Anda di halaman 1dari 29

http://hafiz12422029.files.wordpress.com/2013/06/muhammad-hafiz12422029-ulumul-hadist.

pdf

HADIS SHAHIH, HASAN DAN DHA’IF:

Pengertian, Ciri-ciri  dan Kehujahannya

Penelitian terhadap hadis Ahad, pada akhirnya menghasilkan beberapa kesimpulan. Antara lain
penilaian terhadap keabsahan sebuah atau serangkaian hadis yang telah diteliti. Ada hadis yang
maqbûl (diterima) sebagai hujjah, yang disebut dengan dua istilah: shahîh dan hasan. Dan ada
pula hadis yang dinyatakan mardûd, kerena tidak memenuhi kualifikasi shahîh maupun hasan,
yang disebut dengan istilah dha’îf.

1. A.    Hadis Shahih

1. Definisi Hadis Shahih

Kata Shahih (‫ )الصحيح‬dalam pengertian bahasa, diartikan sebagai orang sehat antonim dari kata
as-saqîm (‫= )السقيم‬  orang yang sakit. Jadi yang dimaksud hadis shahih adalah hadis yang sehat
dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.

‫ضبْطا ً َكا ِمالً ع َْن ِم ْثلِ ِه َو خَ الَ ِمنَ ال ُّش ُذوْ ِذ َو ْال ِعلَّ ِة‬
َ ‫ص َل َسنَ ُدهُ بِنَ ْق ِل ْال َع ْد ِل الضَّابِ ِط‬
َ َّ‫ه َُو َما ات‬

 “Hadis yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang ‘adil dan dhabith (kuat
daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz), dan cacat (‘illat)”.

Imam As-Suyuthi mendifinisikan hadis shahih dengan “hadis yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh ar-râwiy (periwayat) yang ‘adil dan dhabith, tidak syadz dan tidak ber‘illat”.

Definisi hadis shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam asy-Syafi’i memberikan
penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:

Pertama, apabila diriwayatkan oleh para ar-râwiy (periwayat) yang dapat dipercaya pengamalan
agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadis yang diriwayatkan dengan baik,
mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi perubahan lafazhnya; mampu meriwayatkan hadis
secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadis secara lafad, bunyi hadis yang Dia
riwayatkan sama dengan hadis yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlîs
(penyembuyian cacat),
Kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi s.a.w., atau dapat juga tidak
sampai kepada Nabi.

Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim membuat kriteria hadis shahih sebagai berikut:

1. Rangkaian ar-râwiy (periwayat) dalam sanad itu harus bersambung mulai dari ar-râwiy
(periwayat) pertama sampai ar-râwiy (periwayat) terakhir.
2. Para ar-râwiy (periwayat)nya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam arti
‘adil dan dhabithh,
3. Hadisnya terhindar dari ‘illat (cacat) dan syadz (janggal), dan
4. Para ar-râwiy (periwayat) yang terdekat dalam sanad harus sejaman.

2. Syarat-Syarat Hadis Shahih

Berdasarkan definisi hadis shahih di atas, dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadis shahih dapat
dirumuskan sebagai berikut:

1)      Sanadnya Bersambung

Maksudnya adalah tiap-tiap ar-râwiy (periwayat) dari ar-râwiy (periwayat) lainnya benar-benar
mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir sanadnya.

Untuk mengetahui dan bersambungnya dan tidaknya suatu sanad, biasanya ulama’ hadis
menempuh tata kerja sebagai berikut:

1)      mencatat semua periwayat yang diteliti,

2)      mempelajari hidup masing-masing periwayat,

3)      meneliti kata-kata yang berhubungan antara para periwayat dengan periwayat
yang   terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddatsanî,
haddatsanâ, akhbaranâ, akhbaranî, ‘an, anna, atau kata-kata lainnya.

2)      Ar-râwiy (periwayat)-nya Bersifat ‘Adil

Maksudnya adalah tiap-tiap ar-râwiy (periwayat) itu seorang muslim, berstatus mukallaf 
(baligh), bukan fâsiq dan tidak pula jelek prilakunya.

Dalam menilai keadilan seorang periwayat cukup dilakuakan dengan salah satu teknik berikut:

1)      keterangan seseorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa seorang itu bersifat ‘adil, 
sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab jarh wa at-ta’dil.

2)      ketenaran seseorang bahwa ia bersifast ‘adil, seperti imam empat: Abu Hanifah, Malik bin
Anas, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal.
Khusus mengenai ar-râwiy (periwayat) hadis pada tingkat sahabat, jumhur ulama sepakat bahwa
seluruh sahabat adalah ‘adil. Pandangan berbeda datang dari golongan muktazilah yang menilai
bahwa sahabat yang terlibat dalam pembunuhan ‘Ali dianggap fâsiq, dan periwayatannya pun
ditolak.

3)      Ar-Râwiy (periwayat)-nya Bersifat Dhabith

Maksudnya masing-masing ar-râwiy (periwayat)-nya sempurna daya ingatannya, baik berupa


kuat ingatan (‫ )في الصدور‬maupun dalam tulisan (‫)في السّطور‬.

Dhabith dalam dada ialah terpelihara periwayatan dalam ingatan, sejak ia maneriama hadis
sampai meriwayatkannya kepada orang lain, sedang, dhabith dalam kitab ialah terpeliharanya
kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.

Adapun sifat-sifat kedhabithan periwayat (‫)الراوي‬, nmenurut para ulama, dapat diketahui melalui:

1)      kesaksian para ulama

2)      berdasarkan kesesuaian riwayatannya dengan riwayat dari orang lain yang telah dikenal
kedhabithhannya.

4)      Tidak Syadz

Maksudnya ialah hadis itu benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan atau menyelesihi
orang yang terpercaya dan lainnya.

Menurut asy-Syafi’i, suatu hadis tidak dinyastakan sebagai mengandung syudzûdz, bila hadis itu
hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah, sedang periwayat yang tsiqah lainnya
tidak meriwayatkan hadis itu. Artinya, suatu hadis dinyatakan syudzudz, bila hadis yang
diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah tersebut bertentengan dengan hadis yang
dirirwayatkan oleh banyak periwayat yang juga bersifat tsiqah.

5)      Tidak Ber’illat

Maksudnya ialah hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab yang menutup
tersembunyi yang dapat mencederai pada ke-shahih-an hadis, sementara zhahirnya selamat dari
cacat.

‘Illat hadis dapat terjadi pada sanad mapun pada matn (matan/teks) atau pada keduanya secara
bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad (‫)السند‬,
seperti menyebutkan muttasil terhadap hadis yang munqati’ atau mursal.

3. Pembagian Hadis Shahih

Para ahli hadis membagi hadis shahih kepada dua bagian, yaitu shahîh li-dzâtihi (‫ )صحيح لذاته‬dan
shahîh li-ghairihi (‫)صحيح لغيره‬. perbedaan antara keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan
ar-râwiy (periwayat)nya. pada shahîh li-dzâtihi, ingatan ar-râwiy (periwayat)nya sempurna,
sedang pada hadis shahîh li-ghairihi, ingatan ar-râwiy (periwayat)nya kurang sempurna.

1)      Hadis Shahîh Li Dzâthihi

Maksudnya ialah syarat-syarat lima tersebut benar-benar telah terbukti adanya,bukan dia itu
terputus tetapi shahih dalam hakikat masalahnya, karena bolehnya salah dan khilaf bagi orang
kepercayaan.

2)      Hadis Shahih Li Ghairihi

Maksudnya ialah hadis tersebut tidak terbukti adanya lima syarat hadis shahih tersebut baik
keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama sekali dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi
orang yang banyak salah.

Hadis shahîh li-ghairihi, adalah hadis hasan li-dzâtihi apabila diriwayatkan melalui jalan yang
lain oleh ar-râwiy (periwayat) yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.

4. Kehujjahan Hadis Shahih

Hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujjah atau dalil
syara’ sesuai ijma’ para uluma hadis dan sebagian ulama ushul dan fiqih. Kesepakatan ini terjadi
dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-
hal yang berhubungan dengan aqidah.

Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qath’i, yaitu al-Quran dan hadis mutawatir.
oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan
yang berhubungan dengan aqidah.

