Anda di halaman 1dari 5

RASIONALITAS TAṢḤÎḤ & TAḌ‘ÎF

dari mulai sabr riwâyah sampai jarḥ ta‘dîl


Dadi Herdiansah

Dalam menentukan kualitas sebuah hadis apakah diterima ataukah ditolak tidak
lepas dari keberadaan para perawi hadis tersebut hingga sampai kepada mukharrij.
Para periwayat ini biasa disebut sanad. Apabila dalam sanad tersebut seluruh
periwayatnya memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi (tsiqah) atau sedikit rendah
di bawahnya (ṣadûq) maka para ulama ahli hadis menerimanya (maqbûl).1 Sebaliknya
apabila dalam sanad tersebut terdapat salah satu rawi daif, munkar atau każżâb maka
mereka menolaknya (mardûd).2 Namun beberapa rawi lain terjadi perselisihan di
kalangan ahlu nuqâd, sebagian men-ta‘dîl dan sebagiannya lagi men-jarḥ. Atas
kenyataan demikian mempengaruhi pula terhadap perselisihan dalam menetapkan
kedudukan riwayatnya.
Imam al-Tirmiżî (279H) sebagai salah satu ulama ahli hadis menyebutkan
bahwa di kalangan para ulama ahli hadis telah terjadi perselisihan dalam menetapkan
nilai daif terhadap rawi sebagaimana mereka berselisih dalam urusan lain. Beliau
memberikan satu contoh tentang Imam Syu‘bah yang telah melemahkan rawi yang
Bernama Abû Az-Zubair Al-Makkî, Abdul Malik bin Abî Sulaimân dan Hakîm bin
Jubair. Di saat ketiga rawi ini dilemahkan dan ditinggalkan riwayatnya, namun Imam
Syu‘bah malah meriwayatkan rawi di bawah mereka dalam hafalan dan keadilan yaitu
hadis dari Jâbir Al-Ju‘fî, Ibrahim bin Muslim A-Hajari dan beberapa rawi lain selain
mereka dari orang-orang yang telah dilemahkan dalam hadits.3 Atas kondisi demikian
nampak jelas bahwa jarḥ ta‘dîl dari para ahli hadis termasuk masalah ijtihâdiyyah.
Terbuka adanya pintu ijtihad bagi ulama yang punya kompenten di dalamnya (dalam
hal ini adalah ahlu nuqâd), karena penilaian mereka kepada orang tertentu tentunya
sesuai dengan informasi dan ilmu yang sampai kepada mereka perihal orang yang
dinilainya.

1
‫حسن حمزة‬and ‫ “شروط اإلمام مسلم فى صحيحه فى ضوء آراء العلماء وشراح الحديث النبوى‬,‫حسن‬
‫” هرمس‬,‫ الشريف‬7, no. 1 (2018): 141–75; Ibnu Ṣalâḥ, Muqaddimah Ibni Ṣalâḥ, ed. Nûruddîn ’Itr
(Beirut: Dâru al-Fikar, 1986); Ibnu Hajar, Al-Nukat ‘alâ Kitâb Ibni Al-Ṣalâḥ, ed. Rabî‘ bin Hâdî,
1st ed. (Mekah: ‘Imâdah al-Bahts al-‘Ilmî, 1984).
2
Nûruddîn ‘Itr, Manhaj Al-Naqd Fî ‘Ulûmi Al-Ḥadîts (Damaskus: Daru al-Fikar, 1981);
Mahmûd Al-Ṭaḥân, Fatḥ Al-Mugîts Fî Al-Ta‘lîq ‘alâ Taisîr Muṣṭalah Al-Hadîts. 1:153
3
al-Tirmiżî, Al- ‘Ilal Al-Ṣagîr (Beirut: Dâru Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî) 1:756; Ibnu Rajab,
Syarah ‘Ilal Al-Tirmiżî, ed. by Hammâm Abdurrahîm, 1st edn (Yordania: Maktabah al-Manâr,
1987) 2:558; ‘Alî bin Nâyif al-Syuhûd, Al-Mufaṣṣal Fî ‘Ulûmi Al-Ḥadîts (Maktabah Syamilah)
1:306; Sa ‘dî Al-Hâsyimî, Ikhtilâf Aqwâl Al-Nuqâd Fî Al-Ruwât Al-Mukhtalif Fîhim Ma‘a
Dirâsah Hâżihî Al-Ẓâhir ‘Inda Ibnu Ma‘În (Majma‘ al-Malik Fahd) 1:1.

