Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan.
Sumber dari pengetahuan tersebut ada dua macam yaitu Aqli dan Naqli. Sumber
naqli ini merupakan pilar sebagian besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh
manusia baik dalam agamanya secara khusus, maupun masalah dunia pada
umumnya. Dan sumber yang sangat otentif bagi ummat Islam dalam hal ini adalah
Al-Quran dan Hadits.
Allah telah memberikan pada ummat kita para pendahulu yang selalu
menjaga hadis Nabi. Mereka adalah orang-orang yang jujur, amanah, dan
memegang janji. Sebagian dari mereka mencurahkan perhatiannya terhadap AlQuran dan ilmunya, yaitu para Mufassir. Dan sebagian lagi memprioritaskan
perhatiaanya untuk menjaga hadis Nabi dan ilmunya, mereka adalah para ahli
hadis.
Berkenaan dengan berbagai macam ilmu yang berkaitan dengan keadaan
para periwayat dan riwayat mereka, dan penyusunan ketentuan hukum antara
hadits yang diterima dan di tolak ilmu hadis memberikan saham bagi
pemeliharaan hadis dan penjelasannya, membedakan antara hadis kuat dan
lemah, yang shahih dan dhaif, yang selamat dan cacat, serta yang nasikh dan
mansukh. Secara umum, menurut Ajaj al-Khatif dalam muqaddimah kitab usul
hadis menyatakan bahwa ilmu hadis atau usul hadis merupakan kaidah dan dasardasar yang sangat penting dalam menerima atau menolak suatu hadis.
Secara garis besar menurut kajian mutakhirun ilmu hadis terbagi
menjadi dua, yaitu, ilmu hadist Riwayah dan ilmu hadist Dirayah. Ilmu hadis
Dirayah ilmu untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macammacam, dan hukum-hukumnya. Serta untuk mengetahui keadaan para rawi, baik
syarat-syaratnya macam-macam hadis yang diriwayatkan, dan segala yang
berkaitan dengannya.
1

1.2

Rumusan Masalah
Untuk lebih jelas disini akan dipaparkan rumusan masalah yang akan

dibahas dalam makalah yaitu :


1.
2.
3.
4.
5.

Apa defenisi ilmu hadits Dirayah ?


Bagaimana model pengembangan hadits dirayah?
Bagaimana sejarah perkembangan ilmu hadits dirayah?
Apa faedah dari penerapan ilmu dirayah?
Apa pentingan dari mempelajari ilmu hadits dirayah?

1.3 Tujuan Penulisan


1.
2.
3.
4.
5.

Menjelaskan defenisi dari ilmu hadits dirayah


Menjelaskan bagaimana model pengembangan haditr dirayah
Menjelaskan sejarah perkembangan ilmu hadits dirayah
Menjelaskan faedah penerapan ilmu dirayah
Menjelaskan kepentingan dari ilmu hadits dirayah

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Defenisi Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu secara bahasa berarti memahami sesuatu, ilmu disini berarti
memahami sesuatu secara keseluruhan sedangkan ma'rifat adalah
memahami secara bagian-bagiannya. Hadits. Secara bahasa berarti baru,
sedangkan secara istilah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad saw, baik ucapan, perbuatan, ketetapan dan sifat
pribadinya dan juga disandarkan kepada para sahabat dan tabi'in.Hadits
yang disandarkan kepada sahabat namanya hadits mauquf sedangkan
hadits yang disandarkan kepada tabi'in namanya hadits maqthuu'.
Jadi ilmu hadits disini berarti ilmu yang mempelajari tentang
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Dan para ahli
hadits membagi pembahasan ilmu hadits ini kepada dua cabang yaitu ilmu
hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah. Ilmu Hadis Dirayah yaitu Ilmu
yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad,
matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi, dan lain-lain.
Ilmu hadist dirayah bertujuan untuk mengetahui hukum keadaan para
perawi dan jenis yang diriwayatkan. Tujuan ilmu ini untuk mengetahui dan
menetapkan hadist-hadist itu maqbul (diterima) atau mardud (ditolak).
Mengenai pengertian Ilmu Hadis Dirayah, para ulama hadis
memberikan definisi yang bervariasi, namun jika dicermati berbagai
definisi yang mereka kemukakan, maka akan ditemukan persamaan antara
satu dengan lainnya, terutama dari segi sasaran dan pokok bahasannya. Di
sini akan penulis kemukakan dua di antaranya:
Ibn al-Akfani memberikan definisi Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut:
:



