: konsep, urgensi, objek kajian, metode dan contoh, (Yogyakarta: SUKA-press, 2014), 74.
3
Ibid,74.
4
Ibid,241
5
Nuruddin, ‘Ulumul Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017), 241.
6
Ibid, 241.
7
Ibid, 242.
1
terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa hadis itu tidak menunjukkan
adanya cacat-cacat tersebut. Dengan keriteria ini maka definisi di atas tidak mencakup definisi hadis mu’allal
bercacat. Jadi yang mengandung cacat itu bukan hadis ṣaḥīḥ.
Rasionalisasi kebenaran lima syarat tersebut sebagai ukuran ke ṣaḥīḥan hadis adalah bahwa faktor
keadilan dan ke dlābith-an rawi dapat menjamin keaslian hadis yang diriwayatkan seperti keadaannya ketika
hadis itu diterima dari orang yang mengucapkannya.8
3. Contoh Hadis Ṣaḥīḥ
- ‫ َقاَل َر ُسوُل ِهللا َص َّلى‬: ‫ َع ِن ‌اْبِن ُع َم َر َرِض َي ُهللا َع ْنُهَم ا َقاَل‬، ‫ َع ْن ‌ِع ْك ِر َم َة ْبِن َخ اِلٍد‬، ‫ َأْخ َبَر َنا‌َح ْنَظَلُة ْبُن َأِبي ُس ْفَياَن‬: ‫ِهللاْبُن ‌ُم وَس ى َقاَل‬ ‌ ‌ ‫‌َح َّد َثَنا‌ُع َبْيِد‬
) ‫ َو َص ْو ِم َر َم َض اَن‬،‫ َو اْلَح ِّج‬،‫ َو ِإيَتاِء الَّز َك اِة‬،‫ َو ِإَقاِم الَّص اَل ِة‬،‫ َش َهاَد ِة َأْن اَل ِإَلَه ِإاَّل ُهللا َو َأَّن ُمَحَّم ًدا َر ُسوُل ِهللا‬: ‫(‌ ُبِنَي‌اِإْل ْس اَل ُم َع َلى َخ ْم ٍس‬: ‫ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬.
Dicetirakan dari Ubaidῑllah ibn Mūsā berkata telah memberitahukan kepada kami Hundalah ibn Abῑ
Sufyān dari Ikrimah ibn Khālid dari Ibn Umar radhiyallahu `Anhu. Berkata, Rasūlullāh Ṣalla Allāh ‘Alayhi
wa Sallam, bersabda: “Islam dibangun atas lima sendi dasar, yaitu kesaksian tidak ada Tuhan selain Allah
dan Muhammad adalah utusan Allah yang dikenal dengan syahadat, mendirikan salat, menunaikan
zakat, haji dan puasa dibulan Ramadan. (HR. Al-Bukhari)9

Dari contoh di atas, dapat diperoleh syarat hadis ṣaḥīḥ adalah: pertama, seluruh sanadnya bersambung
(musnad), masing-masing periwayat yang terlibat dalam kegiatan transmisi hadis harus mendengar langsung
dari periwayat sebelumnya atau gurunya. Hadis semacam ini disebut juga hadis yang muttaṣil atau mauṣul.
Kedua, periwayat yang terlibat dalam periwayat hadis harus ‘ādil. ‘ādil disini merupakan istilah khusus dalam
ilmu hadis. Ketiga, diriwayatkan atas periwayat yang dābiṭ. Keempat, tidak terdapat adanya syadz. Kelima, tidak
terdapat adanya ‘illat.10

C. Hadis Hasan
1. Pengertian Hadis Hasan
Hadis hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang adil ,
tetapi kurang kuat hafalanya, tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan (Syazz) dan tidak juga terdapat
cacat (‘Illat).

Menurut al- Tirmidzi, hadis hasan adalah:

‫اَل َيُك ْو ُن ِفي ِإْسَناِدِه َم ْن ُيَّتَهُم بِاْلَك ِذِب َو اَل َيُك ْو ُن َش اًّذ ا َو ُيْر َو ى ِم ْن َغْيِر َو ْج ٍه َنْح ِو ِه ِفى اْلَم ْعَنى‬

hadis yang pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan pada
matannya dan hadis itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan
maknanya.

Jadi perbedaan mendasar antara hadis hasan dan hadis ṣaḥīḥ adalah pada daya kekuatan hafalan
periwayatnya. Pada hadis hasan, hafalan perawinya ada yang kurang meskipun sedikit. Sedangkan syarat-syarat
lainya tidak ada perbedaan antara hadis hasan dengan hadis ṣaḥīḥ.11

2. Contoh Hadis Hasan


Contoh hadis hasan adalah sabda Nabi Muhammad Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam dalam riwayat al-
Tirmidzi:

‫َلْو اَل َأْن َأُش َّق َع َلى ُأَّمِتْي َأِلَم ْر ُتُهْم ِبالِّس َو اِك ِع ْنَد ُك ِّل َص اَل ٍة‬.
Jika tidak memberatkan umatku niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali akan salat.
8
Ibid, 242.
9
Marhumah, ulumul hadis: konsep, urgensi, objek kajian, metode dan contoh, (Yogyakarta: SUKA-press, 2014), 75.
10
ibid,76-79.
11
A Qadir Hassan, Ilmu Musthalahul Hadis, Bandung: Diponegoro, 2007, 182.
2
3. Macam- macam Hadis Hasan
a. Hadis hasan li dzatihi
Hadis yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dabit meskipun tidak sempurna, dari
awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada kejanggalan (Syazz) dan tidak juga terdapat cacat (‘Illat ) yang merusak
hadis.

b. Hadis hasan li ghairihi


Hadis hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna. Dengan kata lain, hadis tersebut pada
dasarnya adalah hadis da’if, akan tetapi karena adanya sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid
atau muttabi’), maka kedudukan hadis da’if tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan li-ghairihi.

Contoh hadis hasan li ghairihi adalah hadis dari Abdullāh ibn ‘Amr ibn Rabi'ah meriwayatkan dari
ayahnya, bahwasanya seorang wanita dari kaum Fazarah menikah dengan mahar sepasang sepatu, lalu
Rasūlullāh Ṣalla Allāh ‘Alayhi wa Sallam, bersabda:

‫َأَرِض ْيُت ِم ْن َنْفِسِه َو َم اِلِه ِبَنْع ِلْي َقاَلْت َنَعْم َفَأَج اَز ُه‬
Apakah engkau suka menyerahkan diri engkau dan harta engkau dengan hanya sepasang sepatu?
Perempuan tersebut menjawab: ya, maka Nabi Muhammad saw pun membolehkannya.

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dari Syu'bah dari ‘Ashim ibn Ubaidillah dari Abdullah ibn 'Amr.
Menurut al-Suyuthi, 'Ashim ini daif karena memiliki hafalan yang lemah. Namun demikian hadis ini berstatus
hasan li ghairihi karena memiliki jalur periwayatan yang lain.12

D. Hadis Da’ῑf
1. Pengertian Hadis Da’ῑf

Hadis da’ῑf secara bahasa yaitu lemah. Para ulama memiliki dugaan kuat bahwa hadis tersebut tidak dari
Rasulullah tapi ada kemungkinan bahwa hadis tersebut ada dugaan kecil dari Rasulullah. Sesungguhnya suatu
hadis dianggap da’ῑf selama belum dapat dibuktikan keshahihan dan kehasanannya. Namun demikian, ulama
hadis dalam membicarakan kualitas suatu hadis, telah berusaha pula untuk membuktikan atau menjelaskan
kedhaifannya suatu hadis bila hadis yang bersangkutan dinyatakan da’ῑf sehingga jelas berat ringannya
kekurangan atau cacat yang dimiliki hadis tersebut. 13

2. Macam-macam Hadis Da’ῑf

Hadis da’ῑf dapat dibagikan menjadi dua pendapat yaitu :

1) Hadis da’ῑf karena gugurnya rawi dalam sanadnya.


Gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad,
baik pada permulaan sanad , maupun pada pertengahan sanad atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadis
da’ῑf yang disebabkan karena gugurnya rawi, di antara lain yaitu :
a. Hadis mursal
b. Hadis munqathi
c. Hadis mu’dhal
d. Hadis mu’allaq.
2) Hadis da’ῑf karena adanya cacat rawi atau matan.

12
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis (Cet. VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 169-170.
13
Al-Thahhan, Mahmud, Taysir Mushtalah al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t),. 76
3
Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi atau matan. Seperti pendusta, tidak terkenal, dan
berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Ada cacat pada matan, misalkan
terdapat sisipan di tengah-tengah lafad hadis atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda
dari maksud lafad sebenarnya.
Contoh hadis da’ῑf karena cacat pada matan atau rawi :
a. Hadis maudhu’
b. Hadis mathruh
c. Hadis munkar
d. Hadis mu’allaq
e. Hadis mudraj
f. Hadis syad

3. Contoh Hadis Da’ῑf


Contoh hadis da’ῑf seperti hadis yang diriwayatkan oleh ibnu Majah dalam kitab sunahnya, ia berkata:

‫ أن رسول اهلل صلى‬:‫حدثنا بشر بن آدم حدثنا زيد بن ْالباب حدثنا معاوية بن صاحل عن السفر بن نْسي عن يزيد بن شريح عن أيب أمامة‬
‫اهلل عليه وسلم هنى أن يصلي الرجل وهو حاقن‬

Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Adam berkata: telah menceritakan kepada kami Zaid Ibnu
Hubab berkata: telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah bin Shalih dari As-Sifir bin Nusair dari Yazid
bin Syuraih dari Abu Umamah berkata: "Rasulullah ṣalla Allā ‘Alaihi wa sallam melarang seseorang shalat
dengan menahan kencing.

