Anda di halaman 1dari 7

ILMU HADIS

OLEH: DR. MUJIYO, M.AG.


Ketua Jurusan Ilmu Hadis Fak. Ushuluddin UIN SGD

ONTOLOGI

1. Hadis dan Ilmu Hadis


a. Pengertian
1) Pengertian hadis, sunnah, khabar, dan atsar

Menurut ulama hadis semuanya secara umum memiliki satu makna, yaitu
ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang disandarkan kepada Rasulullah Saw.

Secara khusus sunnah merupakan substansi dari semuanya. Namun dalam


hal ini terdapat perselisihan. Hadis lebih umum daripada sunnah. Khabar
dan atsar lebih berkonotasi sebagai informasi tentang selain Rasulullah Saw.

2) Pengertian ilmu hadis, ushul al-hadits, musthalah hadits,

Menurut ulama hadis semuanya secara umum juga memiliki satu makna,
yaitu kaidah-kaidah untuk menganalisis keadaan sanad dan matan hadis,
mengetahui teks dan petunjuk hadis.

Secara khusus kaidah-kaidah untuk menganalisis keadaan sanad dan matan


hadis disebut sebagai ilmu hadis dirayah. Sedangkan kaidah-kaidah untuk
mengetahui teks dan petunjuk hadis disebut sebagai ilmu hadis riwayah.

b. Sumber
1) Sumber periwayatan

Pada dasarnya sumber periwayatan hadis adalah Rasulullah Saw. (hadis


marfu`). Dengan syarat tertentu ucapan, perbuatan, dan ketetapan para
sahabat (hadis mauquf) juga memiliki otoritas sebagai hujjah yang dalam
istilah ulama ushul fiqh disebut sebagai qaul shahabi. Sedangkan yang
disandarkan kepada tabi`in disebut juga sebagai hadis, yaitu hadis maqthu`,
namun tidak memiliki otoritas sebagai hujjah.

2) Kitab-kitab hadis

Kitab-kitab induk hadis merupakan hasil penghimpunan hadis oleh sebagian


periwayat. Kitab-kitab katagori ini disebut al-mashadir al-ashliyyah. Di
antaranya kitab-kitab hadis yang sembilan (al-kutub al-tis`ah). Selain itu ada
kitab-kitab hadis dengan katagori lain, yaitu dikutip dari kitab-kitab katagori
pertama, seperti kitab Bulguh al-Maram, Riyadh al-Shalihin, dan Al-Arba`in
al-Nawawiyyah.

3) kitab-kitab ilmu hadis

Kitab-kitab ilmu hadis merupakan rekam jejak sikap dan tindakan para
periwayat (mudawwin) dalam menetapkan kriteria penulisan hadis dan
rekam jejak sikap dan tindakan para mujtahid dalam menetapkan kriteria
kehujjahan hadis.

c. Tokoh
1) Tokoh-tokoh periwayat dan penulis hadis

Di antara tokoh periwayat hadis dari kalangan sahabat adalah Abu Hurairah,
Abdullah bin Amr bin al-`Ash, Abdullah bin Umar, Aisyah, dan Anas bin
Malik. Di antara tokoh periwayat dari kalangan tabi`in adalah Qais bin Abi
Hazim, Abu Hanifah, Nafi` maula Ibn Umar, dan Abdullah bin al-Musayyab.
Dari kalangan tabi` al-tabi`in Malik bin Anas, Sufyan Al-Tsauri, dan Syu`bah.

Di antara tokoh penulis kitab hadis selain imam yang sembilan (penulis al-
kutub al-tis`ah), Imam Al-Syafi`i (w. 204 H) dengan kitabnya Al-Musnad, Ibnu
Hibban (w. 354 H) dengan kitabnya Shahih Ibn Hibban, Al-Daraquthi (w. 385
H) dengan kitabnya Sunan al-daraquthni, Al-Hakim (w. 405 H) dengan
kitabnya Al-Mustadrak, dan Al-Baihaqi (w. 458 H) dengan kitabnya Al-Sunan
al-Kubra.