Dan ilmu hadis yang khusus tentang dirayah adalah ilmu yang bertujuan
untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan

hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang


diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.
Dari definisi ini dapat dijelaskan beberapa hal, yaitu:
Hakikat Riwayat, yaitu kegiatan periwayatan hadis dan penyandarannya
kepada orang yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdis, yaitu
perkataan seorang perawi, haddasana fulan (telah menceritakan kepada
kami si Fulan), atau ikhbar, seperti perkataan: akhbarana fulan (telah
mengabarkan kepada kami si Fulan).
Syarat-Syarat Riwayat, yaitu penerimaan para perawi terhadap
apa yang diriwayatkannya dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam
penerimaan riwayat (cara-cara tahammul al-Hadis), seperti sama (perawi
mendengar langsung bacaan hadis dari seorang guru), qiraah (murid
membacakan catatan hadis dari gurunya dihadapan guru tersebut), ijazah
(member izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu hadis dari
seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya), munawalah (menyerahkan
suatu hadis yang tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan), kitabah
(menuliskan hadis untuk seseorang), Ilam (member tahu seseorang
bahwah hadis-hadis tertentu adalah koleksinya), washiyyat (mewasiatkan
kepada seseorang koleksi hadis yang dimilikinya), dan wajadah
(mendapatkan koleksi tertentu tentang hadis dari seorang guru). Macammacam Riwayat, yaitu seperti periwayatan muttsahil (periwayatan yang
bersambung mulai dari perawi pertama sampai kepada perawi terakhir,
ataumunqathi (periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah, atau di
akhir, dan lainnya Hukum Riwayat, yakni al-qabul (diterimannya suatu
riwayat karena telah memenuhi persyaratan tertentu, dan al-radd (ditolak,
karena adanya persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi. Keadaan para
Perawi, maksudnya adalah keadaan mereka dari segi keadilan mereka
(al-adalah) dan ketidak adilan mereka (al-jarh).
Syarat-syarat Mereka, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh seorang perawi ketika menerima riwayat (syarat-syarat pada
tahammul) dan syarat ketika menyampaikan riwayat (syarat pada al-add).

Jenis yang diriwayatkan (ashnaf al-marwiyyat), adalah penulisan hadis di


dalam kitab al-musnad, al-mujam, atau al-ajza dan lainnya dari jenisjenis kitab yang menghimpun hadis-hadis Nabi SAW.
2.2 Model Pengembangan Hadits Dirayah
Pokok pembahasan ilmu dirayah itu dua, yaitu (1) rijal al-sanad
dan (2) jarah-tadil.Dari pembahasan dua ulasan itu muncul penilaian,
bahwa suatu matan hadits dinilai shahih,atau hasan atau dlaif. Kata
penilaian seperti itu biasa disebut Mushthalah al-Hadits.
Rijal al-Sanad sering disebut riwayat perawi al-hadits, yaitu
untaian informasi tentang sosok perawi yang menceritakan matan hadits
dari satu rawi kepada rawi yang lain, sampai pada penghimpun hadits.
Informasi itu menceritakan setiap rawi, dari segi kapan dia lahir dan
wafatnya, siapa guru-gurunya, kapan tahun belajarnya, siapa murid-murid
yang berguru kepadanya, dari daerah mana dia, kedatangan dia ke seorang
guru kapan, dalam keadaan sehat, atau campur aduk kata-katanya
(ikhtilath), atau dalam periwatan hadits terdapat illat(cacad) bagi perawi,
atau bagi matan hadits, dan begitulah seterusnya.
Dari satu segi, persyaratan perawi hadits adalah muslim, aqilbaligh, kesatria (adalah) dan kuat ingatan (dlabith), baik dlabith imgatan
atau dlabit catatan Sedangkan cara penyampaiannya bisa menggunakan
pendengaran teks dari guru kepada murid, murid membaca teks di depan
guru, ijazah, timbang terima teks dari guru ke murid, tulisan guru yang
terkirimkan, pengumuman guru, wasiat, dan penemuan tulisan guru oleh
murid (wijadah). Semua bisa dikembangan dengan teknologi sekarang,
seperti konsep dlabith bisa ditambah dengan catatan, atau website, atau
sms dan sebagainya.
Tingkatan perawi hadits pertama adalah shahabat Rasulullah Saw.
yaitu seseorang yang pernah bertemu Rasulullah Saw. dalam keadaan
hidup, sadar dan beriman (Islam) sampai dia wafat dalam keadaan Islam.
Jumlah sahabat Nabi susah dihitung, karena banyak yang tersebar
di beberapa negara. Sebagai gambaran, Ibn Abbas menceritakan bahwa
pada sepuluh hari sesudah Ramadlan, Rasulullah berpuasa, dan para