Hadis ini disebabkan da’ῑf karena ada dua perawinya yang lemah. Mereka ialah ibn Nuzair dan Bisyr Ibn
Adam.

Hadis Musytarak Bayna Sahih, Hasan, Dan Daif

A. Hadis Musnad
1. Pengertian Musnad
Hadis musnad dengan difathah nunnya sering disebut sebagai nama dari sebuah kitab, hadis-hadis
dalam kitab tersebut disusun dan dikelompokkan berdasarkan nama sahabat nabi yang meriwayatkannya.
Terkadang disebut juga sebagai ta’rif dari sebuah hadis.
Musnad adalah hadis yang bersambung sanadnya dari para perawi hadis sampai Rasullullah Salla Allah
‘Alayh wa Sallam, dari ta’rif tersebut telah tampak jelas bahwasanya hadis musnad itu memiliki 2 syarat yang
harus terpenuhi, yaitu hadisnya marfu’ dan muttasil, jika tidak memenuhi syarat yang pertama, maka hadis
tersebut dinamakan mauquf dan maqthu’. Begitu juga, jika tidak memenuhi syarat yang yang kedua, maka
disebut hadis mursal, munqathi’, mu’ḍhal, dan mu’allaq.
Pendapat lain berpendapat bahwasanya musnad adalah hadis marfuk saja, maka tidak harus muttasil.
Ada juga yang berpendapat bahwasanya musnad adalah hadis yang muttasil saja, maka tidak harus marfu’.
Ketiga pendapat tersebut telah dikumpulkan oleh Imam Suyuti di dalam kitab al-fiyahnya:
‫المسنُد المرفوُع ذواتصاِل وقيل اَّوٌل وقيل التالى‬
Perkataan ‫ المسند المرفوع ذواتصال‬merupakan pendapat yang dapat dijadikan pegangan di dalam pengertian
musnad bahwasanya musnad itu marfu’ dan muttasil. Perkakatan ‫ وقيل اول‬itu merupakan ta’rif yang
menyatakan bahwasanya musnad itu hanya yang awal, yaitu marfuk sedangkan perkataan ‫ وقيل التالى‬merupakan
ta’rif yang menyatakan bahwasanya musnad itu hanya bersambung sanadnya.
Hukum hadis musnad itu bisa sahih, hasan, atau daif bergantung adanya sifat-sifat maqbūl atau tidak.14
14
Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki, Manhal al-Latif fi Usul al-Hadis, (Surabaya: Maktab Markazi, t.th.), 76-77.
4
2. Contoh Hadis Musnad
‫ َع ِن اْبِن ُع َم َر‬،‫ َع ْن َناِفٍع‬، ‫ َأْخ َبَر ‌َناَم اِلٌك‬:‫حدثنا عبد هللا بن يوسف قال‬
)‫ َك َأَّنَم ا ُوِتَر َأْهَلُه وماله‬،‫ (‌اَّلِذ ي‌َتُفوُتُه َص اَل ُة اْلَع ْص ِر‬:‫َأّن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬

Orang yang tidak mengerjakan salat asar itu seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan
hartanya.15

B. Hadis Muttasil
1. Pengertian Muttasil
Hadis muttasil disebut juga maushul dan mu’tashil adalah hadis yang bersambung sanadnya yang
masing-masing rawi mendengar langsung hadis tersebut dari rawi di atasnya sampai kepada ujung sanad, baik
hadis marfu’ maupun hadis mauquf.

Dari pengertian di atas, telah jelas bahwasanya muttasil itu mencakup perkataan tabiin dan para rawi
setelahnya jika sanadnya bersambung kepada mereka, maka sanad yang bersambung sampai pada tabiin itu
dapat disebut hadis muttasil, akan tetapi selama adanya istilah yang berlaku bahwasanya hadis yang
disandarkan kepada tabiin itu disebut hadis maqthu’, maka hal ini menyebabkan terpisahnya kemuttasilan
kepada mereka, seperti halnya mempertentangkan dua perkara dalam satu pembahasan, pengertian tersebut
merupakan pandangan Ibn al-Salah yang berpendapat bahwasanya hadis muttasil itu tidak mencakup perkara
yang disandarkan kepada tabiin, hadis muttasil hanya mencakup hadis marfuk dan mauquf saja sedangkan hadis
yang disandarkan kepada tabiin dinamakan hadis maqthu’.
Al-‘Iraqi memiliki pandangan tengah-tengah, yaitu perkatan tabiin tidak bisa dikatakan berpisah dari
kemuttasilannya, tetapi dapat dikatakan muttasil dengan ketentuan kepada siapa sanadnya itu bersambung, jika
sanadnya bersambung hanya sampai tabiin, maka boleh mengakatakan hadis tersebut bersambung kepada
fulan. Seperti perkataan ulama’ hadits “Hadis ini bersambung kepada Sa’id bin Musayyad, kepada az-Zuhri,
kepada Malik. Pandangan tersebut merupakan pandangan yang baik, karena sesungguhnya penyandaran
kepada tabiin itu dinamakan hadis maqthu’ tidak dapat dikatakan sebagai hadis muttasil sebelum memenuhi
ketentuan-ketentuan sebagai hadis yang maqbul dan hasan. Pandangan al-‘Iraqi terdapat pada al-fiyahnya:
‫َو ِاْن َتِص ْل ِبَس َنِدِه َم ْقُبوال َفَسِّمِه ُم َّتِص اًل َم ْو ُصوال‬
‫ولم َيَر وا َان َيْدُخ َل المقطوُع‬ ‫َس َو اٌء الموقوُف والمرفوُع‬
Hukum hadis muttasil terkadang sahih, hasan, terkadang juga daif menyesuaikan dengan adanya
kesempurnaan sifat-sifat maqbul atau tidak.16
2. Contoh Hadis Muttasil Marfuk dan Mauquf
‫ َع ِن اْبِن ُع َم َر‬،‫ َع ْن َناِفٍع‬، ‫ َأْخ َبَر ‌َناَم اِلٌك‬:‫حدثنا عبد هللا بن يوسف قال‬
)‫ َك َأَّنَم ا ُوِتَر َأْهَلُه وماله‬،‫ (‌اَّلِذ ي‌َتُفوُتُه َص اَل ُة اْلَع ْص ِر‬:‫َأّن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬

Orang yang tidak mengerjakan salat asar itu seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan hartanya.

‫ َم ْن‌َأْس َلَف َس َلًفا َفاَل َيْش َتِر ُط ِإاَّل َقَض اَء ُه‬: ‫ َأَّنُه َسِمَع َع ْبَد ِهَّللا ْبَن ُع َم َر َيُقوُل‬،‫َو َح َّد َثِني‌َم اِلٌك َع ْن َناِفٍع‬

Barang siapa mengutangi orang lain, maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan
membayarnya.17

C. Pengertian Ziyādah Al-Thiqāh


Ziyādah merupakan bentuk jamak dari kata “ziyadah”, yang artinya tambahan. Sedangkan thiqāt
merupakan jamak dari kata “thiqah” yang artinya orang kepercayaan. Adapun yang dimaksud “Ziyadah tsiqah”
15
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, shahih Bukhari, (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1993), 1: 203.
16
Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki, Manhal al-Latif fi Usul al-Hadis, (Surabaya: Maktab Markazi, t.th.), 78-79.