2) Tokoh-tokoh ilmu hadis

Al-Syafi`i disebut sebagai penulis kitab ilmu hadis pertama, yaitu kitab Al-
Risalah. Diikuti para pelanjutnya, Muhammad bin Sa`d (w. 230 H) menulis
kitab Al-Thabaqat, Ibn Ma`in (w. 234 H) menulis kitab Tarikh al-Rijal, Ahmad
bin Hanbal (w. 241 H) menulis kitab Al-`Ilal wa Asma’ al-Rijal, Al-Hakim (w.
405 H) menulis Ma`rifat `Ulum al-Hadits, dan Ibn Amr bin al-Shalah (w. 643
H) dengan kitab Muqaddimah fi `Ulum al-Hadits.

2. Kedudukan dan fungsi Hadis


a. Kedudukan hadis dalam syari`at Islam

Seluruh umat Islam sepakat bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua
setelah Al-Quran.

b. Hubungan hadis dengan Al-Quran

Hadis merupakan bayan bagi Al-Quran, yaitu bayan tafsir, bayan tafshil, bayan
ta’kid, dan bayan tasyri`. Hadis merupakan petunjuk pelaksanaan Al-Quran,
bahkan sebagiannya merupakan petunjuk teknisnya. Para ulama ushul fiqh,
seperti Al-Syafi`i dan Al-Syaukani menyatakan bahwa kebutuhan Al-Quran
kepada hadis jauh lebih banyak daripada kebutuhan hadis kepada Al-Quran.

EPISTEMOLOGI

1. Ilmu hadis dirayah


a. Ilmu hadis tentang periwayat
1) Tarikh al-ruwwat

Mmembahas al-mawalid wa al-wafayat serta al-masyayikh wa al-talamidz


sehingga dengan ini dapat dieketahui persambungan sanad.

2) Al-Jarh wa al-ta`dil

Membahas kualitas moral dan intelektual para periwayat hadis untuk


mengetahui tingkat kecerdasan dan kejujuran para rawi. Dengan ilmu ini
dapat dikektahui otentisitas riwayatnya.

b. Ilmu hadis tentang sanad


1) Kuantitas sanad: syahid dan mutabi`

Jumlah sanad diketahui melalui jumlah sahabat yang menerima langsung


dari Rasulullah Saw., bukan banyaknya hadis yang bersangkutan tertulis
dalam kitab-kitab hadis. Sanad yang meriwayatkan suatu hadis dengan
susunan periwayat yang berbeda hingga sahabat disebut syahid, sedangkan
sanad yang sebagian periwayatnya sama dari sahabat yang sama disebut
mutabi` atau tabi`.

2) Kualitas sanad

Sanad hadis dinilai shahih apabila berdasarkan analisis ilmu tarikh al-ruwwat
seluruh para periwayatnya saling bertemu secara estafet hingga Rasulullah
Saw. dan disebut sanad yang bersambung. Juga terdiri atas para periwayat
yang dalam analisis ilmu al-jarh wa al-ta`dil mereka tidak akan berbuat
bohong atau dusta.

3) Penyandaran hadis

Penyandaran hadis itu dari bawah sebagai hasil penelusuran para


periwayatnya secara estafet, karena setiap periwayat menyatakan dari
mana asal hadis yang diriwayatkannya. Kalau tidak, maka murid
menanyakannya. Jumlah hadis yang diriwayatkan para sahabat merupakan
kesaksian dan pengakuan dari tabi`in dan murid-murid berikutnya sampai
kepada penulis.

c. Ilmu hadis tentang matan


Matan hadis yang shahih adalah matan yang redaksinya tidak menyalahi
kaidah-kaidah kebehasaan dan petunjuknya tidak menyalahi ajaran pokok
agama Islan dan kaidah-kaidah keilmuan yang baku.

1) Ikhtilaf al-hadits

Hampir setiap hadis yang diriwayatkan melalui dua sanad atau lebih pasti
mengalami perbedaan redaksinya sehingga terjadi perselisihan dengan
redaksi hadis yang lainnya. Tidak setiap perselisihan hadis menunjukkan
kelemahannya. Tapi periwayatan seseorang yang menyalahi atau berbeda
dengan riwayat orang lain menunjukkan indikasi kelemahannya.

Perbedaan riwayat suatu hadis dapat disebabkan periwayatan secara makna


atau disebabkan kesalahan. Yang pertama dapat dimaklumi, sedangkan yang
kedua sama sekali tidak dapat ditoleransi.