sahabat pun ikut puasa. Setelah perjalanan sampai di daerahKudaid,


Rasulullah berbuka puasa, kemudian meneruskan perjalanan diikuti oleh
sepuluh ribu sahabat, sampai ke daerah Shurar. Kasus itu terjadi menjelang
Fathu Makkah. Dalam tempat lain, Kitab Nur al-Yaqin menulis bahwa
Rasulullah melaksanakan Hajji Wada dan diikuti oleh enam puluh ribu
kaum muslimin. Wallahu alam.
Kitab yang meriwayatkan sahabat Nabi banyak, antara lain
Marifah man Nazala min al-Shahabah Saira al-Buldan karya Ibn alMadini (w.234 H), Al-Istiab fi Marifah al-Ashhab, karya Ibn Abd al-Barr
(w 473 H), Usud al-Ghabah fi Marifah al-Shahabah, karya Ibn al-Atsir
(w. 630 H), Tajrid Asma al-Shahabah, karya al-Dzahabi (w.748 H), dan AlIshabah fi Tamyiz al-Shahabh karya Ibn Hajar al-Asqallani (w 852 H).
Kitab ini menyajikan riwayat 9477 nama sahabat, 1268 Kuniyah shahabat,
dan 1552 tarjamah sahabat perempuan. Dan dalam kitab ini pula Thabaqat
al-Shahabah diterangkan.
Lapisan perawi kedua adalah tabiin. Yaitu seseorang yang
bertemu sahabat Nabi, dan mengikuti Islam sampai dia wafat. Jumlah
tabiin susah dihitung, karena jumlahnya berlibat ganda dari jumlah
sahabat Nabi. Kitab-kitab yang membahas tentang tabiin banyak, tetapi
digabungkan dengan riwayat perawi lain.
Dalam kaitan ini, Ibn Saad (w.230 H) menulis Al-Thabaqat alKubra. Kitab ini membahas sekumpulan tokoh yang hidup dalam tahun
yang berdekatan, sebagai satu thabaqat. Kemudian disusul dengan
sekelompok perawi berikutnya, sebagi thabaqat kedua, dan begitulah
setetusnya, sampai tertata beberapathabaqat. Karya ini diikuti oleh AlUshfuri (w. 240 H).
Teknik penulisan matan hadits, sanadnya dimulai dari penyebutan
sahabat Nabi, tabiin, tabi al-tabiin dan murid-muridnya, sampai guru
perawi hadits yang ditulis oleh penghimpun hadits. Semua penyajian
seperti itu biasanya ditulis oleh ulama mutaqaddimindalam kitab
karangannya masing-masing. Sedangkan penulisan ulama mutaakhirin
dalam kitab-kitabnya hanya menyebutkan sahabat Nabi dan nama

penghimpun matan hadits itu saja, seperti sebutan : Rawahu al-Bukhari


dari Ibn Umar dan sebagainya. Penyajian seperti itu, baik penyajian ulama
mutaqaddimin atau ulama mutaakhrin, sudah banyak ditulis dalam Kitab
Kuning, yang ada dalam perpustakaan, atau dalam CD, dan website.
Semua itu adalah substansi ilmu hadits yang sudah baku, statis, dan tidak
akan berubah. Karena itu, semua tulisan tadi disebut Buku Kecil.
Sedangkan Buku Besar bagi pengembangan metoda penulisan (takhrij alsanad) itu, ada dua model, yaitu internal dan eksternal. Pengembang
internal takhrij ada empat unsur.
Pertama unsur rujukan yang dipergunakan oleh perawi untuk
menceritakan hadits kepada murid, apakah memakai dalil nornatif
(keyakinan), atau dalil empirik (kondisi dan situasi), atau dalil
metodologis. Kedua, unsur kerangka berfikir yang kreatif apa, setelah
perawi itu membaca pemikiran tokoh-tokoh pendahulunya. Ketiga unsur
cara kerja bagaimana yang mengaktualisasikan periwayatan hadits kepada
murid, dengan cara penyampaian tertentu.Keempat unsur bentuk dan
model-model substasi hadits yang disampaikan oleh rawi kepada murid,
memakai riwayat bi al-makna (konseptual) atau tekstualis seperti bacaan
Rasulullah, ketika rawi meriwayatkan doa, dzikir atau jawami al-kalim
kepada muridnya.
Pengembangan eksternal takhrij juga ada empat. Pertama unsur
entitas kehidupan mencakup aspek kultur dan aspek struktur dalam sistem
sosial, termasuk pemakaian pola pikir Ahli Sunnah, Syiah dan lain-lain.
Kedua unsur perubahan sosial yang mempengaruhi pemikiran tokoh
perawi, seperti kehidupan hadits di Hujaz berbeda dengan kehidupan di
Baghdad dan lain-lain. Karena itu, dulu muncul format hadits riwayat bi
al-makna, dan itu dianggap sebagai format hadits. Sekarang bukan format
lagi, tetapi perlu konsep formatisasi oleh teks hadits tadi. Ketiga, unsur
tradisi intelektual di kalangan muhadditsin, seperti penulis, pengajar, atau
muballigh dan lain-lain. Keempat unsur komunitas perawi sebagai
pendukung sosialisasi pemikiran di kalangan ahli hadits, apakah mereka
komunitas ahli hadits, atau ahli rakyu, atau komunitas apa namanya.