17
Malik bin Anas, al-Muwaṭṭa’, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turᾱts al-‘Arabi, 1985), 2: 682.
5
yaitu hadis yang terdapat sebuah tambahan lafadz atau perkataan dari sebagian perawi yang tsiqah, sedangkan
hadis itu diriwayatkan juga oleh rawi lain, (akan tetapi tidak memakai tambahan). 18
Adapun para ulama hadis yang memperhatikan dan dikenal ahli dalam mendeteksi adanya unsur ziyadah
dalam hadis:
1. Al Faqih Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ziyad an Naisaburi
2. Abu Nu’aim al Jurjani
3. Abu Walid Hasan bin Muhammad al Qaraisyi.19
Dalam Ziyadah Ats-Tsiqah terdapat pada matan dengan tambahan satu kata atau kalimat, atau terdapat
pada sanad dengan mengangkat hadis mauquf atau menyambung hadis mursal. Terkadang tambahan terjadi
dari satu orang, yang meriwayatkan hadis dalam keadaan kurang dalam satu riwayat, sedangkan dalam riwayat
lain terdapat penambahan. Terkadang terjadi tambahan dari orang lain selain yang meriwayatkannya dalam
keadaan kurang.20
Adapun tempat terjadinya tambahan itu ada pada dua tempat yaitu:
a. Tambahan pada matan: berupa tambahan kata atau kalimat.
b. Tambahan pada sanad: berupa memarfu’kan yang mauquf atau menyambung yang mursal.
1. Hukum Ziyādah Al- Thiqah
Dalam Ziyādah Al- Thiqah itu terdapat dua hukum yakni hukum tambahan pada matan dan hukum
tambahan pada sanad.
a. Hukum tambahan pada matan
Hukum tambahan pada matan para ulama berbeda pendapat mengenai hukum tambahan pada matan.
Hukumnya Menerima secara mutlak, Menolak secara mutlak, Menolak tambahan dari rawi hadis yang
meriwayatkannya dari rawi yang pertama tanpa disertai tambahan; namun menerimanya jika dari yang
selainnya.21 Akan tetapi Ibnu Ash-Shalah telah membagi kemudian diikuti oleh Imam An-Nawawi yang mana
berpendapat mengenai Ziyādah Al-Thiqāh bila ditinjau dari sudut sah dan tidaknya, beliau membaginya menjadi
tiga bagian yaitu:
1) Tambahan yang tidak bertentangan dengan riwayat para perawi yang thiqah. Adapun bagian ini hukumnya
sah atau maqbūl.
2) Tambahan yangbertentangan dengan riwayat para perawi yang tsiqah dan tidak mungkin untuk
dikumpulkan antara keduanya, yang mana apabila diterima salah satunya maka ada yang tertolak pada
riwayat lain, maka bagian ini harus ditarjih antara riwayat tambahan dan riwayat yang menentangnya.
Kemudian diantara kedua tadi yang kuat atau rajih diterima, sedangkan yang marjuh atau yang lemah
ditolak.
3) Tambahan yang di dalamnya terdapat semacam pertentangan dari riwayat para perawi yang tsiqah, seperti
mengikat (taqyid) yang mutlaq, atau mengkhususkan (takhshish) yang umum, maka pada bagian ini
hukumnya sah dan diterima.
a) Contoh tambahan pada matan:
1. Contoh tambahan yang tidak mengandung pertentangan: Diriwayatkan Muslim dari jalan Ali bin Mushir, dari
Al-A’masy, dari Abi Razin dan Abi Shalih, dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari tambahan lafadh:
“falyuriqhu” artinya: “maka hendaklah ia buang isinya”; dalam hadis ini tentang jilatan anjing. Semua ahli
hadis dari para murid Al-A’masy tidak ada yang menyebut lafadh tersebut. Yang mereka riwayatkan adalah:
18
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 271.
19
Mahmud Thahan, Kitab Taisir Musthalahul Hadist, (Al Harumain, 1985), 174.
20
Syaikh Manna Al-Qaththan, penerjemah, Mifdhol Abdurrahman, Mabahits Fii ‘Ulum Al-Hadits, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2014) 175-176.
21
Mahmud Thahan, Kitab Taisir Musthalahul Hadist, (Al Harumain, 1985), 175.
6
‫اذا ولغ الكلب في اناء أحدكم فليغسله سبع مرار‬
“Apabila anjing menjilat di bejana salah seorang dari kamu, maka hendaklah ia cuci
bejana itu tujuh kali”.
Maka tambahan kalimat: “hendaklah ia buang isinya” adalah riwayat dari Ali bin Mushar sendirian,
sedangkan dia adalah seorang yang tsiqah; maka diterima haditsnya (karena tidak ada pertentangan antara
riwayat dengan tambahan dengan riwayat tanpa tambahan).
2. Contoh tambahan yang mengandung perselisihan, seperti tambahan “Hari Arafah” yang terdapat pada hadis
yang berbunyi:
‫ وايما أكل و شرب‬,‫يوم عرفة ويوم الحر وأيا م التشريق عيدنا أهل االسالم‬
“Hari Arafah, hari berkorban dan hari tasyriq, hari raya kita orang Islam, adalah hari raya makan dan
minum”.
Hadis ini dilihat dari semua jalannya adalah tanpa kalimat “Hari Arafah”. Dan tambahan ini hanya
terdapat pada riwayat Musa bin Ali bin Rabbah, dari bapaknya, dari ‘Uqbah bin ‘Amir dan tambahan ini
telah di-tarjihkan oleh imam Tirmidzi, Abu Dawud dan lain-lain.
3. Contoh tambahan yang di dalamnya mengandung jenis yang saling meniadakan (pertentangan) dari para
perawi tsiqah atau yang lebih tsiqah adalah: hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari jalur Abi Malik al-
Asyja’i dari Rib’i dari Hudzaifah, yang berkata: “Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallamw. bersabda:
‫ـ ـ ـ وجعلت لنا اآل رض كلها مسجدأ وجعلت تر بتها لنا طهورأ‬
“…dan telah dijadikan bagi kita, bumi itu sebagai masjid, dan telah dijadikan bagi kita, debu itu suci.”
Dalam hadis ini terdapat Riwayat Abu Malik Sa’ad bin Thariq yang disertai tambahan kata “turbatuha”
(debunya), sedangka perawi lain tidak pernah menyebut-nyebut kata tersebut. Akan tetapi mereka
meriwayatkan hadis dengan menggunakan redaksi: “Dan telah dijadikan untuk kami bumi sebagai masjid dan
tempat yang suci.”
b. Hukum tambahan dalam sanad
Maksud dari hukum tambahan dalam sanad disini adalah menjadikan hadis yang mauquf menjadi hadis
yang marfu’, atau menyambung sanad yang mursal, ada dengan kata lain terjadinya pertentangan antara
memarfu’kan dengan memauqufkan, dan memaushulkan dengan memursalkan.
Para ulama saling berbeda pendapat dalam menghukumi tambahan yang masuk dalam kategori ini.
Pendapat-pendapatnya yakni:
1) Para mayoritas ulama ahli fikih dan ahli usuhul fikih menerima tambahan ini.
2) Akan tetapi para mayoritas ulama ahli hadits menolak adanya tambahan ini.
3) Sedangkan sebagian ulama ahli hadis berpendapat agar dilakukan tarjih, maka yang terbanyak itulah yang
diterima.
Contoh tambahan pada sanad:
Hadis:”Tidak sah pernikahan seseorang kecuali dengan adanya wali”. Hadis ini diriwayatkan oleh Yunus
bin Abi Ishaq As-Sab’i dan anaknya Isra’il dan Qais bin Ar-Rabi’, dari Abi Ishaq dengan sanad bersambung. Dan
diriwayatkan juga oleh Sufyan Ath-Thauri dan Syu’bah bin Al-Hajjaj, dari Abi Ishaq dengan sanad mursal. 22
D. I’tibar, Mutābi’, dan Shāhid
1. I’tibar
Kata i’tibar adalah masdar dari kata i’tabara secara etimologi pengkajian terhadap segala sesuatu yang
bertujuan agar mengetahui sesuatu yang sama atau sejenis. Adapun secara terminologi i’tibar adalah penelitian
sanad-sanad hadis yang lain pada suatu hadits tertentu, yang mana dalam hadis tersebut hanya terdapat satu
orang perowi saja, dan dengan mengikut sertakan sanad-sanad dari luar hadis itu akan terlihat apakah ada
perowi lain ataupun tidak dalam sanad dari sanad hadis yang ditelusuri.

22
Mahmud Thahan, Kitab Taisir Musthalahul Hadist, (Al Harumain, 1985), 140.
7
Dengan metode ini dapat diketahui secara gamblang apakah ada sanad lain dari sanad hadis yang
ditelusuri, jadi fungsi dari i’tibar ini sendiri adalah untuk mengetahui kondisi sanad tersebut dari aspek ada apa
tidaknya pendukung yang berupa perowi yang berstatus muttabi’ atupun shahid.23 Selain itu tindakan ini juga
berfungsi mengetahui keberadaan sanad yang lain yang dapat membantu kualitas hadis dari aspek sanadnya
yang akan diteliti, karena sedikit banyaknya sanad hadis itu dapat mempengarui kualitas derajat suatau hadis. 24
2. Muttabi’
Kata Muttabi’ berasal dari fi’il madli tāba’a yang berarti sama/sesuai. Adapun secara istilah muttabi’
ialah suatu hadis yang matannya identik secara lafadz dan ma’na ataupun secara ma’na saja yang mana
perowinya bersekutu dengan perowi hadis tunggal serta sama pada sanad sahabat . 25
Adapun mutābi’ sendiri terbagi menjadi dua yaitu mutābi’ tām dan mutābil qōṣiroh. Aapun mutābi’ tām
yaitu rawi bermusyarakah dari awal isnad, sedangkan mutābi’ qōṣirah ialah perowi bermusyarakah di tengah-
tengah isnad. seperti hadis yang diriwayatkan imam Syafii dari Malik dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar. 26
‫َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل الَّش ْهُر ِتْسٌع َوِع ْش ُروَن َلْيَلًة َفاَل َتُصوُم وا َح َّتى َتَر ْو ه َفِإْن ُغ َّم َع َلْيُك ْم َفَأْك ِم ُلوا اْلِع َّدَة َثاَل ِثين‬

Kemudian para ‘ulama menyangka bahwa imam Syafii hanya menyeriwayatkan seorang diri dari imam
Malik kemudian para’ulama menulusuri ghorib hadis ini setelah para ‘ulama berhasil menemukan mutābi’nya
baik yang tāmmah ataupun yang qōsiroh adapun yang tāmmah ditemukan pada riwayat Bukhori yang
diriwayatkan dari Imam Qo’nabi yang juga meriwayatkan dari Imam Malik dengan menggunakan redaksi ‫فاكملو‬
‫العدة ثالثين‬, mutābi’ ini bisa masuk kategori tammāh dikarenakan Imam Qo’nabi juga berguru kepada Imam Malik
sama seperti Imam Syafi’i.
adapun mutābi’ qōṣirohnya juga ditemukan dari riwayat Ibnu Khuzaimah ‘Ashim bin Muhammad dari
Muhammad bin Zaid dari Abdullah bin umar dengan menggunakan redaksi ‫فكملوا ثالثين‬. Ini bisa dikatakan mutābi’
qōṣiroh dikarenakan antara Imam Syafi’i dan ‘Ashim sama-sama mengambil hadits yang sanadnya sampai pada
Ibnu Umar.27
3. Ash-Shāhid