5. Tingkatan Hadis Shahih

Perlu diketahui bahwa martabat hadis shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya kepada ke-
dhabith-an dan ke’adilan para ar-râwiy (periwayat)-nya. Berdasarkan martabat seperti ini, para
muhadisin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:

Pertama, ashah al-asânîd yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti
periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ maulâ (‫ = مولى‬budak yang telah
dimerdekakan) dari Ibnu Umar.

Kedua, ashah al-asânîd (‫)أصح األسانيد‬, yaitu rangkaian sanad hadis yang yang tingkatannya di
bawah tingkat pertama di atas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit
dari Anas.

Ketiga. adh’af al-asânîd (t‫)أضعف األسانيد‬, yaitu rangkaian sanad hadis yang tingkatannya lebih
rendah dari tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu
Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang secara
berurutan sebagai berikut:

1. Hadis yang disepakati oleh al-Bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih ‫)متفق عليه‬,
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari saja,
3. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
4. Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan al-Bukhari dan Muslim,
5. Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan al-Bukhari saja,
6. Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
7. Hadis yang dinilai shahih menurut ulama hadis selain al-Bukhari dan Muslim dan tidak
mengikuti persyaratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.

Kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis shahih secara berurutan sebagai berikut:

1. Shahih al-Bukhari (w.250 H).


2. Shahih Muslim (w. 261 H).
3. Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
4. Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
5. Mustadrak al-hakim (w. 405).
6. Shahih Ibn as-Sakan.
7. Shahih al-Albani.

B. Hadis Hasan

1.   Pengertian Hadis Hasan

Secara bahasa, hasan berarti al-jamâl, yaitu: “indah”. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu
sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda pendapat
dalam mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa ia meupakan pertengahan antara hadis
shahih dan hadis dha’if, dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu
bagiannya. Sebagian dari definisinya yaitu:

1. Al–Khaththabi: “hadis yang diketahui tempat keluarnya, dan telah masyhur ar-ruwât/
‫(الرواة‬para periwayat) dalam sanadnya, dan kepadanya tempat berputar kebanyakan hadis,
dan yang diterima kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh umumnya fuqahâ’”.
2. At-Tirmidzi: “semua hadis yang diriwayatkan, dimana dalam sanadnya tidak ada yang
dituduh berdusta, serta tidak ada syadz (kejangalan), dan diriwatkan dari selain jalan
sepereti demikian, maka dia menurut kami adalah hadis hasan”.
3. Ibnu Hajar: “hadis ahad yang diriwayatkan oleh yang ‘adil, sempurna ke-dhabith-annya,
bersanbung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadis shahîh
li-dzâtihi, lalu jika ringan ke-dhabith-annya maka dia adalah hadis hasan li-dzâtihi”.

Kriteria hadis hasan sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi
ke-dhabith-annya. yaitu hadis shahih lebih sempurna ke-dhabith-annya dibandingkan dengan
hadis hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabith-an ar-râwiy (periwayat) hadis dha’if
tentu belum seimbang, ke-dhabith-an ar-râwiy (periwayat) hadis hasan lebih unggul.

2.   Macam-Macam Hadis Hasan

Sebagaimana hadis shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadis hasan pun terbagi menjadi
dua macam, yaitu hasan li-dzâtihi dan hasan li-ghairihi;

1. a.      Hasan Li Dzâtihi

Hadis hasan li-dzâtihi adalah hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan yang telah
ditentukan.

1. b.     Hasan Li-Ghairihi

Hadis hasan li-ghairihi ialah hadis hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna.
Dengan kata lain, hadis tersebut pada dasarnya adalah hadis dha’if, akan tetapi karena adanya
sanad atau matn (matan/teks) lain yang menguatkannya[1] (syahid atau tâbi’/mutâbi’), maka
kedudukan hadis dha’if tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan li-ghairih.

3.   Kehujahan Hadis Hasan

Hadis hasan sebagai mana halnya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih,
adalah hadis yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan
suatu hukum atau dalam beramal. Para ulama hadis, ulama ushul fiqih, dan fuqaha’ sepakat
tentang ke-hujjah-an hadis hasan.

C. Hadis Dha’if

1.   Definisi Hadis Dha’if

Pengertian hadis dha’if secara bahasa. Hadis dha’if berarti hadis yang lemah. Para ulama
memiliki dugaan kecil bahwa hadis tersebut berasal dari Rasulullah s.a.w.. Dugaan kuat mereka
hadis tersebut tidak berasal dari Rasulullah s.a.w.. Adapun para ulama memberikan batasan bagi
hadis dha’if sebagai berikut: “Hadis dha’if ialah hadis yang tidak memuat/menghimpun sifat-
sifat hadis shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadis hasan”.

2.   Macam-macam Hadis Dha’if


Hadis dha’if dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadis dha’if karena gugurnya ar-
râwiy dalam sanadnya, dan hadis dha’if karena adanya cacat pada ar-râwiy atau matn
(matan/teks).

a.   Hadis Dha’if Karena Gugurnya ar-Râwiy (Periwayat)

Yang dimaksud dengan gugurnya ar-râwiy adalah tidak adanya satu atau beberapa ar-râwiy,
yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan
atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadis dha’if yang disebabkan karena gugurnya ar-râwiy,
antara lain yaitu :

1)      Hadis Mursal

Hadis mursal menurut bahasa, berarti hadis yang terlepas. Para ulama memberikan batasan
bahwa hadis mursal adalah hadis yang gugur ar-râwiy nya di akhir sanad. Yang dimaksud
dengan ar-râwiy di akhir sanad ialah ar-râwiy pada tingkatan sahabat yang merupakan orang
pertama yang meriwayatkan hadis dari Rasulullah s.a.w.. (penentuan awal dan akhir sanad
adalah dengan melihat dari ar-râwiy yang terdekat dengan imam yang membukukan hadis,
seperti al-Bukhari, sampai kepada ar-râwiy yang terdekat dengan Rasulullah s.a.w.). Jadi, hadis
mursal adalah hadis yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai ar-râwiy
yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah s.a.w..

Contoh hadis mursal :

َ‫« بَ ْينَنَا َوبَ ْينَ ْال ُمنَافِقِين‬: ‫ال‬ ِ ِّ‫ ع َْن َس ِعي ِد ْب ِن ْال ُم َسي‬، ‫ع َْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ْب ِن َحرْ َملَةَ اََأل ْسلَ ِم ِّي‬
َ َ‫ َأ َّن َرسُو َل هَّللا ِ صلى هللا عليه وسلم ق‬، ‫ب‬
.» ‫ الَ يَ ْستَ ِطيعُونَهُ َما‬,‫ْح‬ ِ ‫ُشهُو ُد ْال ِع َشا ِء َوالصُّ ب‬

 “Antara kita dan kaum munafik (ada batas), yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh; mereka
tidak sanggup menghadirinya”.

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman  bin Harmalah al-Aslami, dan
selanjutnya dari Sa’id bin Musayyab (salah seorang dari generasi tabi’in)). Siapa sahabat Nabi
s.a.w. yang meriwayatkan hadis itu kepada Sa’id bin Musayyab, tidak disebutkan dalam sanad
hadis di atas.

Kebanyakan ulama memandang hadis mursal ini sebagai hadis dha’if, karena itu tidak bisa
diterima sebagai hujjah atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil ulama termasuk
Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadis mursal menjadi
hujjah asalkan para ar-râwiy bersifat ‘âdil.

2)      Hadis Munqathi’

Hadis munqathi’ menurut etimologi ialah hadis yang terputus. Para ulama memberi batasan
bahwa hadis munqathi’ adalah hadis yang gugur satu atau dua orang ar-râwiy tanpa beriringan
menjelang akhir sanadnya. Bila ar-râwiy di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka ar-râwiy
menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadis munqathi’ bukanlah ar-râwiy di tingkat
sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua ar-râwiy yang gugur, maka
kedua ar-râwiy tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua ar-râwiy yang gugur itu adalah
tabi’in.