Semua unsur yang disebutkan dalamBuku Besar itu belum banyak


dilakukan oleh ahli-ahli hadits sekarang. Atas dasar itu, pemikiran takhrij
al-hadits belum dianggap berkembang.
Jarah-tadil adalah unsur ilmu hadits yang penting dalam
menentukan perawi hadits, diterima atau ditolak matan haditsnya. Dengan
kata lain hadits Nabi dinilai shahih atau tidak, didasarkan pada penilaian
itu. Dari segi lain, klasifikasi tingkat tinggi-rendahnya nilai hadits pun,
ditentukan oleh unsur itu juga. Atas dasar itu, hampir semua kitab Ulum
al-Hadits, baik karya ulama mutaqaddimin atau mutaakhirin, selalu
membahas jarah tadil.
Jarah tadil pada dasarnya diangkat dari ayat-ayat al-Quran,
antara lain ayat 6 Surat al-Hujurat, dan beberapa hadits Nabi Saw.
Kemudian pemahaman terhadap ayat dan hadits itu dikongkritkan oleh
ahli hadits untuk dijadikan sebagai konsep jarah tadil. Kemudian konsep
itu diterapkan pada setiap orang yang akan menceritakan hadits Nabi.
Sebenarnya, pekerjaan itu sudah dilakukan oleh pengamal hadits sejak dari
zaman Rasulullah, zaman sahabat Nabi, dan ulama berikutnya. Tetapi
gagasan itu baru dinormatifkan sebagai ilmu hadits, pada zaman tabiin,
seperti tersebut di atas. Jarah tadil adalah sebuah ilmu yang menurut sifat
dan tabiatnya adalah berkembang.
Dalam pengembangannya, jarah tadil merupakan produk cara
berfikir deduktif melalui kegiatan yang merujuk kepada seorang rawi,
seperti kitab itu menulis bahwa A itu jarah, dan B itu adil. Tetapi jarah
tadil juga merupakan produk berfikir induktif melalui kegiatan penilaian
keabsahan sebuah sanad yang ada pada kitab itu, seperti jarah atau tadil
itu jika X atau Y dimiliki oleh rawi-rawi yang memiliki sifat itu.
Selanjutnya jarah tadil juga dijadikan kerangka penilaian baik
diarahkan untuk menguji keajegan atau untuk mempertajam cakupannya.
Di sini tampak relasi antara unsur rawi dan unsur takhrij. Sedangkan jarah
tadil itu sendiri suatu ketika diturunkan dengan cara kerjanya unsur
takhrij yang bersifat deduktif, dan suatu ketika data rawi digeneralisasikan
dengan cara kerjanya unsur takhrij yang bersifat induktif. Dengan kata

lain, takhrij untuk memproduksi jarah tadil dapat dikelola dengan berfikir
deduktif dan dapat dikelola dengan berfikir induktif.
Secara rinci, fokus pengembangan jarah tadil tersebar
berdasarkan dua pemilahan. (1) Pemilahan matan hadits, seperti hadits
akidah, hadits hukum, hadits muamalah, hadits sosial, hadits kepribadian,
dan sebagainya. (2) Pemilahan rawi dari segi jarah atau tadil berdasarkan
jenjang kaidahnya, sehingga muncul pengkelompokkan ulama pemikir
jarah tadil menjadi ulama mutasyaddidin, ulama mutawassithin, atau
ulama mutasahilin. Semua itu berangkat dari penilaian mereka terhadap
rawi, sehingga ada rawi yang disepakati jarahnya, ada yang disepakati
adilnya, dan yang paling banyak adalah ualam yang diikhtilafkan penilaian
jarah dan tadilnya. Atas dasar itu, jarah-tadil dapat diterapkan pada
konteks yang berbeda-beda.
Berdasarkan uraian di atas, pengembangan jarah tadil dapat
dirumuskan menjadi tiga model. Pertama model landasan jarah-tadil.
Model ini merupakan landasan filofofis dan rasionalis.Semua teks hadits
yang disandarkan kepda Rasulullah pada dasarnya ingin dinilai sebagai
sunnah Rasulullah. Karena itu, muncul point-point yang harus dipelajari
dan harus dirumuskan, yaitu (a) Apa tujuan jarah-tadil.(b) Bagaimana
bentuk penilaian jarah atau tadil untuk seorang rawi (c) Apakah hadits itu
tergolong hadits tasyri atau hadits irsyad, atau jalan tengan di antara tasyri
dan irsyad (d) Teknis penerapan ilmu takhrij al-rawi.
Kedua model pandangan muhadditsin baik mutaqaddimin atau
mutaakhirin. Pandangan itu merupakan cara berfikir ulama dengan
menggunakan proses deduksi (istinbath). Dengan berfikir seperti itu
terhimpun sejumlah produk pemikiran, sebagaimana tersusun dalam jarahtadil karya-karya Yahya ibn Main, al-Bukhari, atau al-Hakim dan lainlain, termasuk jarah tadil karya al-Razi, Al-Dzahabi, atau Ibn Hajar.
Dari semua kitab itu tergambarlah, bahwa jarah tadil memiliki
hubungan dengan empat langkah. Yaitu (a) Pemikiran ulama tentang jarah
tadil. (b) Ulasan proses induksi dalam jarah tadil kepada rawi. (c) Hadits
yang ditakhrij sanadnya, apakah itu hadits tasyri saja atau hadits irsyad