Secara etimologi ash-Shāhid adalah melihat/menyaksikan, adapun secara terminologi ash-Shāhid adalah
hadis yang matannya sama baik dari aspek lafadz dan ma’nanya maupun ma’nanya saja akan tetapi sahabat
yang meriwayatkan berbeda.28

kemudian shāhid terbagi menjadi dua yaitu Shāhid lafdzi dan maknawi, adapun shāhid lafdzi adalah
hadis yang memperkuat matan hadis lain secara lafadz, seperti hadis yang diriwayatkan imam Syafi’i dibawah
ini.29

‫أخبرنا مالك عن عبد هللا بن دينار عن ابن عمر أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال الشهر تسع وعشرون ال تصوموا حتى تروا‬
‫الهالل وال تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فأكملوا العد ثالثين‬

Hadis ini oleh para ‘ulama dimasukkan hadis ghorib, karena imam Malik sendiri tidak menggunakan
redaksi ‫ فإن غم عليكم فأكملوا العد ثالثين‬, akan tetapi setelah dilakukan penelitian hadis tersebut dijumpai tetapi
menggunakan sanad yang berberda seperti hadis dibawah ini.

‫أخبرنا محمد بن عبد هللا بن يزيد قال حدثنا سفيان عن عمرو بن دينار عن محمد بن حنين عن بن عباس قال عجبت ممن يتقدم الشهر وقد‬
‫قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم إذا رأيتم الهالل فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثالثين رواه النسائي‬

23
Ahmad Izzan, Studi Takhrij Hadist, (Bandung: Tafakur, 2012), 138
24
Nasrullah, Eksistensi Hadist Nabawy, ( Yogyakarta: Dialektika, 2019), 48
25
Mahmud al-Thohan, Taysīru mushtholāhi al-hādits, (Riyad: Maktabah Ma’ārif, 1431H), 176
26
Ibid, 179
27
Mahmud al-Thohan, Taysīru mushtholāhi al-hādits, 179
28
Manna’ al-Qoththan, pengantar ilmu hadist, terj. mifdhol abdurrahman,(Jakarta Timur, Pustaka al-Kautsar, 2014), 180
29
Shubhi shoolih, mushtholah al-hadits, 242
8
Adapun Shāhid Maknawy ialah hadis yang menguatkan makna hadis lain bukan lafadznya, seperti hadis
dibawah ini.30

‫ قال النبي صلى هللا عليه و سلم أو قال قال أبو القاسم صلى هللا‬: ‫حدثنا آدم حدثنا شعبة حدثنا محمد بن زياد قال سمعت أبا هريرة رضي هللا عنه يقول‬
)‫عليه وسلم صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثالثين (رواه البخاري‬

Dari segi makna hadis ini menguatkan hadis yang diriwayatkan oleh imam Syafi’i dari imam Malik bin
Anas sehingga dinamai Shāhid Maknawy.31

HADIS DITINJAU DARI SANDARAN AKHIR

HADIS MARFUK MAUKUF DAN MAKTUK

B. PEMBAHASAN HADIS HADIS MARFUK MAUKUF DAN MAKTUK

1. Pengertian Hadis Marfuk

Al-Marūf’ menurut bahasa isim maf’ūl dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia sendiri berarti yang diangkat. 32
Dinamakan demikian karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan yang tinggi, yaitu, Rasulullah Salla
Allāh ‘Alaihy wa Sallām. Menurut istilah adalah “sabda, atau perbuatan atau taqrīr (penetapan), atau sifat yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad Salla Allāh ‘Alaihy wa Sallām, baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum,
baik yang menyandarkan itu sahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqāthi’ (terputus).33

‫َم ا ُأِض ْيَف ِإَلى الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِم ْن َقْو ٍل َأْو ِفْع ٍل َأْو َتْقِرْيٍر َأْو ِص َفٍة‬
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Salla Allāh ‘Alaihy wa Sallām dalam bentuk perkataan,
perbuatan, taqrīr (pengakuan atau ketetapan), ataupun sifat.34

a). Macam-Macamnya

Dari definisi di atas, jelaslah bahwa hadis marfuk ada dua macam yaitu marfū’ haqīqī dan marfū’ hukmī, hadis
yang disandarkan secara jelas disebut hadis Marfū’ Haqīqīy dan yang disandarkan secara tidak jelas atau hukumnya saja
disebut hadis marfū hukmī, baik secara sharih (jelas) atau secara hukmī (hukumnya) saja.

1. Hadis marfū haqīqī yang berupa sabda atau perkataan adalah hadis yang disebut secara tegas sebagai ucapan
atau perkataan Nabi Salla Allāh ‘Alaihy wa Sallām. Untuk menentukannya dapat diperhatikan dari kalimat-
kalimat yang dipergunakan periwayat pertama sebelum menyebutkan matan hadis. Kalimat tersebut antara
lain.
a) Saya mendengar Rasulullah., bersabda:
b) Rasulullah Salla Allāh ‘Alaihy wa Sallām., bersabda:
c) Nabi Salla Allāh ‘Alaihy wa Sallām. memberitahukan kepada kami demikian.
d) Diberitakan dari Rasulullah Salla Allāh ‘Alaihy wa Sallām., bahwasanya ia bersabda:

30
https://www.edu/42087745/HADIS_AT_TABI_DAN_AS_SYAHID (diakses pada 28 Maret 2023)
31
ibid
32
Ahmad Warson Mumawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2020),516.
33
Syaikh Manna’ Al- Qatthan, Mabāhīth fī ‘Ulūmul al-Hadis, terj. Mifdhol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2020), 173.
34
Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Alhasani, al-Manhal al-lathīf, (Surabaya: Hai’ah Ash Shofwah al-Malikiyyah), 69.
9
2. Hadis marfū haqīqī yang berupa perbuatan, yaitu hadis yang secara tegas menyebutkan perbuatan Nabi Salla
Allāh ‘Alaihy wa Sallām. Tanda-tandanya dapat diperhatikan dari kalimat yang dipergunakan periwayat pertama
sebelum menyebutkan matan hadis. Antara lain:
a) Aku melihat Rasulullah Salla Allāh ‘Alaihy wa Sallām berbuat demikian.
b) Sahabat itu atau orang lainnya berkata bahwasanya Rasulullah pernah berbuat demikian.
3. Hadis marfū’ haqīqī yang berupa taqrīr, yaitu hadis yang secara tegas menjelaskan tentang perbuatan sahabat
yang dilakukan dihadapan Rasulullah Salla Allāh ‘Alaihy wa Sallām. dengan tidak memperoleh reaksi dari beliau,
baik dengan menyetujuinya ataupun mencegahnya.
4. Hadis marfū’ hukmī yang berupa perkataan, yaitu hadis yang tidak secara tegas disandarkan kepada Nabi
sebagai sabdanya. Hadis ini dihukum marfū’ karena ada qarinah (keterangan) yang lain menerangkan bahwa
berita itu berasal dari Nabi Salla Allāh ‘Alaihy wa Sallām.
Qarinah yang dimaksud adalah bahwa sebelum penyebutan matan hadis, biasanya didahului dengan
kata-kata umirna bi kadza atau nuhina bi kadza (Kami diperintahkan demikian atau kami dilarang demikian).
5. Hadis marfū’ hukmī yang berupa perbuatan, yaitu hadis marfuk’ yang menjelaskan tentang perbuatan sahabat
yang dilakukan di hadapan Rasulullah atau pada zaman Rasulullah. Perbuatan sahabat dalam hal ini adalah
perbuatan yang pada umumnya tidak dilakukan secara tersembunyi.
6. Hadis marfū’ hukmī yang berupa taqrīr, yaitu hadis yang berisi suatu berita yang berasal dari sahabat, yang
terdapat di dalamnya kata-kata: Sunnatu Abi qasim, Sunnatu nabiyyina, atau minas sunnah, atau kata-kata
semacamnya.35
Hukum hadis marfuk tergantung pada kualitas dan bersambung atau tidaknya sanadnya, sehingga dengan
demikian memungkinkan suatu hadis marfuk itu bersetatus Shahih Hasan atau Daif.36

2. Hadis Maukuf

Al-Mauqūf berasal dari waqafa yang berarti berhenti, menurut bahasa berarti barang yang dihentikan atau
barang yang diwaqafkan.37 Sedangkan hadis maukuf menurut istilah ahli hadis adalah apa yang diriwayatkan atau
disandarkan oleh sahabat Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrīr, baik sanadnya itu bersambung ataupun
terputus. Sebagian ulama memberikan syarat sanad bersambung sampai sahabat untuk hadis maukuf ini. 38

‫ُهَو َم ا َر َو اُه َع ِن الَّص َح اِبِّي ِم ْن َقْو ٍل َلُه َأْو ِفْع ٍل َأْو َتْقِر ْيٍر ُم َّتِص اًل َك اَن َأْو ُم ْنَقِط ًعا‬. 39

Yaitu segala yang diriwayatkan dari sahabat dalam bentuk perkataan beliau

Perbuatan atau taqrir, baik sanadnya muttāshīl atau munqāthi.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpukan bahwa segala sesuatu yang diriwayatkan dari atau dihubungkan
kepada seorang sahabat atau sejumplah sahabat baik berupa perkataan, perbuatan, maupun pengakuan disebut hadis
maukuf, dan sanad hadis maukuf tersebut boleh jadi muttāshīl (bersambung), atau munqāthi’ (terputus).

