1. Sanad bersambung
2. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
3. Seluruh Periwayat dalam sanad bersifat dhabith
4. Sanad hadis itu terhindar dari Syudzudz
(Ke-syadz-an)
5. Sanad hadis itu terhindar dari ‘illat.
1. Sanad bersambung : tiap-tiap periwayat dalam
sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat
terdekat sebelumnya; keadaan itu berlangsung
demikian sampai akhir sanad dari hadis itu.
Jadi, seluruh rangkaian periwayat dalam sanad,
mulai dari periwayat yang disandari oleh al-
mukharrij (penghimpun riwayat hadis dalam karya
tulisnya) sampai kepada periwayat tingkat sahabat
yang menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi,
bersambung dalam periwayatan
Ulama hadis berbeda pendapat tentang nama hadis yang sanad-nya
bersambung.
Al-Khathib al-Baghdadiy (wafat 463 H = 1072 M) menamainya
sebagai hadis musnad.
Sedang hadis musnad itu sendiri menurut ‘Abd al-Barr (wafat 463 H
= 1071 M) ialah hadis yang disandarkan kepada Nabi, jadi sebagai
hadis marfu’; sanad hadis musnad ada yang bersambung dan ada
yang terputus.
-
Apabila berbagai pernyataan ulama tersebut digabungkan,
maka butir-butir sifat dhabith yang telah disebutkan adalah:
a. Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah
didengarnya (diterimanya);
b. Periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang telah
didengarnya (diterimanya);
c. Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah
dihafalnya itu dengan baik:
1) kapan saja dia menghendakinya;
2) sampai saat dia menyampaikan riwayat itu kepada
orang lain.
4. Terhindar dari Syudzudz (ke-Syadz-an)
Ulama berbeda pendapat tentang pengertian syadz
dalam hadis. Yakni ada tiga pendapat:
a. Al-Syafi’iy: suatu hadis tidak dinyatakan sebagai
mengandung syudzudz, bila hadis itu hanya
diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat,
sedang periwayat yang siqat lainnya tidak
meriwayatkan hadis itu. Barulah suatu hadis
dinyatakan mengandung syudzudz, bila hadis yang
diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat
tersebut bertentangan dengan hadis yang
diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga bersifat
siqat.
b. Imam al-Hakim al-Naysaburiy: hadis syadz ialah
hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang
siqat, tetapi tidak ada periwayat siqat lainnya yang
meriwayatkannya.
c. Abu Ya’la al-Khaliliy: hadis syadz adalah hadis yang
sanadnya hanya satu macam, baik periwayatnya
bersifat siqat maupun tidak bersifat siqat. Apabila
periwayatnya tidak siqat, maka hadis itu ditolak
sebagai hujah, sedang bila periwayatnya siqat maka
hadis itu dibiarkan (mutawaqqaf), tidak ditolak dan
tidak diterima sebagai hujah.
Ulama hadis pada umumnya mengakui, syudzudz dan ‘illah hadis
sangat sulit diteliti. Hanya mereka yang benar-benar mendalam
pengetahuan ilmu hadisnya dan telah terbiasa meneliti kualitas
hadis mampu menemukan syudzudz dan ‘illah hadis. Sebagian
ulama lagi menyatakan, penelitian syudzudz hadis lebih sulit
daripada penelitian ‘illah hadis. Dinyatakan demikian, karena
belum ada ulama hadis yang menyusun kitab khusus tentang
hadis syadz sedang ulama yang menyusun kitab ‘ilal, walaupun
jumlahnya tidak banyak, tetapi telah ada.
Sebab utama kesulitan penelitian syudzudz dan ‘illah hadis ialah
karena kedua hal itu terdapat dalam sanad yang tampak sahih.
Para periwayat hadis itu bersifat siqat dan sanadnya tampak
bersambung. Syudzudz dan ‘illah hadis baru dapat diketahui
setelah hadis itu diteliti lebih mendalam, antara lain dengan
diperbandingkan berbagai sanad yang matnnya mengandung
masalah yang sama.
Ke-syadz-an sanad hadis baru dapat diketahui setelah
diadakan penelitian sebagai berikut :
a. Semua sanad yang mengandung matn hadis yang pokok
masalahnya memiliki kesamaan dihimpun dan
diperbandingkan;
b. Para periwayat di seluruh sanad diteliti kualitasnya;
c. Apabila seluruh periwayat bersifat siqat dan ternyata ada
seorang periwayat yang sanadnya menyalahi sanad-
sanad lainnya, maka sanad yang menyalahi itu disebut
sanad syadz sedang sanad-sanad lainnya disebut sanad
mahfuzh.
Lihat contoh skema sanad-sanad yang mahfuzh dan yang
syadz (Kaedah Kesahihan Sanad Hadis hal.126).
Jadi, apabila terjadi pertentangan antara periwayat
dengan periwayat lain yang sama-sama bersifat siqat,
maka periwayat yang sendirian “dikalahkan” oleh
periwayat yang banyak. Periwayat yang banyak dalam
hal ini “dimenangkan”, karena mereka dinilai lebih
kuat atau lebih siqat (awsaq).
5. Terhindar dari ‘Illat