10

juga. (d) Cara penerapan takhrij kepada hadits itu. Atas dasar itu, jarah
tadil yang ditulis dalam berbagai kitab itu disebut Buku Kecil, dan empat
langkah yang mengiringinya disebut Buku Besar.
Ketiga, model aplikasi jarah tadil. Model ini terdiri atas empat
langkah.(a) Sumber jarah-tadil yaitu penilaian seperti terdihimpun dalam
Kitab Kuning, tersebut di atas.(b) Dari kitab-kitab itu terdapat jenjang
jarah atau tadil menurut pemisahan ulama. (c) Jenjang kaidah jarah-tadil
itu merupakan produk abstraksi dari berbagai hadits, tapi di lain pihak
dapat digunakan untuk memahami hakikat hadits baik bersifat umum atau
khusus. (d) Atas dasar itu jarah tadil dapat diaplikasikan bagi penataan
kehidupan para muhaddits yang memiliki daya atur, daya ikat, bahkan
daya paksa, seperti hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukjhari dan Muslim
mengalahkan hadits yang diriwayatkan oleh ulama lain. Atau rawi yang
ditakhrij oleh al-Bukhari dan Muslim (ilqa dan muasharah) mengalahkan
rawi yang ditakhrij oleh ulama lain. Berangkat dari pemikran itu, jarahtadil dapat mempengaruhi pola pikir muhadditsin untuk menata suatu
kasus yang ada dalam masyarakat.
Fokus pertama yang membahas tentang landasan jarah-tadil bisa
didefinisikan sebagai logika induksi yang berfikir logis dan berfungsi
sebagai dalil metodologis. Fokus kedua (pemikiran ulama mazhab jarahtadil) didefinisikan sebagai proses induktif, yaitu dipelajari ketika ulama
itu merumuskan jarah-tadil. Fokus ketiga tentang aplikasi jarah-tadil,
dapat didefinisikan sebagai cara kerja dalam proses aplikasi bagi penataan
kehidupan manusia yang dikaitkan pada pengamalan hadits.
Kaitan Buku Kecil dengan Buku Besar merupakan suatu
kontinum yang dihubungkan oleh suatu proses yang bersifat dinamis. Ilmu
Manthiq menyebutkan pekerjaan ini dengan nama istid-lal, Ilmu Uhul Fiqh
menyebutkan dengan nama istinbath dan Ilmu Ushul al-Tafsir
menyebutkan dengan nama istiwal. Semua penyelesaian ilmu-ilmu
metoda itu memilih kerangka pemikiran dan metoda yang dianggap tepat.
Selain itu, Ilmu Hadits Dirayah juga mengolah matan hadits, dari segi
penawaran beberapa metoda yang diperlukan oleh Ilmu Hadits Riwayah.

11

Model-model pengolahan itu banyak sekali, tetapi dalam tulisan ini hanya
disajikan dua model saja, yaitu matan hadits dan kebudayaan, atau
mekanisme matan hadits.
Matan hadits dan kebudayaan terdiri atas tiga masalah, yaitu (1)
bentuk-bentuk hadits Nabi meliputi hadits qudsi, hadits nabawi bukan
qudsi, jawami al-kalim, hadits dzikir dan doa, hadits riwayat bi al-makna,
dan aqwal al-shahabah. Semua dikutip untuk dikembangkan, setelah
ditafsirkan oleh para ulama dalam bentuk kitab. Penafsiran ulama dalam
kitab-kitab itu disebut format hadits Gambarannya adalah sebagai berikut :
1. Matan Hadits Nabi dan kebudayaan (Format dan formatisasi oleh
matan hadits) Format hadits dinilai agama, sedangkan kehidupan
masyarakat dinilai budaya, maka penerapan hadits kepada masyarakat
disebut formatisasi. Yaitu pengolahan konsep penerapan hadits Nabi
kepada masyarakat, sesuai dengan maksud yang dikehendaki oleh
hadits itu. Unsur penerapan formatisasi ada lima, yaitu :
Penyusun konsep syarah yang berinisiatip untuk mengembangkan

format hadits .
Misi format baik verbal atau non-verbal yang memiliki nilai,

norma, gagasan, atau maksud yang dibawakan oleh format hadits.


Alat atau wahana yang digunakan oleh penyusun konsep, untuk

menyampaikan pesan formatisasi kepada masyarakat.


Halayak atau komentator yang menerima formatisasi dari

penyusun konsep,
Gambaran atau tanggapan yang terjadi pada penerima format
setelah melihat formatisasi. Unsur ini tetap diperlukan untuk

melihat perkembangan formatisasi.