Contoh Hadis maukuf dalam bentuk perkataan.

‫َاُتِرْيُد وَن َأْن ُيَك َّذ َب ُهللا َو َر ُسوُلُه‬، ‫ َحِد ُّثوا الَّناَس ِبَم ا َيْع ِرُفوَن‬:‫ َقاَل َع ِلُّي ْبُن َأِبي َطاِلٍب َرِض َي ُهللا َع ْنُه‬: ‫َقْو ُل اْلُبَخ اِر ِّي‬.40

Bukhori berkata, “Ali bin Abi Thalib Radiyaullah huanhu, ‘Berbicara dengan manusia tentang apa yang diketahui atau
dipahaminya apakah kamu ingin bahwa Allah dan Rasul nya didustakan.

35
Hj.Rustina, Ulumul Hadis (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010), 129.
36
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), 283.
37
Ahmad Warson Mumawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia….,1576
38
Hj.Rustina, Ulumul Hadis..131.
39
Ajjaj al-Khathib,Usul al-Hadis Ulumuhu wa Mustlahu,(Bairut: Dar al-Fikr 1989), 380.
40
Muhammad Al- Bukhari ibn ‘Ali ibn Tsabit Al-Khatib , Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Fikr 1981), 1: 41.
10
Contoh maukuf fikli perbuatan;

‫ َو َأَّم اْبُن َعَّباٍس َو ُهَو ُم َتَيِّمٌم‬: ‫َقْو َل اْلُبَخ اِر ِّي‬.41


seperti perkataan Imam Bukkhari,”Ibnu Abbas menjadi imam sedangkan dia (hanya) bertayamum.

Contoh maukuf taqrīr seperti perkataan seorang tabiin, “aku telah melakukan begini didepan seorang sahabat dan dia
tidak mengingkari atasku.

Riwayat maukuf sanadnya ada yang shahih atau hasan atau daif hukum asal pada hadis maukuf adalah tidak
boleh dipakai berhujjah dalam agama karena perkataan dan perbuatan sahabat, tetapi jika dia kuat maka dapat
menguatkan sebagai hadis daif.42

3. Hadis Maktuk

Al-Maqthū’ artinya Secara etimologi diputus atau yang terputus kata qatha’a adalah lawan dari washala, yang
berarti putus atau terputus.43 Sedangkan secara terminologi, hadis maktuf berarti:
‫َو ُهَو اْلَم ْو ُقْو ُف َع َلى الَّتاِبِع ي َقْو ًال َلُه َأْو ِفْع ًال‬.44

Yaitu, sesuatu yang terhenti sampai pada tabiin, baik perkataan maupun perbuatan tabiin tersebut

Atau, yang sebagaimana disebutkan oleh al-Thahhan:

‫َم ا ُأِض ْيَف ِإَلى الَّتاِبِع ي َأْو ِم ْن ُد ْو َنُه ِم ْن َقْو ٍل َأْو ِفْع ٍل‬.
45

Sesuatu yang disandarkan pada tabi’i atau generasi yang datang sesudahnya berupa perkataanatau perbuatan.

Hadis maktuk tidak sama dengan munqāthi’, karena maktuf adalah sifat dari matan, yaitu berupa perkataan
tabiin atau tabi tabiin, sementara munqāthi’ adalah sifat dari sanad , yaitu terjadinya keterputusan sanad pada generasi
sebelum sahabat dan tidak secara berturut-turut, apabila keterputusan sanad tersebut lebih dari satu orang perawi.
Sanad pada hadis maktuk bisa saja muttāshīl (bersambung) sampai kepada Tabiin, yang merupakan sumber dari
matannya.

a. Contoh hadis maktuk adalah


‫ "َص ِّل َو َع َلْيِه ِبْد َع ُتُه‬:‫"َقْو ُل اْلَحَس ِن اْلَبْص ِر ي ِفي الَّص َالِة ُخ ُلَف اْلُم ْبَتَد ِع‬.46

Perkataan Hasan Bashri mengenai shalat dibelakang ahli bid’ah: “ Shalatlah dan dia akan menanggung dosa atas
perbuatan bid’ahnya.”

b. Status hukum hadis maktuk


Hadis maktuf tidak dapat dijadikan hujah atau dalil untuk menetapkan sesuatu hukum,karena status dari
perkataan tabiin sama dengan perkataan ulama lainnya.47

METODE TAḤAMMUL WA AL-ADA`

41
Ibid, 88.
42
Syaikh Manna’ Al- Qatthan, Mabahits fii ‘Ulimul Hadis, terj. Mifdhol Abdurrahman, 175.
43
Ahmad Warson Mumawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia…...,1133
44
Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abu Bakar Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, (Madinah: Al-Maktabat al-‘Iimiyyah,1972),
124.
45
Mahmud Al-Thahhan, Tafsir mustalah al-Hadis,(Beirut: Dar Al-Qur’an al-karim,1979), 132.
46
Bukhori, Shahih Al-Bukhari, 1: 170
47
Mahmud Al-Thahhan, Tafsir…, 133.
11
A. Pengertian al-Taḥmmula wa al-`Adā`
Kata at-Taḥammul adalah bentuk maṣdar dari Taḥmmala-Yataḥammalu, yang secara etimologis berarti
menanggung, membawa.48 Ṭuruq al-Taḥammul adalah cara-cara menerima hadis dan mengambilnya dari
Syekh. Dan yang dengan bentuk penyampaian (sighah al-ada’) adalah lafaz-lafaz yang digunakan oleh ahli hadis
dalam meriwayatkan hadis dan menyampaikannya kepada muridnya, misalnya dengan kata : “sami’tu” (aku
telah mendengar) atau “ḥaddathanī” (telah bercerita kepadaku), atau yang semisal dengannya. 49 Jadi
Taḥammul adalah menerima periwayatan sebuah hadis dari guru dengan metode-metode tertentu.
`Adā` secara etimologis berarti sampai/melaksanakan. Secara terminologis berarti sebuah proses
mengajarkan (meriwayatkan) hadis dari seorang guru kepada muridnya. Jadi al-`Adā` adalah proses
menyampaikan dan meriwayatkan hadis.

C. Syarat Perawi
1. Syarat perawi dalam Taḥammul al-hadis
Kebanyakan ulama cenderung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan anak kecil, yakni anak
yang mencapai usia taklīf. Sedangkan sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Adapun kejadian sahabat,
tabi’in dan ahli ilmu mereka menerima riwayat sahabat yang masih berusia anak-anak, seperti Hasan, Husein,
Abdullah Ibn Aa-Zubair, Anas Ibn Malik, Abdullah Ibn Abbas, Abu Sa’id al Khudary, dan lain-lain tanpa memilah-
memilih antara riwayat yang mereka terima sebelum dan sesudah balig.50
Perbedaan pendapat diantara ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa keahlian penerima hadis menurut
kebanyakan ulama adalah tamyīz, yaitu suatu kemampuan yang menjadikan seseorang dapat memahami dan
hafal terhadap apa yang didengarnya.51
Adapun syarat-syarat perawi dalam taḥammul al-hadis sebagai berikut :
a) Tamyīz
Syarat pertama perawi dala taḥammul al-hadis adalah tamyĪz. Menurut Imam Ahmad, Ukuran tamyĪz
adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan menginngat yang dihafal. Ada juga yang
mengatan bahwa bila anak-anak telah memahami pembicaraan dan mampu memberikan jawaban,
maka ia sudah mumayyiz meski usianya dibawah lima tahun.52
b) Penerima harus ḍābiṭ
Yang artinya penerima harus memiliki hafalan yang kuat atau dokumen yang valid.

c) Berakal sempurna
Berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalam ber-tahamul hadis karena untuk menerima hadis yang
merupakan salah satu sumber hukum Islam sangat diperlukan. Oleh karena itu tidak sah riwayatnya
sseseorang yang menerima hadis tersebut dalam keadaan tidak sehat akalnya.
Selain sehat akal, dalam ber-Taḥammul juga harus dalam keaadaan sehat fisiknya dan juga mentalnya
agar orang tersebut mampu memahami dengan baik riwayat hadis yang diterimanya.
2. Syarat perawi dalam `adā` al-hadīs