Contoh hadis munqathi’ :

‫ ع َْن‬، ‫ ع َْن ُأ ِّم ِه‬، ‫ ع َْن َع ْب ِد هللاِ ب ِْن ْال َح َس ِن‬، ‫ث‬ ٍ ‫ ع َْن لَ ْي‬، َ‫اويَة‬ِ ‫ َوَأبُو ُم َع‬, ‫ َح َّدثَنَا ِإ ْس َما ِعي ُل بْنُ ِإ ْب َرا ِهي َم‬، َ‫َح َّدثَنَا َأبُو بَ ْك ِر بْنُ َأبِي َش ْيبَة‬
ِ ‫صلَّى هللا عَل ْي ِه و َسلَّ َم ِإ َذا َدخَ َل ْال َمس‬
، ِ‫ بِس ِْم هللا‬: ‫ْج َد يَقُو ُل‬ َ ِ‫ َكانَ َرسُو ُل هللا‬: ‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬، ‫صلَّى هللا عَل ْي ِه و َسلَّ َم‬ َ ِ‫ت َرسُو ِل هللا‬ ِ ‫فَا ِط َمةَ بِ ْن‬
ِ ‫ َوال َّسالَ ُم َعلَى َرس‬، ِ‫ بِس ِْم هللا‬: ‫ قَا َل‬, ‫ َوِإ َذا خَ َر َج‬، ‫ك‬
‫ُول‬ َ ِ‫اب َرحْ َمت‬ ‫َأ‬ ْ ُ َّ
َ ‫ َوافتَحْ لِي ْب َو‬, ‫ اللهُ َّم ا ْغفِرْ لِي ذنُوبِي‬، ِ‫َوال َّسالَ ُم َعلَى َرسُو ِل هللا‬
. َ‫اب فَضْ لِك‬ َ ‫ َوا ْفتَحْ لِي َأ ْب َو‬، ‫ اللَّهُ َّم ا ْغفِرْ ِلي ُذنُوبِي‬، ِ‫هللا‬

“Rasulullah s.a.w. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan sejahtera
atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu”.

Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari Ismail bin
Ibrahim dan Abu Mu’awiyah, dari Laits, dari Abdullah bin al-Hasan, dari Ibunya (Fatimah binti
al-Husain), dan selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra. Menurut Ibnu Majah, hadis di atas adalah
hadis munqathi’, karena Fathimah Az-Zahra (putri Rasul) tidak berjumpa dengan Fathimah binti
Al-Husain. Jadi ada ar-râwiy yang gugur (tidak disebutkan) pada tingkatan tabi’in.

3)      Hadis Mu’dhal

Menurut bahasa, hadis mu’dhal adalah hadis yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para
ulama bahwa hadis mu’dhal adalah hadis yang gugur dua orang ar-râwiy (periwayat)-nya, atau
lebih, secara beriringan dalam sanadnya.

Contoh; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al-Mushannaf (5/286),
dan juga Ibnu Abi Dun-ya di dalam kitab Dzimmu al-Malahi (80), dari jalan Qatadah, ia berkata;

» ‫َان ِم ْن َم ْي ِس ِر ْال َع َج ِم‬


ِ ‫ « ال َك ْعبَت‬: ‫ذكر لنا أن نبي هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬

Disebutkan kepada kami bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “kedua mata kaki adalah kemudahan
Bangsa ‘Ajam (non-Arab)”. Qatadah yang dimaksud di sini adalah Qatadah ad-Di’amah as-
Sadusi. Riwayatnya dari  tabi’in besar sangat agung, pendapat yang lebih kuat, dalam  sanad ini
beliau telah menghilangkan setidaknya dua orang ar-râwiy (periwayat), yaitu seorang tabi’in 
dan seorang shahabat. Maka hadis yang demikian ini dinamakan  mu’dhal. Dan hadis mu’dhal (
‫ )معضل‬derajatnya di bawah mursal (‫ )مرسل‬dan munqathi’ (‫)منقطع‬, karena banyaknya  ar-râwi
(periwayat) yang hilang dari sanad secara berurutan.

4)      Hadis Mu’allaq

Menurut bahasa, hadis mu’allaq berarti hadis yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadis
ini ialah hadis yang gugur satu ar-râwiy (periwayat) atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila
semua ar-râwiy (periwayat)-nya digugurkan (tidak disebutkan).

Contoh :
Contoh; Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitabnya  ash-Shahih, Kitab al-Iman, Bab:
Husnu Islami al-Mar’i (1/17), ia mengatakan,

‫ُول هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬ َ ‫ي َأ ْخبَ َرهُ َأنَّهُ َس ِم َع َرس‬َّ ‫ار َأ ْخبَ َرهُ َأ َّن َأبَا َس ِعي ٍد ْال ُخ ْد ِر‬
ٍ ‫ َأ ْخبَ َرنِي زَ ْي ُد بْنُ َأ ْسلَ َم َأ َّن َعطَا َء ْبنَ يَ َس‬:‫ك‬ ٌ ِ‫قَا َل َمال‬
‫صاصُ ْال َح َسنَةُ بِ َع ْش ِر َأ ْمثَالِهَا ِإلَى َسب ِْع ِمَئ ِة‬َ ِ‫ك ْالق‬ َ ِ‫ َو َكانَ بَ ْع َد َذل‬، ‫ ِإ َذا َأ ْسلَ َم ْال َع ْب ُد فَ َحسُنَ ِإ ْسالَ ُمهُ يُ َكفِّ ُر هَّللا ُ َع ْنهُ ُك َّل َسيَِّئ ٍة َكانَ َزلَفَهَا‬: ‫يَقُو ُل‬
َ ‫ْف َوال َّسيَِّئةُ بِ ِم ْثلِهَا ِإالَّ َأ ْن يَتَ َج‬
.‫او َز هَّللا ُ َع ْنهَا‬ ٍ ‫ضع‬ ِ

“Telah berkata Malik, telah memberitakan kepada kami Zaid bin Aslam, bahwa ‘Atha’ bin Yasar
memberitahu kepadanya, bahwa Abu Sa’id al-Khudri memberitahu kepadanya, bahwasannya ia
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda; Apabila seseorang  masuk Islam, dengan keislaman
yang bagus maka Allah akan menghapuskan semua kejahatannya yang telah lalu. Setelah itu
balasan terhadap suatu kebaikan sebanyak sepuluh kali sampai 700 kali lipat dari kebaikan itu,
dan balasan kejahatan sebayak kejahatan itu sendiri, kecuali pelanggaran tehadap Allah.”

Al-Bukhari tidak menyebutkan nama gurunya, padahal ia meriwayatkan hadis dari Imam Malik
melalui perantara seorang ar-râwiy (periwayat).

Contoh lain; dikeluarkan oleh al-Bukhari di dalam kitabnya  al-Jâmi’ ash-Shahîh, Kitab ath-
Thahârah, Bab Mâ Jâ’a fî Ghusli al-Baul, (1/51).

‫ب ْالقَب ِْر َكانَ الَ يَ ْستَتِ ُر ِم ْن بَوْ لِ ِه‬ َ ِ‫ال النَّبِ ُّي صلى هللا عليه وسلم ل‬
ِ ‫صا ِح‬ َ َ‫َوق‬

“Rasulullah s.a.w. bersabda kepada penghuni kubur, dahulu dia tidak membersihkan
kencingnya”.

Al-Bukhari menghilangkan semua sanadnya, dan hanya mengatakan, “Nabi s.a.w. bersabda”.

b.   Hadis Dha’if Karena Cacat pada Matn (Matan/Teks) atau ar-Râwiy (Periwayat)

Banyak macam cacat yang dapat menimpa ar-râwiy (periwayat) ataupun matan. Seperti
pendusta, fâsiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan
sifat ‘adil pada ar-râwiy (periwayat). Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau
lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi ar-ruwât (para periwayat) yang dipercaya.
Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada ar-râwiy (periwayat). Adapun cacat pada matan,
misalnya terdapat sisipan di tengah-tengah lafazh hadis atau diputarbalikkan sehingga memberi
pengertian yang berbeda dari maksud lafazh yang sebenarnya.

Contoh-contoh hadis dha’if karena cacat pada matn (matan/teks) atau ar-râwiy (periwayat):

1)   Hadis Maudhu’

Menurut bahasa, hadis ini memiliki pengertian hadis palsu atau dibuat-buat. Para ulama
memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadis yang bukan berasal dari Rasulullah s.a.w..
Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadis palsu yakni musuh-
musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan
nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan politiknya,
madzhabnya, atau kebangsaannya .

Hadis maudhû’ merupakan seburuk-buruk hadis dha’if. Peringatan Rasulullah s.a.w. terhadap
orang yang berdusta dengan hadis dha’if serta menjadikan Rasululullah s.a.w. sebagai
sandarannya.