2. Nasikh Mansukh fi al-Hadits.
Teori nasikh-mansukh diterapkan, ketika ada dua hadits yang
isinya kelihatan berten-tangan, dan susah dijadikan istinbath sebagai dalil
hukum. Teori ini dikembangkan oleh Ilmu Ushul Fiqh ketika membahas
hadits sebagai dalil hukum. Contohnya seperti sabda Rasulullah Saya
melarang kamu sekalian tentang ziarah ke kuburan. Maka ziarahilah ke

12

kuburan, karena itu mengingatkan kamu ke akhirat. Riwayat Malik,


Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmizi dan al-Nasai.
Hampir semua kitab Dirayah Hadits membahas tentang nasikhmansukh. Tokoh yang pertama kali menulis Dirayah tentag ini adalah
Qatadah ibn Diamah (w.118 H), tetapi kitab itu tidak dicetak sampai
sekarang. Disusul oleh kitab Nasikh al-hadits wa mansukhuh karya AlAtsram (w. 261 H), disusul lagi oleh kitab Nasikh al-Hadits wa
Mansukhuh karya Ibn Syahin (w. 386 H). Tetapi kitab yang banyak
beredar adalah Al-Itibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar karya
Abu Bakar al-Hamdzani (w. 584 H).
3. Asbab Wurud al-Hadits.
Teori ini membahas tentang latarbelakang datangnya sebuah
hadits yang diterima oleh seorang rawi (shahabat). Pembahasan ini sama
seperti ungkapan Ilmu Asbab al-Nuzuldalam Ulum al-Quran. Dalam
kaitan ini, wurud al-hadits juga banyak membahas persesuaian
(munasabat) antara satu matan hadits dengan matan hadits yang lain.
Tokoh yang pertama kali membahas tentang Asbab Wurud al-Hadits
adalah Abu Hafsh al-Ukburi (w. 468 H). Tetapi kitab yang lebih lengkap
adalah Al-Bayan wa al-Ta\rif fi Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif karya Ibn
Hamzah al-Dimasyqi (w. 1120 H).
Nasikh-Mansukh dan Asbab Wurud al-Hadits adalah dua teori
Ilmu Hadits Dirayah yang berdekatan sasaranya, dan saling menunjang
dalam penerapan makna. Nasikh-Mansukh dalam hadits tidak dapat
diketahui tanpa melihat Wurud al-Hadits lebih dahulu. Hadits yang datang
pertama disebut mansukh, dan hadits berikutnya disebut nasikh. Dua teori
itu banyak dibahas oleh kitab-kitab Ulum al-Hadits.
Jika nasikh-mansukh dan wurud al-hadits hanya diolah dengan
pendekatan tekstualis, seperti filosofis, atau yuridis, tologis saja, maka
ilmu hadits tidak dapat berkembang. Salah satu model pengembangan
masalah ini adalah menggunakan pendekatan interdisipliner, atau ilmu
komunikasi dan ilmu sosial lainnya. Setidaknya ada dua sistem nilai yang

13

diterapkan pada makna hadits yang berinteraksi, baik interaksi antara


hadits dengan hadits, atau hadits dengan kasus yang melingkari. Dua
sistem itu adalah sistem internal dan sistem eksternal (maa fi al-hadits dan
maa haul al-hadits).
Sistem internal adalah semua sistem nilai yang dibawakan oleh
sebuah hadits, ketika ia diterapkan pada satu makna, atau pada maksud
hadits yang dituju. Nilai itu terlihat ketika hadits itu diberi interpretasi
seperti nilai akidah, hukum fiqh, akhlak, nasihat, doa dan sebagainya.
Dalam istilah lain, sistem internal mencakup juga pola pikir, kerangka
rujukan, struktur kognitif, atau juga sikap, yang dikandung oleh matan
hadits.
Sedangkan sistem eksternal terdiri atas unsur-unsur yang ada
dalam lingkungan di luar isi matan hadits. Lingkungan itu, termasuk
struktur yang mendorong munculnya matan hadits, atau kejadian yang
melatarbelakangi tampilnya sebuah hadits, atau jawaban Rasulullah yang
muncul karena pertanyaan sahabat. Lebih dari itu, pemecahan sebuah
hadits yang ditulis oleh seorang perawi pun bisa diterima berdasarkan
latarbelakang munculnya pemecahan itu.
2.3 Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits Dirayah
Para peneliti hadits memperhatikan bahwa dasar-dasar ilmu hadist
dirayah sudah terdapat sejak masa nabi SAW, seperti yang diisyaratkan dalam AlQuran (QS. Al-Hujarat: 6). Artinya: wahai orang-orang yang beriman jika datang
kepadamu seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka periksalah Ayat
diatas perintah memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang dibawa seorang
fasik. Doperiksa untuk diperivikasi keobyektivitasnya dari sumber berita tersebut.
Pada mulanya memang membawa hadits tidak dipersyaratkan adanya sanad
(sandaran penyampaian berita), kerena mereka saling mempercayai kejujurannya.
Akan tetapi, setelah terjadinya konflik anteralit, yakni antara pendukung Ali dan
Muawwiyah, ummat menjadi terpecah kebeberapa sakte, mulailah terjadi
pemalsuan hadits, maka para ulama mempersaratkan kepada siapa saja yang
mengaku mendapat hadits harus disertai dengan sanad . sebagaimana Ibn sirin
yang dikutip dari shahih muslim: artinya,semulah mereka tidak ditanya tentang