48
Muhammad Yunus, Kamus Bahasa Arab, (Jakarta: Balai Pustaka, 2009), 11.
49
Manna’ Al-Qaṭṭan, Pengantar Ilmu Hadis, Penerjemah : Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta:Pustaka al-Kausar, 2005), 181.
50
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Edisi 1, Cetakan 3, (Jakarta : RajamGrafindo Persada, 2002), 195.
51
Nuruddin, Ulum al-Hadis, Terjemah Ulumul Hadis, (Bandung, Remaja Rosda Karya, 1994), 194
52
Ajaz al-Khatib, Ulumul al-Ḥadīth Ulumulhu wa Muṣṭaḥahu, (Damamaskus : Dar al-Fikr, 2001), 202.
12
Mayoritas ulama hadis sependapat bahwa orang yang meriwayatkan hadis bisa dijadikan ḥujjah, baik
laki-laki maupun perempuan, yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Islam
Pada waktu periwayatan hadis, maka seorang perawi harus muslim, menurut ijmā’ pendapat
orang kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja kita harus ber-tawaqqub , apalagi jika
perawinya orang kafir.
2) Balig
Yang dimaksud dengan balig ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis, walaupun
penerimanya belum balig. Ulama mengecualikan penerimaan riwayat dari anak di bawah usia balig,
karena khawatir akan kedustaannya. Karena terkadang dia berdusta disebabkan tidak paham
dampak dan siksaan beerbuat dusta itu. Sehingga balig merupakan standarisasi adanya kemampuan
berakal dan pusat kesempurnaan akal yang membuat seseorang jera untuk berbuat dusta dan
terhindar dalam melakukan hal demikian.
3) ‘Adālah
Yang dimaksud ‘Adālah adalah seuatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang
menyebabkan orang orang yang mempunyai sifat tersebut tetap taqwa, menjaga kepribadian,
percaya diri sendiri dengan kepribadiannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa
kecil.
4) al-Ḍābiṭ
al-Ḍabiṭ adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu
menyampaikan hafalannya kapan saja ia menghendakinya. 53 Ḍabiṭ oleh ulama ahli hadis dibagi
menjadi dua yaitu :
 Ḍabṭu al-ṣadri, yaitu dengan enetapkan atau menghafal apa yang ia dengar didalam dadanya,
sekiranya ia mampu untuk menyampaikan hafalan tersebut kapanpun ia kehendaki.
 Ḍabṭu al-kitāb, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan hadis yang ia dengar. Kitab
tersebut dijaga dan di-taṣḥīḥ sampai ia meriwayatkakn hadis sesuai dengan tulisan yang
terdapat dalam kitab tersebut. Sedangkan untuk hadisnza sendiri itu haruslah thiqoh,
maksudnza adalah hadis yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadis yang lebih kuat
atau dengan Qur`an.
D. Metode dan Ṣighat Taḥammul wa al-Ada’ al-Ḥadīth

Para ulama megidentifikasi cara pengambilan dan penerimaan hadis dari para rowi menjadi delapan
macam. Mereka mengupas dan menjelaskan hukum-hukumnya secara panjang lebar, yang garis besarnya
sebagai berikut.

1) Al-Simā’

al-Sima’ adalah mendengarkan hadis dari guru, ini adalah cara yang ditempuh para muhadithin
periode pertama untuk mendapatkan hadis dari Nabi Muhammad. Kemudian mereka meriwayatkannya
kepada generasi berikutnya dengan cara yang sama. Metode ini dinilai sebagai penerimaan hadis paling
tinggi tingkatannya. Contohnya dengan menggunakan kata ‫أخبرنا‬،‫أخبرني‬،‫حدثنا‬،‫حدثني‬54

2) Al-‘Arḍ

53
Suparta Munzier, Ilmu Hadis, 206.
54
Fatchur Rahman, Muṣṭālaḥu al-ḥadīth, (Bandung : PT Al-Ma’arif. 1981), 212
13
Yaitu membaca hadis dihadapan guru berdasarkan hafalan maupun dengan melihat kitab. Cara
penerimaan ini dibenarkan, Dan periwayatan periwayatan dengan cara seperti ini menurut ijmā’ boleh
dilakukan seperti ‫قرئت عليه‬.
3) Ijazah

Ijazah adalah izin guru hadis kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab yang diriwayatkan
daripadanya padahal murid itu tidak mendengar hadis tersebut atau tidak membaca kitab tersebut
dihadapannya. Ijazah ini bisa dengan muṣafahah antara guru dan murid, atau pemberian izin dari guru
dalam bentuk tulisan, baik murid ada atau tidak ada di depan guru.55

Lafaz-lafaz yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah ` ‫أجاز‬
‫ أنبأنا إجازة‬,‫ أخبرنا إجازة‬,‫ لفالن حدثنا إجازة‬.56

4) Al-Munawwalah
Al-munawalah menurut muhadditīn adalah bahwa seorang guru menyerahkan kitab atau lembaran
catatan hadits kepada muridnya agar diriwayatkannya dengan sanad darinya.

5) Al-Mukattabah

Mukattabah adalah seorang muḥaddthi menulis suatu hadis lalu mengirimkannya kepada
muridnya. Kitābah ada dua macam yaitu disertai ijazah dan tidak disertai ijazah.

6) Al-I’lām
Al-I’lām yaitu seorang syekh memberitahu seorang muridnya bahwa hadis ini atau kitab ini
adalah riwayatnya dari fulān, dengan tidak disertakan izin untuk meriwayatkan dari padanya. Ketika
menyampaikan riwayat tersebut dari jalan i’lām Ṣighat yang digunakan yaitu ‫أعلمني فالن‬.
7) Al-Waṣiyyah
Yaitu seorang syekh mewasiatkan disaat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab
yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat seorang diterima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai
menurut sebagian ulama, namu yang benar tidak boleh dipakai. Ṣighat yang digunakan adalah ‫أوصى إلي‬
‫فالن‬.
8) Al- Wijādah
Yaitu seseorang menemukan catatan hadis seseorang tanpa ada rekomendasi untuk
meriwayatkan hadis tersebut. Ṣighat yang digunakan adalah ‫وجدت بخط فالن‬.57

HADIS DITINJAU DARI SANDARAN AKHIR

A. Hadis Marfū'
1. Pengertian Hadis Marfū'
Al-Marfū' menurut bahasa berarti yang diangkat dan merupakan isim maf'ul dari kata rofa'a yang berarti
mengangkat. Menurut Istilah Hadis marfū' adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi dalam bentuk ucapan,

55
Al-Qaḍi Iyaḍ al Yaṣabi, al-Ilmā’ ilā Ma’rifati Uṣul ar-Riwāyah wa Taqyīdu as-Samā’, 88
56
Manna’ al-Qaṭṭan, Mabāhis fī Ulumil Ḥadith, 183.
57
Manna’ al-Qaṭṭan, Mabāhis fī Ulimil Ḥadīth, 210.

14
perbuatan, ataupun taqrir. Baik sanadnya besambung ataupun terputus, baik yang menyandarkan sahabat, tabiin atau
yang lainnya.58

Penyebutan marfu' ini di landaskan sebab sesuatu tersebut di sandarkan kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allāh
‘Alaihywa Sallam, seperti halnya penyandaran hadis maqṭū' terhadap tabiin, dan penyandaran hadis mawqūf terhadap
sahabat. Ini semua tanpa memandang susunan sanad.59

2. Pembagian Hadis Marfū' dan Contohnya


Hadis marfū' secara garis besar dibagi menjadi 2 yaitu marfū' ḥaqiqi dan marfū' ḥukmi. Sedangkan hadis marfū'
secara rinci dibagi menjadi 6 yaitu:

a. Hadis marfū' ḥaqiqi yang berupa sabda atau perkataan, yaitu hadis yang disebut secara tegas sebagai ucapan
atau perkataan Nabi. Untuk menentukannya dapat diperhatikan dari kalimat-kalimat yang dipergunakan
periwayat pertama sebelum menyebutkan matan hadis. Kalimat tersebut antara lain:
1) Saya mendengar Rasulullah, bersabda.
2) Rasulullah, bersabda.
3) Nabi memberitahukan kepada kami demikian.
4) Diberitakan dari Rasulullah, bahwasanya ia bersabda.
Contoh:

.‫ال يدخل الجنة قتات‬: ‫ سمعت النبي صلى هللا عليه وسلم يقول‬:‫فقال حذيفة‬

"Hudzaifah berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda: Tidak akan masuk surga orang yang suka
menceritakan kejelekan orang lain". (HR. Bukhari).

b. Hadis marfu’ ḥaqiqi yang berupa perbuatan, yaitu hadis yang secara tegas menyebutkan perbuatan Nabi.
Tanda-tandanya dapat diperhatikan dari kalimat sebelum matan hadis, antara lain:
1) Aku melihat Rasulullah, berbuat demikian.
2) Sahabat itu atau orang lainnya berkata bahwasanya Rasulullah pernah berbuat demikian. Contoh:
:‫عن عمر بن الخطاب رضي هللا عنه قالَ سمعت رسول عليه وسلم يقول‬

.‫ال تقبل صالة بغير طهور والصدقة من غلول‬

Dari Umar bin Khattab, beliau berkata: saya mendengar Rasulullah bersabda: Allah tidak menerima salat
dari orang yang tidak suci dan tidak menerima sedekah dari tipu daya. (HR. Muslim). 60

c. Hadis marfū' ḥaqiqi yang berupa taqrir, yaitu hadis yang secara tegas menjelaskan tentang perbuatan sahabat
yang dilakukan dihadapan Rasulullah. dengan tidak memperoleh reaksi dari beliau, baik dengan menyetujuinya
ataupun mencegahnya. Contoh:
‫كنا نصلي ركعتين بعد غروب الّش مس فكان صلى هللا عليه وسلم يرانا فلم‬