1|P age
Imam Ibnu Taimiyyah (728H) menyebutkan di kitabnya Raf‘u al-Malâm,4
bahwa perselisihan ini tidak ubahnya seperti perselisihan yang terjadi pada cabang
ilmu-ilmu yang lain. Sebagian mereka ahli hadis ada yang meyakini bahwa rawi
tertentu tidak mendengar hadis dari syaikhnya di saat sebagian yang lain ada yang
meyakini bahwa rawi tersebut mendengar. Kondisi lain bisa terjadi ketika salah
seorang ahli hadis mengalami dua kondisi keadaan. Yaitu keadaan istiqâmah pada
penilaiannya terhadap rawi dan kondisi tertentu mengalami keraguan atas
penilaiannya. Hal demikian tentunya banyak faktor yang mempengaruhinya, salah
satunya adalah kemampuan data yang dikuasainya.5
Kedudukan seorang rawi secara umum dapat dikenali oleh para ulama ahli
hadis setelah mereka menelusuri sejumlah riwayat yang dimiliki rawi tersebut hingga
nampaklah di hadapan mereka ‘adâlah dan dabitnya. Imam Ahmad pernah berkata:6

.‫إِمَّنَا يعرف الرجل بِ َكثْ َرة َح ِديثه‬


“Seseorang (rawi) itu hanyalah baru dapat dikenali sebab banyaknya hadis”.
Periwayat hadis semakin banyak meriwayatkan akan semakin mudah dikenali
oleh para ahli hadis ‘adâlah dan dabitnya. Kemampuan mereka mengenali setelah
sejumlah riwayat yang dimiliki rawi tersebut dikonfirmasinya dengan riwayat lain,
apakah banyak terjadi perselisihan ataukah banyak kesesuaian. Sebaliknya semakin
sedikit rawi tersebut memiliki jalur periwayatan maka akan semakin menyulitkan
mereka dalam menilai ‘adâlah dan dabitnya. Atas hal demikian sebagian para
periwayat hadis yang sedikit riwayatnya ini mereka diamkan atau hanya dikomentari
dengan perkataan, “majhûl” (tidak dikenal).7 Dari kondisi demikian berimplikasi
terhadap riwayatnya pula, ditolak atau didiamkan sampai nampak keberadaan rawi
tersebut.8 Apabila didapatkan banyak riwayatnya dan selaras dengan riwayat rawi lain
maka rawi tersebut pada pandangan mereka ada pada tingkat ‘adâlah dan dabit
tertinggi. Sebaliknya apabila mereka dapatkan sebagian hadisnya terjadi mukhâlafah
dengan riwayat lain maka rawi tersebut ada dalam kedudukan ṣadûq sampai daif.
Apabila lebih banyak lagi hadisnya mukhâlafah maka rawi tersebut oleh mereka diberi

4
Ibnu Taimiyyah, Raf‘u Al-Malâm ‘an Al-Aimmati Al-A‘Lâm (Makkah: Idarah al-
Buhûts al-‘Ilmiyyah, 1983).
5
”,‫ “اختالف االجتهاد في بعض الرواة بين االمامين البخاري و ابو حاتم الرازي‬,‫ محمد إبراهيم‬،‫سامرائي‬
n.d.
6
Ahmad bin Hanbal, Al-‘Ilal Wa Ma’rifah Al-Rijâl (Riyaḍ: Dâru al-Khânî, 2001). 2:639
7
Utsmân bin Abdi al-Rahmân Ibnu Ṣalâḥ, Muqaddimah Ibnu Ṣalâḥ, ed. Nuruddin ’Itr
(Beirut: Daru al-Fikar, 1986). 1:321
8
Jalaludin Al-Suyuti, Tadrîb Al-Râwî Fî Syarḥ Taqrîb Al-Nawâwî, ed. by Abu Qutaibah
(Dâr al-Ṭayyibah, 2009) 1:371; Barmawi Mukri, ‘Peran Rawi Dan Sanad Dalam Menentukan
Kualitas Hadis’; Helimy Aris, ‘The Maqbul Status of Al-Bukhari and Muslim Teachers in Ibn
Hajar’s Taqrib Al-Tahdhib’, 2020; Fareed Mohamed Hadi Abdulqader, ‘Ibn Hazm’s
Methodology of Jahala in His Book Al-Muhalla’, Annexe Thesis Digitisation Project 2017
Block 15, 2000.