‫ْأ‬
ِ َّ‫ي ُمتَ َع ِّمدًا فَ ْليَتَبَ َّو َم ْق َع َدهُ ِمنَ الن‬
‫ار‬ َّ َ‫ب َعل‬
َ ‫َم ْن َك َذ‬

“Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat
duduknya dalam neraka”.

Berikut dipaparkan beberapa contoh hadis maudhu’:

a)      Hadis yang dikarang oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam; ia katakan bahwa hadis itu
diterima dari ayahnya, dari kakeknya, dan selanjutnya dari Rasulullah s.a.w.. berbunyi:
“Sesungguhnya bahtera Nuh berthawaf mengelilingi ka’bah, tujuh kali dan shalat di maqam
Ibrahim dua rakaat”. (Muhammad Nashiruddin al-Albani, Irwâ’ al-Ghalîl fî Takhrîji Ahâdîts
Manâr as-Sabîl, Juz V, Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1985, h. 222)[2] Makna hadis tersebut tidak
masuk akal”.

b)      Adapun hadis lainnya : “anak zina itu tidak masuk surga tujuh turunan”. (Muhammad
Nashiruddin al-Albani, Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah wa al-Maudhû’ah wa Atsaruhâ as-
Sayyi’ fi al-Ummah, Juz I, Riyadh: Dar al-Ma’arif, 1992, h. 447)[3] Hadis tersebut bertentangan
dengan al-Quran. ” Pemikul dosa itu tidaklah memikul dosa yang lain”. (QS al-An’âm/6: 164 )

c)      “Siapa yang memeroleh anak dan dinamakannya Muhammad, maka ia dan anaknya itu
masuk surga”. (As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Lâlî al-Mashnû’ah fi al-Ahâdîts al-Maudhû’ah, Juz I,
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t., h. 97)[4] “Orang yang dapat dipercaya itu hanya tiga, yaitu: aku
(Muhammad), Jibril, dan Muawiyah”. (As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Lâlî al-Mashnû’ah fi al-
Ahâdîts al-Maudhû’ah, Juz I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t., h. 282)[5]

Demikianlah sedikit uraian mengenai hadis maudhu’. Masih banyak hadis-hadis lainnya yang
sengaja dibuat oleh pihak kufar. Sedikit sejarah, berdasarkan pengakuan dari mereka yang
memalsukan, seperti Maisarah bin Abdi Rabbin Al-Farisi, misalnya, ia mengaku telah membuat
beberapa hadis tentang keutamaan al-Quran dan 70 buah hadis tentang keutamaan Ali bin Abi
Thalib. Abdul Karim, seorang ’zindiq’, sebelum dihukum pancung ia telah memalsukan hadis
dan mengatakan : “aku telah membuat 3000 hadis; aku halalkan barang yang haram dan aku
haramkan barang yang halal”.

2)   Hadis matrûk atau hadis mathrûh

Hadis ini, menurut bahasa berarti hadis yang ditinggalkan/dibuang. Para ulama memberikan
batasan bahwa hadis matrûk adalah hadis yang diriwayatkan oleh ”orang-orang yang pernah
dituduh berdusta (baik berkenaan dengan hadis ataupun mengenai urusan lain), atau pernah
melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya”.
Contoh hadis matrûk:

‫أخبرنا القاضى أبو القاسم نا أبو علي نا عبدهللا بن محمد ذكر عبدالرحمن بن صالح األزدى نا عمرو بن هاشم الجنى عن جوبير‬
‫ار َع السُّو ِء َو َعلَ ْي ُك ْم‬
ِ ‫ص‬َ ‫ُوف فَِإنَّهُ يَ ْمنَ ُع َم‬ ِ ‫عن الضحاك عن ابن عباس عن النبي صلى هللا عليه و سلم قال َعلَ ْي ُك ْم بِاصْ طَن‬
ِ ‫َاع ال َم ْعر‬
‫ب الرَّبِّ َع َّز َو َج َّل‬ ْ ُ‫ص َدقَ ِة ال ِّس ِّر فَِإنَّهَا ت‬
َ ‫طفِى ُء َغ‬
َ ‫ض‬ َ ِ‫ب‬

)٦ ‫ رقم‬، ٢٥ ‫أخرجه ابن أبى الدنيا فى قضاء الحوائج (ص‬

“Hendaklah kalian berbuat ma’ruf, karena ia dapat menolak kematian yang buruk, dan
hendaklah kamu bersedekah secara tersembunyi, karena sedekah tersembunyi akan
memadamkan murka Allah SWT”.

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dari Ibnu Abbas. Di dalam sanad  ini
terdapat rawi yang bernama Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy. An-Nasa’i, ad-Daruquthni, dan lain-lain
َ ‫( الَ بَْأ‬Ia tidak ada
mengatakan bahwa hadisnya ditinggalkan (matrûk). Ibnu Ma’in berkata, “‫س بِ ِه‬
apa-apanya)”, menurut Ibnu Ma’in ungkapan (tidak ada apa-apanya), ini berarti ia “‫ب‬ ِ ‫ْال ُمتَّهَ ُم بِ ْال َك ِذ‬
(tertuduh berdusta)”.

3)   Hadis Munkar

Hadis munkar, secara bahasa berarti hadis yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang
diberikan para ‘ulama bahwa hadis munkar ialah: hadis yang diriwayatkan oleh ar-râwiy
(periwayat) yang lemah dan menyalahi ar-râwiy (periwayat) yang kuat, contoh:

ُ‫ َأتَاه‬، ‫س‬
ٍ ‫ َأ َّن ا ْبنَ َعبَّا‬، ‫ث‬ ِ ‫ َع ِن ْال َع ْي َز‬، ‫ق‬
ٍ ‫ار ْب ِن ح َُر ْي‬ َ ‫ ع َْن َأبِي ِإ ْس َحا‬، ‫ نا َم ْع َم ٌر‬، ‫اق‬
ِ ‫ نا َع ْب ُد ال َّر َّز‬، ‫ك‬ ِ ِ‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ َع ْب ِد ْال َمل‬
ْ
* “ َ‫ض ْيفَ َد َخ َل ال َجنَّة‬ ْ
َّ ‫صاَل ةَ َوآتَى ال َّز َكاةَ َو َح َّج البَيْتَ َوقَ َرى ال‬ َّ ‫ ” َم ْن َأقَا َم ال‬: ‫ فَقَا َل‬, ُ‫اَأْل ْع َراب‬

“Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji dan menghormati
tamu, niscaya masuk surga.” (HR Abu Ishaq dari Abdullah bin Abbas)”

Hadis di atas memiliki ar-ruwât (para periwayat) yang lemah dan matannya pun berlainan
dengan matan-matan hadis yang lebih kuat.

4)   Hadis Mu’allal

Menurut bahasa, hadis mu’allal berarti hadis yang terkena ‘illat . Para ulama memberi batasan
bahwa hadis ini adalah hadis yang mengandung sebab-sebab tersembunyi, dan ‘illat yang
menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya.

Contoh:

ِ َ‫ْالبَيِّ َعا ِن بِ ْال ِخي‬


‫ار َما لَ ْم يَتَفَ َّرقَا‬

“(Rasulullah s.a.w. bersabda): “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum
berpisah”.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dengan bersanad pada Sufyan ats-Tsauri, dari
‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu Umar. Matan hadis ini sebenarnya shahih, namun
setelah diteliti dengan seksama, sanadnya memiliki ‘illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin
Dinar menjadi ‘Amru bin Dinar.

5)   Hadis Mudraj

Hadis ini memiliki pengertian hadis yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari
hadis itu.

Contoh:

… ‫ض ْال َجنَّ ِة‬ ٍ ‫َأنَا َز ِعي ٌم َوال َّز ِعي ُم ْال َح ِمي ُل لِ َم ْن آ َمنَ بِي َوَأ ْسلَ َم َوهَا َج َر بِبَ ْي‬
ِ َ‫ت فِي َرب‬

“Saya adalah za’im (dan za’im itu adah penanggung jawab) bagi orang yang beriman
kepadaku, dan berhijrah, dengan tempat tinggal di taman surga …” (HR Al-Bazzar dari
Fadhalah bin ‘Ubaid)

Kalimat akhir dari hadis tersebut (‫ض ْال َجنَّ ِة‬ ٍ ‫ )بِبَ ْي‬adalah sisipan, karena tidak termasuk sabda
ِ َ‫ت فِي َرب‬
Rasulullah s.a.w..