.‫يأمرنا فلم يأمرنا ولم ينهانا‬

Kami salat dua rakaat setelah terbenam matahari, sedang Rasulullah, melihat kami dan beliau tidak memerintahkan
kepada kami atau mencegahnya.
d. Hadis marfū' ḥukmi yang berupa perkataan, yaitu hadis yang tidak secara tegas disandarkan kepada Nabi
sebagai sabdanya. Hadis ini dihukumi marfū' karena ada qarīnah (keterangan) yang lain menerangkan bahwa
berita itu berasal dari Nabi. Qarīnah yang dimaksud adalah bahwa sebelum penyebutan matan hadis, biasanya

58
Mannā' al-Qaṭṭān, Mabāḥith fī 'ulūm al-Ḥadīth, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2007), 149.
59
Muhammad bin Alwi bin Abbas, al-Manhalu al-Laṭīf fī Uṣūl al-Ḥadīth al-Sharīf, (Mekah: al-Shofwah, t. th), 69.
60
Rustina, Ulumul Hadis, (Surabaya: PMN Surabaya, 2010), 126-127.
15
didahului dengan kata-kata umirnā bi kadhā atau nuhinā bi kadhā (Kami diperintahkan demikian atau kami
dilarang demikian). Contoh:
.‫ أمر بالل أن يشفع األذان ويوتر اإلقامة‬:‫عن أنس قال‬

Dari Anas berkata: Bilal telah diperintahkan untuk mengucapkan lafal-lafal pada azan secara genap dan
pada iqamah secara ganjil. (muttafaq 'alaih)
Walaupun dalam hadis ini tidak dijelaskan bahwa Rasulullah yang memerintahkan Bilal, tetapi telah dapat
dipahami bahwa tidak ada orang lain yang memerintahkan Bilal untuk azan, kecuali hanya Rasulullah. Dengan
qarīnah ini, maka hadis tersebut secara hukmi dapat dinyatakan sebagai hadis marfū'.61
e. Hadis marfū' ḥukmi yang berupa perbuatan, yaitu hadis marfū' yang menjelaskan tentang perbuatan sahabat
yang dilakukan di hadapan Rasulullah atau pada zaman Rasulullah. Perbuatan sahabat dalam hal ini adalah
perbuatan yang pada umumnya tidak dilakukan secara tersembunyi. Contoh:
‫كنا نتوّضأ نحن والنساء من إناء واحد على عهد رسول هللا صلى هللا عليه و‬

.‫سلم ندلى فيه أيدينا‬

"Ibnu Umar berkata: kami pada zaman Rasulullah, berwudu bersama kaum wanita di bejana yang satu.
Kami menjulurkan tangan-tangan kami pada bejana tersebut".
Hadis di atas menceritakan tentang perbuatan sahabat yang terjadi pada masa Rasulullah, yakni berwudu yang
merupakan perbuatan yang bersifat umum. Karena itu, hadis ini dihukum sebagai hadis marfū'.
f. Hadis marfū' ḥukmi yang berupa taqrir, yaitu hadis yang berisi suatu berita yang berasal dari sahabat, yang
terdapat di dalamnya kata-kata sunnatu abī qāsim, sunnatu nabiyyinā, atau minas sunnah, atau kata-kata
semacamnya. Contoh:
‫عن عقبة بن عامر الجهنّي أنه قدم على عمر بن الخّطاب من مصر فقال منذ‬

.‫كم لم تنزع خفّيك قال من الجمعة إلى الجمعة أصبت السنة‬

Dari Uqbah bin Amir al-Juhaniy, bahwasanya dia menghadap kepada Umar bin Khattab setelah dia bepergian
dari Mesir. Umar lalu bertanya kepadanya: sejak kapan kamu tidak melepaskan sepatu khufmu? Uqbah
menjawab: sejak hari Jum'at sampai hari Jum'at. Umar berkata: kamu sesuai dengan sunah. 62
3. Hukum Hadis Marfū'
Hukum hadis marfū' tergantung pada kualitas dan bersambung atau tidaknya sanad, sehingga dengan demikian
memungkinkan suatu hadis marfū' itu berstatus ṣaḥih, ḥasan, ḍaif.63
B. Hadis Mawqūf
1. Pengertian Hadis Mawqūf
Al-Mawqūf berasal dari waqf yang berarti berhenti. Seakan-akan perawi menghentikan sebuah hadits pada
sahabat. Menurut istilah hadis mawqūf adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat berupa pekataan,
perbuatan, ataupun taqrir, baik sanadnya bersambung atau terputus.64

2. Pembagian Hadis Mawqūf dan Contohnya


a. Mawqūf perkataan, seperti perkataan rawi: telah berkata Ali bin Abi Thalib: berbicaralah kepada manusia
dengan apa yang mereka ketahui, apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya.
b. Mawqūf perbuatan, seperti perkataan Imam Bukhari: Ibnu abbas menjadi imam sedangkan dia (hanya)
bertayamum.
c. Mawqūf taqrir, seperti perkataan tabiin: aku telah melakukan begini di depan seorang sahabat dan dia tidak
mengingkari atasku.65
61
Ibid, 127-128.
62
Ibid, 128-129.
63
Nawir Yuslem, ULUMUL HADIS, (Jakarta: MUTIARA SUMBER WIDYA, 2001), 283.
64
Mahmūd al-Ṭaḥān, Taisīr Muṣṭalah al-Ḥadīth, (t.tp.: t.np, 1994), 98.
65
Al-Qaṭṭān, Mabāḥith fī 'ulūm al-ḥadīth, 151.
16
3. Hukum Hadis mawqūf
Secara garis besar hadis ini terkadang ṣaḥih, ḥasan bahkan ḍaif. Namun jika memandang keḥujjahannya, hukum
asal hadis ini tidak boleh dijadikan sebagai ḥujjah, namun terkadang hadis ini menguatakn hadis yang statusya ḍaif,
atau bisa disebut sebagai mawqūf mursal, karena biar bagaimanapun keadaan sahabat merupakan perbuatan sunah.
Jika memang statusnya tidak menjadi marfū' ḥukmi, apabila menjadi marfū' ḥukmi status keḥujjahannya menjadi
boleh.66
C. Hadis Maqṭū'
1. Pengertian Hadis Maqṭū'
Menurut bahasa kata maqṭū' ‫ مقطوع‬berasal dari kata ‫ قطع – يقطع قطع – قاطع – ومقطوع‬merupakan bentuk isim maf’ul dari
‫ قطع‬yang berarti terpotong, merupakan lawan dari kata mauṣul yang berarti tersambung. Sedangkan secara istilah
adalah sebagi berikut:

.‫ أو من دونه من قول أو فعل أو تقرير متصال أو منقطعا‬،‫ما أضيف إلى التابعي‬

segala sesuatu yang disandarkan kepada tabiin atau orang setelahnya, baik perkataan, perbuatan, atau
ketetapannya, Baik tersambung sanadnya maupun terputus.67
2. Pembagian Hadis Maqṭū' dan Contohnya
a. Maqṭū' yang berupa perkataan, seperti perkataan Hasan al-Basri tentang shalat di belakang ahli bid'ah, Salatlah
dan dialah yang menanggung bid'ahnya.
b. Maqṭū' yang berupa perbuatan, seperti perkataan Ibrahim bin Muhammad al-Muntashir, adalah Masruq
membentangkan pembatas antara dia dan keluarganya, dan menghadapi shalatnya, dan membiarkan mereka
dengan dunia mereka.68
3. Hukum Hadis Maqṭū'
Hadis maqṭū' tidak dapat dijadikan sebagai ḥujjah atau dalil untuk menetapkan suatu hukum, karena status
dari perkataan tabiin sama seperti perkataan ulama lainnya. Di samping itu, hadis maqṭū' yang merupakan
perkataan tabiin bukanlah sebuah hadis sebagai mana yang bersumber dari Nabi Ṣalla Allāh ‘Alaihy wa Sallam.
Menurut Imam al-Zarkasyi, adapun perkataan maqṭū' dimasukkan ke dalam hadis merupakan sesuatu yang
mempermudah. Sehingga hadis maqṭū' tidak bisa dipergunakan sebagai landasan hukum, karena hadis maqṭū'
hanyalah ucapan dan perbuatan seorang muslim, tetapi jika di dalamnya terdapat qarīnah yang baik, maka bisa
diterima dan dapat menjadi marfū mursal.69
4. Kitab Hadis Maqṭū' dan Mawqūf
Ada beberapa kitab yang diduga kebanyakan ditemukan hadis maqṭū' dan mawqūf, yaitu dalam:
a. Mushannaf Ibnu Abi Syaibah
b. Mushannaf Abdurrazaq
c. Kitab-kitab tafsir: Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu al-Mundzir. 70
PERIWAYATAN HADITS BIL LAFDI DAN BIL MAKNA

A. Pengertian Periwayatan Hadis Dengan Lafal dan Makna


a. Periwayatan Lafzhi

Periwayatan hadis lafdhi merupakan periwayatan hadis yang lafalnya atau matannya sama seperti yang diwurudkan oleh
Rasulullah SAW. Namun hal ini hanya dapat dilakukan jika mereka (periwayat hadis) benar-benar menghafal hadis yang
disabdakan Rasulullah dan kuwat daya ingatannya.