Adakalanya ikhtilaf hadis itu merupakan ilhtilaf al-marwiyyat dan


adakalanya merupakan ikhtilaf al-riwayat. Ikhtilaf al-riwayat dapat
diselesaikan secara internal, sedangkan ikhtilaf al-marwiyyat tidak cukup
dilakukan secara internal, melainkan juga melibatkan tarjih eksternal atau
bahkan mungkin ada kasus nasakh. Bahkan ikhtilaf al-hadis dapat menjadi
indikasi adanya `illat pada salah satunya.

2) Tarikh al-mutun

Rasulullah Saw. mengemban tugas kenabian selama 22 tahun lebih dan


selama itu beliau mengalami banyak hal yang secara umum digambarkan
oleh tadrij al-syari`ah. Oleh karena itu sangat mungkin hadis yang lahir
setelah hijrah mengandung petunjuk yang berbeda dengan yang lahir
sebelum hijrah, sehingga mungkin terjadi nasakh dan karenanya hadis
belakangan yang diamalkan.

2. Ilmu hadis riwayah


a. Redaksi hadis

Redaksi matan hadis merupakan hal yang inti dari hadis yang bersangkutan.
Dengannya pesan Rasulullah Saw. disampaikan secara estafet melalui sanadnya.
Ia terdiri atas lafal dan makna dan makna inilah substansinya. Dalam proses
periwayatan hadis redaksi itu sangat dijaga dengan baik dan Rasulullah Saw.
menekankan untuk itu.

b. Sabab wurud al-hadits

Hadis merupakan potret realitas kehidupan Rasulullah Saw. dan para sahabat,
sehingga selalu terjadi hubungan timbal balik. Apa yang perlu diparbaiki dari
perilaku sahabat, maka Rasulullah Saw. memperbaiki dengan sabda-sabdanya.
Sabda dan tindakan Rasulullah Saw. yang tidak disertai sabab wurud secara
eksplisit memberikan inspirasi bagi mereka untuk merubah perilaku mereka
menuju yang lebih baik.

Sabab wurud memudahkan pemaknaan dan pengambilan petunjuk hadis yang


bersangkutan, namun keumuman redaksi merupakan hal yang lebih
diutamakan.

c. Gharib al-hadits

Ada sejumlah kata dalam hadis yang tidak sejalan dengan perkembangan kosa
kata bahasa Arab masyarakat Madinah waktu itu. Dalam perkembangan studi
hadis jumlah kata-kata tersebut bertambah jumlahnya, sehingga melahirkan
kitab-kitab berjilid-jilid untuk membahasnya. Kata-kata tersebut tidak dapat
diketahui maknanya hanya dengan melihat kitab-kitab kamus berbahasa Arab,
termasuk kitab kamus yang paling klasik sekalipun. Di antara kitab tersebut
adalah Al-Fa’iq fi Gharib al-Hadits karya Al-Zamakhsyari (467-538 H).

d. Musykil al-hadits

Beberapa petunjuk hadis tidak mudah dipaham atau bahkan menyalahi petunjuk
ajaran Islam yang baku, seperti kisah nabi Musa menempeleng malaikat Izrail
hingga rusak matanya. Hal yang demikian banyak terjadi pada hadis-hadis
shahih. Hal ini memerlukan ta’wil yang benar. Di antara kitab yang membahas
hal ini adalah kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits karya Ibnu Qutaibah (w. 276 H)
dan kitab Musykil al-Hadits karya Imam Al-Thahawi (w. 321 H).

e. Metodologi syarah hadis

Tema ini menjadi distingsi Jurusan Ilmu Hadits UIN SGD Bandung atas daulat dari
ASILHA (Asosiasi Dosen Ilmu Hadis) pada acara Annual Meeting ASILHA Tahun
2018 di Surabaya.

Syarah hadis dalam banyak hal secara teknis identik tafsir Al-Quran. Kajian tafsir
telah maju sedemikian pesat, sedangkan kajian metodologi syarah hadis belum
merata di UIN dan IAIN di Indonesia.

Pembahasan metodologi syarah hadis meliputi pembahasan langkah-langkah


syarah hadis, yaitu tiga langkah, pertama takhrij hadis hingga menganalisis
kuantitas dan kualitasnya. Kedua menganalisis makna hadis sejak analisis makna
lafzhiyyah (leksikal) hingga makna gramatikal. Dan langkah ketiga adalah
mengambil petunjuk ahdis (istinbath). Masing-masing dilakukan dengan
menggunakan berbagai pendekatan yang sesuai pada setiap langkahnya. Di
antara pendekatan-pendekatan tersebut adalah pendekatan ilmu hadis dengan
seluruh cabangnya, ilmu-ilmu bahasan (nahwu, sharaf, dan balaghah), qawa`id
istinbath al-ahkam wa tathbiqiha, ilmu dilalah, kaidah qath`iyyat al-wurud wa al-
dilalah, dan pendekatan ilmu-ilmu terkait. Teknik syarah dengan berbagai
pendekatan tersebut dianalisis berdasarkan bahasa-bahasa aplikasi pada setiap
cabang ilmu.