6)   Hadis Maqlûb

Menurut bahasa, berarti hadis yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi
pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama ar-râwiy (periwayat) dalam sanadnya atau
penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.

Contoh:

‫فَ َما َأ َمرْ تُ ُك ْم بِ ِه ِم ْن َش ْي ٍء فَْأتُوْ ا ِم ْنهُ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم َو َما نَهَ ْيتُ ُك ْم فَا ْنتَهُوْ ا‬

“(Rasulullah s.a.w. bersabda): Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka
kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan
kamu”. (Hadis Riwayat ath-Thabrani dari al-Mughirah)

Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah,
semestinya hadis tersebut berbunyi, Rasulullah s.a.w. bersabda:

‫َما نَهَ ْيتُ ُك ْم َع ْنهُ فَاجْ تَنِبُوهُ َو َما َأ َمرْ تُ ُك ْم بِ ِه فَا ْف َعلُوا ِم ْنهُ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم‬

“Apa yang aku larang kamu darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku suruh kamu
mengerjakannya, maka kerjakanlah ia sesuai dengan kesanggupan kamu”.

7)   Hadis Syadz
Secara bahasa, hadis ini berarti hadis yang ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadis
syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh ar-râwiy (periwayat) yang dipercaya, tapi hadis itu
berlainan dengan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah ar-râwiy (periwayat) yang juga
dipercaya. Hadisnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadis-hadis lain yang kuat.
Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.

Contoh :

‫ق ْالفَا ِك ِه ُّي بِ َم َّكةَ ثَنَا َأبُو يَحْ يَى بْنُ َأبِي َم ْي َس َرةَ ثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ يَ ِزي َد ْال ُم ْق ِريُّ ثَنَا ُمو َسى بْنُ ُعلَ ِّى ْب ِن‬ َ ‫َأ ْخبَ َرنَا َع ْب ُد هللاِ بْنُ ُم َح َّم ِد ْب ِن ِإس‬
َ ‫ْحا‬
‫ يَوْ ُم ع ََرفَةَ َو يَوْ ُم النَّحْ ِر َو َأيَّا ُم‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ‫ال َرسُوْ ُل هللا‬َ َ‫ ق‬:‫ قَا َل‬، ُ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنه‬ ِ ‫اح ع َْن َأبِ ْي ِه ع َْن ُع ْقبَةَ ْب ِن عَا ِم ٍر َر‬ ٍ َ‫َرب‬
ْ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
ٍ ْ‫ْق ِع ْي ُدنَا ْه ُل اِإْل ْساَل ِم َو ه َُّن يَّا ُم ك ٍل َو ُشر‬
‫ب‬ ِ ‫التَ ْش ِري‬

(Rasulullah bersabda): “Hari ‘Arafah, hari Nahr dan hari-hari Tasyriq adalah hari raya bagi
umat Islam, dan hari-hari itu adalah hari-hari makan dan minum.” (HR al-Hakim dari Musa bin
Ali bin Rabah)

Hadis di atas diriwayatkan oleh Musa bin Ali bin Rabah dengan sanad yang terdiri dari
serentetan ar-ruwât (para periwayat) yang dipercaya, namun matn (matan/teks) hadis tersebut
ternyata ganjil, jika dibandingkan dengan hadis-hadis lain yang diriwayatkan oleh ar-ruwât (para
periwayat) yang juga dipercaya. Pada hadis-hadis lain tidak dijumpai ungkapan tersebut.
Keganjilan hadis di atas terletak pada adanya ungkapan tersebut, dan merupakan salah satu
contoh hadis syadz pada matn (matan/teks)-nya. Lawan dari hadis ini adalah hadis mahfûzh.

3.   Kehujahan Hadis Dha’if

Khusus hadis dha’if, maka para ulama hadis kelas berat semacam Al-Hafizh Ibnu Hajar al-
Asqalani menyebutkan bahwa hadis dha’if boleh digunakan, dengan beberapa syarat:

a.   Level Ke-‘dha’if’-annya Tidak Parah

Ternyata yang namanya hadis dha’if itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari
yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan.

Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadis dha’if yang bisa dijadikan hujjah, asalkan
bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadis yang level ke-dha’if-annya
tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara-perkara (perilaku-perilaku) yang memiliki
nilai keutamaan (‫ضاِئ ُل اَأْل ْع َما ِل‬
َ َ‫)ف‬.

b. Berada di bawah Nash (Teks)Lain yang Shahih

Maksudnya hadis yang dha’if itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhâil al-a’mâl (
ِ ‫ضاِئ ُل اَأْل ْع َم‬
‫ال‬ َ َ‫)ف‬, harus didampingi dengan hadis lainnya. Bahkan hadis lainnya itu harus shahih.
Maka tidak boleh hadis dha’if dijadikan sebagai pegangan pokok, tetapi dia (hadis dha’if
tersebut) harus berada di bawah nash (teks) hadis yang shahih, atau (minimal) hasan.

1. c.       Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsâbit-annya


Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadis dha’if itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini
merupakan sabda Rasululah s.a.w.perbuatan atau taqrîr (ketetapan) beliau. Tetapi yang kita
lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari
Rasulullah s.a.w..

4        Sikap Ulama Terhadap Hadis Dha’if

Sebenarnya kalau kita mau jujur dan objektif, sikap ulama terhadap hadis dha’if itu sangat
beragam. Setidaknya kami mencatat ada tiga kelompok besar dengan pandangan dan hujjah
mereka masing-masing. Dan menariknya, mereka itu bukan orang sembarangan. Semuanya
adalah orang-orang besar dalam bidang ilmu hadis serta para spesialis.

Maka posisi kita bukan untuk menyalahkan atau menghina salah satu kelompok itu. Sebab
dibandingkan dengan mereka, kita ini bukan apa-apanya dalam konstelasi para ulama hadis.

a.   Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadis Dha’if

Namun harus kita akui bahwa di sebagian kalangan, ada juga pihak-pihak yang ngotot tetap tidak
mau terima kalau hadis dha’if itu masih bisa ditoleransi.

Bagi mereka hadis dha’if itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah
keutamaan (fadhîlah), kisah-kisah, nasihat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah
hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadis dha’if di hati mereka.

Di antara mereka terdapat nama Al-Imam al-Bukhari, al-Imam Muslim, Abu Bakar al-‘Arabi,
Yahya bin Ma’in, Ibnu Hazm dan lainnya. Di zaman sekarang ini, ada tokoh seperti al-Albani
dan para pengikutnya.

b.   Kalangan Yang Menerima Semua Hadis Dha’if

Jangan salah, ternyata ada juga kalangan ulama yang tetap menerima semua hadis dha’if. Mereka
adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadis dha’if, asal bukan
hadis palsu (maudhu’). Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu hadis, tetap saja lebih tinggi
derajatnya dari akal manusia dan logika.

Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-
Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali. Madzhab ini banyak dianut saat ini antara
lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibn al-Mubarak
dan yang lainnya.

Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, bahwa bila kami meriwayatkan hadis
masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhîlah dan
sejenisnya, kami longgarkan.”

c.   Kalangan Moderat
Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadis yang terbilang dha’if
dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam madzhab yang
empat serta para ulama salaf (mutaqaddimîn) dan khalaf (mutaakkkhirîn).

Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadis dha’if antara lain, sebagaimana diwakili
oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dan juga Al-Imam an-Nawawi, adalah:

1)      hadis dha’if itu tidak terlalu parah ke-dha’if-annya. Sedangkan hadis dha’if yang ar-râwiy
(periwayat)-nya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah
kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.

2)      hadis itu punya asal yang menaungi di bawahnya

3)      hadis itu hanya seputar masalah nasihat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan
dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.

4)      ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadis itu, melainkan
hanya sekadar berhati-hati.

D. Kesimpulan

Pada materi hadis dha’if ini, dapat kita petik kesimpulan bahwa kajian ke-islaman itu sangatlah
luas. Menunjukkan betapa maha kuasanya Allah dalam memberikan kepahaman terhadap
hamba-hambanya.