14

isnad. Akan tetapi, takkala terjadi fitnah, para ulama berkata: sebutkan kepada
kami para-para pembawa berita. Kemudian dilihat jika mereka ahli sunnah
diambillah hadist mereka dan mereka ahli bidah maka haditsnya ditinggalkan.
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa hadits tidak diterima kecuali
disertai sanad, maka dapat disimpulkan bahwa pada saat itu telah timbul
pembicaraan periwayatan mana yang tercelah dan mana yang adil (ilmu jahri
watadil), sanad mana yang terputus (munqoti) dan mana yang bersambung
(muttasil), dan cacat (illat) yang tersembunyi, sekalipun dalam tarap yang
sederhana.
Kemudian ilmu hadits menjadi berkembang banyak, seperti ketika ahli
hadits membicarakan tentang daya ingat para periwayatan(dhabit) kuat apa tidak,
bagaimana metode menerima (tahammul) dan menyampaikan (ada) hadits,
nasikh dan mansukh, kata-kata yang sulit dipahami dalam hadist (gharib Alhadist) dan lain-lain. Akan tetapi aktifitas seperti itu dalam perkembangannya baru
berjalan secara lisan dari mulut kemulut. Baharu pada abad kedua hijriyah sampai
abad ketiga ilmu-ilmu hadist ini mulai ditulis dan dikodifikasikan dalam bentuk
yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu yang lain, belum berdiri sendiri.
Misalnya: ilmu hadits yang bercampur ilmu ushul fiqh dalam kitab Arrisalah yang
ditulis oleh As-SyafiI, atau campur dengan kitab fiqh seperti kitab Al-Umm dan
Al-ikhtilaf al-hadits karya al-syafiI (w.204 H).
2.4 Faedah Penerapan Ilmul Hadits Dirayah
Faedah mengetahui ilmul hadits dirayah (ilmu dirayah hadits), ialah
mengetahui mana hadits yang disandarkan kepada rasul saw yang harus kita
terima (yang maqbul) dan mana yang harus ditolak (yang mardud).
Kedua ilmu ini satu sam lain melengkapi. Mengingat hal yang telah
diterangkan, maka masing-masing dari ilmu ini memerlukan kepada yang lain.
Bahkan sebenarnya, tiadalah berfaedah ilmu hadits riwayah apabila tidak disertai
ilmu hadits dirayah; karena dengan ilmu yang kedua ini, kita dapat mengetahui
mana yang maqbul dan mana yang mardud dari hadits-hadits yang disampaikan
kepada kita.

15

Ilmu hadits dirayah terhadap matan hadits, sama dengan kedudukan tafsir
terhadap al-quran, atau kedudukan hukum terhadap peristiwa-peristiwa yang
terjadi.
Pembahasan-pembahasan yang berpautan dengan ilmu hadits ini, pada mulamula tumbuh, banyak macamnya yang diperkatakan dalam sesuatu kitab. Tetapi
banyak masing-masing macam itu mempunyai maudlu sendiri-sendiri, ghayah
sendiri dan manhaj sendiri. Dan semuanya itu dibicarakan sebagai suatu ilmu.
Tetapi setelah berkembang usaha penyusunan kitab, barulah masing-masing ahli
memperkatakan sesuatu problema dari pembahasan-pembahasan ilmu hadits dan
menjadi banyaklah macamnya, yang masing-masingnya dibahas sendiri-sendiri.
Namun demikian semuanya itu dicakup oleh istilah ulumul hadits(ilmu-ilmu
hadits). Sebahagian ulama memakai istilah ushulul hadits ( qaidah-qaidah hadits).
Bahkan ada yang menamakan musthalul hadits. Inilah nama-nama yang telah
diistilahkan para ulama untuk ilmul hadits dirayah. Dan nama-nama itu semuanya
merupakan nama bagi; sekumpulah qaidah dan masalah yang dengan qaidah
danmasalah itu, kita mengetahui keadaan perawi-perawi dan keadaan-keadaan
marwi.
Lantaran inilah kita tidak buleh mencukupi dengan mempelajari lafadh hadist
serta sanatnya saja tanpa memperhatikan keadaan rawi, keadaan marwi dan
pengistimbatan hukum dari padanya.
2.5 Kepentingan IImu Hadist Dirayah
Ilmu ini menerangkan mana hadits yang shahih, mana yang dlaif, mana
yang marfu, mana yang mauquf, mana yang maqbul dan mana yang mardud.
Atas pengetahuan inilah kita bina pengistimbatan hukum. Ilmu ini (ilmu dirayah
hadits) adalah suatu ilmu yang hanya dimiliki ummat islam. Dia benar-benar
suatu ilmu yang bernilai tinggi yang isumbangkan ulama-ulama islam kepada
kebudayaan manusia.
Ilmu dirayah hadits tumbuh bersama-sama dengan tumbuh periwayatan
hadits, dia lahir sesudah rasul saw. Wafat, yaitu diketika para ulama islam
memulai usaha mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan kekota-kota
islam. Maka dengan sendirinya para ulama berusaha membuat qaida-qaidah dan