66
Al-Ṭaḥān, Taisīr muṣṭalah al-ḥadīth, 100.
67
Muhammad, al-Manhalu al-Laṭīf fī Uṣūl al-Ḥadīth al-Sharīf, 73.
68
Al-Qaṭṭān, Mabāḥith fī 'ulūm al-Ḥadīth, 152.
69
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH, 2015), 233.
70
Al-Qaṭṭān, Mabāḥith fī 'ulūm al-ḥadīth, 152.
17
Mayoritas para sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha agar dalam meriwayatkan hadis
benar-benar sesuai dengan yang disampaikan oleh Rasulullah, bukan menurut redaksi mereka. Hal ini dilakukan agar kwalitas
matannya terjaga. Bahkan, menurut Ajjaj Al-Khatib, seluruh sahabat menginginkan periwayatan hadis harus melalui jalan ini
(periwayatan lafzdi)

Begitu pentingnya priwayatan hadis dengan lafal, umar bin khaththab pernah berkata : “Barang siapa yang mendengar
hadis dari rasulullah SAW. Kemudian ia meriwayatkannya sesuai yang ia dengar, maka ia akan selamat.” Ini menjadi bukti bahwa
periwayatan hadis dengan lafal sangat diutamakan dalam periwayatan hadis. Ibnu Umar merupakan salah satu sahabat yang
sangat menuntut periwayatan hadis dengan lafal, ia sering sekali menegur sahabat yang membacakan hadis yang berbeda dengan
yang didengarnya dari Rasulullah meskipun secara subtansial makna matannya sama. Seperti yang dilakukannya terhadap Ubaid
bin Amir, suatu ketika ia menyebutkan hadis tentang lima prinsip dasar Islam dengan meletakkan puasa Ramadhan pada urutan
ketiga, Ibnu Umar langsung menegurnya dengan menyuruhnya agar puasa Ramadhan diletakkan pada urutan keempat
sebagaimana yang ia dengar dari Rasulullah.

b. Periwayatan Maknawi

Sebagian ulama berpendapat bahwa periwayatan hadis tidak hanya dengan lafal, ada yang membolehkan periwayatan
hadis dengan makna, yang artinya periwayata hadis yang matannya tidak sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah, tetapi isi
atau maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkaan oleh Rasulullah.Tidak sama dengan Al Qur’an yang
tidak boleh diriwayatkan dengan makna. Hadis merupakan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perkata an,
perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau. Sehingga dengan demikian periwayatan hadis dengan makna diperbolehkan dengan
ketentuan apabila tidak mungkin meriwayatkannya dengan lafaz dan orang yang meriwayatkan itu mengetahui apa yang ditunjuk
oleh lafaz Nabi dan bahasanya.

Golongan yang membolehkan ini beralasan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Sulaiman yang mengatakan
ia bertanya kepada Rasul, yang artinya: “Hai Rasulullah, sesungguhnya saya mendengar hadis darimu tetapi saya tak sanggup
meriwayatkannya menurut apa yang saya dengaryang bisa menambah atau menguranginya barang sehuruf. Maka nabi bersabda
: Apabila engkau tidak sampai menghalalkan yang haram dan tidak sampai mengharamkan yang halal serta maknanya tepat,
maka hal itu taka pa-apa.”

Meskipun demikian, para sahabat sangat berhati-hati dalam melaksanakannya. Ibnu Mas’ud misalanya, ketika ia
meriwayatkan hadis, ia menggunakan term-term tertentu untuk mengutkan penukilannya, seperti dengan kata qala rasulullah
Shallahu alaihi wasallam hakadza (rasulullah SAW. Telah bersabda begini) atau qala Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
qariban min hadza.

Dalam perkembangannya periwayatan hadis dengan makna mengakibatkan munculnya hadis-hadis yang redaksinya antar
satu hadis dengan hadis lainnya berbeda-beda, meskipun makssudnya dan maknanya tetap sama. Hal ini sangat bergantung
kepada para sahabat atau generasi berikutnya yang meriwayatkan hadis-hadis tersebut. Sehingga hal ini menimbulkan pro kontra
diantara para ulama.

B. Pro Kontra Periwayatan Hadis Dengan Makna

Sejarah mencatat bahwa periwayatan hadis dengan makna telah terjadi secara besar-besaran, namun ada perbedaan
pendapat mengenai konsekuensi-kosekuensi riwayah seperti ini bagi literature hadis. Yang menjadi persoalannya adalah apakah
periwayatan hadis dengan makna telah menyebabkan terjadinya kerusakan pada hadis, dan juga pada Islam atau tidak?. Sebab
hadis menjadi sandaran hukum dalam Islam setelah Al-Qur’an. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pro kontra diantara ulama
terhadap periwayatan hadis dengan makna.

18
Rasyid Ridha[9], ia sangat menentang sikap yang menerima begitu saja sebagian riwayat yang isinya terkesan aneh bagi
dirinya. Salah satu argumennya untuk tidak mudah menerima sebagian hadis ini di dasarkan pada kekawatirannya
terhadap riwayah bil-ma’na, karena menurutnya kebanyakan perawi hanya meriwayatkat hadis-hadis yang mereka pahami saja,
dan terkadang pemahamannya ternyata tidak memadahi.

Sedangkan menurut pendapat Abu Rayyah, riwayah bil-ma’na menyebabkan hilangnya literature hadis yang tak mungkin
diperoleh lagi. Ia menegaskan lagi bahwa sangat salah jika beranggapan kalau para perawi adalah kelompok eksklusif terkemuka
yang tidak mungkin mengubah sepatah katapun, menambahi sedikitpun, bahkan lupa terhadap matan hadis yang sesuai
didengarnya dari Rasulullah. Ia mencontohkan hadis yang berkaitan tentang tasyahhud, menurutnya ada delapan hadis berbeda
yang menyangkut masalah tasyahhud diajarkat oleh Nabi kepada delapan sabahat, diantara sahabat tersebut adalah Umar,
Abdullah bin Mas’ud, Ibn ‘Abbas, dan ‘Aisyah. Namun yang dianggap paling otoritatif adalah versi Abdullah bin Mas’ud yang
berbunyi : “Dengan tanganku di tangannya, Rasul Allah mengajarkan kepadaku tasyahhud, ketika Rasul mengajarkanku surat-surat
Al-Qur’an: at-tahiyatu lillah wash-shalatu wath-thayyibat -as-salamu ‘alaika ayyuhan-nabi wa-rahmat Allah wa-barakatuh -as-
salamu ‘alaina wa-‘ala ‘ibada Allah ash-shalihin -asy-hadu an la ilaha illa Allah -wa-asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa-
rasuluh”[11].

Mengenahi tasyahhud ini menerut Abu Rayyah semua versi memiliki perbedaan untuk baris-baris pertama tasyahhud,
yakni sebelum kata asyhadu. Ia menyatakan, fakta bahwa bagian pokok shalat ini sedemikian terdistorsi, seharusnya
permasalahan tasyahhud ini tidak mengalami perbedaan sampai sekarang, sebab hal ini telah dipraktikkan terus-menerus oleh
kaum muslim dari dulu hingga sekarang. Namun dengan adanya riwayah bil-ma’na inilah yang menyebabkan adanya perbedaan
versi tasyahhud.

Pendapat Abu Rayyah ini telah dibantah oleh Hamzah menurutnya Abu Rayyah tidak memperhatikan konsep tanawwu’
al-‘ibadah (konsep keanekaragaman ibadah) yang dimasukkan ke dalam Islam oleh Ibn Taimiyyah. Konsep ini memperlihatkan
kearifan yang menjadikan landasan semua peraturan Sang pemberi hukum. Misalnya, seseorang bebas memilih dari tujuh cara
membaca Al-Qur’an (al-qira’ah as-sab) yang menurutnya paling mudah atau ia senangi. Begitu pula dengan tasyahhud, tidak
dipermasalahkan perbedaan bacaan tasyahhud selama syahadah-nya (kesaksian bahwa Allah itu Esa dan Muhammad itu Nabi-
Nya) tetap terjaga, sebab Rasulullah-pun telah mengajarkan banyak bacaan yang berbeda, namun secara subtansial hanya
mengandung satu makna (syahadah). Ia membenarkan pendapat Abu Rayyah bahwa membaca tasyahhud merupakan praktik
yang senantiasa dilakukan kaum muslimin, namun menurutnya hal itu tidak diucapkannya dengan keras, dari sinilah setiap orang
boleh memilih bacaannya sendiri.

Selain Abu Rayyah, diantara ulama yang menolak riwayah bil-ma’na ialah Ibnu Sirin, Abu Bakar al-Razi[14], secara garis
besar ulama-ulama berpendapat bahwa riwayah bil-ma’na jurtru akan merusak maksud dari matan hadis dan juga seorang perawi
bukanlah sekelompok eksklusif yang tidak menutup kemungkinan mengurangi atau menanmbahi, lupa, lemah ingatanya dalam
meriwayatkan hadis. Sedangkan ulama yang membolahkan seperti Ibnu Mas’ud, boleh apabila dalam keadaan darurat karena
tidak hafal persis seperti yang diwurutkan Rasulullah, dan harus dengan hati-hati. Sebagian ulama yang lain adalah ulama salaf,
ulama khalaf di bidang hadis, fiqh dan ushul fiqh seperti imam empat dengan ketentuanya:pertama, bahwa seorang perawi harus
memiliki pengetahuan bahasa arab secara mendalam. Kedua, seorang perawi harus mengetahui perubahan makna bila terjadi
perubahan lafal.

19

Anda mungkin juga menyukai