ِ َّ‫َوهّللا ُ غَالِبٌ َعلَى َأ ْم ِر ِه َولَـ ِك َّن َأ ْكثَ َر الن‬


َ‫اس الَ يَ ْعلَ ُمون‬

“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.”
(QS. Yûsuf/12: 21)

Meskipun ada sebagian kaum muslimin mengingkari al-Quran dan Hadis (terlebih hadis dha’if),
kita harus tetap berupaya untuk meluruskan bersama. Karena Allah SWT. berfirman :

ِّ ‫َو َما يَتَّبِ ُع َأ ْكثَ ُرهُ ْم ِإالَّ ظَنًّا َإ َّن الظَّ َّن الَ يُ ْغنِي ِمنَ ْال َح‬
َ‫ق َش ْيًئا ِإ َّن هَّللا َ َعلَي ٌم بِ َما يَ ْف َعلُون‬

 “(Dan) kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya


persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS Yûnus/10:  36).

َّ ‫َواصوْ ا بِال‬
)٣( ‫صب ِْر‬ ِّ ‫َواصوْ ا بِ ْال َح‬
َ ‫ق َوت‬ َ ‫ت َوت‬ ٍ ‫) ِإ َّن اِإْل ْنسانَ لَفِي ُخس‬۱( ‫َو ْال َعصْ ِر‬
ِ ‫) ِإالَّ الَّ ِذينَ آ َمنُوا َو َع ِملُوا الصَّالِحا‬٢( ‫ْر‬

 “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat-menasihati supaya mentaati
kebenaran dan nesehat-menasihati supaya menetapi kebenaran”. (QS al-‘Ashr/103: 1-3)

Terbaginya hadis dha’if dalam dua bagian; karena gugurnya ar-râwiy (periwayat) dan atau
karena cacat ar-ruwat (para periwayat) atau matn (matan/teks) semakin memudahkan kita untuk
mengetahui sebab-sebab mengapa hadis-hadis menjadi dha’if, baik dari segi ar-râwiy
(periwayat)-nya (orang yang meriwayatkan), sanad, maupun matn (matan/teks)-nya.

Setiap Muslim diperintahkan untuk memiliki kepribadian Islam (syakhshiyah islamiyyah).


Kepribadian Islam itu mencakup cara berpikir islami (’aqliyyah islâmiyyah) dan pola sikap
islami (nafsiyyah islamiyyah). Dengan ‘aqliyyah islâmiyyah seseorang dapat mengeluarkan
keputusan hukum tentang benda, perbuatan, dan peristiwa sesuai dengan hukum-hukum syariah.
Dia dapat mengetahui mana yang halal dan mana yang haram serta mana yang terpuji dan mana
yang tercela berdasarkan syariah Islam. Melalui ‘aqliyyah islâmiyyah seorang Muslim juga akan
memiliki kesadaran dan pemikiran yang matang, mampu menyatakan ungkapan yang kuat dan
tepat, serta mampu menganalisis berbagai peristiwa dengan benar. Namun, ‘aqliyyah islâmiyyah
saja tidak cukup. Banyak ilmu saja tidak cukup. Tidak jarang, orang pintar bicara, pandai
berdebat tentang dalil, tetapi apa yang diomongkan berbeda dengan apa yang dilakukan.

Karena itu, kepribadian Islam tidak cukup dengan ‘aqliyyah islâmiyyah melainkan harus
dipadukan dengan nafsiyyah .

Dengan mengetahui Ilmu Hadis (di sini lebih dikhususkan hadis dha’if), tentu akan membuat
‘aqliyyah kita menjadi semakin terpacu untuk berpikir dan menggali pengetahuan secara lebih
mendalam serta dilandasi nafsiyyah (sikap) keimanan dan ketakwaan yang mantap, termotivasi
untuk terus mencari dan mengamalkannya karena pembahasan dalam makalah ini hanyalah
berisi sebagian kecilnya saja.

DAFTAR PUSTAKA

Fadlil Said, Qawâid al-Asasiyyah Fî ‘Ilm Mushthalâh al-Hadîts, Alih Bahasa, Surabaya: Al-
Hidayah, 2007.

http://www. eramuslim.com

http://ronyramadhanputra.blogspot.com/2009/04/hadis-dhaif.html

http://fastion.multiply.com/journal/item/4/Ulumul_hadis

http://onetspawn.wordpress.com/2010/04/18/pengertian-ciri-ciri-kehujahan-hadis-shahih-hasan-
dhaif/

Khon, Abdul Majid., Ulumul Hadis, Jakarta: Ahzam, 2008.

Mahmud Thahhan, ‘Ulumul Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi, Yogyakarta: Titian Ilahi Pres,
1997.

Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, Semarang: Rasail, 2007.


Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi., Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1999.

[1]Pengertian Mutâba’ah. Ada yang menyamakan Mutâbi’ dengan Syâhid, tetapi ada juga yang
membedakan. Adapun yang membedakannya mendefinisikan pengertian mutabâ’ah atau mutâbi’
adalah suatu riwayat yang mengikuti periwayatan orang lain dari guru yang terdekat atau
gurunya guru. Atau dengan pengertian hadis mutâbi’ adalah hadis yang diriwayatkan oleh
periwayat lebih dari satu orang dan terletak bukan pada tingkat sahabat Nabi s.a.w.. Riwayat
mutâbi’ biasanya berada pada tingkat tabi’in, oleh karenanya disebut dengan mutâbi’ kalau
penguat tersebut ada pada tabi’in.
Mutâbi’ di sini biasanya menjadi penguat bagi riwayat hadis lain yang kurang kuat.

Pembagian Mutâba’ah, Riwayat mutâbi’ terbagi menjadi dua macam, yaitu: (1) Mutâbi’ Tâm,
yaitu apabila periwayat yang lebih dari satu orang itu menerima hadis tersebut dari guru yang
sama. Atau apabila periwayatan mutâbi’ itu mengikuti periwayatan guru (mutâba’ah) dari yang
terdekat sampai guru yang terjauh. (2) Mutâbi’ Qashr, yaitu apabila para periwayat tersebut
menerima hadis itu dari guru yang berbeda-beda atau apabila periwayatan mutâbi’  itu mengikuti
periwayatan guru yang terdekat saja, tidak sampai mengikuti gurunya guru yang jauh sama
sekali.

Pengertian Syawâhid. Riwayat syawâhid adalah riwayat lain yang diriwayakan dengan cara
meriwayatkannya dengan sesuai maknanya. Ada yang mendefinisikan, syâhid adalah hadis yang
periwayat di tingkat sahabat Nabi s.a.w. terdiri dari lebih seorang. Syawâhid ini pada intinya juga
sebagai riwayat penguat atas riwayat yang lain, tetapi biasanya penguat tersebut ada pada tingkat
sahabat.

Syawâhid ini terbagi menjadi dua, yaitu: (1) Syâhid bi al-Lafzh, yaitu apabila matan hadis yang
diriwayatkan oleh sahabat yang lain sesuai dengan redaksi  dan maknanya dengan hadis yang
dikuatkan. (2) Syâhid bi al-Ma’nâ, yaitu apabila matn (matan/teks) hadis yang diriwayatkan oleh
sahabat yang lain, namun hanya sesuai dengan maknanya secara umum.

[2] ‫ وصلت خلف المقام ركعتين‬, ‫إن سفينة نوح طافت بالبيت‬

[3] ” ‫ إلى سبعة آباء‬،‫ وال شيء من نسله‬،‫” ال يدخل ولد الزنا الجنة‬

[4]  ‫من ولد له مولود فسماه محمدا تبركا به كان هو ومولوده في الجنة‬

[5] ‫األمناء عند هللا ثالث قيل من هم يا رسول هللا قال جبريل وأنا ومعاوية‬
Tag
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/hadis-shahih-hasan-dan-dhaif-pengertian-ciri-ciri-dan-kehujahannya/

HADITS DITINJAU DARI SEGI KUALITAS DAN KUANTITASNYA


HADITS DITINJAU DARI SEGI

KUANTITAS DAN KUALITASNYA

Pembagian hadits diperlukan dalam upaya untuk mengklasifikasikan hadits, dari sisi kuantitas
pembagian hadits bertujuan untuk mengetahui jumlah rawi pada tiap tingkatan sehingga muncul
klasifikasi hadits mutawattir dan hadits ahad. Sedangkan dari sisi kualitas bertujuan untuk mengetahui
keontetikan hadits dilihat dari shahih, hasan, dhaif dan sebagainya.