16

munhaj-minhajyang harus dijadikan pedoman dalam menerima riwayat dan


menolaknya.
Para sahabat dan tabiin mengikuti qaidah-qaidah ilmiah dalam
menerima hadits, walaupun mereka tidak menandaskan qaidah qaidah yang
dipegangi itu. Kemudian ahli-ahli ilmu yang datang sesudah mereka,
mengistimbatkan qaidah qaidah dan masalah hadits dari cara yang telah ditempuh
para sahabat, sebagaimana mereka mengistimbatkan syarat-syarat riwayat, jalanjalan singkat, qaidah qaidah jarah dan tadil. Ilmu riwayatil hadits dan ilmu
dirayatul hadits berjalan seiring, karena dimana ada periwayatan hadits, tentulah
ada qaidah dan minhaj yang dipakai dalam penukilan riwayat itu.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari berbagai defenisi dari para ulama, dapat disimpulkan bahwa
ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat
riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan
para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala
sesuatu yang berhubungan dengannya. Adapun Faedah mengetahui ilmul
hadits dirayah (ilmu dirayah hadits), ialah mengetahui mana hadits yang
disandarkan kepada rasul saw yang harus kita terima (yang maqbul) dan
mana yang harus ditolak (yang mardud). Kedua ilmu ini satu sam lain
melengkapi. Mengingat hal yang telah diterangkan, maka masing-masing
dari ilmu ini memerlukan kepada yang lain. Bahkan sebenarnya, tiadalah
berfaedah ilmu hadits riwayah apabila tidak disertai ilmu hadits dirayah;
karena dengan ilmu yang kedua ini, kita dapat mengetahui mana yang
maqbul dan mana yang mardud dari hadits-hadits yang disampaikan
kepada kita.

17

DAFTAR PUSTAKA

Hasby ashshiddieqy. Pokok-pokok ilmu dirayah hadits, PT bulan bintang


cetakan tujuh, Jakarta 1987
Drs. H. Mudasir. Ilmu Hadis, Pustaka setia Bandung cetakan 2 April 2005
Syekh Atiyyah Al Ajhuri. Baiquniyyah fi mustolahil Hadis, Haromaen
sunkopuroh.
Darul fikri blog. Hadits dirayah, upload September 2011

18

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur seraya kita penjatkan kepada Alloh swt,
karena atas curahan dan limpahan rahmat serta karuniaNya lah kita semua
bisa beraktifitas menjalankan semua tugas kita. Sholawat beserta salam
semoga selamanya tercurah limpahkan kepada jungjunan kita semua yaitu
Nabi Muhammad saw, serta keluarganya, sahabatnya, tabiin tabiatnya
serta kita semua selaku ummatnya aamiin ya Robbal Alamin.
Setelah penulis memanjatkan puji serta syukur serta sholawat,
penulis sengaja menyusun makalah ini untuk di ajukan sebagai tugas mata
kuliah Ulumul Hadits di Sekolah Institut Agama Islam Negeri ( IAIN )
SMH Banten, dengan harapan dapat bermanfaat baik bagi diri pribadi
penulis maupun untuk semua rekan rekan civitas akademik, dan lebih
umumnya untuk semua yang membaca makalah ini.
Penulis menyadari bahwa sebagai menusia biasa tentunya tidak
terlepas dari kesalahan dan kehilafan terutama dalam penyajian materi atau
pun penulisan makalah ini, untuk itu, penulis sangat berharap bagi siapa
saja yang menemukan kesalahan pada makalah ini, mohon untuk bisa
memeberitahukan kepada penulis serta mengembalikan kepada kebenaran
yang sesungguhnya.
Akhirnya penulis menyerahkan semua urusan kepada Alloh, karena hanya
kepadaNya lah kita semua harus berserah diri.

19

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI .

ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan ..

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Defenisi Ilmu Hadits Dirayah ..
2.2 Model Pengembangan Hadits Dirayah
2.3 Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits Dirayah ..
2.4 Faedah Penerapan Ilmul Hadits Dirayah
2.5 Kepentingan IImu Hadist Dirayah
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan

ii

Anda mungkin juga menyukai