2|P age
nilai munkar sampai tingkat terparah adalah matrûk, muttaham bi al-każab, atau
każżâb.9
Secara umum seluruh periwayat yang ada di dalam kitab-kitab maṣâdir
aṣliyyah telah ter-cover oleh para ahli hadis di kitab-kitab rijâl-nya, baik kelompok
periwayat yang tsiqah, kelompok periwayat yang daif maupun periwayat yang ada
dalam perselisihan.
Para periwayat hadis bersamaan waktu menjauh secara umumnya tersebar
hingga periwayatan terjadi cukup masif terjadi jalur-jalur periwayatan yang masing-
masing menjadi syâwâhid dan mutâba’ât dan sebagian jalurnya terjadi riwayat
mutawâtir.10 Terlebih di masa kodifikasi hadis secara resmi telah dimulai di masa
‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz periwayatan mulai tersebar berbarengan dengan tersebarnya
para perawi hadis di penjuru tempat.11 Di masa itu sudah mulai para periwayat
berpindah-pindah tempat dari satu daerah ke daerah yang lain untuk belajar hadis,
mendapatkan riwayat dan mengumpulkan jalur-jalur periwayatan sehingga hampir
semuanya dapat diketahui di antara periwayatan hadis bahwa pada salah seorang
periwayat misalnya memiliki jalur sanad yang tidak dimiliki oleh periwayat lain, atau
pada salah seorang rawi memiliki sanad ‘âlî12 yang tidak dimiliki oleh perawi yang
lain dan sebagainya.
Imam Sufyân al-Tsaurî berkata:13

.‫َي َش ْي ٍء يُ َقاتِ ُل‬


ِ ‫ فَبِأ‬،‫ح‬ ِ ِ ِ َ‫اْلسن‬
ٌ ‫اد س ََل ُح الْ ُم ْؤم ِن فَإِذَا ََلْ يَ ُك ْن َم َعهُ س ََل‬
ُ ْ ِْ
“Sanad adalah senjata orang mukmin, Apabila ia tidak memiliki senjata
tersebut, maka dengan apalagi ia bisa berperang?”.
Imam Ahmad berkata:14

9
Zainuddîn Al-Manâwî, Al-Yâqût Wa Al-Durar Fî Syarḥ Nukhbah Ibni Hajar, ed. by Al-
Murtaḍâ Zain (Riyâḍ: Maktabah al-Rusydî, 1999) 1:296; Al-Suyuti.
10
Shofiyyuddin Shofiyyuddin, “Epistemologi Hadis (Kajian Tingkat Validitas Hadis
Dalam Tradisi Ulama Hanafi),” Riwayah 2, no. 1 (2016): 1–14; Ṭâhir bin Ṣâliḥ Al-Jazâirî,
Taujîh Al-Naẓar Ilâ Uṣûl Al-Atsar, ed. ‘Abdul Fattâḥ (Halab: Maktab al-Maṭbû‘ah al-
Islâmiyah, 1995).1:139
11
Syahrul Gufron, “Pengertian Hadis Tematik Dan Sejarah Pertumbuhannya,” 2020.
12
Sanad ‘Ȃlî adalah sanad muttaṣil (tersambung) namun memiliki jalur yang dekat
antara imam mukharrij sampai ke sahabat. Adapun sebaliknya antara imam mukharrij
sampai ke sahabat terdapat beberapa rawi lain maka disebut sanad nâzil.
13
Khatîb Al-Bagdâdî, Syaraf Aṣḥâb Al-Ḥadîts, ed. Muhammad Sa’id Khatti (Ankara:
Dâru Ihyâ’ al-Sunnah, n.d.). 1:42
14
Khatîb Al-Bagdâdî, Al-Jâmi‘ Li Akhlâq Al-Râwî Wa Ȃdâb as-Sâmi‘, ed. Mahmûd
Ṭahhân (Riyaḍ: Maktabah al-Ma‘ârif, 1403). 1:123

