ONTOLOGI
Menurut ulama hadis semuanya secara umum memiliki satu makna, yaitu
ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang disandarkan kepada Rasulullah Saw.
Menurut ulama hadis semuanya secara umum juga memiliki satu makna,
yaitu kaidah-kaidah untuk menganalisis keadaan sanad dan matan hadis,
mengetahui teks dan petunjuk hadis.
b. Sumber
1) Sumber periwayatan
2) Kitab-kitab hadis
Kitab-kitab ilmu hadis merupakan rekam jejak sikap dan tindakan para
periwayat (mudawwin) dalam menetapkan kriteria penulisan hadis dan
rekam jejak sikap dan tindakan para mujtahid dalam menetapkan kriteria
kehujjahan hadis.
c. Tokoh
1) Tokoh-tokoh periwayat dan penulis hadis
Di antara tokoh periwayat hadis dari kalangan sahabat adalah Abu Hurairah,
Abdullah bin Amr bin al-`Ash, Abdullah bin Umar, Aisyah, dan Anas bin
Malik. Di antara tokoh periwayat dari kalangan tabi`in adalah Qais bin Abi
Hazim, Abu Hanifah, Nafi` maula Ibn Umar, dan Abdullah bin al-Musayyab.
Dari kalangan tabi` al-tabi`in Malik bin Anas, Sufyan Al-Tsauri, dan Syu`bah.
Di antara tokoh penulis kitab hadis selain imam yang sembilan (penulis al-
kutub al-tis`ah), Imam Al-Syafi`i (w. 204 H) dengan kitabnya Al-Musnad, Ibnu
Hibban (w. 354 H) dengan kitabnya Shahih Ibn Hibban, Al-Daraquthi (w. 385
H) dengan kitabnya Sunan al-daraquthni, Al-Hakim (w. 405 H) dengan
kitabnya Al-Mustadrak, dan Al-Baihaqi (w. 458 H) dengan kitabnya Al-Sunan
al-Kubra.
Al-Syafi`i disebut sebagai penulis kitab ilmu hadis pertama, yaitu kitab Al-
Risalah. Diikuti para pelanjutnya, Muhammad bin Sa`d (w. 230 H) menulis
kitab Al-Thabaqat, Ibn Ma`in (w. 234 H) menulis kitab Tarikh al-Rijal, Ahmad
bin Hanbal (w. 241 H) menulis kitab Al-`Ilal wa Asma’ al-Rijal, Al-Hakim (w.
405 H) menulis Ma`rifat `Ulum al-Hadits, dan Ibn Amr bin al-Shalah (w. 643
H) dengan kitab Muqaddimah fi `Ulum al-Hadits.
Seluruh umat Islam sepakat bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua
setelah Al-Quran.
Hadis merupakan bayan bagi Al-Quran, yaitu bayan tafsir, bayan tafshil, bayan
ta’kid, dan bayan tasyri`. Hadis merupakan petunjuk pelaksanaan Al-Quran,
bahkan sebagiannya merupakan petunjuk teknisnya. Para ulama ushul fiqh,
seperti Al-Syafi`i dan Al-Syaukani menyatakan bahwa kebutuhan Al-Quran
kepada hadis jauh lebih banyak daripada kebutuhan hadis kepada Al-Quran.
EPISTEMOLOGI
2) Al-Jarh wa al-ta`dil
2) Kualitas sanad
Sanad hadis dinilai shahih apabila berdasarkan analisis ilmu tarikh al-ruwwat
seluruh para periwayatnya saling bertemu secara estafet hingga Rasulullah
Saw. dan disebut sanad yang bersambung. Juga terdiri atas para periwayat
yang dalam analisis ilmu al-jarh wa al-ta`dil mereka tidak akan berbuat
bohong atau dusta.
3) Penyandaran hadis
1) Ikhtilaf al-hadits
Hampir setiap hadis yang diriwayatkan melalui dua sanad atau lebih pasti
mengalami perbedaan redaksinya sehingga terjadi perselisihan dengan
redaksi hadis yang lainnya. Tidak setiap perselisihan hadis menunjukkan
kelemahannya. Tapi periwayatan seseorang yang menyalahi atau berbeda
dengan riwayat orang lain menunjukkan indikasi kelemahannya.
2) Tarikh al-mutun
Redaksi matan hadis merupakan hal yang inti dari hadis yang bersangkutan.
Dengannya pesan Rasulullah Saw. disampaikan secara estafet melalui sanadnya.
Ia terdiri atas lafal dan makna dan makna inilah substansinya. Dalam proses
periwayatan hadis redaksi itu sangat dijaga dengan baik dan Rasulullah Saw.
menekankan untuk itu.
Hadis merupakan potret realitas kehidupan Rasulullah Saw. dan para sahabat,
sehingga selalu terjadi hubungan timbal balik. Apa yang perlu diparbaiki dari
perilaku sahabat, maka Rasulullah Saw. memperbaiki dengan sabda-sabdanya.