Kitab-kitab syarah hadis tidak berhenti ditulis sejak abad ketiga hingga sekarang
seperti hanya dengan kitab-kitab tafsir, karena memang dari aspek tuntutan
ilmiah keduanya sama. Lebih dari 350 buah kitab syarah hadis telash ditulis
sepanjang sejarah dan sekitar 100 kitab eksis hingga sekarang.

3. Pengamalan hadis
a. Studi living sunnah

Sikap umat Islam terhadap hadis-hadis Rasulullah Saw. merupakan suatu obyek
penelitian tersendiri dalam studi ilmu hadis. Berbagai kegiatan umat Islam yang
berkaitan dengan pengkajian, pengamalan, penulisan, dan sebagainya
merupakan obyek yang layak dijadikan bahan penelitian setingkat skripsi.
Kegiatan yang demikian disebut sebagai kajian living sunnah.

b. Digitalisasi hadis

Gagasan digitalisasi hadis pada awal tahun 90-an merupakan gagasan yang
sangat strategis bagi kajian hadis di era digital. Dengan program ini hadis
semakin mudah diakses dengan biaya sangat murah. Berbagai kajian hadis yang
semula dilakukan secara manual dengan membuka kitab-kitab hadis dan ilmu
hadis secara langsung,kini dapat dilakukan secara digital. Program ini juga
menjadi materi kuliah di jurusan Ilmu Hadis di UIN Bandung dan lainnya.

c. Studi hadis tematik (hukum, akhlaq, politik, ekonomi, iptek, dll)

Setelah hadis Rasulullah Saw. dibukukan dalam berbagai kitab, namun tidak
mudah memiliki kitab-kitab tersebut, maka sejumlah ulama menyusun kitab
hadis dalam tem-tema tertentu untuk mempermudah umat Islam mempelajari
hadis yang mereka perlukan untuk memperdalam pemahaman agama mereka.
Di antara kitab-kitab hadis katagori ini adalah kitab Riyadh al-Shalihin karya
Imam Nawawi dan Bulugh al-Maram karya Ibnu Hajar al-Asqalani.

d. Studi hadis di Barat (Muslim dan orientalis)


e. Studi hadis kawasan (klasik dan moderen)

AKSIOLOGI

1. Kriteria kehujjahan hadis

Pada dasarnya seluruh ucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah Saw. benar dan
merupakan hujjah bagi umatnya. Hadis mengalami proses periwayatan yang
menimbulkan sejumlah perubahan, sehingga hadis-hadis yang diriwayatkan secara
mutawatir benar-benar terjamin keasliannya dan tetap kehujjahannya. Berikutnya
hadis-hadis yang memiliki indikasi kuat atas keasliannya disebut sebagai hadis
shahih, hasan, lalu dha`if. Semua hadis yang telah dituliskan dalam kitab-kitab induk
hadis telah melalui proses seleksi, sehingga semuanya merupakan hujjah sesuai
dengan tingkat keshahihannya.

2. Klasifikasi Hadis

Para ulama hadis mengklasifikasi hadis menjadi shahih, hasan, dan dha`if. Khusus
hadis shahih diklasifikasi menjadi tujuh tingkat, yaitu muttafaq `alaih, shahih
menurut Al-Bukhari, shahih menurut Muslim, shahih menurut syarat Al-Bukhari dan
Muslim, shahih menurut syarat Al-Bukhari, shahih menurut syarat Muslim, dan
shahih menurut selain Al-Bukhari dan Muslim.

Semula hadis muttafaq `alaih itu hadis yang disepakati memenuhi seluruh kriteria
keshahihan hadisnya, namun hal itu terlalu sulit untuk ditemukan, maka kemudian
cukup hadis yang memenuhi kriteria Al-Bukhari dan Muslim karena mereka dikenal
sebagai ulama hadis yang peling ketat menetapkan kriteria hadis shahih.

--==TAMMAT==--

Anda mungkin juga menyukai