3|P age
‫ب َعْب ِد م‬
‫اَّللِ َكانُوا يَْر َحلُو َن ِم َن الْ ُكوفَِة‬ ِ َ‫اد الْع ِاِل سنمةٌ ع ممن سل‬
ْ ‫ ِلَ من أ‬،‫ف‬
َ ‫َص َحا‬ َ َ ْ َ ُ َ َ‫اْل ْسن‬
ِ ِْ ‫طَلَب‬
ُ
ِ ِ ِ ِ
.ُ‫إِ ََل الْ َمدينَة فَيَتَ َعلم ُمو َن م ْن عُ َمَر َويَ ْس َمعُو َن مْنه‬
“Mencari sanad ‘âli adalah sunnah dari tradisi orang-orang salaf. Sebab para
sahabat Abdullah mereka melakukan suatu perjalanan dari Negri Kûfah
menuju Madinah. Mereka belajar dari ‘Umar dan mendengar langsung
darinya”.
Berdasarkan fakta riwayat, sebenarnya periwayatan di masa para sahabat
sampai masa tabi‘în juga tetap berlangsung secara individu baik secara oral history
maupun literacy.15 Imam al-Dârimî telah mengeluarkan satu jalur riwayat dari Anas
bin Malik yang menginstruksikan anaknya untuk mencatat hadis. 16
Seiring kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan
pemalsuan hadis, maka tidak seluruh periwayat hadis dapat dipercaya riwayatnya. 17
Diperparah oleh para periwayat yang sebagiannya memiliki daya ingat yang kurang
dan sebagian periwayat lain mengalami penurunan dalam hafalannya sebab sebagian
disibukkan oleh urusan negara,18 dan sebagian lagi disebabkan oleh faktor usia. Atas
kondisi seperti itu para ulama ahli hadis berusaha keras memperketat syarat
penerimaan hadis yang salah satunya adalah periwayat itu harus memiliki ‘adalah dan
dabit yang baik.
Kemampuan para ahli hadis dalam menilai seorang rawi adalah sebuah
kemampuan yang luar biasa sebagai anugrah dari Allah swt. Bagaimana tidak,
kemampuan tersebut membutuhkan perjuangan yang tinggi dalam membagi waktu
dan ketelitiannya dalam sabru riwayah guna mengkonfirmasi berbagai jalur riwayat.

15
Muhammad Anshori, “Oposisi Penulisan Hadis Di Basrah Pada Abad Kedua
Hijriah,” UNIVERSUM: Jurnal KeIslaman Dan Kebudayaan 13, no. 2 (2019) 109-115;
Zainuddin Mz, “Inkâr Al-Sunnah Pada Aspek Kodifikasi Hadis,” Mutawatir: Jurnal Keilmuan
Tafsir Hadith 3, no. 2 (2013): 307–23. 315-322
16
Al-Dârimî, Sunan Al-Dârimî, ed. Husain Salîm Asad (Mekah: Dâr al-Mugnî, 2000).
1:432
ٍ َ‫اَّللِ بْ ِن أَن‬
‫ أَ من أَنَ ًسا َر ِض َي م‬،‫س‬
‫ َكا َن‬،ُ‫اَّللُ َعْنه‬ ‫ َح مدثَِِن ُثَُ َامةُ بْ ُن َعْب ِد م‬،‫اَّللِ بْ ُن ال ُْمثَ مَّن‬
‫ َحدمثَنَا َعْب ُد م‬،‫َخ َََبََن ُم ْسلِ ُم بْ ُن إِبْ َر ِاه َيم‬
ْ‫أ‬
»‫ِن قَيِ ُدوا َه َذا الْعِلْ َم‬ ِ ِ ِ ُ ‫ي ُق‬
‫«َي بَِ م‬
َ :‫ول لبَنيه‬ َ
17
Lukman Zain, “Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan Dan Penghimpunannya,” Diya
Al-Afkar: Jurnal Studi Al-Quran Dan Al-Hadis 2, no. 01 (2014). Hal.16
18
Salah satu contohnya adalah Syarîk bin ‘Abdillah yang asalnya seorang rawi tsiqah,
namun di saat ia diangkat menjadi hakim di Kufah, daya hafalannya menurun. Imam Ibnu
Hajar Al-‘Asqolany (773 ‫ هـ‬- 852 ‫ )هـ‬mengatakan:
‫ تغري حفظه منذ وِل القضاء ابلكوفة‬, ‫صدوق خيطئ كثري‬

“Syarik itu(Shoduq) jujur tapi banyak salah, hafalannya berubah (pikun) semenjak
diangkat menjadi hakim di kufah” 18)

4|P age
Hanya saja keakuratannya dibatasi oleh data yang dimilikinya dan kemampuan
analisisnya, sehingga pada celah inilah sebagian para periwayat hadis nilainya terjadi
perselisihan di antara mereka.

Catatan kecil di sela rehat ibadah


--------------- Belajar Mudah Ilmu Hadis | Ma’had al-Bukhari ----------------

َ ‫ت ََتْ َع ُل احلَْز َن إِ َذا ِش ْئ‬


ً‫ت َس ْهال‬ َ ْ‫اللَّ ُه َّم الَ َس ْه َل إِالَّ َما َج َعلْتَهُ َس ْهالً َوأَن‬

5|P age

Anda mungkin juga menyukai