A.    PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI KUANTITASNYA

Maksud tinjauan hadits dari segi kuantitasnya, adalah kuantitas atau jumlah perawi yang ada
dalam periwayatan sebuah hadits. Ditinjau dari segi sedikit atau banyaknya rawi yang menjadi sumber
berita, hadits terbagi menjadi dua macam, yaitu hadits mutawatir dan hadits Ahad.

1.     Hadits Mutawatir

a.    Pengertian Hadits Mutawatir

Setiap hadits pasti mempunyai rawi yang banyak dari berbagai tingkatan. Jika sejumlah sahabat
yang menjadi rawi pertama suatu hadits itu banyak sekali, rawi yang kedua (tabi’in), ketiga (tabi’it –
tabi’in) dan seterusnya sampai pada rawi yang mendewankan (membukukan) dalam keadaan yang
sama, seimbang atau bahkan lebih banyak jumlahnya, maka termasuk Hadits Mutawatir.

Diantara salah satu rumusan definisi Hadits Mutawatir, yaitu :

“Suatu hadits yang


diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang menurut kebiasaannya mustahil mereka itu bersepakat untuk
berdusta. Kualitas mereka sama dari sanad pertama sampai terakhir dan tidak ada yang cacat”.
b.    Ciri-ciri Hadits Mutawatir

Setelah anda mengkaji pengertian hadits mutawatir di atas, maka akan menemukan ciri-cirinya,
yaitu :

1). Jumlah perawinya banyak yang tidak mungkin berdusta

Menurut Abu Thayyib, minimal 4 orang, mengkiaskan saksi dalam persidangan. Kelompok Asy-
Syafi’i berpendapat, minimal 5 orang mengkiyaskan Nabi-nabi Ulul Azmi. Sebagian ulama lain
menentukan minimal 20 orang berdasar QS. Al-Anfal 65, yang menjelaskan tentang 20 orang yang tahan
uji sehingga dapat mengalahkan 200 orang kafir. Ada pula yang menentukan minimal rawinya berjumlah
40 orang, berdasar QS. Al-Anfal 64, yaitu jumlah orang mukmin ketika itu.

2). Jumlah rawinya seimbang dalam semua tingkatan

Dengan demikian jika misalnya suatu hadits diriwayatkan oleh 10 sahabat, kemudian diterima oleh 5
orang tabi’in dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh 2 orang tabi’it tabi’in, maka tidak termasuk hadits
mutawatir.
3). Berdasarkan Tanggapan Panca Indra

Maksudnya warta yang disampaikan itu benar-benar hasil pendengaran atau penglihatannya sendiri
bukan hasil pemikiran atau teori yang mereka temukan.

c.     Kedudukan Hadits Mutawatir

Keadilan dan kedhabitan (kuat ingatan) dari para perawi hadits mutawatir itu sudah tidak
diragukan lagi, sehingga mereka tidak mungkin untuk berbohong dalam membawa berita dari Nabi SAW.
Karena itu para ulama sepakat bahwa hadits mutawatir memberi dampak pada faedah ilmu dharury,
yakni keharusan untuk menerima bulat-bulat berita dalam hadits tersebut secara pasti (qath’y wurud).
Dengan demikian hadits mutawatir menduduki tingkatan teratas dibandingkan dengan hadits-hadits
yang lainnya.

d.    Pembagian Hadits Mutawatir

Ulama ushul membagi hadits mutawatir menjadi dua bagian, yaitu mutawatir lafdy dan mutawatir
ma’nawy. Adapun yang dimaksud dengan mutawatir lafdy ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang
banyak dan susunan redaksi serta maknanya benar-benar sama antara riwayat yang satu dengan
lainnya. Sedang Mutawatir Maknawy, ialah hadits yang rawinya banyak, tetapi redaksi pemberitaannya
berbeda-beda, hanya prinsip dan maknanya saja yang ada kesamaan.

Contoh hadits mutawatir lafdhy, antara lain :


Menurut Abu bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, dan sebagian ulama
mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan susunan redaksi dan
makna yang sama.

2.     Hadits Ahad

a.      Pengertian dan Kedudukan Hadits Ahad

Ulama Muhaditsin memberikan definisi

“Yaitu, Hadits yang tidak


mencapai derajat mutawatir”.

b.      Klasifikasi Hadits Ahad

Berdasarkan sedikit dan banyaknya para perawi yang terdapat pada tiap-tiap tingkatan (thabaqat),
maka hadits Ahad dapat dibagi menjadi tiga, yaitu hadits masyhur, hadits aziz dan hadits gharib.

1).   Hadits Masyhur

Hadits Masyhur ialah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, tetapi belum mencapai
derajat mutawatir.

Contoh hadits masyhur


Menurut ulama Fiqh, hadits Masyhur itu Murodif (disebut juga) Hadits Mustafid. Namun sebagian
yang lain berpendapat bahwa hadits Masyhur itu lebih umum daripada hadits Mustafid. Dalam hadits
Mustafid jumlah rawi harus sama dalam setiap tingkatannya, sementara pada hadits Masyhur tidak
harus sama.

Dilihat dari segi makna Masyhur berarti terkenal atau populer. Maka ulama hadits membagi hadits
Masyhur dari segi maknanya menjadi tiga kelompok, yaitu :

a)     Masyhur di kalangan Muhadditsin dan lainnya.

b)     Masyhur di kalangan para ahli disiplin keilmuan tertentu. Misalnya hanya terkenal di kalangan
Muhadditsin, Fuqaha’, ahli nahwu, tasawuf dan lain

c)     Masyhur hanya di kalangan umum


2).   Hadits Aziz

Aziz secara bahasa berarti mulia atau kuat dan juga berarti jarang, menurut istilah Hadits aziz
adalah hadits yang diriwayatkan dua orang perawi walaupun dua orang perawi tersebut berada dalam
satu tingkatan saja., kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.

Contoh hadits ini adalah :

3).   Hadits Gharib

Contoh Hadits Gharib :

Hadits Gharib yaitu “hadits yang dalam sanadnya terdapat seseorang yang menyendiri dalam
meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”. Maksudnya penyendirian itu bisa
jumlah personalianya atau sendiri dalam sifat atau keadaannya perawi-perawi lainnya yang
meriwayatkan hadits tersebut.
Penyendirian dalam personalianya disebut Gharib Mutlak, sedang penyendirian mengenai sifat-
sifat atau keadaan tertentu seorang rawi. Misalnya ketsiqahan, tempat tinggal, rawi tertentu, maka
disebut Gharib Nisby.

Mayoritas ulama sependapat bahwa hadits ahad yang maqbul (bisa diterima) dalam arti shahih,
bisa digunakan sebagai dasar hukum Islam, dan wajib diamalkan. Adapun yang berkaitan dengan akidah
ada beberapa pendapat yang netral, hadits ahad yang telah memenuhi syarat (shahih) dapat dijadikan
hujjah / dalil untuk masalah akidah asal hadits tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an, dan
hadits-hadits lain yang lebih kuat, dan tidak bertentangan dengan akal sehat.

Pembagian hadits dari segi kuantitas ini sekedar untuk mengetahui sedikit atau banyaknya
sanad, bukan untuk menentukan diterima atau tidaknya hadits. Karena itu kita perlu pula mengetahui
materi berikutnya yang akan membahas tentang kualitas hadits.

B.     PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI KUALITASNYA

Ditinjau dari segi kualitas, para ulama membagi tiga bagian, yaitu hadits Shahih, hadits Hasan
dan hadits Dha’if :

1.     Hadits Shahih

a.      Pengertian Hadits Shahih

Menurut Ulama Muhadditsin, hadits shahih yaitu

“Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya,
tidak ber’illat dan tidak janggal”.

Dengan pengertian tersebut, maka ada lima syarat untuk disebut hadits shahih, yaitu :

1).   Rawinya bersifat adil

Menurut Ibnus-Sam’any, seorang rawi bisa disebut adil bila :

a)     Menjaga ketaatan dan menjauhi kemaksiatan kepada Allah

b)     Menjauhi dosa-dosa kecil


c)     Meninggalkan perbuatan mubah yang dapat menggugurkan iman kepada Qadar dan menjadikan
penyesalan

d)     Tidak mengikuti salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.