Sabda dan tindakan Rasulullah Saw. yang tidak disertai sabab wurud secara
eksplisit memberikan inspirasi bagi mereka untuk merubah perilaku mereka
menuju yang lebih baik.
c. Gharib al-hadits
Ada sejumlah kata dalam hadis yang tidak sejalan dengan perkembangan kosa
kata bahasa Arab masyarakat Madinah waktu itu. Dalam perkembangan studi
hadis jumlah kata-kata tersebut bertambah jumlahnya, sehingga melahirkan
kitab-kitab berjilid-jilid untuk membahasnya. Kata-kata tersebut tidak dapat
diketahui maknanya hanya dengan melihat kitab-kitab kamus berbahasa Arab,
termasuk kitab kamus yang paling klasik sekalipun. Di antara kitab tersebut
adalah Al-Fa’iq fi Gharib al-Hadits karya Al-Zamakhsyari (467-538 H).
d. Musykil al-hadits
Beberapa petunjuk hadis tidak mudah dipaham atau bahkan menyalahi petunjuk
ajaran Islam yang baku, seperti kisah nabi Musa menempeleng malaikat Izrail
hingga rusak matanya. Hal yang demikian banyak terjadi pada hadis-hadis
shahih. Hal ini memerlukan ta’wil yang benar. Di antara kitab yang membahas
hal ini adalah kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits karya Ibnu Qutaibah (w. 276 H)
dan kitab Musykil al-Hadits karya Imam Al-Thahawi (w. 321 H).
Tema ini menjadi distingsi Jurusan Ilmu Hadits UIN SGD Bandung atas daulat dari
ASILHA (Asosiasi Dosen Ilmu Hadis) pada acara Annual Meeting ASILHA Tahun
2018 di Surabaya.
Syarah hadis dalam banyak hal secara teknis identik tafsir Al-Quran. Kajian tafsir
telah maju sedemikian pesat, sedangkan kajian metodologi syarah hadis belum
merata di UIN dan IAIN di Indonesia.
Kitab-kitab syarah hadis tidak berhenti ditulis sejak abad ketiga hingga sekarang
seperti hanya dengan kitab-kitab tafsir, karena memang dari aspek tuntutan
ilmiah keduanya sama. Lebih dari 350 buah kitab syarah hadis telash ditulis
sepanjang sejarah dan sekitar 100 kitab eksis hingga sekarang.
3. Pengamalan hadis
a. Studi living sunnah
Sikap umat Islam terhadap hadis-hadis Rasulullah Saw. merupakan suatu obyek
penelitian tersendiri dalam studi ilmu hadis. Berbagai kegiatan umat Islam yang
berkaitan dengan pengkajian, pengamalan, penulisan, dan sebagainya
merupakan obyek yang layak dijadikan bahan penelitian setingkat skripsi.
Kegiatan yang demikian disebut sebagai kajian living sunnah.
b. Digitalisasi hadis
Gagasan digitalisasi hadis pada awal tahun 90-an merupakan gagasan yang
sangat strategis bagi kajian hadis di era digital. Dengan program ini hadis
semakin mudah diakses dengan biaya sangat murah. Berbagai kajian hadis yang
semula dilakukan secara manual dengan membuka kitab-kitab hadis dan ilmu
hadis secara langsung,kini dapat dilakukan secara digital. Program ini juga
menjadi materi kuliah di jurusan Ilmu Hadis di UIN Bandung dan lainnya.
Setelah hadis Rasulullah Saw. dibukukan dalam berbagai kitab, namun tidak
mudah memiliki kitab-kitab tersebut, maka sejumlah ulama menyusun kitab
hadis dalam tem-tema tertentu untuk mempermudah umat Islam mempelajari
hadis yang mereka perlukan untuk memperdalam pemahaman agama mereka.
Di antara kitab-kitab hadis katagori ini adalah kitab Riyadh al-Shalihin karya
Imam Nawawi dan Bulugh al-Maram karya Ibnu Hajar al-Asqalani.
AKSIOLOGI
Pada dasarnya seluruh ucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah Saw. benar dan
merupakan hujjah bagi umatnya. Hadis mengalami proses periwayatan yang
menimbulkan sejumlah perubahan, sehingga hadis-hadis yang diriwayatkan secara
mutawatir benar-benar terjamin keasliannya dan tetap kehujjahannya. Berikutnya
hadis-hadis yang memiliki indikasi kuat atas keasliannya disebut sebagai hadis
shahih, hasan, lalu dha`if. Semua hadis yang telah dituliskan dalam kitab-kitab induk
hadis telah melalui proses seleksi, sehingga semuanya merupakan hujjah sesuai
dengan tingkat keshahihannya.
2. Klasifikasi Hadis
Para ulama hadis mengklasifikasi hadis menjadi shahih, hasan, dan dha`if. Khusus
hadis shahih diklasifikasi menjadi tujuh tingkat, yaitu muttafaq `alaih, shahih
menurut Al-Bukhari, shahih menurut Muslim, shahih menurut syarat Al-Bukhari dan
Muslim, shahih menurut syarat Al-Bukhari, shahih menurut syarat Muslim, dan
shahih menurut selain Al-Bukhari dan Muslim.
Semula hadis muttafaq `alaih itu hadis yang disepakati memenuhi seluruh kriteria
keshahihan hadisnya, namun hal itu terlalu sulit untuk ditemukan, maka kemudian
cukup hadis yang memenuhi kriteria Al-Bukhari dan Muslim karena mereka dikenal
sebagai ulama hadis yang peling ketat menetapkan kriteria hadis shahih.
--==TAMMAT==--