Sedang Muhyiddin Abdul Hamid menjelaskan bahwa adil berarti :

a)     Islam

b)     Mukallaf

c)     Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seseorang fasik dan mencacatkan kepribadiannya.

2).   Sempurna ingatannya (dhabit)

Maksudnya daya ingatannya kuat, dari awal menerima hadits hingga disampaikan kepada orang
lain tidak ada yang lupa. Sanggup dikeluarkan dimana dan kapan saja dikehendaki. Jika demikian, maka
disebut Dhabit Shadran. Sedang bila keutuhan hadits yang disampaikan itu berdasar pada buku catatan
(teks book), maka disebut Dhabit Kitabah. Adapun rawi yang memiliki sifat adil dan Dhabit disebut “Rawi
Tsiqah” (dapat dipertanggung jawabkan).

3).   Sanadnya tidak terputus

Maksudnya sanadnya bersambung, tidak ada yang terputus, karena tiap-tiap rawi dapat saling
bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya.

4).   Tidak mempunyai ‘illat

Selamat dari illat (penyakit) hadits, yaitu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai
kesahihan suatu hadits. Misalnya, meriwayatkan hadits secara Muttasil (bersambung) terhadap hadits
Mursal (gugur seorang sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadits Munqathi’ (gugur salah
seorang rawinya). Demikian juga dapat dianggap illat hadits, jika ada sisipan dalam matan haditsnya.

5).   Tidak janggal

Maksudnya hadits yang rawinya maqbul (dapat diterima periwayatannya) tersebut tidak
bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih (kuat), disebabkan dengan
adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam kedhabitan rawinya atau adanya segi-segi tarjih
yang lainnya.
b.      Klasifikasi Hadits Shahih

Hadits Shahih terbagi menajdi dua bentuk, yaitu :

1).   Shahih li-Dzatihi (‫)صحيح لذاته‬, yaitu hadits shahih yang secara sempurna terpenui kriteria persyaratan
tersebut di atas. Hadits shahih li dzatihi tingkatannya bisa turun menjadi Hasan li zatihi ketika
kedhabitan seorang rawi kurang sempurna.

2).   Shahih Lighairih (‫)صحيح لغيره‬, yaitu hadits yang rawinya kurang hafizd dan dhabit (hasan Lizzatih), namun
ada sanad lain yang serupa atau lebih kuat, sehingga dapat menutupi kekurangan-kekurangannya.

c.      Martabat Hadits Shahih

Di dalam hadits shahih sendiri terdapat tingakatan-tingkatan berdasarkan kedhabitan dan keadilan
para perawinya, yaitu :

1).   ‫( اصح االساند‬sanadnya paling shahih, misalnya bagi Imam Bukhari adalah Malik, Nafi’ dan Ibnu Umar,
bagi Imam An-Nasa’I adalah Ubaidillah Ibnu ‘Abbas dan Umar bin Khattab).

2).   ‫عليه‬ ‫متفق‬ (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).

3).   ‫البخارى‬ ‫رواه‬ (Hadits riwayat Imam Bukhari)

4).   ‫( رواه مسلم‬Hadits riwayat Imam Muslim)


5).   ‫ومسلم‬ t‫شراط البخارى‬ (menurut syarat-syarat Imam Bukhari dan Muslim)

6).   ‫البخارى‬ ‫صحيح على شرط‬ (Shahih memenuhi syarat Imam Bukhari)

7).   ‫مسلم‬ ‫صحيح على شرط‬ (Shahih memenuhi syarat Imam Muslim)

8).   Hadits yang ditakhrij dengan tidak menggunakan syarat Bukhari dan Muslim.

2.     Hadits Hasan

Menurut bahasa, hadits hasan adalah hadits yang baik. Menurut istilah hadits hasan adalah hadits
yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sanadnya bersambung, tidak mengandung ilat, dan tidak
janggal, namun rawinya kurang dhabit (kurang baik tingkat hapalannya).

Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi semua syarat-syarat hadits shahih, hanya saja seluruh
atau sebagian perawinya kurang dhabit. Dengan demikian perbedaan hadits shahih dan hadits hasan
terletak pada tinggi atau rendahnya kedhabitan seorang rawi. Hadits hasan terbagi menjadi dua, yaitu :

a.      Hasan Lizzatihi. Maksudnya hadits itu telah memenuhi syarat-syarat hadits hasan.
b.      Hasan Lighairihi, Maksudnya hadits itu sanadnya ada yang dirahasiakan (Mastur), tidak jelas
keahliannya, namuan mereka bukan pelupa, tidak banyak salah dan tidak dituduh dusta dalam
periwayatannya. Pada mulanya hadits hasan ligahirih itu adalah hadits dha’if, namun karena ada
dukungan sanad lain yang memperkuat, maka naik tingkatannya menjadi hadits Hasan.

Hadits hasan ini bisa dijadikan sebagai dasar sumber hukum Islam, namun tingkatannya di bawah
hadits shahih.

3.     Hadits Dha’if

Dha’if artinya “lemah”. Adapun yang disebut hadits dha’if adalah hadits yang kehilangan satu atau
lebih syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan.

Pada dasarnya hadits dha’if itu disebabkan dua alasan, yaitu :

a.      Karena sanadnya tidak muttasil (bersambung)

Nama hadits dhaif karena alasan / sebab tidak muttasilnya sanad antara lain ; hadits mursal, hadits
munqati’, hadits mu’adhdhal, hadits mudallas, dan hadits muallal.

b.      Karena faktor lain misal dari matan

Nama hadits dhaif karena alasan / sebab ini antara lain hadits mudha’af, hadits mudhtharib, hadits
maqlub, hadits mungkar, hadits matruk, dan hadits mathrub.

Menurut para Muhadditsin, sebab-sebab tertolaknya hadits sebagai sumber hukum bisa ditinjau
dari dua faktor, yaitu Sanad dan matannya.

1.      Faktor Sanad

Dari faktor sanad ini bisa karena rawinya cacat dan bisa pula tertolak karena sanadnya tidak
bersambung.

a.       Rawi Cacat

Rawi hadits yang cacat dari keadilan dan kedhabitan haditsnya disebut

-          Mandhu’ (rawinya dusta)

-          Matruk (tertuduh dusta)

-          Munkar (fasik, banyak salah, lengah dalam hafalan)

-          Mu’allal (banyak prasangka)


-          Mudraj (penambahan suatu sisipan)

-          Maqlub (memutarbalikkan)

-          Mudhtharib (menukar-nukar rawi hadits)

-          Muharraf (mengubah syakal - huruf)

-          Mushahhaf (mengubah titik dan kata)

-          Mubham (tidak diketahui identitasnya)

-          Mardud (penganut Bid’ah)

b.      Sanadnya tidak bersambung

Hadits yang sanadnya gugur atau tidak bersambung haditsnya disebut

-          Mu’allaq (gugur pada sanad pertama)

-          Mursal (gugur pada sanad terakhir / shahabat)

-          Mu’dhal (gugur dua orang rawi atau lebih berurutan)

-          Munqhati’ (gugurnya rawi tidak berurutan)

2.      Faktor Matan

Hadits yang tertolak dari faktor matan hadits, maka haditsnya bisa karena berupa hadits

- Mauquf (disandarkan kepada sahabat)

- Maqthu’ (disandarkan kepada tabi’in).

Para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan hadits dha’if sebagai hujjah (dasar hukum)
atau sebagai amalan kebaikan. Pendapat pertama, menolak sama sekali menggunakan hadits dha’if.
Baik untuk mendorong berbuat kebajikan maupun dalam penetapan hukum. Kedua, menerima secara
utuh hadits dha’if. Ketiga, menolak sebagai hujjah (dasar hukum) dan menerima sekedar untuk
memotifasi berbuat kebajikan dan nasehat asalkan haditsnya tidak terlalu janggal dan ada penguat dari
hadits yang lainnya.

Dari ketiga pendapat tersebut, yang paling selamat adalah pendapat pertama, karena penuh
dengan ihtiyat dan kehati-hatian agar tidak terjebak dalam perbuatan bid’ah.
Diposkan 5th March 2013 oleh M. Arifin

http://ariza-islamicblog.blogspot.com/2013/03/hadits-ditinjau-dari-segi-kualitas-dan.html

Anda mungkin juga menyukai